Monday, April 07, 2008

Teropong: Dari Amoghapasa sampai ke Adityawarman

KETIKA Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Krtanegara (1266-1292) hendak memberikan hadiah berupa patung Amoghapasa ke Kerajaan Malayu sekitar tahun 1286, Dharmasraya dipilih sebagai tempat untuk meletakkan Amoghapasa.

Raja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, Raja Malayu ketika itu, menyambut Amoghapasa dengan gembira. Kegembiraan raja dan rakyat dipahatkan dalam Prasasti Dharmasraya tahun 1286.

”Semua penduduk dari empat kasta, Arya, Brahmana, Waisya, dan Sudra, bersukacita menyambut kedatangan (dan pendirian) Arca Amoghapasa di Dharmasraya.” Begitu kira-kira kegembiraan warga Kerajaan Malayu, seperti dikutip dalam buku Menguak Tabir Dharmasraya yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar.

Dharmasraya tentu tidak dipilih begitu saja sebagai tempat meletakkan Amoghapasa. Ketika itu, Dharmasraya sudah dilihat sebagai sebuah pusat Kerajaan Malayu, yang ramai dan cukup penting.

Masih dari Prasasti Dharmasraya yang berbahasa Jawa Kuna, filolog Uli Kozok menyalin tulisan yang ada di situ: diantuk dari bhumi Jawa ke Swarnnabhumi dipratistha di Dharmasraya. Artinya, patung tersebut dibawa dari Jawa ke Sumatera agar didirikan di Dharmasraya. Prasasti itu kemudian diletakkan di bawah arca Amoghapasa.

Setelah masa kerajaan itu usai, arca Amoghapasa ditemukan di sekitar Candi Rambahan di Dharmasraya oleh seorang kontrolir atau mandor Belanda bernama Van den Bosch. Sedangkan alas Amoghapasa ditemukan di sekitar Candi Padangroco. Sayangnya, arca Amoghapasa tidak bisa lagi dinikmati di tempat aslinya karena benda ini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Perjalanan Amoghapasa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi itu dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu, sekitar akhir abad ke-13. Ekspedisi ini dipimpin pejabat tinggi dari Singasari, antara lain Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrama, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipangkara, dan Rakryan Dmung pu Wira.

Ada sejumlah versi tentang ekspedisi Pamalayu. Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa ekspedisi ini merupakan bentuk penyerangan Singasari pada Kerajaan Malayu. Pendapat yang dipelopori oleh filolog kelahiran Belanda bernama NJ Krom ini sudah lama tergeser oleh pendapat ahli lain.

Para ahli lain, seperti CC Berg, melihat penyerangan itu dilakukan sekitar tahun 1292 atau setelah Singasari berhasil menundukkan Madura yang terletak berhadapan dengan Tuban. Dari pelabuhan di Tuban inilah, utusan Singasari berlayar ke Dharmasraya membawa Amoghapasa.

Istilah Pamalayu kemudian diartikan perjanjian dengan Malayu. Perjanjian ini dibutuhkan Singasari dan Malayu untuk menghadapi serangan pasukan yang dipimpin Kaisar Mongol di Tiongkok, Kubilai Khan.

Seusai menyerahkan arca, Raja Malayu kemudian mengikutkan dua putrinya ke Singasari, Dara Jingga dan Dara Petak. Keduanya menikah dengan pejabat penting di Singasari.

Dara Jingga melahirkan Adityawarman, salah satu raja yang membesarkan Kerajaan Malayu di Sumatera, termasuk Pagaruyung di kelak kemudian hari. Sedangkan, Dara Petak melahirkan Raden Wijaya, yang memerintah Majapahit.

Adityawarman pernah memerintah di Dharmasraya. Salah satu tanda peninggalannya adalah Prasasti Amoghapasa yang dipahat di belakang patung Amoghapasa sekitar tahun 1347. Di situ, ia menyebut dirinya Maharajadirja Adityawarman dan Udayadityawarman. (ART)


Sumber: Kompas, Senin, 7 April 2008

No comments: