Monday, March 01, 2010

Pendidikan yang Menggeli(sah)kan

-- JC Tukiman Taruna

SELAKU pendidik, Mochtar Buchori (Kompas, 9/2/2010) mencurahkan kegelisahannya (kegeliannya juga?) lewat tiga ”kalimat kunci”-nya.

Kalimat kunci pertama adalah ”... dalam kasus kita sekarang, krisis moral jadi sumber krisis- krisis yang lain. .... Begitu pula keributan tentang ujian nasional, hemat saya adalah dampak dari krisis moral.” Jalan keluar menerobos krisis moral itu hanya satu, yakni kita sendirilah yang harus mengendalikan krisis moral itu sekarang ini juga karena tidak mungkin krisis moral akan dihentikan oleh kekuatan lain/dari luar.

Kalimat kunci kedua, ”... krisis moral yang ada sekarang bisa menimbulkan krisis wibawa.” Jalan keluar utama yang ditawarkannya adalah hendaknya para politisi benar-benar tampil sebagai sosok yang berwibawa karena dunia politik dewasa ini adalah bidang yang pertama mengalami krisis wibawa.”

Adapun kalimat kunci ketiga berupa ”jawaban kunci”, yaitu kita membutuhkan pendidikan karakter supaya kehidupan politik bangsa tidak terus berjalan tertatih-tatih dan terlepas dari konteks masalah yang sedang terjadi.


Moralitas pendidikan

Alkisah, di hutan belantara yang lebat diselenggarakan sebuah sekolah untuk hewan-hewan dengan mata pelajaran utama berlari, memanjat, terbang, dan berenang mengingat empat ”ilmu” itulah yang pasti membekali hewan-hewan untuk dapat sintas. Kucing hitam memperoleh predikat summa cum laude untuk berlari dan memanjat, tetapi ia sangat sengsara dan benar-benar jelek untuk ”ilmu” berenang dan terbang. Si angsa justru kebalikannya, hanya dalam hitungan hari, ia sudah sangat mahir dalam mata pelajaran berenang dan terbang, tetapi benar-benar menderita lahir-batin untuk memanjat dan berlari (baca tulisan Kak Seto dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI- editor Sindhunata; Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000).

Pesan moralnya jelas: setiap individu siswa pasti memiliki potensi yang mungkin sama, tetapi sangat mungkin berbeda. Ratusan, bahkan ribuan siswa sangat mungkin memperoleh predikat summa cum laude untuk mata ujian Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi sangat mungkin ada jutaan siswa yang mengalami penderitaan lahir-batin karena dua mata ujian itu. Rupanya, di situlah ribut-ribut tentang ujian nasional disebut sebagai dampak krisis moral oleh Mochtar Buchori karena ada bahaya generalisasi yang menuntut ”kucing hitam harus sepotensi dengan angsa dan sebaliknya”.

Moralitas pendidikan terletak pertama-tama pada model pendidikan yang berpusat pada anak/siswa, bukan berpusat pada pemerintah/kebijakan, guru, ataupun kepala sekolah. Artinya, siswa benar-benar sebagai pusat dan subyek utama semua kegiatan pendidikan, dan karena itu sangat bertentangan dengan moralitas ketika dunia pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk hitung-hitungan dan arena bisnis. Ribut-ribut sekitar ujian nasional jangan-jangan ada aspek- aspek bisnis di balik layarnya.

Ketika aspek bisnis merasuki dunia pendidikan, yang muncul dan didengung-dengungkan adalah pentingnya persaingan (ketat) ataupun rivalitas antarindividu siswa, antarsekolah, dan antarinstansi. Situasi kompetitif memperlihatkan bahwa pelaku bisnis (termasuk pelaku bis nis dalam pendidikan pun) akan memperlakukan/menganggap pihak lain sebagai rival. Dampak rivalitas tersebut adalah eliminasi. ”Eliminasi terhadap kecenderungan rivalitas yang sifatnya negatif ini harus beranjak dari suatu refleksi terhadap akibat yang menjadi dampak dari perkembangan menyimpang dari seluruh masyarakat kita” (Conny Semiawan, 2000:25).

Jadi, tantangan terberat model pendidikan berpusat pada anak adalah terciptanya rivalitas di berbagai strata. Maraknya tawuran antarpelajar atau mahasiswa atau antarmahasiswa dengan aparat sangatlah menggelisahkan, dan hal ini harus kita catat sebagai dampak dari iklim rivalitas yang tercipta.

Kedua, moralitas pendidikan (termasuk krisis moralitasnya) terletak pada model pembelajaran yang seharusnya unlock the capacities, yakni gugus pembelajaran yang membuka kemampuan seoptimal mungkin yang dimiliki oleh setiap individu siswa. Karena itu, jika pembelajaran tidak membuka peluang lebar-lebar bagi berkembangnya potensi siswa, di situlah telah terjadi krisis moralitas, dan hanya tercipta robot-robot yang pandai meniru belaka. Guru dapat menjadi ”tersangka” pertama/kunci apabila proses pembelajarannya tidak mengembangkan secara opti- mal potensi siswa. Ketiga, moralitas pendidikan terletak pada right-based budget, yaitu sistem pengalokasian anggaran yang berbasis pada pemenuhan hak anak/siswa.

Model alokasi anggaran seperti bantuan operasional sekolah (BOS) sudah memenuhi syarat anggaran berbasis pemenuhan hak siswa secara individual karena unit analisisnya siswa. Semua alokasi anggaran pendidikan —tidak hanya BOS—seharusnya menggunakan unit analisis siswa, bukan seperti sampai sekarang dilakukan, yaitu berdasarkan perencanaan yang ”berbasis tahun lalu”. Kita semua tahu bahwa jumlah siswa ataupun karakteristik siswa selalu berbeda dari tahun ke tahun.

Menggelisahkan

Salah satu aspek pembentukan karakter terpenting, menurut C Semiawan (2000:29), adalah pendidikan harus mampu mendorong setiap individu itu melakukan pendakian terjal (the ascent of man). Dalam diri setiap siswa/anak, ada dua dorongan esensial, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri dalam lingkungan eksternal yang ditandai oleh berbagai perubahan cepat; serta dorongan untuk mengembangkan diri, yaitu dorongan ingin belajar terus dan keinginan untuk mencapai ambisi tertentu.

Orang-orang semacam itulah yang (akan) memiliki karakter, tetapi, sayangnya, dunia pendidikan kita tidak serta-merta melakukan atau mengakomodasi dorongan-dorongan seperti itu. Tontonan dan informasi sehari-hari yang dilihat di televisi, atau dibaca di koran/majalah, seharusnya disadari bersama sebagai media belajar anak-anak/ siswa kita. Karena itu, selayaknya yang disajikan adalah hal-hal yang dapat mendorong anak/siswa untuk melakukan pendakian terjal tersebut. Sayangnya, yang tersaji adalah kerusuhan demi kerusuhan, demonstrasi anarkis dari satu tempat ke tempat lain; bahkan kalaupun berupa pidato tokoh, ia tampil sebagai tokoh yang tidak mempunyai sentuhan edukasi.

Apabila setiap hari asupan informasinya seperti itu, marilah kita semakin prihatin dan gelisah terhadap pertumbuhan karakter generasi muda kita. Gubernur Jawa Tengah pernah membagi-bagikan kaset berisi lagu-lagu nasional dan perjuangan ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah. Setiap pagi, seperempat jam sebelum jam masuk, lagu-lagu itu diharapkan disetel keras-keras agar siswa mendengar, dan harapannya lama-kelamaan dapat menghayatinya sehingga karakter siswa terbentuk. Muluskah? Ternyata tidak.

Banyak sekolah yang mengeluh tidak memiliki tape recorder, apalagi pengeras suara; ada juga yang mengeluh tidak memiliki penjaga sekolah yang siap ditugasi, karena ada guru yang merasa direndahkan martabatnya ketika diminta untuk mengurusinya. Rupanya, mengeluh adalah ”karakter” bangsa kita dewasa ini. Hal itu memang menggelisahkan, tetapi juga menggelikan.

* JC Tukiman Taruna, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah

Sumber: Kompas, Senin, 1 Maret 2010

Menghargai Kreativitas

-- L Wilardjo

SETELAH penjiplakan (plagiarism) yang dilakukan guru besar Unpar diberitakan media massa, bermunculanlah artikel tentang penjiplakan. Semuanya mengutuk tindakan itu, yang dinilai sebagai tidak menghargai kreativitas.

Armada Riyanto (Kompas, 24/2/2010) tidak hanya ikut mengutuk penjiplakan, tetapi juga pemberangusan publikasi hasil penelitian yang tidak memenuhi patokan kepuasan penguasa. Apabila penjiplakan merupakan tiadanya penghargaan terhadap kreativitas, terlebih-lebih lagi pemberangusan publikasi hasil telaah ilmiah.

”Penelitian - - - harus bebas dari (campur tangan) para penguasa politik dan ekonomi, yang (justru) harus bekerja sama demi pengembangannya, tanpa menghambat kreativitasnya atau memberangusnya demi tujuan mereka sendiri,” kata mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam amanatnya di depan Pontifical Academy of Sciences di Roma, 10 November 1979.

Mengutip bukan menjiplak

Mengutip pernyataan dalam karya orang lain sah-sah saja. Itu bukan penjiplakan, tetapi justru wujud penghargaan atas pandangan yang terkandung dalam pernyataan itu. Karya ilmiah bahkan dinilai, antara lain, berdasarkan seberapa banyak dan seringnya sebagian atau bagian- bagian tertentu dari karya itu dikutip. Makin banyak karya baru yang diilhami suatu gagasan, berarti gagasan itu makin membenih (seminal). Pemanfaatan gagasan atau karya asli itu sesuai dengan ”asas manfaat” yang dianjurkan dalam agama Islam dan dalam utilitarianisme.

Begitu suatu karya dipublikasikan di jurnal ilmiah atau di media massa, ia sudah menjadi bagian dari ranah publik. Siapa saja boleh mengecamnya apabila karya itu tidak benar, atau menerima dan memakainya bila karya itu benar dan baik bagi kehidupan bersama. Karya itu sudah menjadi milik publik. Seperti fasilitas umum mandi, cuci, dan kakus (MCK), siapa pun boleh memakainya.

Itulah imperatif komunalisme, yang merupakan bagian dari paradigma (Robert K) Merton. Bersama dengan ketiga imperatif lainnya, komunalisme merupakan kode etik di bidang pengembangan ilmu.

Penerbitan karya ilmiah, atau pembicaraannya dalam seminar dan simposium, selaras dengan imperatif lain dalam paradigma Merton, yakni organized skepticism. Skeptisisme yang tertib sangat perlu dalam pengembangan ilmu. Tanpa sikap skeptis yang membuahkan kritik, cacat, atau kesalahan yang ada dalam karya ilmiah tidak terungkap. Polemik, berupa serangkaian sorotan (reviews) terhadap suatu karya ilmiah dan tangkisan (rebuttals)-nya, secara dialektis akan menghasilkan karya yang lebih bermutu. Bukan komentar apresiatif saja yang merupakan penghargaan atas kreativitas. Sorotan kritis juga! Yang tidak menghargai kreativitas pencipta karya ilmiah atau seni adalah mereka yang tidak menggubris karya itu.

Jadi, silakan mengutip atau memakai karya orang lain. Hanya saja, jangan mendaku (meng-claim)-nya sebagai karya Anda sendiri. Itulah tata krama yang berlaku di dunia akademik. Menerapkan sopan santun ini berarti mengugemi (berpegang teguh pada) nilai konstitutif yang terpenting, yakni kejujuran.

Harus ada acuan?

Dalam talk-show tentang Gurita Cikeas-nya George J Aditjondro, ada guru besar yang suka menonjolkan kegurubesarannya. Ia menilai karya Aditjondro tersebut tidak ilmiah sebab tidak ada acuannya.

Menonjolkan ego dan predikat itu bukan sikap ilmuwan sejati. Yang ditekankan seharusnya kekuatan logika dan koherensi uraiannya dan korespondensi pernyataannya dengan fakta dan empiria yang ada di ”lapangan”. Tiadanya referensi tidak serta-merta membuat suatu karya menjadi tidak ilmiah. Kalau yang ditulis pemakalah itu temuan eksperimental atau gagasan aslinya sendiri, tentulah tidak ada acuannya.

Apabila orang menyatakan E > mc (kesetaraan antara massa dan tenaga), tidak perlu ia mengacu ke karya Einstein Zur Elektrodynamik bewegter Koerper di Annalen der Physik, 17, 891(1905) sebab semua tokoh sudah tahu bahwa ”rumus” tersebut didapatkan oleh Einstein. Makalah Einstein tersebut berupa tinjauan dari aspek elektrodinamis atas benda yang bergerak, dan melahirkan teori relativitas khusus. Mengatakan: ”Apalah arti sebuah nama. Mawar sekuntum, mau disebut apa pun, ya tetap harum”, tidak perlu disertai dengan pengakuan bahwa itu dikutip dari karya Shakespeare. Saben irung wis ngerti, kata orang Jawa. Setiap ”hidung” (maksudnya, orang) sudah tahu!

Dalam karya yang insinuatif seperti Gurita Cikeas-nya Aditjondro, tiadanya acuan ke sumber datanya barangkali merupakan kesengajaan, demi melindungi informan yang bersangkutan. Sumber itu baru diungkapkan di pengadilan apabila ada pihak yang merasa difitnah dan menuntut pertanggungjawaban Aditjondro secara hukum.

* Liek Wilardjo, Guru Besar Fisika UK Satya Wacana Salatiga

Sumber: Kompas, Senin, 1 Maret 2010

[Nama & Peristiwa] Mudji Sutrisno: Sketsa dan Puisi

Malam tak jadi purnama/ karena lebat hujan menggenangi Roma....” Itu baris awal puisi Mudji Sutrisno SJ (55) berjudul ”Malam Tak Jadi Purnama”. Judul itu sekaligus menjadi judul buku kumpulan puisi dan sketsa terbitan Obor, Jakarta.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Waktu sedang di Roma, aku mendengar kabar gempa di Padang. Aku lalu menyepi di (kampus) Gregoriana,” kata Mudji tentang suasana batin yang menaungi lahirnya puisi tersebut.

Mudji bercerita tentang puisi dan sketsa itu, Sabtu (27/2) siang, sekembali dari Yogyakarta. Ia tengah berbenah-benah karena sore harinya harus menjadi juri untuk acara Kick Andy's Heroes yang digelar Metro TV.

Hero atau pejuang yang dipilih pada acara itu adalah pejuang pada bidang lingkungan, kesehatan, pendidikan, sosial, seni, dan budaya. Mudji menjadi juri untuk pejuang seni dan budaya.

Apa ukuran ”kepahlawanan” itu?

”Orang yang berada dalam keterbatasan, tapi masih memikirkan, memedulikan, membantu, dan berjuang untuk orang lain. Itu hero, pejuang,” kata Mudji.

”Wong sugih (orang kaya) membantu orang lain itu sudah biasa. Romo (pastor), seperti aku ini, membantu orang lain, juga biasa, he-he...,” katanya.

Dalam puisinya, Mudji juga menulis tentang sosok pahlawan: ”Sayapmu tinggal satu/ teriris tiap kali/ padahal menaungi sekaligus anakmu dan aku....” (XAR)

Sumber: Kompas, Senin, 1 Maret 2010