Monday, March 05, 2007

Saya dan Bahasa*

-- Seno Gumira Ajidarma**

SAYA dilahirkan di Amerika Serikat, dan untuk sementara ini berarti sejak mulai belajar bicara saya menggunakan bahasa Inggris, baik dengan orang tua saya maupun teman-teman sepermainan saya. Usia lima tahun, melewati Inggris, Prancis, dan Italia mereka membawa saya kembali ke Indonesia, untuk kemudian tinggal di Yogyakarta, dan sejak saat itu sedikit demi sedikit terhapuslah perbincangan bahasa Inggris dari mulut saya, untuk berganti dengan bahasa Jawa. Demikianlah mula-mula saya berbahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan teman-teman sepermainan, dan setelah itu berbahasa Jawa pula dengan orang tua saya.

Untuk diketahui, bahasa Jawa adalah bahasa yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kedudukan orang yang mengajak atau kita ajak bicara. Dengan kata lain bahasa masyarakat feodal. Kosakata yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua lain dengan yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang seusia misalnya, tetapi kelompok umur ini hanya menentukan sejauh kita wajib menghormatinya atau tidak, karena kepada orang yang meski lebih tua tetapi kelas sosialnya terandaikan di bawah kita, mengajaknya berbicara dengan bahasa untuk orang lebih terhormat akan membuatnya salah tingkah. Akibatnya, saya sering menjumpai, jika ada majikan kebetulan menikahi pembantu rumah tangganya, maka mantan pembantu rumah tangga ini akan tetap berbahasa seperti kepada majikan terhadap anak maupun cucunya sendiri.

Namun kerumitan "politik bahasa" dalam bahasa Jawa sebenarnya jauh lebih pelik, karena di antara peringkat kelas sosial maupun usia masih terdapat "peringkat antara" yang menambah kerumitan. Tidak cukup "lebih rendah", "sederajat", dan "lebih terhormat", terdapat pula "peringkat antara" seperti "lebih rendah tapi sebaiknya dihormati", "seusia tetapi tidak sederajat", atau juga "lebih tua tetapi tidak perlu ditinggikan", dan lain sebagainya.

Belum lagi jika kita mesti "membahasakan orang lain" dalam berbagai peringkat ini. Secara umum bahasa Jawa terbagi kepada dua peringkat, yakni krama (halus) dan ngoko (kasar); bahasa krama masih dibagi lagi antara krama dan krama inggil (halus dan tinggi). Artinya kalau saya berbahasa krama kepada seseorang yang tidak saya kenal, maka kepada kakek saya dari pihak bapak mau tidak mau saya harus berbahasa krama inggil, jika tidak itu berarti saya menganggap kakek saya lebih rendah dari seorang asing.

Meskipun kepada kedua orang tua saya terizinkan berbahasa Jawa ngoko dalam kedudukan setara, di luar rumah saya tidak mungkin berbahasa ngoko kepada orang tua teman-teman saya. Demikianlah sistem nilai dalam bahasa Jawa ini terkukuhkan ketika saya memasuki sekolah dasar pada usia enam tahun, setelah sebelumnya setahun digaulkan di taman kanak-kanak. Dalam dua tahun pertama, seluruh mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Jawa dan baru pada tahun ketiga, artinya menginjak usia delapan tahun, bahasa pengantarnya sekarang berbahasa Indonesia. Harus saya katakan betapa saya merasa mendapat pembebasan dalam bahasa Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia tidak terdapat peringkat seperti dalam bahasa Jawa. Rupa-rupanya, kedudukan sosial saya sebagai "anak kecil" dalam sistem sosial Jawa telah membuat saya susah payah berbahasa kepada berbagai macam pihak, kecuali terhadap teman-teman sepermainan tentunya.

Maka inilah komposisi pengetahuan bahasa saya sampai usia delapan. Saya berbicara dengan teman-teman menggunakan bahasa Jawa, berbicara dengan guru dan membaca dalam bahasa Indonesia, tetapi meskipun berkomunikasi di rumah menggunakan bahasa Jawa, saya selalu mendengarkan orang tua saya berbicara dengan bahasa Belanda. Sejak kecil orang tua saya masing-masing dalam keluarganya memang berbahasa Belanda, dan memang itulah yang saya dengar dalam berbagai kunjungan keluarga yang saya alami. Hanya karena Jepang menduduki Indonesia dalam Perang Dunia II dan melarang siapa pun berbahasa Belanda, mereka mau tidak mau berbahasa Indonesia --yang kelak bagi saya selalu terdengar agak aneh. Telah saya sebutkan bahwa terhadap kakek dari pihak bapak saya berbahasa krama inggil. Memang akar budaya keluarga ayah saya adalah Jawa, dan dalam rangka mengakui ke-jawa-annya, kakek saya yang mendapat gelar doktor dalam bidang kedokteran di Belanda telah menulis buku-buku tentang falsafah wayang kulit Jawa dalam bahasa Indonesia. Ini menjelaskan bagaimana bahasa menjadi bagian dari kehidupan sosial dalam keluarga saya.

Sementara itu, akar budaya keluarga ibu saya adalah Sunda. Kakek dari pihak ibu adalah juga seorang dokter, bahkan satu kelas dengan kakek dari pihak ayah, meski tidak meneruskan sampai tingkat doktor. Dari keluarga besar pihak ibu saya, selain selalu mendengarkan orang berbahasa Belanda, saya juga selalu mendengar berbagai celetukan bahasa Sunda. Dengan begitu boleh dikatakan saya berbahasa Jawa dan Indonesia, tetapi mengerti percakapan dalam bahasa Belanda dan Sunda. Bahasa Indonesia kemudian sangat saya akrabi, karena buku-buku bacaan yang nyaris semuanya berbahasa Indonesia. Meski begitu, justru pada umur delapan ini pula kami mendapat pelajaran untuk membaca dan menulis dalam huruf Jawa. Memang, pelajaran ini tidak sulit, tetapi karena huruf Jawa sudah sangat terdesak oleh huruf Latin, saya sekarang ini hanya mengetahui bu-nyinya saja, yang kelak masih akan berguna untuk kepentingan lain.

Masih di sekolah dasar, mungkin umur sepuluh, kami diperkenalkan dengan huruf Arab, sehingga kami diharapkan bisa membaca ayat Alquran, tetapi tidak berarti kami mendapat pelajaran bahasa Arab. Dalam latihan menulis dengan huruf Arab, kami tetap menggunakan bahasa Indonesia. Dengan begitu, dalam hal saya, pengetahuan saya dengan huruf Arab sampai hari ini hanyalah pengetahuan seorang anak sekolah dasar.

Perkembangan selanjutnya adalah pelajaran bahasa Inggris yang saya dapatkan di sekolah menengah pertama. Bahasa yang satu ini, boleh dibilang terpelihara dengan banyak cara: oleh lagu-lagu pop, film, dan bacaan-bahkan sampai sekarang. Saya tak bisa katakan saya fasih berbicara bahasa Inggris, tetapi buku-buku yang disebut sebagai berat, rasanya bisa saya pahami dan dengan ala kadarnya saya bisa berdiskusi di berbagai forum internasional dalam bahasa ini. Tentu saja di sekolah menengah atas kami juga mendapat pelajaran bahasa Jerman, tetapi seperti juga terjadi dengan sebagian besar murid lain, jejaknya sudah tidak berbekas lagi. Sekarang, saya berbahasa Indonesia kepada anak saya, tetapi kepada ibunya saya berbahasa Jawa. Jadi anak mendengar orang tuanya berbahasa Jawa, tetapi berkomunikasi dengan orang tuanya itu dengan bahasa Indonesia.

Demikianlah secara ringkas riwayat kebahasaan saya.

***

Dalam sebuah diskusi di University of Washington di Seattle, Amerika Serikat pada 1999, untuk pertama kalinya saya mendapat pertanyaan, “Dalam bahasa apakah Anda berpikir?” Seingat saya, saya menjawab pertanyaan itu dengan “Bahasa Jawa”. Namun sebetulnya saya masih bertanya-tanya, apakah kita berpikir dengan suatu bahasa? Ternyata masalah semacam itu nyaris tidak pernah saya pikirkan. Berbahasakah kita ketika berpikir? Ketika pikiran itu diutarakan, memang kita menyampaikannya melalui bahasa, tetapi ketika masih berkelebat dan bergulat di dalam kepala, dengan sangat cepat ataupun melintas sepintas dari saat ke saat, apakah berlangsung dalam susunan kebahasaan tertentu? Dalam berbahasa, pikiran sudah berlangsung runtut; dalam pikiran yang belum runtut, apakah sudah terdapat suatu bahasa?

Ketika saya menjawab bahwa saya berpikir dengan bahasa Jawa, barangkali saya pikir bahasa Jawa adalah semacam “bahasa ibu” bagi saya, tempat ketika saya berbahasa Indonesia pun niscaya dengan aksen Jawa; tetapi saya kira ini tidak bisa berlangsung dengan “segala pikiran”. Dengan bahasa Jawa misalnya, saya memang bisa berpikir, tetapi tidak “memikirkan pikiran-pikiran”. Jika saya berpikir, “Saya mau pergi ke mana?” memang sangat mungkin saya pikirkan dalam bahasa Jawa; tetapi jika saya memikirkan sebuah topik untuk seminar misalnya, tidak mungkin saya pikirkan dalam bahasa Jawa, melainkan pasti dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, bahasa pun terbagi-bagi wilayah intelektualnya, berdasarkan pengalaman budaya pemilik bahasa-bahasa itu. Saya tidak mengatakan bahasa Jawa dengan begitu tidak mungkin menjadi bahasa intelektual, sama sekali tidak, hanya saja dalam hal saya bahasa Jawa tidak pernah saya pergunakan demi kebutuhan intelektual saya.

Dengan demikian, dengan bahasa apa saya berpikir? Tentu saja tergantung kepada apa yang saya pikirkan. Pengalaman tersimpan bersama bahasanya. Artinya bahasa yang tersimpan dalam perbendaharaan budaya seseorang selalu berkait dengan pengalaman tertentu. Maka apabila kepala saya terantuk dan saya berkata, "Aduh!", tentunya adalah kesamaan pengalaman yang mengingatkan dan memanggil kata itu keluar, dan begitu pula jika terdapat rangsangan berpikir yang sangat abstrak, maka hanyalah pengalaman berbahasa Indonesia yang berurusan dengan rangsangan yang sama. Ketika kemudian saya lebih banyak membaca dalam bahasa Inggris daripada dalam bahasa Indonesia, agaknya saya masih tetap berpikir dalam perkara yang saya baca itu dalam bahasa Indonesia, meski ketika mengajarkannya kembali di depan kelas, saya pertahankan tetap dalam bahasa Inggris.

Saya tidak terlalu yakin, apakah saya telah merumuskan pengalaman saya dalam berbahasa ini dengan cukup, karena saya merasa bahwa memeriksa bahasa dalam pikiran tidaklah terlalu mudah. Mungkinkah karena saya berada di dalam bahasa dan bukan di luar bahasa? Seperti bermimpi misalnya, saya mungkin masih ingat mimpi-mimpi itu sebagai narasi, tetapi dalam bahasa apakah saya telah memahaminya, agak tidak terlalu jelas. Namun berikut ini saya sampaikan saja sebuah pengalaman dalam penulisan berbahasa Indonesia, yang telah memanfaatkan perbendaharaan bahasa Jawa karena tuntutan keadaan.

Dua buku saya, kumpulan cerita pendek Saksi Mata dan novel Jazz, Parfum, dan Insiden bermain dengan materi situasi sosial politik di Timor Timur dan terbit semasa Orde Baru. Karena situasinya yang khusus, saya tidak bisa menyebut Timor Timur sama sekali, bahkan apa pun yang bisa mengingatkannya sehingga saya terpaksa memanfaatkan apa yang disebut basa walikan (bahasa terbalik). Bahasa tersebut bukanlah bahasa tersendiri, melainkan bahasa Jawa yang berfungsi sebagai kata sandi, konon digunakan oleh komunitas underworld, yakni kaum kriminal, pencuri, perampok, begal, dan lain sebagainya, untuk menutupi kegiatan mereka, sehingga juga disebut basa maling (bahasa pencuri). Bahasa yang saya kenal dari pergaulan sebagai remaja di Yogyakarta itu memanfaatkan bunyi dari 20 huruf dalam tulisan Jawa yang terbagi menjadi empat baris. Baris pertama berpadanan dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Apa yang seharusnya diucapkan dengan baris pertama diucapkan dengan baris ketiga dan sebaliknya, begitu pula dengan baris kedua dan keempat.

Dengan bahasa sandi tersebut, Gidoy Giduy berarti Timor Timur dan Ningi berarti Dili. Salah seorang kritisi yang membahas novel saya berhasil menguraikan bahasa sandi tersebut dalam sebuah resensi, dan tentu saja beliau pernah tinggal di Yogyakarta. Memang sebuah karya tulis tidak hanya berisi "rahasia" yang disandikan, melainkan ada tuntutan "kualitas sastra" di sana, tetapi telah saya sebutkan terdapatnya situasi khusus dalam iklim ketertekanan semasa Orde Baru, yang menyudutkan saya untuk menggunakan bahasa sandi Jawa tersebut, di samping juga bahasa Inggris, dalam penulisan berbahasa Indonesia. Sudut itu sebuah ruang yang sangat pribadi dari masa lalu saya sebetulnya, tetapi yang telah berperan untuk kepentingan yang lebih umum karena tekanan keadaan. Saya kira, hanya karena saya seorang pengarang yang hidup lebih dengan satu bahasa, yang telah membuat saya dapat melakukannya.

Baru belakangan saya sadari, betapa sudah terlalu lama saya menyia-nyiakan kemampuan saya berbahasa Jawa dalam hidup saya, baik untuk membaca, apalagi untuk menulis. Jika selama ini saya merasa beruntung bisa menggali perbendaharaan pengetahuan melalui buku-buku berbahasa Inggris, hal yang sama mestinya saya alami dengan naskah-naskah berbahasa Jawa. Sekali pernah saya melakukannya dan saat itulah kesadaran saya terbuka, betapa tidak termanfaatkannya pengetahuan bahasa Jawa saya selama ini. Jadi, di satu pihak saya mungkin merasa beruntung, tetapi pada saat yang sama tampaknya saya juga orang yang rugi, karena telah menganggap bahasa Jawa dalam diri saya sebagai taken for granted, tidak usah saya pedulikan lagi karena sudah ada di sana dari sononya. Memang sangat berbeda dengan sikap saya terhadap bahasa Indonesia, yang selama ini menjadi wahana representasi diri saya, maupun bahasa Inggris, yang melaluinya saya selalu berusaha meluaskan wawasan saya. Begitulah.***


* Tulisan ini merupakan catatan untuk diskusi "L'auteur depayse: Ecrivains de double appartenance culturelle" yang diselenggarakan Association franco-indonesienne Pasar Malam Palais du Luxembourg di Paris, 28 Oktober 2006.

** Seno Gumira Ajidarma, cerpenis.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 Maret 2007

Ah… Ajip Rosidi

-- Martin Aleida*

Saya mengenal Ajip Rosidi sebagai sastrawan yang baik hati. Atau kalau ingin menggambarkannya dengan kata-kata yang mewah, maka dia adalah seorang budayawan yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Ketika sastrawan I.S. Poeradisastra (nama lain dari Boejoeng Saleh) dibebaskan, setelah menjalani penahanan sewenang-wenang tanpa alasan selama belasan tahun, termasuk dibuang ke Buru, Ajip memberikan rumah ekstranya di daerah Pasar Minggu untuk dihuni lawan politik namun teman sedaerahnya itu.

Saya kira kebaikan hati seperti itu merupakan keberanian yang tidak dimiliki oleh banyak orang, kecuali siap menanggung risiko berurusan dengan penguasa yang fasistis pada waktu itu.

Namun, Ajip yang saya kagumi mendadak sontak menjadi sosok yang tidak peka, menistakan adat kebiasaan, begitu saya membaca obituari yang ditulisnya mengenai A.S. Dharta, "Akhir Hidup Pengarang Lekra," (Khazanah, Pikiran Rakyat, 17 Februari 2007). Saya tak habis pikir, kesalahan apa yang telah diperbuat Dharta selama hidupnya, sehingga Ajip Rosidi merasa layak mengiringi jenazah penyair dan pendiri Lekra itu ke alam baka dengan cuci maki yang begitu bersemangat.

Saya tergugah dengan keindonesiaan Ajip yang dengan ulet, dan daya tahan yang susah dicari duanya, dalam menjunjung tinggi kebudayaan Sunda, antara lain dengan memprakarsai hadiah sastra Rancage, yang belakangan tidak hanya diberikan kepada mereka yang menghasilkan karya penting dalam bahasa Sunda, tetapi juga dalam bahasa Jawa dan Bali. Wah, tiba-tiba saya terperanjat begitu membaca obituari yang ditulisnya mengenai sastrawan berdarah Cianjur tersebut. "… ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?" Sarkasme untuk sebuah kematian. Layakkah? Tetapi, demikianlah Ajip menyudahi tulisannya.

Ajip adalah anggota Akademi Jakarta. Secara berseloroh saya ingin bertanya, apakah menjadi anggota "Akademi" tidak cukup bagi Ajip untuk memahami perbedaan antara "komunis" dan ateis? Filsuf Inggris termasyhur, Bertrand Russell, yang menulis "Why I Am Not A Christian," secara terbuka menyatakan dirinya ateis. Tetapi, dia adalah seorang yang antikomunis sampai ke tulang sumsum. Sesungguhnya akan merendahkan derajat Ajip kalau masih perlu dijelaskan bahwa seorang komunis belum tentu ateis, karena keduanya jelas berbeda. Lagi pula, ruangan yang terhormat ini tidak pantas dijadikan arena untuk menjelaskan apa itu komunis, kecuali mau mengambil risiko karena ada legislasi yang melarangnya. Zaman sudah berubah, namun ternyata taktik kaum fasis untuk menaklukkan musuh-musuhnya masih bergema.

Saya jadi bertanya-tanya, kebudayaan Sunda yang "adiluhung" seperti apa yang ingin dijunjung-dimuliakan oleh Ajip, sehingga dia ragu dan tak sampai hati untuk mengucapkan selamat jalan kepada sesama umat yang sedang diusung menuju pembuktian tentang kebesaran-Nya. Pantaskah mengatakan itu dengan memakzulkan kenyataan bahwa rumah Dharta, yang dikelilingi pematang sawah, adalah gelanggang pertemuan warga dan pusat pengajian yang ramah bagi warga sekitar? Juga kancah diskusi yang hangat buat para pemuda yang memutuskan untuk menyelesaikan hubungan mereka de-ngan Tuhan secara sendiri-sendiri dan memilih berdebat dengan orang yang sudah uzur tersebut tentang politik, tentang kesusastraan. Lagi pula, di mana Tuhan di dalam hati Dharta, siapa yang tahu…?

Ajip jumpalitan, kutip sana-sini, bongkar sana bongkar sini, hanya untuk membikin lukisan gelap tentang seseorang yang sedang menghadap Khaliknya. Seperti orang pusing tujuh keliling mencari tahu siapa gerangan nama sebenarnya A.S. Dharta. Dan sayang, tak sedikit pun ada usahanya untuk menyaksikan lingkungan hidup Dharta. Ketika diundang untuk menjenguk Dharta, dengan mudah dia cuma bilang: ".. di Cibeber (yang) letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat menemuinya." Begitu teganya! Ya, Dusun Cibeber, di Cianjur, memang bukan lintasan hidup Ajip yang menikmati hari tuanya di Magelang, Jawa Tengah. Tetapi, Cibeber toh bukan Christmas Island, jauh dari Pantai Palabuhanratu, harus mengarungi samudra kalau mau ke sana.

Tanpa periksa dengan saksama, sehina macam apakah Dharta sehingga dalam kematiannya ini sang istri, anak, dan cucu-cucunya yang belum kering airmata dukanya harus menanggung malu lewat kata-kata yang diumbar oleh budayawan kaliber internasional asal Jawa Barat itu? Mereka selayaknya mengenang Dharta, sang suami, ayah, dan kakek sebagai seorang yang ikut membesarkan dan menjaga mereka, dan bukan sebagai seorang Don Juan Tukang Selingkuh. Maaf, keadiluhungan budaya macam apa ini, Kang …, eh, Bung!

Begitu bersemangatnya Ajip memojokkan Dharta sehingga (dengan tak sengaja) dia membuat kesalahan ketika menyebutkan kumpulan sajak Klara Akustia, Rangsang Detik diterbitkan oleh penerbit Lekra. Padahal buku itu terletak menunggu jamahan tangannya, karena dia tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pusat dokumentasi sastra yang ikut didirikan Ajip. Buku tersebut bukan Lekra yang menerbitkannya tetapi Yayasan Pembaruan, tahun 1957.

Sebenarnya, dari orang sebesar Ajip saya mengharapkan tinjauan yang serius mengenai karya Dharta. Sekritis apa pun tinjauan itu asal dilandasi ulasan-ulasan yang meyakinkan, layaknya sebagaimana yang dilakukan Soebagyo Sastrowardoyo dalam Bakat Alam dan Intelektualisme yang diterbitkan Pustaka Jawa, pimpinan Ajip Rosidi sendiri, tahun 1971.

"Sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail dan penyair-penyair segenerasi tidak lebih tinggi nilai sastranya daripada yang dihasilkan oleh Klara Akustia dan kawan-kawan separtainya," ujar Soebagyo. Dalam kesempatan lain, kritikus dan penyair itu juga menyimpulkan bahwa dalam sajak-sajak Taufiq Ismail dan kawan-kawan pada tahun 1966 ditemukan "paralelisme" dengan puisi para penyair Lekra, seperti A.S. Dharta (Klara Akustia), Hadi, Rumambi, Sudisman, F.L. Risakotta maupun Sobron Aidit. Paralelisme! Cap untuk teman, begitulah. Untuk tidak menyatakan epigonisme, karena paralelisme hanya mungkin kalau kedua pihak berada dalam tempat dan waktu yang setara dan sebangun.

Agaknya obituari tentang A.S. Dharta itu ditulis dalam suasana terkenang masa lalu dan dalam keadaan terburu-buru, asal jadi. Karena Ajip sedang sibuk-sibuknya menyusun memoir untuk ulang tahunnya yang ke-70 tahun depan. Semoga beliau terhindar dari kesalahan dan kesilapan, dan kita menunggu memoir itu sebagai sesuatu yang akan memperkaya khazanah sastra kita. Di mana kaliber dan posisi Ajip Rosidi sebagai seorang budayawan tak perlu disangsikan lagi adanya. ***

* Martin Aleida, Sastrawan, tinggal di Jakarta.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 Maret 2007

Pameran Buku: Penerbit Perlu Kreatif Tingkatkan Minat Baca

Jakarta, Kompas - Penerbit buku di Tanah Air perlu kreatif, baik secara sendiri maupun bersinergi dengan pihak lain, untuk membantu upaya peningkatan minat baca masyarakat. Kegiatan yang dilakukan memang tidak serta-merta memberi dampak pada neraca laba-rugi perusahaan, tetapi bisa menjadi dasar yang kokoh bagi perkembangan industri penerbitan buku secara nasional.

"Persoalan yang dihadapi industri penerbitan buku yang besar dan kompleks tidak mungkin diselesaikan secara serta-merta dan sekaligus. Penyelesaian hanya mungkin terjadi jika secara bertahap dan bersama kita mau mencurahkan pikiran dan tenaga untuk melakukan ’pekerjaan rumah’ dengan tekun membangun industri penerbitan buku nasional yang sehat di masa mendatang," kata Ketua Ikatan Penerbit Indonesia DKI Jakarta Lucya Andam Dewi pada pembukaan Pameran Buku Islam (Islam Book Fair, IBF) Ke-6 di Jakarta, Sabtu (3/3).

Lucya mencontohkan beberapa kegiatan yang bisa mendorong semakin besar kecintaan masyarakat terhadap buku bacaan. Di antaranya promosi dan penjualan bersama, pemberian penghargaan kepada pribadi yang memiliki peran besar terhadap peningkatan minat baca dan penulisan atau penerbitan buku-buku berkualitas, serta lomba penulisan bagi pelajar, mahasiswa, atau masyarakat. Pada gilirannya, upaya itu berdampak pada perkembangan ekonomi usaha penerbitan.

Pameran buku-buku Islam yang diikuti 112 penerbit itu berlangsung hingga 11 Maret mendatang. Pameran bertema "Indahnya Syariah dalam Kehidupan" ini secara resmi dibuka Ny Mufidah Jusuf Kalla, istri Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dengan menabuhkan rebana.

"Pameran seperti ini perlu juga dilakukan di daerah-daerah di seluruh Indonesia karena manfaatnya baik bagi kemajuan bangsa dan meningkatkan keimanan lewat bacaan buku-buku agama," ujar Mufidah.

Tatang T Sundesyah, Ketua Panitia IBF 2007, mengatakan bahwa peserta pameran kali ini meningkat dari tahun sebelumnya. Kenyataan ini bukan saja menunjukkan acara seperti ini mendapat sambutan masyarakat perbukuan dan di luar perbukuan, penerbit yang menerbitkan buku-buku Islam juga bertambah.

Selama pameran akan digelar beragam acara bedah buku dan talkshow yang menampilkan artis dan ustadz ternama. Selain itu, ada final lomba cerdas-cermat dan konser musik Islami. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 05 Maret 2007