Saturday, May 03, 2008

Pentas "Nug Nug Wan": Pesan Moral dari Cerita Rakyat Papua

BERKUMPUL bersama merupakan adat kebiasaan masyarakat Papua. Saat itu, mereka bisa saling bertukar cerita atau anekdot. Banyak cerita-cerita itu yang diceritakan secara turun-temurun hingga sering dikira legenda rakyat. Melalui kisah tersebut, banyak pesan moral yang bisa dipetik, seperti yang diceritakan dalam Nug Nug Wan.

Penyanyi Edo Kondologit (kiri) tampil dalam Pentas Sastra Lisan "Nug Nug Wan" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (2/5). "Nug Nug Wan" merupakan cerita rakyat dari Tobati Enggros, Jayapura, Papua yang diekspresikan dalam bentuk seni pertunjukan. (SP/Ruht Semiono)

Cerita milik masyarakat Enggros Tobati, Jayapura Papua ini dikemas secara apik ke dalam bentuk seni pertunjukan teater oleh Yayasan Papua Art's Centre Entertainment (PACE). Pertunjukan yang digelar di teater Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Jumat (2/5) tersebut menggabungkan seni tari dan musik dengan sastra lisan.

Menurut sutradara pertunjukan, Jefri Zeth Nendissa, sastra lisan merupakan budaya masyarakat Papua yang diwariskan turun-temurun. Tidak ada buku yang menuliskan kisah-kisah tersebut. Semua cerita diwariskan dari mulut ke mulut.

Kisah yang diangkat malam itu pun sebenarnya sangat sederhana. Diangkat dari "Mop" atau cerita komedi ringan yang dibumbui dengan nilai-nilai kebijaksanaan. Alkisah sepasang suami istri yang tamak, satu-satunya pemilik kolam ikan di dunia yang tidak diketahui oleh masyarakat. Namun akhirnya, rahasia mereka terbongkar juga sehingga kolam tersebut dihancurkan oleh tuan tanah sehingga ikan-ikan di dalamnya dapat dimiliki oleh masyarakat. Kolam yang terbongkar tersebut kemudian dipercaya sebagai teluk Yotefa.

Nendissa mengatakan tujuan awal ia mengangkat cerita rakyat milik desa Tobati dan Enggros adalah untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas sebuah kisah anekdot mengenai asal usul teluk indah yang terletak di sebelah utara pulau Irian tersebut.

Seni pertunjukan ini menggabungkan nyanyian khas Papua dan tari-tarian rakyat sehingga menarik ditonton. Belum lagi para penonton juga dimanjakan suara merdu Edo Kondologit dan Michael "Idol" Jakarimilena. Edo berperan sebagai pencerita yang membimbing penonton memahami isi dari kisah yang disampaikan. Namun, tidak hanya sebagai narator, Edo juga mengambil bagian sebagai penyanyi dan penari dalam pertunjukan tersebut.

Pemeran suami atau ayi dalam pertunjukan tersebut adalah Michael Jakarimilena. Ia juga merupakan finalis Indonesia idol 2004. selain berakting dalam pertunjukan ini, ia juga menunjukkan kebolehannya bernyanyi. Pemeran istri atau anyi adalah Putri Nere, reporter sebuah stasiun swasta yang juga pernah ikut dalam ajang Miss Indonesia 2006.

Pertunjukan juga bergulir secara ringkas, ringan dan dibumbui banyak komedi sehingga terasa ringan. Para penari bergerak secara luwes dan dinamis mengikuti irama lagu pop Papua seperti "Pangkur Sagu" yang dikolaborasikan dengan tarian pergaulan Papua, Yosim Pancar.

Sulit Dicerna

Setting panggung yang sederhana juga tidak terlihat kaku. Sayangnya, pertunjukan teater tersebut berdialog dalam bahasa Indonesia dengan dialek Papua yang fasih sehingga sulit dicerna bagi orang awam yang jarang mendengar.

Tata panggung juga disusun dengan apik dengan setting lampu yang pas. Namun sayangnya, pada beberapa adegan, tata suara agak kacau dan saling tumpang tindih sehingga mengganggu pertunjukan. Namun, gangguan tersebut tidak membuat penonton kecewa. Berkali-kali terdengar tawa penonton melihat akting para pemain teater yang berdialog secara natural dan atraktif dengan penonton.

Tidak heran. Walau membawa budaya khas Papua dan pemain-pemain serta penari yang semuanya merupakan produk Papua, jalan cerita Nug Nug Wan kental dengan unsur pop yang ringan. Jefri Zeth Nendissa, arsitek dibalik pertunjukan ini sudah mengemban ilmunya selama bertahun-tahun di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia mengatakan sudah saatnya cerita rakyat milik tanah Papua diceritakan kepada masyarakat luas dengan cara yang ringan, seperti halnya cerita-cerita ini dikisahkan turun-temurun dengan cara yang ringan.

Judul Nug Nug Wan yang ia pilih berarti cerita dari kampung. Jefri mengatakan anekdot teluk Yotefa tersebut dipilih sebagai jalan cerita karena ia memiliki rasa kedekatan dengan lokasi teluk tersebut. Lahir dan besar di Jayapura, Jefri mengatakan ia tumbuh dan besar dengan cerita tersebut. Riset yang untuk pertunjukan ini juga hanya sekitar 2 minggu. Itu pun untuk memperdalam detail cerita dengan menggandeng masyarakat asli Tobati Enggros untuk ikut serta dalam pertunjukan Nug Nug Wan.

Hadir pula malam itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, yang juga merupakan tokoh adat masyarakat Papua. Ia mengungkapkan perlunya pertunjukan-pertunjukan kebudayaan seperti Nug Nug Wan untuk mengangkat budaya Timur agar dapat dikenal luas hingga ke negri seberang. Tokoh-tokoh lain yang hadir adalah seperti beberapa pemangku masyarakat adat Papua serta pasangan artis Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale yang mengaku menikmati pertunjukan tersebut. [CAT/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 3 Mei 2008

Thursday, May 01, 2008

Situs Sejarah: Pemugaran Prambanan Butuh 5 Juta Dollar AS

Bantul, Kompas - Untuk memugar Candi Prambanan yang rusak akibat gempa, setidaknya butuh dana lima juta dollar AS. Selain bantuan dari UNESCO, pemerintah berharap ada sumbangan dari pengusaha Indonesia.

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajat di sela-sela acara peresmian pemugaran makam raja-raja Imogiri, DI Yogyakarta, Selasa (29/4), mengatakan, kerusakan Candi Prambanan akibat gempa tergolong parah. ”Untuk situs budaya belum banyak dipugar karena prioritas pemerintah adalah rekonstruksi rumah warga,” katanya.

Menurut Hari, pemugaran Candi Prambanan akan dilakukan segera karena rekonstruksi rumah warga sudah selesai. Ia memperkirakan kebutuhan dana 5 juta dollar AS untuk memugar dengan teknologi sederhana. Pemugarannya menyeluruh, tetapi tidak sampai ke fondasi.

Ada dua sumber dana yang diandalkan, yakni bantuan dari UNESCO dan penggalangan dana swadaya dari para pengusaha. ”Pelestarian budaya memang tidak seharusnya menjadi kewajiban pemerintah semata, tetapi juga harus melibatkan pihak swasta,” ungkapnya.

Hari menambahkan, di tengah situasi ekonomi yang kurang menguntungkan dengan naiknya harga sejumlah komoditas bahan pokok, alokasi dana pelestarian cagar budaya dari pemerintah juga minim.

Pengusaha Hashim Djojohadikusumo sekaligus Wakil Ketua Badan Pelestari Budaya Indonesia mengatakan, pihaknya sudah menemui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie untuk meminta restu dalam menggalang dana dari para pengusaha. ”Rencananya program penggalangan dana akan segera kami lakukan,” katanya.

”Di Indonesia kan banyak konglomerat yang bisa diminati sumbangan. Masak kita bergantung pada dana-dana asing terus. Seharusnya kita malu karena harga diri diinjak-injak oleh asing,” katanya. Dana yang terhimpun akan dimasukkan ke rekening khusus dan informasinya juga bisa diakses melalui situs web khusus. (ENY)

Sumber: Kompas, Rabu, 30 April 2008

Festival Pantun Serumpun: Kota Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun

[JAKARTA] Festival Pantun Serumpun se-Asia Tenggara diselenggarakan untuk melestarikan, mengembangkan, dan memasyarakatkan tradisi berpantun rumpun Melayu, khususnya di Indonesia. Pantun secara turun temurun mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat, maka sebagai jati diri bangsa keberadaannya harus dipertahankan. Kota Tanjungpinang dikukuhkan sebagai Negeri Pantun.

Sejumlah pemain berpentas pada Festival Pantun Serumpun di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (29/4). Acara tersebut terselenggara atas kerja sama Yayasan Panggung Melayu dengan Pemerintah Kota Tanjungpinang. (SP/Abimanyu)

Ketua Penyelenggara Festival Pantun Serumpun se-Asia Tenggara Asrizal Nur, Selasa (29/4) malam di Jakarta mengatakan, dalam kesusastraan Indonesia keberadaan pantun harus diakui sebagai roh kebudayaan dan tonggak kesusastraan yang lahir dan mengakar di ranah Melayu, dan menyebar menjadi milik penduduk di Nusantara. Festival pantun yang dihadiri peserta dari Brunei Darussalam dan Malaysia, merupakan tonggak sejarah dalam kesusastraan di wilayah rumpun Melayu yang dikukuhkan dalam prasasti kebudayaan.

Pada prasasti kebudayaan itu dicatat rekor berbalas pantun terlama, pemberian gelar Bapak Pantun Melayu kepada Tenas Effendi yang sedang sakit, dan mengukuhkan kota Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun. Selain itu, juga dilaksanakan Opera Pantun, Orasi Pantun, peluncuran buku, dan situs Negeri Pantun.

Pada acara itu, Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan menyebut, pantun adalah tradisi sastra lisan yang terus dipelihara, dikembangkan, dan digiatkan untuk digunakan, tidak hanya untuk kepentingan seremonial budaya, tetapi telah mengakar dan tidak terpisahkan dari masyarakat Tanjungpinang. Menurutnya, untuk memfasilitasi aspirasi masyarakat, Pemerintah Kota Tanjungpinang ikut memelihara dan menggiatkan penggunaan pantun lewat berbagai kegiatan untuk mengembangkan pantun, seperti Peraduan Pantun, Cerdas Cermat Pantun, Penulisan Pantun, dan Pergelaran Pantun dari tingkat terendah hingga regional seperti Festival Pantun Serumpun.

"Ibarat irama dan lagu, pantun tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Tanjungpinang," katanya.

Festival Pantun Serumpun se-Asia, ujar Suryatati, memacu kreativitas berpantun, bahkan terbentuk komunitas pantun di kampung atau desa, sekolah, sanggar, dan kedai minum. Dengan kata lain, pantun telah menembus berbagai strata kehidupan di tengah masyarakat.

Suryatati mengatakan, tradisi berpantun oleh generasi muda jika ditulis dan dibukukan, akan menghasilkan ribuan karya pantun. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Tanjungpinang bekerja sama dengan budayawan pantun mengemas pantun-pantun spontan tersebut ke dalam berbagai buku. [RRS/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 30 April 2008