Monday, April 28, 2008

Kesusastraan: Karya Banyak, Indonesia Krisis Kritikus Sastra

Semarang, KOMPAS - Munculnya banyak penulis baru, buku baru, dan genre sastra tidak diimbangi dengan perkembangan kritik sastra. Akibatnya, hiruk pikuk dalam dunia sastra tidak mampu membawa sastra ke arah yang lebih maju.

Hal itu terungkap dalam seminar ”Membuka Tabir Dunia dengan Sastra: Telaah Jejak Para Inspirator”, Minggu (27/4) di Auditorium Imam Bardjo, Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, untuk memperingati wafatnya sastrawan pelopor angkatan ’45, Chairil Anwar.

Putu Wijaya, sastrawan serba bisa yang menjadi pembicara, mengatakan, pasca-Chairil Anwar tak ada gelombang besar dalam perkembangan sastra di Indonesia. Seperti Chairil Anwar yang mendobrak sastra dengan memperbarui bahasa, peran-peran pembaru sastra itu sebenarnya juga terlihat dari sosok WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Namun, para pembaru itu ternyata tidak menimbulkan efek besar terhadap dunia sastra.

Menurut dia, hal itu terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup punya wibawa sehingga bisa menjelaskan arah perkembangan sastra. ”Kalau dulu, ada HB Jassin yang menjelaskan karya-karya Chairil. Sesudah HB Jassin, peran kritikus sangat minim. Ruang untuk melakukan kritik sastra juga sangat terbatas,” katanya.

Minimnya peran kritikus sastra juga dikatakan pengajar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Redyanto Noor. Keberadaan para ahli sastra saat ini justru tenggelam di antara para ahli di bidang lain, seperti ahli politik, ahli ekonomi, bahkan ahli olahraga dan kecantikan. Padahal, tugas menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat terhadap karya sastra berada di tangan ahli sastra.

Salah seorang pembicara, Ahmad Tohari, penulis Ronggeng Dukuh Paruk, lebih menyoroti perkembangan sastra termutakhir. Menurut dia, geliat perkembangan sastra ditunjukkan anak muda yang banyak berkarya.

Namun, ia prihatin dengan penggunaan kata-kata gaul dan kata-kata asing, misalnya kata loe, gue, dan try out. ”Padahal, kalau diminta berbahasa asing sebenarnya juga tidak bisa. Rasanya seperti tidak ada rasa tanggung jawab untuk menjaga integritas bahasa Indonesia. Ini arahnya mau ke mana?” ujarnya.

Sementara itu, pada rangkaian Temu Penyair Lima Kota bertema ”Peran Media di Mata Penyair”, 27-29 April 2008, di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, penyair Iyut Fitra menyatakan, kendati media bermunculan, para penyair masih memperhitungkan peran media cetak sebagai penyebar luas karya sastra mereka. Media cetak dinilai mempunyai penyaring karya yang bisa dimuat.

Media internet, menurut Iyut, punya kelebihan dan kekurangan. Penyair bisa memasukkan karya apa pun tanpa ada proses seleksi dan kuota pemuatan karya. Di sisi lain, kemudahan ini melahirkan kritik bahwa karya yang dimuat tidak melalui proses seleksi dari pihak ketiga.

Puluhan penyair dari lima daerah, yakni Bali, Yogyakarta, Bandung, Lampung, dan Sumatera Barat, bertemu pada forum itu guna membahas peran media pada sastra. (A09/ART)

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

No comments: