Showing posts with label wisata. Show all posts
Showing posts with label wisata. Show all posts

Sunday, September 22, 2013

[Jeda] Kisah dalam Secangkir Kopi

MESKI kopi tubruk mungkin mulai tergeser, sebenarnya bukan berarti cara penyajian kopi di Tanah Air kehilangan keunikannya. Di berbagai tempat, kedai-kedai kopi tumbuh. Mereka tidak sekadar menjiplak gaya minum kopi dari Barat, tetapi juga membuat kreativitas dan kisahnya sendiri.

Salah satunya ialah tempat minum kopi di lantai dua Gedung Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Sanata Dharma, Sleman, DIY. Di ruang seluas sekitar 80 meter persegi itu terdapat sebuah meja panjang dengan deretan stoples kopi dan delapan kursi di hadapannya.

Meski ruangan masih cukup untuk belasan bahkan puluhan kursi lainnya, Firmansyah, pemilik tempat ngopi itu, tidak akan menambah 'pasiennya'. Disebut 'pasien' karena begitu memasuki ruangan itu pengunjung memang layaknya menghadap dokter.

Sebelum membuatkan kopi, Firmansyah akan bertanya kepada pembeli tentang kopi yang sehari-hari mereka minum, termasuk rasa kopi yang disukai hingga penyakit yang biasa dirasakan saat minum kopi. “(Minuman) kopi itu personal. Saya harus merekam selera pembeli yang datang karena setiap orang beda-beda. Karakter lambungnya orang beda-beda,” terang pria yang akrab disebut Pepeng itu. Pria 33 tahun itu pun menamakan kedai kopinya sebagai Klinik Kopi.

Setelah mendapatkan gambaran selera dan kondisi tubuh pembeli, Pepeng akan meracik menggunakan berbagai jenis kopi Nusantara, seperti gayo, temanggung, kintamani, hingga wamena. Bubuk kopi dimasak dengan alat modern yang sekaligus memisahkan ampas kopi.

Pepeng menyajikan seluruh kopinya tanpa gula. “Kopi dan gula memperberat kerja ginjal. Bayangkan, dalam segelas kopi, ada kopi dan gula, kemudian diminum ginjal akan bekerja sekitar tiga kali lipat hanya untuk mencerna kopi dan gula,” terangnya memberikan alasan.

Layaknya dokter, Pepeng juga dikenal jitu membuat 'resep' kopi bagi pasiennya. Hal itu dialami pula oleh Dani, yang pada awalnya datang hanya untuk melihat. Ayah satu anak itu menghindari kopi karena selalu merasa mulas jika meminum kopi merek apa pun.

Namun, malam itu Pepeng berhasil membujuknya dan membuatkan kopi yang tetap nyaman di perutnya. "Saya sendiri heran kok enggak mulas," ujar Dani.

Tidak hanya jumlah pengunjung yang dibatasi, para 'pasien' itu pun tidak diperkenankan merokok. Cara menikmati kopi ala Pepeng memang layaknya sebuah ritual khusyuk.

Demi menyesap kenikmatan kopi dengan sempurna, pengunjung harus berkonsentrasi pada hidangan di gelas itu. Merokok, membaca, atau aktivitas kongko lainnya seperti yang ada di banyak kedai kopi, bagi Pepeng, justru mengganggu menikmati kopi.

Pepeng baru akan riang hati melayani obrolan tentang kopi. Namun, itu pun hanya berlangsung sekitar 15 menit. Setelah itu, baik kopi telah tandas ataupun tidak ia akan menarik gelas.

Menurutnya, lewat dari 15 menit kopi sudah tidak nikmat. Namun, tampaknya aturan itu juga keharusan mengingat antrean di luar ruangan. Meski baru berdiri Juli, Pepeng dan kisah kopinya sudah cukup dikenal di pecinta kopi Yogyakarta.

Seperti di Yogya, di Kota Banda Aceh juga terdapat kedai kopi dengan penyajian unik. Kedai kopi Solong Coffee yang telah berdiri sejak 1974 terkenal dengan kopi yang disebut Ulee Kareng.

Cara penyajian kopi itu dimulai dengan penyangraian kopi selama 3 jam di atas bara api dari kayu bakar pilihan. Sebelumnya, biji-biji kopi pilihan disimpan terlebih dulu selama empat bulan.

Penyeduhan kopi pun dilakukan dengan cara unik, yakni kopi mendidih dimasukkan ke kain putih yang berfungsi sebagai saringan. Kemudian, sang barista mengangkat tinggi-tinggi sehingga cairan kopi yang menetes dari ujung kain akan tertampung ke dalam gelas hingga mengeluarkan buih berwarna karamel keemasan. Secara tak langsung, teknik itu menghilangkan ampas kopi.

"Teknik ini sudah dipakai sejak dulu. Pernah pakai cara lain, tapi hasilnya berbeda," kata Nurdin, seorang pegawai Solong Coffee, beberapa waktu lalu.

Ketepatan waktu pengangkatan kain dan penuangan kopi ialah hal mutlak sehingga aroma dan rasa tiap kopi tetap terjaga dan sama.

Kopi Ulee Kareng digemari warga biasa hingga pejabat. Saat bencana tsunami melanda Aceh pada 2004, kedai kopi itu pun menjadi tempat berkumpul wartawan dari berbagai penjuru dunia. (AT/Pol/M-4)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013

[Jeda] Meniti Kiblat Kopi Dunia

-- Ardi Teristi Hasrdi
Indonesia punya sederet model untuk menjadi kiblat kopi dunia, di antaranya beragam jenis kopi dan cara penyajian yang khas. Namun, produktivitas kopi Indonesia justru turun.

MEJA-MEJA yang memamerkan beragam biji kopi Nusantara memenuhi pendopo Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Sabtu (14/9). Kopi kintamani bersanding dengan kopi gayo arabika, kopi flores, kopi jawa, kopi lampung, hingga kopi toraja.

Hari itu memang sedang digelar Indonesia Coffee Festival (ICF) 2013. Penyelenggaraan kali ini merupakan yang kedua setelah tahun lalu digelar di Ubud, Bali.

Meski keragaman kopi tetap menjadi daya tarik utama, pengunjung diajak pula bernostalgia pada cara penyajian tradisional, yakni menyeduh bubuk kopi murni bersama dengan gula. Kopi dengan cara penyajian itu dikenal juga sebagai kopi tubruk.

Tuti Mochtar, pakar kopi yang juga pengurus Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, menuturkan bahwa kopi tubruk dikenal di hampir semua daerah di Indonesia. Sayang, seiring berjalannya waktu, gaya minum kopi tersebut digeser dengan keberadaan kopi instan (saset). Terlebih lagi, imbuhnya, kebanyakan orang mengidentikkan kopi tubruk dengan orang lanjut usia.

Padahal, cara minum kopi tersebut sesungguhnya memiliki nilai lebih. "Kopi tubruk lebih baik, lebih sehat karena berasal dari kopi asli, sedangkan kopi saset sudah ditambahi dengan flavour," ujar Tuti.

Untuk mengangkat kopi tubruk lagi, Tuti punya formula tersendiri. Ia ingin memperkenalkan meminum kopi tubruk dengan sedikit gula atau tanpa gula sama sekali, hanya kopi bubuk yang diseduh dengan air panas. Pengurangan penggunaan gula dalam kopi tubruk perlu dilakukan karena dalam makanan sehari-hari sudah mengandung gula.

Direktur Indonesia Coffee Festival Ellyanthi Tambunan juga sependapat tentang nilai lebih kopi tubruk. Menurutnya, mencintai kopi tubruk sesungguhnya bagian dari mencintai produk-produk kopi lokal.

Itu sejurus juga dengan pengakuan pelatih barista Randy Renaldhi. Sebagai seorang pecinta kopi, ia lebih menyukai menyeruput kopi tubruk. Dengan penyajian itu, kesegaran kopi-kopi lokal akan lebih terasa.

Ellyanthi pun berharap dengan diangkat dalam event tersebut, kopi tubruk tidak lagi terpinggirkan, bahkan menjadi gaya hidup masa kini. Dengan menghargai produk lokal, baik kopi maupun penyajiannya, ia berharap Indonesia bahkan bisa menjadi kiblat kopi dunia.

Revitalisasi tanaman kopi

Namun, menjadi kiblat kopi dunia tidak hanya cukup dengan dukungan masyarakat. Produksi dan kualitas kopi dalam negeri menjadi modal utama.

Suripmawardi, peneliti senior Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, menjelaskan bahwa secara kualitas Indonesia boleh berbangga karena memiliki banyak kopi spesial dengan harga di atas harga pasar.

Kopi arabika Indonesia, terangnya, hampir 80% diekspor dengan harga premium. Harga kopi robusta Indonesia juga berada di atas rata-rata harga kopi di pasar London, Inggris. “Secara mutu, kopi Indonesia cukup bagus,“ tukasnya.

Jenis kopi dari berbagai daerah juga terus dikembangkan. Surip mengatakan beberapa produk pengembangan yang sudah dihasilkan adalah Andongsari 1, Andongsari 2 K, Gayo 1 dan Gayo 2, dan Sigarar Utang. Pembinaan petani kopi pun terus dilakukan baik di Papua, Flores, Bali, Jawa Timur, Sumatra Utara, maupun Gayo (Aceh). Pembinaan itu penting karena teknik budi daya, misalnya memangkas kopi secara rutin, akan memengaruhi produktivitas.

Namun, meski banyak upaya telah dilakukan, produksi kopi Indonesia beberapa tahun ini merosot di posisi tiga dunia di bawah Brasil dan Vietnam.

Vietnam sebenarnya terhitung pendatang baru, tetapi bisa merangsek ke jajaran atas berkat umur tanaman yang cukup muda, yakni masih di bawah 10 tahun. Hal sebaliknya terjadi di dalam negeri. Produktivitas merosot karena tanaman yang sudah tua.

Surip mengungkapkan produksi kopi rata-rata nasional sekarang hanya sekitar 750 kilogram per hektare. Padahal, produksi kopi di Sumatra pada 1900-an pernah mencapai 3-4 ton per hektare.

Menurutnya, usia tanaman kopi jika dipelihara dengan baik bisa bertahan hingga 30 tahun. Namun, apabila pemeliharaannya tidak bagus, imbuhnya, tanaman kopi hanya berproduksi dengan baik hingga 15 tahun.

Selain usia tanaman, hasil produksi tanaman kopi dipengaruhi ketuaan tanah. Tanah di Indonesia sudah ditanami kopi selama 300-400 tahun lebih. Lahan pun semakin jenuh lantaran hanya dipakai perkebunan monokultur.

Mendesaknya revitalisasi tanaman kopi juga diungkapkan Ketua Umum Gabungan Eksportir Kopi Indonesia-Indonesia Coffee Exporters Association (GAEKI-ICEA) Hutama Sugandhi. Menurutnya, pertumbuhan konsumsi kopi di dunia lebih cepat jika dibandingkan dengan produksi kopi.

Tingginya pertumbuhan tersebut tidak lepas dari perubahan budaya pola minum kopi dari sistem konvensional ke pola modern (espresso). Dengan perubahan pola minum kopi tersebut, kebutuhan kopi meningkat dari 8 gram per cangkir menjadi 15 gram per cangkir.

Menurunnya produktivitas kopi Indonesia diakui Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan yang hadir dalam pembukaan festival. Mulai tahun ini, imbuhnya, pihaknya menyosialisasikan dan melaksanakan revitalisasi tanaman kopi.

Namun, merevitalisasi menyeluruh tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah. Dengan keterbatasan anggaran revitalisasi, ia mengaku mengandalkan perusahaan-perusahaan besar. (M-4)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013

[Jeda] Mengangkat Gengsi Kopi Tradisional

SEBUAH warung angkringan di utara Stasiun Tugu, Yogyakarta semakin malam kian ramai. Salah satu pelayan tampak membawa baki berisi beberapa gelas kopi hitam.

Namun tidak seperti kopi biasa, dalam hitamnya air menyembul arang yang membara. Ketika pertama arang dicelupkan, air kopi bergolak dan keluarlah suara 'josss'. Suara khas ini pula yang menjadi cikal nama kopi itu.

Kobar, pengelola angkringan Lik Man itu, menjelaskan bahwa Kopi Joss sudah ada sejak era 70-an. Ketika itu Lik Man, ayah mertuanya, kedatangan pembeli yang meminta segelas kopi yang dimasak dalam kaleng susu agar kopi benar matang.

Tidak punya kaleng susu, Lik Man memutar otak. "Kopi dikasih mowo (arang yang membara) biar matang," ujar Kobar, Sabtu (14/9). Tak disangka, inovasi dadakan itu berhasil hingga cerita Kopi Joss pun menyebar dan terkenal hingga sekarang.

Bukan hanya Kopi Joss, Indonesia juga memiliki ragam penyajian kopi tradisional lainnya. Di Toraja terdapat cara memasak kopi di dalam batang bambu.

Biji kopi yang sudah disangrai, dimasukkan ke bambu bersama daun kopi dan dimasak selama 15 menit. Setelah matang, kopi dihidangkan di gelas yang juga terbuat dari bambu.

Penyajian kopi tradisional lainnya dan yang jamak hingga kini ialah kopi tubruk. Menyajikan kopi ini mudah saja, yakni dengan mendidihkan atau menyeduh bubuk kopi murni bersama gula.

Mengangkat lagi penyajian kopi tradisional kini menjadi tekad komunitas pecinta kopi. Selain menonjolkan cita rasa asli kopi, penyajian tradisional, terutama kopi tubruk, dinilai lebih sehat ketimbang kopi instan.     (AT/M-4)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013

Sunday, September 15, 2013

[Pariwisata] Sail Komodo, Ikon Baru Pariwisata Indonesia

SUARA sirene membahana di kawasan Pantai Petde, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), kemarin.

Penekanan tombol sirene oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menjadi penanda peresmian acara puncak Sail Komodo 2013 yang diramaikan parade seni, aksi 54 peterjun payung, sailing pass 21 kapal perang, 7 kapal pemerintah, yacht rally 22 negara, parade 5 kapal besar, dan atraksi heli water jump.

Event yang mengusung tema besar Jembatan emas menuju Nusa Tenggara Timur menjadi destinasi utama pariwisata dunia tersebut berlangsung pada 9-15 September.

“Indonesia kaya destinasi pariwisata yang sangat memesona. NTT tidak hanya kaya akan kekayaan laut, khususnya komodo. Kita ingin NTT menjadi pintu gerbang selatan pembangunan Indonesia dan pintu pariwisata dunia, menjadi ikon baru pariwisata di Indonesia Tengah,” kata SBY.

Sehari sebelumnya, SBY dan beberapa menteri mengunjungi Pulau Komodo. Dalam kesempatan itu, Presiden menyaksikan atraksi komodo berebut makanan, menanam pohon, dan meresmikan komodo sebagai salah satu keajaiban alam dunia, New Seven Wonder.

“Dengan budaya eksotis dan komodo sebagai binatang purba yang tersisa, NTT pasti mampu menjadi magnet penarik turis,” ujar Kepala Negara.

Pelaksanaan yacht rally kali ini diikuti peserta dari 22 negara, antara lain Australia, Prancis, Afrika Selatan, Belanda, Inggris, Jerman, AS, dan Selandia Baru. Jika pada event Sail Morotai 2012, jumlah yacht yang menetap mencapai 130, kali ini hanya 57 yacht. Banyak faktor yang memengaruhi, yaitu kondisi perekonomian dunia dan operator.

Menko Kesra Agung Laksono mengatakan pelaksanaan Sail Indonesia 2014 akan mengambil tempat di Kabupaten Raja  Ampat, Papua Barat. Pemerintah menamai event tersebut Sail Raja Ampat. (Sky/PO/X-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 September 2013

Thursday, December 01, 2011

Jangan Sampai Sejarah Indonesia Lebih Dikenal Orang Asing

-- Jimmy Hitipeuw

KOMPAS.com — Pesan dari judul di atas bisa dianggap berlebihan, tetapi justru hal ini yang terjadi saat sejumlah warga asing lebih peduli terhadap sejarah maupun kebudayaan Indonesia. Indikator sederhana yang bisa dijadikan contoh, di antaranya, masih minimnya jumlah pengunjung museum di Indonesia.

Salah satu potret yang mengabadikan pertemuan Soekarno dengan pelukis Belgia, Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres (pojok kanan) terpajang di salah satu bagian dinding Museum Pasifika (KOMPAS.com/JIMMY HITIPEUW)

Jumlah pengunjung museum setiap tahunnya masih di bawah 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya. Pemerintah sampai menetapkan Tahun Kunjung Museum 2010 setelah jumlah pengunjung museum dari tahun ke tahun mengalami penurunan seperti tercatat pada 2006 jumlah pengunjung sebesar 4,56 juta dan terus menyusut menjadi 4,17 juta pada 2008.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan rendahnya jumlah pengunjung museum di Indonesia, mulai dari rendahnya apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan kebudayaan hingga pilihan masyarakat yang lebih besar dijatuhkan pada liburan di pusat keramaian, seperti tempat hiburan dan pusat perbelanjaan ketimbang di museum.

"Kaum muda lebih memilih tempat hiburan ataupun pusat perbelanjaan untuk menghabiskan masa liburan daripada datang ke museum," seperti diakui Reni Susanti Radi, Sales & Marketing Director Museum Pasifika, dalam wawancara melalui telepon dengan Kompas.com, akhir pekan lalu.

Padahal, menurut Reni, museum merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan wawasan mereka. Bahkan, Reni menambahkan, Indonesia dikenal luas di sejumlah negara lain karena kekayaan kebudayaan dan sejarahnya.

Reni mencontohkan museum seni Pasifika, tempat ia berprofesi, lebih dikenal di luar negeri ketimbang di dalam negeri. "Sejak pertama kali dibuka, Perdana Menteri Singapura dan para tamu negara menyempatkan diri untuk melihat museum ini," kenang Reni saat museum yang terletak di BTDC Area, Blok P Nusa Dua, Bali, itu dibuka 5 tahun lalu.

Dari Museum Pasifika yang didirikan oleh warga Perancis, Philippe Augier, itu, pengunjung akan melihat fakta sejarah bahwa popularitas Indonesia di mata dunia terbentuk, di antaranya, melalui campur tangan sejumlah seniman asing, seperti Miguel Covarrubias. Sejarawan, ilustrator, kartunis, etnolog, dan seniman asal Meksiko ini melambungkan citra Bali di New York pada tahun 1930-an lewat buku yang ditulisnya, Island of Bali.

Miguel bersama istrinya Rossa saat itu juga memproduksi film dokumenter yang menggambarkan Bali pada tahun 1930-an. Buku dan film dokumenter ini banyak menginspirasi para pengunjung dan seniman asing saat itu untuk mengunjungi Bali dengan keunikan seni budayanya.

Masih ada banyak lagi warga asing yang memopulerkan Indonesia, khususnya Bali, lewat apresiasi seni dan budaya pada masa lalu, seperti pelukis asal Belgia, Adrien Jean Le Mayeur; seniman asal Australia, Donald Friend; serta Gabrielle Ferrand, seniman dan wartawan Perancis yang berkeliling Nusantara pada awal tahun 1920.

Reni menilai kesadaran akan nilai seni dan budaya telah menumbuhkan apresiasi warga asing terhadap keberadaan museum di Indonesia. Beranjak dari masalah ini pula, Reni menuturkan, nilai seni dan budaya yang ditawarkan museum di Indonesia seakan kurang terangkat publikasinya karena masih banyak wartawan yang belum mengerti akan nilai-nilai ini.

"Masih banyak kaum muda yang tidak mengenai seni. Padahal, seni bisa mengharumkan nama bangsa.... Mereka justru lebih mengenal artis sinetron. Kalau ke Bali, mereka tentu lebih sibuk dengan water sports atau belanja kaus," jelas Reni saat mendeskripsikan masih rendahnya animo masyarakat, terutama kaum muda, untuk berkunjung ke museum.

Sumber: Travel, Kompas.com, Kamis, 1 Desember 2011

Saturday, November 05, 2011

Ekonomi Kreatif, Siapa Peduli?

-- Inno Jemabut/Ellen Piri/Faisal Rachman/Stevani Elisabeth/Danang J Murdono

PEROMBAKAN Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif boleh jadi menunjukkan tekad pemerintah untuk lebih menggerakkan sektor ekonomi kreatif. Sektor ini digadang-gadang bisa menopang perekonomian negeri. Bisakah?

Mengembangkan sektor ekonomi kreatif gampang-gampang susah. Pemerintah membutuhkan dana Rp 10 triliun untuk mengembangkan sektor ekonomi kreatif.

Sektor ekonomi kreatif di dunia saat ini tumbuh dengan pesat seperti tercermin dari nilai ekonomi kreatif global yang diperkirakan dengan tingkat pertumbuhan 5 persen per tahun akan berkembang dari US$ 2,2 triliun pada Januari 2000 menjadi US$ 6,1 triliun pada 2020.

Di Indonesia, industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu. Pemanfaatan untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi serta daya cipta individu tersebut. Fokus pemerintah terhadap industri kreatif baru dimulai tahun 2006.

Sedikitnya terdapat 15 subsektor ekonomi kreatif, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fashion; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan.

Kurang Dilirik

Industri fashion muslim sebagai bagian dari sektor ekonomi kreatif belum banyak dilirik termasuk oleh pemerintah maupun kalangan perbankan. Dukungan pemerintah saat ini diakui masih belum maksimal kalau tak bisa dikatakan minim.

“Bujet yang digelontorkan besar, tapi masih sebatas untuk meningkatkan capacity building (meningkatkan kemampuan untuk mencipta kreasi-red). Padahal, yang dibutuhkan lebih dari itu,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Kreatif Islami Indonesia, Eka Shanty kepada SH, Jumat (4/11).

Industri fashion muslim, kata dia, lebih membutuhkan dukungan terutama untuk keberlangsungan bahan baku (material) dan dukungan dari aturan-aturan yang memihak industri. “Banyak material yang bagus justru diekspor ke luar negeri seperti Thailand. Ironisnya kita justru harus ambil lagi dari Thailand,” tuturnya.

Karena itu, dia meminta pemeritah membangun kembali industri tekstil di Indonesia. Pemerintah juga diharapkan bisa membangun klaster-klaster industri pendukung fashion di berbagai daerah. “Insentif dari peraturan itu yang kami tunggu,” serunya.

Deputi Menko Perekonomian bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi mengatakan, banyak aturan yang dibutuhkan untuk mendukung industri kreatif seperti fashion muslim. Namun, masih banyak kendala yang harus dihadapi pemerintah seperti sinkronisasi aturan soal pengurangan pajak (tax deduction) sampai untuk industri pendukung fashion syariah.

“Di industri fashion muslim kan banyak juga industri pendukungnya seperti industri kosmetik. Harusnya mereka bisa mendapatkan pengurangan pajak karena mengusahakan bahan baku lokal. Tapi ya itu, permenkeu (peraturan menteri keuangan–red) belum bisa keluar,” tuturnya.

Untuk pembiayaan sendiri, lanjutnya, selama ini banyak pengusaha fashion dan desainer yang harus mengandalkan kemampuannya sendiri lantaran banyak perbankan syariah yang belum mempercayai industri fashion muslim. Industri fashion yang senapas dengan filosofi perbankan syariah justru belum mendapat tempat. ”Mereka beralasan fashion itu gampang out of date,” katanya.

Untungnya belakangan, melihat potensinya yang besar sudah ada beberapa bank syariah yang mau membiayai pengusaha fashion. Hal ini menurutnya tak terlepas juga dari usaha pelaku pasar yang meminta dukungan pemerintah untuk mengatasi pembiayaan.

Selain tidak dilirik, sektor kreatif juga diadang sejumlah kendala pembiayaan terutama dari perbankan yang kadang rumit dan terkesan menutup diri dari sektor ekonomi kreatif. Selain itu, soal hak cipta yang terkait dengan maraknya pembajakan karya serta perlunya peningkatan kemampuan sumber daya manusia.

Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Putra Indonesia (HIPPI) Yockie M Hutagalung kepada SH mengatakan, yang dibutuhkan pelaku ekonomi kreatif saat ini adalah kebijakan pemerintah yang konsisten.

Sebagai contoh, kebijakan menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, dalam kenyataannya untuk mendapatkan KUR, tidak saja dengan cara yang cukup sulit, tetapi juga bunganya masih terlalu besar. Bunga KUR yang mencapai 22 persen per tahun lebih tinggi dari bunga bank biasanya.

Idealnya, pelaku ekonomi kreatif menjadi pengusaha primer, sebagaimana halnya dengan nelayan, petani, dan peternak. Karena itu, bunga KUR bagi pengusaha primer tidak boleh lebih dari 5 persen per tahun.

Lain lagi menurut Ketua Umum Kerukunan Usaha Kecil Menengah Indonesia (KUKMI) Azwir Dainy Tara. Ia mengatakan bunga pinjaman bagi pelaku ekonomi kreatif kita kalah jauh dari yang diterapkan di negara-negara lain. Di China bunga bank untuk pelaku UMKM hanya 2 persen.

Pelaku ekonomi kreatif, secara umum adalah kelas menengah ke bawah. Karena itu, tidak masuk akal jika kepada mereka dibebankan bunga bank lebih besar, sementara pengusaha besar selain mendapat bunga pinjaman lebih rendah, juga sejumlah fasilitas istimewa lainnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR Rully Chaerul Azwar mengharapkan hasil ekonomi kreatif dapat mewakili kreativitas masyarakat. Dampaknya, tidak saja mengangkat kreativitas masyarakat setempat ke dunia yang lebih luas, tetapi juga ada efek ekonomi.

Anggota Komisi VI DPR Erick Satrya Wardana mengatakan seharusnya dengan adanya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maka kreativitas masyarakat ke depan lebih dihargai lagi. “Orang kreatif di Indonesia banyak, tetapi perlindungan terhadap hasil kreasi sangat minim,” kata Erick.

Pembajakan hak cipta sangat tinggi di Indonesia, tak terkecuali hak cipta seni. Kondisi ini tak bisa dibiarkan mengingat hak cipta adalah aset negara. Karena itu, pemerintah berkewajiban mem-back up, tidak saja mencari keuntungan dari pajak penjualan barang. “Tugas negara memfasilitasi agar imajinasi kreatif yang melahirkan ekonomi kreatif terus tumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Pemerintah juga perlu membantu promosi dan pendanaan dengan cara mudah dan efektif. Banyak ekonomi kreatif, seperti yang dikerjakan pelaku UMKM tidak maksimal berkembang karena masalah pendanaan dan promosi.

Tidak banyak bank yang percaya pada pelaku ekonomi kreatif dengan alasan tidak memiliki hak cipta. “Artinya kalau hak cipta dibenahi, mereka memiliki peluang untuk berkembang lebih maju,” ujarnya.

Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saedah mengemukakan, hingga saat ini, belum ada batasan-batasan dari ekonomi kreatif.

Definisi ekonomi kreatif masih terlalu luas sehingga mencakup semua aspek kegiatan ekonomi, bahkan terfokus pada kegiatan perdagangan. Bahkan, pemerintah pernah menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Program dan perumusan ekonomi kreatif dibikin sejak 2008.

Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdul Wahab Bangkona kepada SH seusai membuka workshop “Harmonisasi dan Penguatan Peraturan Daerah Bidang Pelatihan dan Produktivitas” di Surabaya, Kamis (3/11) malam mengatakan, Balai Latihan Kerja (BLK) sebenarnya bisa digunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan jumlah pelaku ekonomi kreatif di Tanah Air.

”Dulu, BLK-BLK tertentu memang biasa digunakan untuk melatih siswa mengembangkan ekonomi kreatif seperti mengolah logam dan kayu menjadi ukiran bernilai seni tinggi serta menenun kain. Nah, kini program tersebut akan kami galakkan lagi. Pelatihan bidang kewirausahaan akan diarahkan ke ekonomi kreatif,” katanya.

Hanya saja, lanjut Abdul Wahab, upaya ini bukan tanpa kendala. ”BLK selama ini kekurangan tenaga instruktur, termasuk instruktur untuk ekonomi kreatif,” tuturnya.

Komik “Si Hebring”

Salah satu perusahaan BUMN yang mampu mengembangkan ekonomi kreatif kreasi anak bangsa adalah PT Telekomunikasi Indonesia. Perusahaan ini menjadi salah satu trendsetter melalui Indigo Fellowship yang meluncurkan komik digital.

Langkah Telkom ini menjadi salah satu bentuk dukungan berkelanjutan bagi industri kreatif di Tanah Air. Telkom meluncurkan satu konten baru dan unik bagi pelanggan Telkom Speedy berupa komik Si Hebring versi cetak dan digital.

Komik Hebring menjadi salah hasil karya anak bangsa yang lahir di tengah gempuran komik asing serta demam superhero yang melanda masyarakat di Indonesia. Harus diakui, karya anak bangsa terlahir dari pemikiran-pemikiran yang juga brilian. Di sinilah ide dan kreativitas bisa dituangkan dengan penuh totalitas sehingga berkualitas dan pada akhirnya dapat dikomersialkan.

Sebagai penyedia layanan jasa internet cepat di Indonesia, Telkom menyadari internet yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat membutuhkan banyak konten yang sehat, positif, dan aman dikonsumsi semua usia. Oleh karena itu, kehadiran komik digital Si Hebring ini cukup menjadi oase bagi masyarakat pencinta internet maupun komik.

Tokoh Hebring digambarkan sebagai superhero yang berasal dari Tasikmalaya dan merupakan bagian dari kehidupan di masyarakat dengan berbagai konflik yang umum terjadi. Komik Si Hebring dikemas secara kocak dan mudah dipahami, bersahabat, mudah dicintai dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Keberhasilan PT Telekomunikasi Indonesia dalam menciptakan Komik Hebring setidaknya menggambarkan kian marak kaum muda yang terjun dalam bisnis teknologi, media dan telekomunikasi (TIK), di mana melalui ide kreatifnya, menjadi pengusaha berbasis TIK (Teknoprenuer).

Nilai pasar industri kreatif berbasis TIK ini sulit dihitung. Namun, jika dilihat dari tiga sektor yang mendominasi pasar, yakni musik, game, dan SMS Premium, nilainya cukup menggiurkan hingga Rp 8,96 triliun.

Pemerintah dan operator telekomunikasi pun mulai menyadari potensi besar yang belum tergarap maksimal ini. Akan tetapi, permodalan dan akses ke pasar selalu menjadi kendala yang dihadapi para teknoprenuer atau perusahaan start up.

Direktur Teknologi Informasi Telkom Indra Utoyo mengungkapkan, perusahaan start up yang telah diinkubasi melalui program Indigo sebanyak 25 di mana sekitar lima inovasi telah berhasil dikomersialkan.

Dalam memberikan bantuan dana yang dianggap sebagai modal benih (seed capital) berjumlah sekitar Rp 50-500 juta. Selain itu ada bantuan dalam bentuk natura misalnya pemberian training, coaching, dan fasilitas infrastruktur produksi dan distribusi.

Presiden Direktur Bakrie Telecom Anindya N Bakrie mengungkapkan, pihaknya menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk membina sekitar 20-30 perusahaan start up melalui Nusantara Incubation Fund.

“Kreativitas teknologi di Indonesia luar biasa. Sayang, ide dan kreativitas itu tidak bisa dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman dana lewat perbankan. Inilah alasan diluncurkannya Nusantara Incubation Fund,” katanya.

Praktisi telematika Andy Zain menuturkan, problem mendasar yang menghambat para teknoprenuer adalah tidak ada dana, salah memilih pasar, serta tidak bisa me-monetize produk.

Praktisi konten Gunarto mengungkapkan, dana yang dianggarkan oleh modal ventura milik para operator masih kecil untuk mengembangkan para teknoprenuer. ”Di bisnis ini banyak anomali. Kadang ide saja sudah dihargai mahal, sedangkan yang sudah eksis malah kembang kempis mempertahankan bisnis,” katanya.

Ia menambahkan, terjadi banyak ironi di dunia kreatif Indonesia di mana para kreator karena tidak sabar mengembangkan produknya berujung hanya menjadi tukang jahit alias membuat program sesuai pesanan dari pemodal besar.

”Umumnya para kreator tidak sabar dan senang dengan uang yang didapat sesaat, tetapi melupakan potensi keuntungan besar yang bisa diterima di masa depan. Di sinilah dibutuhkan para mentor untuk memberikan pengertian cara berbisnis yang benar,” ujarnya. (CR-27)


Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 5 November 2011

Thursday, October 20, 2011

Hubungan Pariwisata dengan Ekonomi Kreatif

-- kadek

JAKARTA, KOMPAS.com — Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perubahan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, banyak pihak bertanya-tanya apa hubungan antara "pariwisata" dan "ekonomi kreatif".

Wisatawan memadati lorong Pasar Beringharjo Yogyakarta, untuk berburu oleh-oleh baju batik. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

"Pariwisata dan ekonomi kreatif memiliki kaitan erat," demikian tutur Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu saat acara serah terima jabatan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Rabu (19/10/2011).

"Untuk wisatawan yang datang ke sini, wisatawan dari dalam atau luar negeri. Setiap wisatawan beli satu saja oleh-oleh, bayangkan berapa oleh-oleh yang tercipta," ungkapnya.

Ia menjelaskan, dari jumlah kunjungan wisatawan asing sekitar 7 juta dan pergerakan wisatawan domestik sekitar 100 juta, hal ini berarti jika satu wisatawan membeli satu oleh-oleh, maka ada lebih dari 100 juta yang tercipta.

"Ekonomi kreatif, potensi ekonominya luar biasa. Input utama untuk hasilkan ekonomi kreatif adalah ide dan kemampuan berpikir, tidak akan terhabiskan," jelasnya.

Walau begitu, ia mengakui ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, misalnya perlindungan hak haki dan lingkungan yang baik agar inovasi dapat berkembang.

Selain itu, Mari menyebutkan ekonomi kreatif menyumbang 7,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan 7,5 persen pada angkatan kerja.

"Namun, ekonomi kreatif kita masih kalah jauh dari Singapura, Malaysia, dan Tiongkok," ungkapnya.

Sementara itu di kesempatan yang sama, sebagai mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik mengharapkan beberapa program yang sudah berjalan untuk terus dijalankan.

"Saya minta kepada Ibu Menteri, program tersebut dijalankan. Ini bukan intervensi, tapi harapan," katanya.

Salah satu program yang ia maksud adalah Taman Majapahit di Trowulan, Jawa Timur. Taman Majapahit dirancang sebagai pelestarian kawasan arkeologi sisa-sisa Kerajaan Majapahit dan juga dikembangkan sebagai wisata sejarah.

Rencana lainnya, lanjut Jero, adalah Museum Pariwisata. Ia menjelaskan, di museum tersebut akan berisi mengenai sejarah pariwisata Indonesia. Dengan demikian, tambahnya, pengunjung dapat melihat perkembangan pasang surut pariwisata Indonesia. Dalam salah satu bagian dari museum akan terdapat ruangan para menteri.

"Termasuk ada ruang Jero Wacik di sana," tutur Jero sambil tertawa.

Program lainnya yang Jero harapkan dapat terus berjalan adalah branding "Wonderful Indonesia". Selain itu, ia berharap gagasan pemerataan pembangunan akan terus berjalan, seperti pembangunan bandara baru di Bali bagian utara dan kereta api wisata di Pulau Bali.

Program lainnya adalah pemugaran Candi Muarajambi di Jambi, menjadikan Belitung sebagai destinasi wisata internasional, dan perkembangan film Indonesia. Serta usaha untuk geopark Raja Ampat, Danau Toba, Pacitan, Gunung Batur yang diajukan ke UNESCO agar diakui sebagai warisan dunia. Jero menambahkan, program lainnya adalah mempromosikan Lombok, apalagi dengan adanya bandara baru, yaitu Bandara Internasional Lombok.

"Bandara akan diresmikan besok," kata Jero.

Peresmian Bandara Internasional Lombok pada Kamis (20/10/2011) menjadi agenda kerja pertama bagi Mari Elka Pangestu sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Rencananya bandara baru tersebut akan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sumber: Travel Kompas.com, Kamis, 20 Oktober 2011

Saturday, April 16, 2011

[Tanah Air] Hidup Mereka Bertumpu di Rawa Biru

-- Erwin Edhi Prasetya dan Timbuktu Harthana

DITEMANI sekawanan anjing, Thomas Sanggra (20) bersama empat rekannya berjalan menuju Rawa Biru, Kawasan Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua. Menyusuri pepohonan bus, Melaleuca sp, mereka siap-siap berburu dengan panah dan tombak.

Warga Rawa Biru, Merauke, Papua, Minggu (10/4), menarik busur panah saat berburu di sebuah kawasan hutan yang terletak tidak jauh dari garis perbatasan negara RI-Papua Niugini. (KOMPAS/EDDY HASBY)

”Kami mau tangkap saham (kanguru). Nanti sore kami juga sudah kembali dan pasti sudah dapat satu saham,” ujar Thomas mengawali kegiatan berburu, Sabtu (9/4).

Bagi Thomas dan komunitas suku Marind, kawasan Rawa Biru adalah savana kehidupan. Di hamparan rawa seluas sekitar 4.000 hektar, suku Kanum, subsuku Marind, di Kabupaten Merauke, Papua, itu menggantungkan hidup. Berburu dan meramu dilakoni saban hari oleh empat keluarga besar (marga) yang menetap di kampung yang terletak di kawasan Taman Nasional Wasur, yakni marga Dimar, Banggu, Maiwa, dan Sanggra.

Kehidupan berburu memang kental di Kampung Rawa Biru yang dihuni sekitar 60 keluarga atau 248 jiwa suku Kanum. Para pria dewasa, bahkan anak laki-laki usia SD, berburu hewan di setiap waktu.

Hamparan savana, rawa, dan pepohonan bus merupakan habitat bagi kanguru tanah, kanguru lapang, rusa, babi, ikan, dan buaya.

Sejak kecil, anak-anak suku Kanum sudah diakrabkan dengan ”kemurahan” alam. Oleh orang tua mereka, anak-anak itu diajari cara menghidupi diri lewat berburu ataupun meramu.

Antonius Dimar (19) belajar berburu saham sejak umur 9 tahun. Sejak usia bocah, ia telah mahir menyergap rusa dan kanguru dengan sekali melepaskan anak panah dari busurnya atau sekali melemparkan tombak.

Tradisi setempat mewajibkan seorang ayah untuk mengajak anak laki-lakinya berburu. Sering kali ajakan berburu lebih diminati anak-anak mereka daripada bersekolah. Bolos sekolah sesuatu yang lumrah.

Sementara kaum pria berburu, kaum perempuan bertugas mengurus bayi-balita, serta menokok sagu, dan memasak.

Rupanya, tidak saban hari warga setempat berburu. Biasanya berburu dilakukan setelah jeda 3-4 hari. Pasalnya, selain tempat perburuan kian jauh, jumlah hewan buruan pun makin berkurang. Hewan buruan kian terdesak menjauh dari perkampungan.

Biasanya, sekali berburu, Antonius menempuh perjalanan menggunakan kole-kole (sampan dari kayu pohon bus) menuju lokasi menyusuri rawa. Sekali perjalanan butuh waktu 6 jam.

Mereka sering kali harus tidur di hutan 1-2 malam dengan membawa bekal secukupnya. Jika ingin berburu rusa, malam hari mereka tidur di hutan dan baru keesokan harinya berburu.

Lain lagi jika urusan berburu buaya. Untuk memburu hewan jenis melata ini, mereka menyusuri sungai pada malam hari. Senter adalah alat utama.

Hukum adat

Perburuan oleh warga suku Kanum lebih didorong faktor ekonomi. Buruan tidak semuanya mereka konsumsi sendiri, tetapi mereka jual. Uang dari hasil berburu mereka gunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras, garam, rokok, dan pinang, serta memberikan uang saku kepada anak.

Uang hasil berburu biasanya akan habis dalam 3-4 hari. Jika uang sudah habis, mereka berburu lagi. ”Hanya dari berburu kami bisa dapat uang,” ungkap Markus Dimar (27), warga Kampung Rawa Biru.

Mereka umumnya menjual buruan ke Merauke. Di perkotaan, kulit buaya dijadikan bahan kerajinan yang menghasilkan dompet, tas, dan sepatu. Adapun daging rusa dijadikan dendeng, sate, dan bakso. Harga daging hewan buruan relatif murah. Rusa yang diburu semalaman dihargai Rp 20.000 per kg. Berat bersih daging rusa sekitar 20 kg per ekor, sedangkan kanguru dihargai Rp 30.000 per ekor.

Hasil itu harus dibagi rata sesuai jumlah orang yang berburu, biasanya 2-3 orang. Buaya relatif memiliki harga jual lebih tinggi, sebanding dengan risiko memburunya, tetapi hanya kulitnya yang laku dijual. Daging buaya biasanya dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemburu.

Nicolaus Nek Tjong (66), pengusaha dendeng rusa di Merauke, mengaku kini semakin susah mendapatkan pasokan daging rusa. Padahal, tahun 1990-an, rusa masih bisa ditemukan berkeliaran di tepi kota Merauke. Kini, pemburu harus mencari rusa di pedalaman. Pihaknya pun sekarang lebih banyak dikirimi daging rusa dari pedalaman jauh dari Merauke, seperti Kimam, Kondo, dan perbatasan RI-Papua Niugini.

Karena tidak ingin rusa makin langka, Nek Tjong selektif membeli daging dari pemburu. Hanya daging rusa dewasa yang dibelinya. ”Kami hanya pilih rusa dewasa. Yang masih muda kami tolak,” kata Tjong.

Komunitas suku Kanum pun mulai menyadari langkanya hewan buruan. Menyikapi hal itu, komunitas itu membuat perjanjian bersama. Hanya hewan dewasa yang boleh diburu. Adapun anakannya dibiarkan hidup. Mereka juga menerapkan hukum adat sasi untuk melindungi populasi hewan.

Adat ini melarang berburu atau mengambil komoditas hutan tertentu yang diikrarkan oleh satu marga dalam satu kurun waktu tertentu. Umumnya, sasi berlaku 1-2 tahun dan harus dipatuhi semua marga. Sasi diberlakukan dengan cara memasang patok-patok kayu di wilayah tanah ulayat marga yang berakad.

Masa jeda itu bertujuan memberikan berkesempatan kepada hewan untuk berkembang biak. ”Ini salah satu wujud kearifan lokal masyarakat Marind dalam menjaga kelestarian alam,” kata Dadang Suganda, Kepala Balai Taman Nasional (TN) Wasur.

Pihak Balai TN Wasur sendiri tidak melarang warga asli yang tinggal di dalam kawasan TN Wasur untuk berburu hewan selama itu dilakukan dengan alat-alat tradisional. Apalagi, orang Marind sudah lebih dulu menghuni taman seluas 413.810 hektar itu sebelum TN Wasur terbentuk. Balai TN Wasur melarang perburuan menggunakan senapan. Adang mengakui, meski memang ada penurunan populasi, jumlah rusa dan kanguru di TN Wasur masih terkendali, 1-2 ekor per hektar.

Tumpuan hidup

Selain sebagai ladang protein bagi suku marind di sekitar TN Wasur, Rawa Biru juga menjadi sumber kehidupan bagi 195.176 penduduk Merauke.

Rawa ini merupakan sumber air bersih. Tiap hari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Merauke mengolah 5,2 juta liter air dari rawa itu untuk dialirkan ke rumah-rumah penduduk.

Menurut Kepala PDAM Merauke, Stasiun Rawa Biru, Jimi S Lobo, air bersih itu berasal dari mata air, hujan, dan air laut yang masuk ke rawa.

Begitu pentingnya Rawa Biru, warga melestarikannya dengan sejumlah kesepakatan bersama. Tidak boleh memandikan ternak di rawa. Juga tak boleh membuang sampah di rawa.

Kini warga bahu-membahu membersihkan tumbuhan tebu rawa (Hanguana sp). Akar tumbuhan ini diduga menyerap air dan mengganggu sirkulasinya.

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 April 2011

[Tanah Air] Suku Marind Hidup di Antara Busur dan Pacul

-- Erwin Edhi Prasetya dan Timbuktu Harthana

CORNELIA Mahuze (60) mengaso di pematang sawahnya di Kampung Urumb, Merauke, Papua. Dinaungi bivak dari terpal kusam, ia melepas penat sehabis panen padi. Di belakangnya tertumpuk karung berisi gabah yang siap diangkut ke rumah. Usia senja tak menyurutkan semangat perempuan suku Marind ini untuk bertani.

Anak-anak warga Rawa Biru, Merauke, Papua, bermain kole-kole di rawa desa tersebut, Sabtu (9/4). Daerah ini merupakan perbatasan antara RI dan Papua Niugini. (KOMPAS/EDDY HASBY)

”Saya senang bertani (padi). Anak-anak di sini su pandai bertani,” ujar ibu tujuh anak ini menggambarkan aktivitas keseharian warga Dusun Serapu, Kampung Urumb, Distrik Semangga, Merauke. Ia sendiri sudah melakoni kegiatan bercocok tanam sejak usia 10 tahun.

Siang itu, Minggu (10/4), langit cerah ketika kami berjumpa dengannya di dusun sunyi, sebuah tempat di ujung timur Nusantara. Kami menjangkau dusun ini setelah melintasi sabana serta menembus lebatnya pohon bus dan sela-sela musamus (rumah rayap).

Suku Marind yang mendiami Merauke, pesisir selatan Papua, kini bergelut dengan modernisasi. Tombak, busur, pasak, dan kahanggat (batang bambu yang diruncingkan) perlahan diganti pacul, sekop, dan traktor. Meski demikian, hasrat berburu tetap menyala.

Cornelia bersama 200-an keluarga di Kampung Urumb adalah sebagian warga Marind yang cakap bersawah dan menghasilkan sekitar 1,5 ton beras tiap kali panen. Keluarga Cornelia bertani padi sejak 1962 saat beberapa warga Marind di pesisir pantai hijrah ke daratan. Orangtua mereka belajar bersawah dari transmigran asal Jawa.

Berburu kanguru atau rusa dengan bekal busur dan tombak jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hal itu hanya dilakoni pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat.

Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind Frederikus Gebze menuturkan, transformasi bermula pada awal 1900-an ketika gelombang pendatang masuk Merauke. Kebanyakan pendatang adalah orang Jawa yang dibawa Belanda. Di Merauke mereka dikenal dengan Jamer (Jawa-Merauke).

Pertemuan itu membuat orang Marind—yang umumnya berpostur tegap, tinggi besar, dan berhidung mancung—mulai kenal pertanian padi dan palawija. Lahan persawahan mulai dibuka di sekitar pantai Merauke dan Distrik Kurik. Saat itulah, sekitar 1910, sejumlah warga Marind membuka sawah dan menanam padi. Perkenalan suku Marind dengan sistem pertanian modern berlanjut hingga gelombang transmigrasi tahun 19651995. Pada 1985 pemerintah merelokasi keluarga Marind ke daerah transmigran dan membekali mereka dengan pertanian modern, dari mengolah tanah dengan pacul dan traktor, menabur benih, memupuk, hingga memanen.

Meski transformasi tidak berjalan mulus, suku Marind yang tinggal di sekitar permukiman transmigrasi, seperti Distrik Semangga, Kurik, dan Kumbe, perlahan menyerap kecakapan budidaya. Vincentius Takai Mahuze (43), warga Kampung Urumb, Distrik Semangga, misalnya, bisa mendapatkan 40 karung gabah dari 1 hektar (ha) sawahnya setiap panen. Minimal dia mengantongi Rp 3,6 juta dari penjualan 1,2 ton beras.

Walaupun sudah bertani, budaya meramu, memangkur sagu, menjaring ikan, berburu, dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat

(membuat deretan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), tetap mereka pertahankan. Ini tersisa pada suku Marind yang bermukim di pedalaman hutan dan rawa. Mereka adalah suku Kanum, subsuku Marind yang mendiami Kampung Yanggandur, Torai, Erambu, Sota, dan Rawa Biru di Distrik Sota.

Aktivitas bertani melengkapi keseharian suku Marind asli, yaitu masuk-keluar hutan berburu rusa, babi, buaya, dan kanguru. Hasil buruan dijual ke Merauke tanpa diolah lebih dulu. Oleh warga perkotaan, daging rusa itu diolah sebagai bahan bakso dan dendeng. Merauke adalah penghasil dendeng rusa yang populer.

Menurut Jago Bukit, Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius, Merauke, warga suku Marind tak bisa bertahan dengan meramu dan berburu. Sebab, hutan dan sabana perburuan terdesak dan menciut karena lahan mereka dikapling pengusaha. Sektor pertanian memang menjadi fokus dan unggulan Merauke. Merauke memiliki lahan pertanian potensial 2,5 juta ha dengan lahan basah 1,9 juta ha. Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Merauke menerbitkan 46 izin investasi bidang pertanian meliputi 228.000 ha lahan, termasuk di tanah ulayat. Ironisnya, tanah ulayat sering dilepas dengan harga murah kepada pemilik modal. Banyak tanah ulayat dijual hanya Rp 10 (sepuluh rupiah!) per meter persegi karena iming-iming perusahaan memberi perumahan, pendidikan, dan lapangan kerja.

Sebaliknya, harus dibuka juga fakta, tak semua investor sekadar mencari untung. Mereka eksplisit punya andil menggerakkan perekonomian daerah dan menyerap tenaga kerja. Bayangkan, tanpa investasi dan campur tangan pemodal dari Jakarta—dan masuknya teknologi baru—Merauke tentu sulit sekali berkembang. Susahnya, sebagian warga tidak memiliki ketekunan dan keuletan bertani. Ini wajar karena sekian generasi mereka diberkahi kemurahan alam. Karena itu, seperti kata Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-anim Alberth Gebze Moyuend, sebagian warga meninggalkan sawah mereka karena merasa tak sesuai dengan kultur dan adat. Tercatat lahan sawah yang terbengkalai mencapai 34 persen dari 38.402 ha lahan pertanian di Merauke.

Pastor Andreas Fanumbi Pr, pendamping masyarakat Marind di Distrik Semangga, melihat masyarakat Marind mengalami benturan budaya. Mereka butuh pendampingan untuk bergelut dengan perubahan keadaan dan budaya. Diperlukan pendekatan budaya dan religi dengan melibatkan tiga tungku, yakni pemerintah, masyarakat, dan pihak ketiga. Pendidikan diperlukan.

Bupati Merauke Romanus Mbaraka bertekad melindungi masyarakat Marind. Ia menawarkan konsep penyertaan modal. Tanah adat yang kelak jadi lahan perusahaan dihitung sebagai penyertaan modal....

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 April 2011

Saturday, February 26, 2011

[Tanah Air] Menunggu Kiprah "Pattingalloang" Muda...

-- Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara

ENAM mahasiswa teknik mesin Universitas Hasanuddin bergulat dalam pembuatan robot. Pencapaian mereka sesungguhnya bisa jadi sudah terpikirkan Karaeng Pattingalloang, cendekiawan sekaligus Mangkubumi kerajaan kembar Gowa-Tallo yang menyusuri bumi dengan otaknya, empat abad silam.

Sisa bangunan Benteng Somba Opu di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu peninggalan monumental Kerajaan Gowa, Senin (14/2). (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Syamsuar, Ridwan, Ricky, Muhammad Rahman, Zulkifli, dan Zulfatri telah menghasilkan sejumlah robot, seperti pemadam kebakaran, pengecat, robot berjalan, pengangkut sampah, dan kursi roda otomatis. Seperti Karaeng Pattingalloang yang tak pernah berhenti menyusuri tiap labirin pengetahuan, enam mahasiswa ini memacu diri untuk berkreasi dengan ide-ide baru.

Apa yang dilakukan anak-anak muda ini setidaknya mengajak kita untuk melupakan sejenak aksi demo mahasiswa di Makassar yang belakangan ini mengantar kota berpenduduk 1,5 juta jiwa itu dikenal sebagai kota rusuh. Pada abad ke-18 Belanda memang pernah melabeli Sulawesi—termasuk Makassar (kala itu merupakan wilayah bandar niaga Kerajaan Gowa)— sebagai Pulau Keonaran atau (onrust eiland). Namun, berkat kecemerlangan otak Perdana Menteri Kesultanan Gowa I Mangngadacinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang, label itu terhapuskan.

Pattingalloang yang kemudian bermenantukan Sultan Hasanuddin (Raja Gowa ke-16) sudah berpikir global, dengan bermitra bersama saudagar dari Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, China, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Inggris.

Nirwan Arsuka dalam artikelnya di Kompas (1/1/2000) menggambarkan, abad ke-17 Makassar adalah bandar paling ramai dan kosmopolit di belahan Timur Nusantara. Sejarawan Suryadi Mappangara menimpalinya dengan menyebut Pattingalloang sebagai astronom yang menguasai lima bahasa, yakni Belanda, Portugis, Inggris, dan Spanyol.

Upaya untuk membalik ”stigma” menjadi ”citra” kini marak dilakukan anak-anak Makassar, termasuk dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kehadiran koran digital beralamat www.panyingkul.com, lima tahun silam, menjadi wadah para warga untuk menyajikan dan mengkritisi transformasi budaya Makassar dan daerah sekitarnya, sekaligus menggali nilai kearifan lokal.

Ruang itu direspons baik oleh para penulis lepas yang dengan setia mengirimkan tulisan tentang berbagai situs dan persoalan di Sulawesi Selatan, dari Lapangan Karebosi, sedimentasi di Sungai Jeneberang, minimnya kunjungan di Museum Kota Makassar, hingga aktivitas penenun sutra di Sengkang, Wajo.

Apa yang dilakukaan generasi sekarang seolah menjawab getirnya pemandangan di situs-situs peninggalan Kerajaan Gowa, termasuk di area Benteng Somba Opu yang belakangan menuai kontroversi menyusul pembangunan wahana rekreasi.

Situs peninggalan

Jejak kejayaan Kerajaan Gowa dan bersama 14 benteng lainnya dulu dibangun untuk membentengi kekuatan maritim Kerajaan Gowa. Kini secara fisik hanya Benteng Somba Opu dan Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang masih tersisa. Sisanya, dilibas oleh permukiman penduduk, pabrik, dan pertokoan.

Mereka yang berusaha mengais-ngais masa lalu bisa mengunjungi tempat peristirahatan terakhir para raja di Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan Kompleks Makam Raja-Raja Tallo di Kecamatan Tallo, Kota Makassar.

Petilasan ini tentu tidak lagi mampu menceritakan keberanian para raja mengusir penjajah. Yang ada hanya para penjaga dan pemandu yang berharap bisa memperoleh uang tip dari pengunjung.

Bangunan fisik peradaban memang selalu terancam kehancuran. Karena itu, warisan yang seharusnya dijaga bukan hanya situs bersejarah, tetapi juga spirit dan nilai-nilai. Kerajaan Gowa yang bersekutu dengan Kerajaan Tallo dalam semua pergulatannya adalah cikal bakal generasi yang kini berdiam di sepanjang jazirah selatan Sulawesi.

Tak terurus

Kawasan rumah adat ini berada dalam wilayah Benteng Somba Opu seluas 150 hektar, saat itu selain tidak terurus, juga menuai kontroversi seiring rencana pembangunan wahana rekreasi di sebelah timurnya.

Ide pengembangan kawasan benteng ini sebetulnya sudah muncul sejak era Gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin Pabittei pada tahun 1995. Gubernur yang mantan Rektor Universitas Hasanuddin itu prihatin melihat reruntuhan benteng pertahanan Gowa tersebut tidak lagi ramai dikunjungi.

Kala itu, pembangunan rumah adat, seperti di Taman Mini Indonesia Indah, diharapkan mampu menarik minat wisatawan menuju Benteng Somba Opu. Namun, seiring berjalannya waktu, perawatan rumah diabaikan. Ketika rumah adat melenceng dari fungsi awalnya, benteng pun tak terurus.

Yang kini bisa ”dijual” dari Somba Opu memang hanyalah batu-batu padas yang koyak. Kokohnya dinding di empat penjuru dan menara (bastion) pengintai dihancurkan setelah Kompeni Belanda menancapkan kekuasaannya atas Gowa lewat Perjanjian Bungaya tahun 1667. Gowa telah membuktikan ungkapan ”Jalesveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Berjaya)!

Setelah kejayaan Kerajaan Gowa tersapu waktu, mestinya memang tibalah saatnya anak-anak muda Gowa-Makassar menorehkan sejarah mereka sendiri. Tentunya dalam konteks yang beradab dan bermartabat. Bukan dengan aksi demo menjurus anarkistis yang menodai nama besar cendekiawan Gowa, Karaeng Pattingalloang.

Dalam konteks kebijakan transportasi laut, peran Gowa empat abad silam sebetulnya layak menjadi inspirasi bagi pemerintah pusat. Dulu, tanpa peran negara, Pelabuhan Makassar menyaingi pamor Pelabuhan Singapura. Kini, di tangan negara, pamor itu malah meredup.

Padahal, potensi untuk menyaingi Singapura amat terbuka mengingat lokasi Makassar sangat strategis: berada di poros Asia-Pasifik dan jalur utama pelayaran Nusantara.

Inspirasi dari Gowa mestinya menyadarkan pemerintah mengoptimalkan transportasi laut di negara yang memiliki 17.000 pulau ini.

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

[Tanah Air] Gowa Sudah Lebih Dulu Mendunia

-- Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara

AWAL Februari lalu, eksportir kakao, Dakhri Sanusi (45), masygul melihat pemuatan 1.000 ton kakao siap ekspor ke Malaysia dan Singapura melalui Terminal Peti Kemas Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan. Empat abad silam, bandar niaga Kerajaan Gowa itu ramai disandari pinisi dan kapal Eropa.

Sebanyak 110 kapal lepa-lepa berderet di tepi Pantai Losari, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. Jika dulu Kerajaan Gowa memanfaatkan transportasi laut untuk perdagangan, kini Pemerintah Kota Makassar mengembangkannya untuk kawasan wisata. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)

Geliat Pelabuhan Makassar saat ini boleh jadi gambaran kejayaan Kerajaan Gowa empat abad lampau. Pada pertengahan abad ke-17, Makassar adalah bandar niaga paling ramai di Nusantara. Untuk transaksi rempah-rempah, pelabuhan ini bahkan menjadi kiblat pedagang dari Asia dan Eropa.

Pengiriman kakao dari Pelabuhan Makassar kembali meningkat menyusul memanasnya politik di Pantai Gading, negara produsen kakao terbesar di dunia. Harga kakao di tingkat petani naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 27.000 per kilogram (kg).

Sebagai eksportir, Dakhri harus menjual kakao seharga Rp 31.000 per kg, mengacu harga di bursa efek New York.

Sayangnya, geliat itu tak berbanding lurus dengan pendapatan Dakhri sebagai eksportir hasil bumi. Penyebabnya, ongkos kirim kakao membengkak karena ekspor harus lewat Surabaya.

Dengan keuntungan Rp 4.000 per kg, ia memang meraup laba hingga Rp 10 juta per 2.500 ton kakao. Namun, keuntungannya susut hingga 40 persen karena biaya pengapalan. Pengangkutan kakao dari Makassar ke Surabaya makan ongkos Rp 1,4 juta per kontainer, belum termasuk biaya bongkar muat Rp 600.000 per kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak. Praktis, Dakhri hanya meraih laba bersih Rp 6 juta untuk 2.500 ton kakao. Biaya tambahan hingga Rp 2 juta itu juga berlaku untuk ekspor komoditas lain, seperti jagung, kelapa, ikan laut, kepiting, dan udang—produk utama di kawasan timur Indonesia (KTI).

Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang, berkisah, mekanisme perkulakan yang dicetuskan Perdana Menteri Kesultanan Gowa Karaeng Pattingalloang terus mendongkrak pamor Makassar. Gowa mengumpulkan rempah-rempah dalam jumlah besar dan menjualnya dengan harga murah. Itulah strategi yang ditempuh demi menarik minat pedagang berdatangan.

Kala itu, penjualan rempah-rempah dilakukan dengan sistem subsidi silang agar tetap mendapat laba. Saat rempah-rempah dijual murah, harga komoditas lain sedikit dinaikkan.

Berkat trik dagang tersebut, pamor Makassar di kawasan Asia Tenggara kala itu terus diperhitungkan. Volume perdagangan Makassar (46 juta gulden) melampaui Singapura yang 16 juta gulden (Makassar Abad IX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 2002).

Kebijakan pemerintah

Gowa dan Kerajaan Gowa seolah memberikan pemahaman baru. Abad ke-17 ternyata lebih global karena transaksi dan hubungan dagang langsung dari dan ke jantung Makassar.

Memang, sejak dilengkapi dengan terminal peti kemas pada 2007, pemerintah menetapkan Pelabuhan Makassar juga menjadi pelabuhan ekspor-impor, seperti Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya). Proses bongkar-muat barang yang didukung peralatan memadai beroperasi 24 jam.

Namun, hal itu tak kunjung menarik minat perusahaan pelayaran. Empat tahun terakhir, jumlah kontainer yang diekspor dari Pelabuhan Makassar hanya sekitar 2.000 unit atau 2-3 kapal sebulan. Adapun kontainer yang diimpor hanya 400 unit atau setengah dari total kapasitas kapal pengangkut barang.

Menurut General Manager Terminal Peti Kemas Pelabuhan Makassar Anharuddin Siregar, pemerintah provinsi di KTI perlu mendesak pemerintah pusat untuk mewajibkan ekspor komoditas dilakukan di daerah asal.

Dari segi geografis, ia menilai, Pelabuhan Makassar dan Bitung, Sulawesi Utara, layak menjadi hub, tempat pengumpulan komoditas dari sejumlah daerah di KTI. ”Jika regulasi itu ditetapkan, perusahaan pelayaran mau tidak mau mengubah jadwal pelayaran hingga ada (kapal) yang singgah di Makassar,” ujarnya.

Konsorsium dan swasta

Andai kebijakan itu belum juga mampu menghidupkan Pelabuhan Makassar, ia mengusulkan agar kepala daerah di KTI bergabung membentuk konsorsium perkapalan. Kepemilikan bersama kapal yang beroperasi di KTI akan membuka keran ekspor-impor, sekaligus memperbaiki sistem transportasi laut.

Konsorsium perkapalan diharapkan membuka jalur-jalur pelayaran di KTI yang selama ini belum terlayani, seperti Makassar-Kendari, Makassar-Ternate, Makassar-Bitung, dan Makassar-Jayapura. Perbaikan interkoneksi kepelabuhanan akan mengurangi kesenjangan harga barang di KTI dengan kawasan barat Indonesia.

Dari kacamata Ketua Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Manado-Bitung Noldy Tuerah, perbaikan mekanisme ekspor-impor di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila pengelolaan pelabuhan diberikan kepada swasta. Hal seperti ini sudah diterapkan di Pelabuhan Singapura dan Tanjung Pelepas, Malaysia.

”Biarkan perusahaan pelayaran yang mengatur rute kapal. Mereka pasti akan memilih berlayar ke pelabuhan yang paling efisien sehingga ekspor-impor nantinya tidak terpusat di Jakarta dan Surabaya,” kata Noldy.

Para pelaku usaha berharap, Dewan Pengelola Pelabuhan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dapat segera terbentuk. Lembaga itulah yang kelak berwenang menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada swasta. Kerajaan Gowa sudah melakukan hal itu.

Semestinya pemerintah pusat berkaca pada jejak kejayaan maritim itu....

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

Thursday, February 10, 2011

Tujuh Keajaiban Alam: Kembudpar Gugat Penyelenggara Kontes

Jakarta, Kompas - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menggugat penyelenggara pemilihan Tujuh Keajaiban Alam Baru atau New7Wonders of Nature, NewOpenWorld Corporation. Kembudpar merasa telah memenuhi kewajiban sebagai peserta dan tidak pernah melanggar persetujuan standar partisipasi.

Todung Mulya Lubis dari Kantor Hukum Lubis, Santosa & Maulana selaku kuasa hukum Kembudpar di Jakarta, Rabu (9/2), mengatakan, keputusan penyelenggara kontes yang melarang Kembudpar untuk mempromosikan Pulau Komodo sebagai finalis tujuh keajaiban alam baru dinilai tidak berdasar.

Dalam proses pemilihan itu, Kembudpar pernah menjajaki untuk menjadi tuan rumah pengumuman pemenang Tujuh Keajaiban Alam Baru yang direncanakan pada 11 November 2011. Namun, pemerintah tidak pernah secara resmi mengajukan proposal penawaran (bidding).

”Keikutsertaan Pulau Komodo dalam New7Wonders of Nature seharusnya tidak terpengaruh apakah Kembudpar menjadi penyelenggara pengumuman atau tidak,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, dana untuk menjadi penyelenggara pengumuman kontes ini sebesar 45 juta dollar AS (sekitar Rp 405 miliar). Untuk mengampanyekan Pulau Komodo agar terpilih, Kembudpar telah mengeluarkan Rp 10 miliar untuk promosi selama tiga tahun. (MZW)

Sumber: Kompas, Kamis, 10 Februari 2011

Sunday, December 12, 2010

Laskar yang Mengubah Belitong

-- Ilham Khoiri

BISAKAH karya sastra mengubah masyarakat? Tengok saja Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Novel ”Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata, yang mengisahkan perjuangan anak-anak kampung untuk bersekolah di pulau itu, ternyata bisa memicu kegairahan baru.

Anak-anak sekolah berbaris saat peresmian SD Pelangi di sebuah bukit bekas penambangan timah di Desa Linggang, Kecamatan Gantong, Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, akhir November lalu. (KOMPAS/ILHAM KHOIRI)


Puluhan orang berbondong- bondong mendatangi sebuah bukit bekas penambangan timah di Desa Linggang, Kecamatan Gantong, Kabupaten Belitung Timur. Di situ, ada bangunan sekolah dari kayu yang doyong. Bagian kanannya disangga batang kayu.

Tiba di situ, sudah ada Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini. Ditemani Bupati Belitung Timur Basuri Tjahaja Purnama, menteri membuka selubung kain di teras depan. Terkuaklah papan nama bertuliskan warna-warni: ”SD Laskar Pelangi”.

Ini salah satu puncak Festival Laskar Pelangi, akhir November lalu. Sekolah itu adalah replika dari SD Muhammadiyah, yang diceritakan dalam novel sebagai tempat 10 anak kampung yang dulu berjibaku belajar. Festival ini memang untuk mengukuhkan jejak- jejak perjuangan mereka.

”Dulu, Belitung Timur ini tak dikenal. Setelah muncul novel Laskar Pelangi, apalagi kemudian difilmkan, pulau ini menjadi terkenal,” kata Basuri Tjahaja Purnama.

Bagi masyarakat Pulau Belitong, khususnya Kabupaten Belitung Timur, novel karya Andrea Hirata itu punya tempat istimewa. Lewat karya sastra ini, kawasan itu kian dikenal luas. Masyarakat setempat semakin bergairah dan percaya diri.

Demi memendarkan gairah itu lebih luas, mereka kemudian menggelar Festival Laskar Pelangi yang mempertontonkan rupa-rupa seni budaya lokal. Tujuannya untuk memajukan pendidikan, pariwisata, dan ekonomi rakyat.

Kesadaran pendidikan diperkuat dengan membangun monumen pendidikan, seperti sekolah itu, selain juga mendirikan rumah baca atau perpustakaan umum. Pariwisata diharapkan meningkat bersama pergelaran acara-acara seni budaya. Ekonomi rakyat diperkirakan tumbuh seiring dengan masuknya wisatawan.

Paradigma baru

Usaha masyarakat Belitung Timur itu cukup menarik. Membangun sebuah kawasan ternyata tidak melulu harus mengandalkan dana dan kekuasaan. Karya kreatif, seperti sastra, ternyata juga bisa mendorong perubahan bagi lingkungan sekitarnya.

”Jika masyarakat punya spirit yang kuat untuk mengubah dirinya, termasuk lewat karya sastra, keadaan akan berubah,” kata Helmy Faishal Zaini.

Ia lantas memuji Kabupaten Belitung Timur karena sudah resmi dikeluarkan dari daftar daerah tertinggal sejak awal tahun 2010. Infrastruktur, ekonomi, dan kondisi sosial di daerah ini dianggap sudah tak lagi tertinggal. ”Ini bisa menjadi cerminan bagi daerah lain di Indonesia,” katanya.

Memang ada beberapa perubahan di kawasan ini. Tak hanya kian populer, jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau itu juga meningkat tajam. Kepala Desa Linggang Fakhrul Rizal bahkan sampai menyebut peningkatan itu mencapai 800 persen daripada tahun-tahun sebelumnya.

”Mungkin ada sekitar 7.000 orang tiap tahun yang berkunjung ke desa kami. Lima tahun lalu, daerah ini masih sangat sepi,” katanya.

Sejak tahun 2000, Pulau Belitong telah dikembangkan menjadi dua kabupaten, yaitu Belitung (induk) dengan ibu kota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur yang berpusat di Manggar. Meski masih kabupaten baru, wilayah ini secara alami memiliki potensi menarik, terutama dalam wisata.

Di Belitong, misalnya, ada dua pantai terkenal yang bersisian, yaitu Pantai Tanjung Tinggi dan Pantai Tanjung Kelayang. Dua pantai ini dikaruniai keindahan alami: air laut jernih dengan dasar karang, pasir putih, dan bebatuan granit yang membingkai sudut-sudut pesisir.

Langkah awal

Namun, cukupkah dengan novel, film, festival budaya, dan musikal lalu keadaan benar- benar berubah? Agaknya karya seni hanya menjadi pemicu atau semacam pintu masuk. Perkembangan berikutnya bergantung pada kerja keras pemerintah dan masyarakat di lapangan.

Apalagi, selain punya potensi alam, Kepulauan Bangka Belitung juga punya banyak persoalan. Meski dipromosikan sebagai kawasan wisata dengan pantai indah, infrastruktur di pulau ini masih minim. Jumlah hotel terbatas. Di Belitung Timur jumlah hotel tidak lebih dari lima unit. Wisatawan pun terpaksa kerap menginap di rumah penduduk. Sarana transportasi umum hampir tidak ada sehingga wisatawan harus menyewa mobil untuk jalan-jalan.

Soal lain, penambangan timah liar masih saja berlangsung. Tak hanya lahan kosong atau perkebunan, daerah di hutan lindung juga digali dan dikeruk tanahnya untuk disedot timahnya oleh para penambang. Jika tak dikendalikan, bukan tak mungkin kerusakan itu menggerogoti pantai yang indah. Toh, kerusakan sudah terbukti memorak-porandakan Pantai Rebo di Sungai Liat, Kabupaten Bangka, yang dulunya indah.

Namun, bagaimanapun, karya seni tetap bisa menjadi titik permulaan yang baik. ”Minimal masyarakat diberi tawaran atau pandangan lain untuk mengembangkan diri di luar kerja mendulang timah yang terbukti merusak lingkungan. Dan karya seni ternyata bisa menjadi pintu masuk ke arah situ,” kata penyair asal Belitung Timur, Larsi de Isral (33).

Sumber: Kompas, Minggu, 12 Desember 2010

Friday, December 03, 2010

Malaysia: Apa Pun Bisa Dijual

BAGI orang Indonesia yang telanjur geregetan melihat tingkah polah Malaysia dalam berjiran, barangkali sebaiknya tak usah berkunjung ke Kuala Lumpur. Apalagi, jika Anda termasuk salah seorang yang bernafsu mengutuk Malaysia karena dianggap ”mencuri” produk budaya Indonesia, seperti kesenian reog dan lagu ”Rasa Sayange”.

Sekarang lupakan dulu soal klaim hak kepemilikan atas produk seni dan budaya. Lupakan juga cerita soal Tentara Diraja Laut Malaysia yang sering kali melanggar wilayah perairan Indonesia. Bukan apa-apa kalau hal-hal yang menyakitkan kita sebagai bangsa Indonesia ini dilupakan. Toh, kita tak mampu jualan produk budaya lokal yang kaya raya itu, seperti Malaysia menayangkannya berkali-kali lewat iklan di jam utama saluran internasional, seperti Discovery Channel atau National Geographic Channel. Kita pun hanya bisa gemas melihat kekuatan militer Indonesia masih segan untuk main tembak meski konon militer asing yang melanggar wilayah kedaulatan republik ini.

Untuk soal jualan apa yang ada di dalam negerinya, agar bisa didatangi orang asing, Malaysia memang jago. Meski demikian, jika kita sadar, jualan mereka sebenarnya tak menarik. Sejak kampanye ”Malaysia Truly Asia” tahun 1999, negeri jiran ini merengkuh devisa sangat besar dari sektor pariwisata.

Tahun 2009, Malaysia bisa meraih devisa dari sektor pariwisata sebesar 15,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Negara Asia Tenggara yang bisa menandingi Malaysia pada tahun itu hanya Thailand, yang perolehan devisa dari sektor pariwisatanya mencapai 16,1 miliar dollar AS. Singapura yang luasnya sama dengan Jakarta malah berada di peringkat ketiga dengan 8,9 miliar dollar AS.

Apa yang dibanggakan oleh Malaysia dan dijadikan jualan pariwisata mereka sebenarnya bisa diperoleh hanya di satu provinsi di Indonesia. Apabila tak percaya, cobalah blejetin brosur Malaysian Tourism Board dan lihat apa saja event yang mereka tawarkan. Jika hanya sekadar ecotourism tentang hujan hutan tropis, yang ditawarkan di bagian utara Pulau Kalimantan oleh Malaysia, tentu tak sebanding dengan luas wilayah berbagai taman nasional milik Indonesia yang ada di Pulau Sumatera atau Kalimantan. Kalau hanya festival gourmet internasional di Kuala Lumpur, menjelajahi kekayaan kuliner di kota Bandung atau Medan saja bisa bikin gempor kaki.

Jangan pula terpancing dengan tayangan yang menampilkan pemandangan menakjubkan pantai dan lautan dalam iklan ”Malaysia Truly Asia”. Surga menyelam di Indonesia tersebar dari Sabang di Aceh hingga Raja Ampat di Papua. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, jadi pantai seindah apa pun yang ada di Malaysia pasti kalah dengan milik Indonesia. Dan, yang pasti, Malaysia tak punya tempat berselancar yang bagus seperti Indonesia yang punya Nias, Mentawai, Banyuwangi, dan Bali.

Lantas mengapa devisa pariwisata Indonesia hanya 6,3 miliar dollar AS. Kurang dari separuh yang didapat Malaysia pada tahun yang sama. Jawaban sederhananya, yaitu karena Pemerintah Indonesia tak bisa ”menjual” kekayaan negeri ini. Lupakan dulu Bali, yang tak usah dijual pun orang berduyun datang ke sana. Meski pariwisata Bali sempat luluh lantak karena bom, magnet pariwisata Bali tetap kuat.

Inilah bedanya Indonesia dengan Malaysia. Sebelum kampanye Truly Asia, Malaysia sadar betul bahwa tak banyak yang bisa mereka jual agar turis asing datang ke negaranya. Tagline ”Malaysia Truly Asia” begitu mengena. Malaysia merasa bangga, tiga kelompok ras besar Asia, yakni Melayu, China, dan India, di negara itu. Padahal, Indonesia memiliki lebih banyak lagi kelompok ras yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.

Jualan Truly Asia ini tentu saja slogan. Jangan bayangkan ketiga ras besar yang dimaksud dalam kampanye ini memiliki hak yang sama di Malaysia. Ada cerita menarik ketika rombongan jurnalis dari Indonesia yang meliput balapan MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia, dibawa mengunjungi Putra Jaya, ibu kota baru pengganti Kuala Lumpur itu. Kebetulan, selama tiga hari di Malaysia, rombongan jurnalis dari Indonesia ini ditemani seorang pemandu wisata keturunan India bernama Arumugan AL Chelliah, yang biasa dipanggil Aru.

Saat bus sampai di jalan utama menuju pusat pemerintahan Malaysia, Aru dengan antusias menjelaskan berbagai gedung dan kelengkapan yang sophisticated dari Putra Jaya. Mulai dari desain bangunan kantor kementerian kerajaan hingga tiang lampu jalan yang semuanya menggunakan tenaga matahari. Tentu tak lupa Aru menjelaskan, betapa dekatnya Putra Jaya dengan Silicon Valley versi Malaysia, yaitu Cyber Jaya.

”Di Cyber Jaya banyak perusahaan IT (teknologi informasi) yang melabur (berinvestasi), termasuk Bill Gates dengan Microsoft-nya yang melabur 1 juta US dollar,” kata Aru. Meski soal angka investasi Bill Gates ini kami pikir Aru setengah ngawur, tak pelak rombongan jurnalis asal Indonesia ini tetap dibuat tertegun dengan setiap detail penjelasannya.

Aru pun menjelaskan betapa di antara sekian banyak gedung kementerian yang baru dibangun di Putra Jaya tersebut dia terkagum-kagum dengan gedung kementerian kehakiman, yang menurut dia ”Mirip Taj Mahal di India”.

Begitu sampai di ujung jalan utama Putra Jaya, tak jauh dari tempat Dato Sri Najib Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia, berkantor, Aru dengan bersemangat menjelaskan Masjid Putra yang berwarna merah jambu dan terlihat seperti mengambang di tengah danau buatan. ”Inilah masjid yang sangat indah apabila dinikmati menjelang sunset,” katanya.

Namun, Aru tercekat ketika salah seorang rombongan wartawan Indonesia bertanya, ”Aru, kamu, kan, keturunan India dan beragama Hindu. Apakah di Putra Jaya ada pura tempat kamu beribadah yang juga semegah masjid itu?” Sambil tersenyum, Aru menjawab singkat, ”Mungkin ada di luar Putra Jaya.”

Sebenarnya, penjelasan pemandu wisata seperti Aru soal Putra Jaya yang begitu antusias seakan menjelaskan betapa memang Malaysia punya keahlian menjual tempat wisata, tak peduli tempat tersebut diskriminatif bagi si penjualnya langsung. Inilah salah satu kepintaran Malaysia mengemas citra elok mereka sebagai tujuan wisata utama dunia. (KHAERUDIN)

Sumber: Kompas, Jumat, 3 Desember 2010

Thursday, October 21, 2010

Kinerja Pemerintah: Pariwisata Indonesia Tertinggal Jauh

JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengklaim berhasil memajukan pariwisata Indonesia. Meski demikian, sejumlah kalangan, Rabu (20/10), menilai, pariwisata Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Apalagi jika melihat potensi wisata alam Indonesia yang luar biasa.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, saat menerima finalis Puteri Pariwisata Indonesia 2010, Selasa, mengaku optimistis target 7 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tercapai. ”Sebab, hampir tiap bulan, dibandingkan bulan yang sama tahun lalu, terjadi peningkatan jumlah kunjungan sekitar 7 persen,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada yang juga pakar pariwisata, Prof Dr Wiendu Nuryantie, mengatakan, ada tiga parameter penting untuk mengukur kinerja pariwisata, yaitu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara, lama tinggal, serta jumlah pembelanjaan wisatawan.

”Jika dua dari tiga parameter itu menunjukkan kenaikan, itu keberhasilan dari upaya marketing. Namun, rendahnya pembelanjaan wisman menandakan rendahnya kualitas destinasi,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Asita Pusat Asnawi Bahar meragukan keberhasilan dari pencapaian target kunjungan wisatawan mancanegara pada 2009 yang 6,4 juta wisman. ”Angka sebanyak itu dari mana? Coba hitung seat pesawat terbang dari luar negeri yang datang, tak sampai sebanyak itu satu tahun. Lalu, data di imigrasi kan tidak pernah ada mana yang betul-betul turis mancanegara, pekerja, dan mana yang bukan. Mungkin saja orang Indonesia pulang wisata dari luar negeri dikatakan sebagai turis mancanegara masuk ke Indonesia,” katanya.

Tak masuk akal

Lektor Kepala dalam Bidang Ekoturisme di Institut Pertanian Bogor Dr Ir Ricky Avenzora, MSc mengatakan, statistik turis asing sebesar 6 jutaan orang tersebut tidak bisa diterima, sejalan dengan buruknya dinamika administrasi pemerintahan serta adanya dinamika penipuan tujuan perjalanan mereka ke Indonesia.

”Sangat banyak pekerja gelap asing di Indonesia yang masuk ke Indonesia dengan visa turis (yang secara sembrono memang telah dimudahkan oleh peraturan Indonesia). Buruknya sistem administrasi menjadikan statistik turis amburadul, sulit kita percaya,” ujarnya.

Tentang target 7 juta kedatangan wisman pada 2010, menurut Ricky, karena adanya kekerdilan mental birokrat yang takut kehilangan jabatan.

Wiendu mengungkapkan, Malaysia tahun 2009 bisa mendatangkan wisatawan mancanegara 22 juta, Singapura 10,5 juta, dan Thailand 14 juta. Sementara Indonesia cuma 6,4 juta (dan data itu masih diragukan).

”Kita selalu mengatakan Indonesia sangat kaya dengan potensi pariwisata, tapi dibandingkan kunjungan wisatawan mancanegara di negara tetangga (pesaing), Indonesia itu belum ada apa-apanya. Kita belum mampu mengolah potensi itu menjadi sebuah destinasi,” ujarnya.

Menurut Asnawi Bahar, destinasi kita terkendala infrastruktur. Untuk mencapai suatu tujuan wisata, akses ke sana lebih dari tiga jam. Kemudian promosi, masih jauh dari harapan. Promosi yang dilakukan Indonesia tidak berkelanjutan dan tidak jangka panjang.

”Malaysia mampu menggaet banyak wisatawan mancanegara karena melakukan promosi besar-besaran di luar negeri, sedangkan Indonesia tak melakukan itu,” ujarnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Kamis, 21 Oktober 2010

Saturday, September 25, 2010

Tanah Air: Borobudur Mandala Kehidupan

-- M Burhanudin dan Regina Rukmorini

PADA suatu hari terjadi kebakaran hebat di hutan. Si burung pipit yang tinggal di hutan itu lalu berinisiatif memadamkan api meski sadar kemampuannya terbatas. Hari itulah sepuluh abad lampau ”altruisme”—kosakata yang menyeruak kembali dua tahun terakhir di sini—dipahat di batu.

Wisatawan menikmati senja di antara stupa Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (20/9). Candi yang diperkirakan berdiri pada abad IX di masa wangsa Syailendra ini merupakan monumen mahakarya peradaban budaya sekaligus ikon wisata Indonesia. (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Burung itu terbang ke telaga, membasahi tubuhnya, lalu terbang kembali menuju lokasi kebakaran, dan mengibaskan tubuhnya agar air bisa sedikit membantu memadamkan api. Upaya tersebut dilakukan bolak-balik, sampai akhirnya burung itu mati lemas dan diangkat menjadi Buddha.

Itulah sepenggal kisah Jantaka dalam salah satu panel relief Candi Borobudur. Jantaka merupakan cerita tentang perjalanan titisan Bodhisattva yang menjadi berbagai macam hewan.

Kisah si burung pipit merefleksikan betapa berharganya sikap altruistik, rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, dan solidaritas. Melepaskan ego pribadi demi kepentingan bersama dengan pengorbanan.

Sebuah sikap hidup yang dalam kehidupan nyata saat ini terasa mahal. Keikhlasan sering kali hanya indah terucap, tetapi kosong dalam kenyataan.

Ya, Candi Borobudur memang kaya akan pesan kebajikan. Semuanya terpampang pada bagian dinding dan langkan bangunan candi yang panjangnya jika direntangkan akan mencapai 3.000 meter. Pada permukaan dinding-dinding batu yang membujur di bangunan candi terbesar kedua di dunia ini dipahat sebanyak 2.670 panel relief tebal. Sebanyak 1.212 panel berupa relief dekoratif dan 1.460 yang lain adalah panel relief naratif (relief berupa cerita).

Dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sekitar tahun 824, Candi Borobudur memang diarahkan sebagai monumen atas intisari kehidupan. Intisari itu tertutur dari dasar hingga puncak bangunan. Maknanya tersurat dan tersirat dari bentuk fisik candi, relief, serta kosmologi tempatnya.

Candi Borobudur terbuat dari dua juta potongan batu berukuran rata-rata 25 x 10 x 15 cm dengan tinggi 35,29 meter. Bangunannya bertingkat. Setiap tingkatnya melambangkan tahapan kehidupan manusia. Tahapan yang mengandung nilai universal tentang petunjuk hidup bagi manusia menuju kebajikan. Setiap tahapan itu diuraikan lewat ribuan panel relief candi.

Bagian kaki candi bernama Kamadhatu, lambang dunia yang masih dikuasai oleh ”kama” atau nafsu. Bagian yang tertutup struktur tambahan, berisi 160 panil cerita Karmawibhangga, cerita tentang segala perbuatan manusia soal ganjarannya.

Empat tingkat di atas kaki candi bernama Rupadhatu—artinya manusia yang telah dapat melepaskan diri dari hawa nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief dan lantainya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu—yang tak berwujud—melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk sehingga siap mencapai nirwana.

Mandala

Candi Borobudur tak sekadar syarat makna kebajikan. Ia juga merupakan mandala atas bentuk tiga dimensinya sendiri, dan juga bangunan percandian di sekelilingnya (Muhammad Taufik dalam jurnal Balai Konservasi Purbakala Borobudur, 2008). Borobudur adalah totalitas, suatu tanda kesempurnaan dan kemuliaan. Pusat dunia yang berupa arca dan bangunan yang batas-batasnya telah ditentukan atau semacam ”pagar suci”.

Menurut Dr Sukmono dalam buku Chandi Borobudur (1976), sinergi dalam pengembangan peribadatan Borobudur dan percandian semasanya adalah bukti situasi damai masa itu. Posisi mandala ini segaris lurus dengan dua mandala Buddha lain di dekatnya, yaitu Candi Pawon, Mendut, dan Gunung Merapi.

Menurut Taufik, mengacu pada pengertian bahwa bentuk mandala berupa garis lurus geometris, Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur yang dibangun pada satu garis lurus. Ketiga bangunan tersebut dianggap sebagai superstruktur. Candi-candi Hindu yang ada di sekitarnya dapat dianggap sebagai substrukturnya, seperti Candi Ngawen dan Kali Tengah.

Hampir satu milenium Borobudur ”tidur” dalam timbunan tanah dan debu vulkanik letusan Merapi. Sejak ditemukan dan dipugar oleh Pemerintah Kolonial Belanda antara abad XIX dan awal abad XX serta kemudian dilanjutkan dengan renovasi pada masa kemerdekaan, Borobudur terlihat kembali segar. Borobudur menjelma sebagai salah satu bangunan yang diakui sebagai warisan keajaiban dunia.

Kini, Borobudur lebih dikenal sebagai obyek wisata. Namun, kurang dibarengi dengan sosialisasi sebagai monumen warisan peradaban dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kantor Pusat Studi Borobudur yang dulu diharapkan menjadi arena transformasi nilai luhur ke generasi masa kini telah lama berubah sebagai Hotel Manohara.

Namun, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Menempatkan Borobudur kembali sebagai mandala kehidupan sangat relevan pada masa gegar nilai seperti sekarang ini.

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010

Tuesday, August 03, 2010

Wisatawan Minati Situs Sejarah di Lampung Barat

Liwa, Lampung Barat, 3/ 8 (ANTARA) - Sejumlah wisatawan berminat mengunjungi situs sejarah di Kabupaten Lampung Barat termasuk untuk penelitian.

"Peninggalan sejarah yang terdapat di Lampung Barat cukup menarik, karena pada peninggalan tersebut banyak tersimpan cerita yang belum terpecahkan, dan ini menjadi nilai jual tersendiri untuk Lampung Barat," kata salah seorang pendatang yang berasal dari Jakarta, Rivaldo (32) di Sumberjaya,Lampung Barat, Selasa.

Dia menjelaskan, Lampung Barat kaya cerita sejarah yang cukup unik dan banyak yang belum terpecahkan.

"Hal ini tentunya menjadi acuan peneliti untuk lebih menggali cerita termasuk peninggalan benda sejarah di Lampung Barat," katanya.

Kemudian, lanjut dia, sebagian besar peninggalan sejarah di Lampung Barat lemah pengawasan.

"Kalau melihat dari keadaan sekarang, peninggalan benda sejarah sangat rawan terjadinya aksi pencurian, karena setelah melihat letak tempat dan segi pengamanan begitu lemah," kata dia.

Ia pun mengkhawatirkan akan terjadi pencurian atau pengalihan dari lokasi aslinya oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk dijual ke kolektor.

Sementara itu, sejumlah warga mengatakan dengan banyaknya peninggalan sejarah di Kabupaten Lampung Barat bisa dimanfaatkan untuk wisata sejarah, meski sudah ada atapi belum optimal.

Wisata sejarah yang kerap dikunjungi oleh wisatawan asing dan domestik yakni, situs Batu Brak yanag merupakan peninggalan dari masa megalitik atau zaman batu besar prasejarah.

Situs tersebut juga dikelilingi beberapa peninggalan lain, seperti situs Batutameng, Telagamukmin, Batujaya, Air Ringkih, dan Batujajar. Semuanya menggambarkan kehidupan, upacara pemujaan, penguburan, dan permukiman manusia zaman batu besar.

Dari peninggalan sejarah dan budaya dalam bentuk patung, pahatan dan corak megalitik yang ditemukan di Sumberjaya, Kenali, dan Batu Brak menunjukkan bahwa suku Lampung berasal dari sebuah kerajaan yang bertahta di Lereng Gunung Pesagi yang letaknya di daratan Belalau.

Sejak masuknya Agama Islam di Lampung Barat, Kerajaan Sekala Brak diperintahkan oleh 4 orang umpu yang dinamakan Paksi Pak Sekala Brak.

Lampung Barat juga masih terdapat 14 Rumah Sabukh (Rumah Sabut) yang terletak di Pekon Hujung, Kecamatan Belalau, Lampung Barat, yang telah berusia ratusan tahun, dan disinyalir di daerah tersebut banyak didapati benda kuno yang masih disimpan oleh masyarakat.

Hal yang paling dominan menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Lampung Barat yakni terkait keselamatan situs sejarah tersebut, melihat kondisi yang ada keadaan lingkungan dapat mendukung pencurian benda sejarah.

Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lampung Barat, Sudirman mengatakan, peninggalan benda kuno di daerah itu menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Lampung Barat.

"Potensi ini jelas akan mengundang wisatawan yang akan menggali sejarah melalui benda kuno tersebut, selain itu, banyak dari objek sejarah belum tergali sepenuhnya," katanya.

Dia menjelaskan, fokus pemerintah yakni mewujudkan kelestarian benda cagar budaya.

"Untuk mengatasi lemahnya pengawasan terhadap benda sejarah ini, pemerintah pusat dan daerah sedang memfokuskan pendirian desa wisata, dengan masyarakat secara penuh dalam pengawasan benda sejarah tersebut," katanya.

Dia pun berharap masyarakat dapat berkoordinasi dengan pemkab dalam mengawasi benda sejarah tersebut, sehingga situs sejarah yang menjadi kekayaan bagi Lampung Barat tidak akan hilang.


Sumber: Antara, 3 Agustus 2010

Wednesday, July 28, 2010

Festival Krakatau: Pesta Warga Lampung

-- Wisnu Aji Dewabrata

RIBUAN warga memenuhi Lapangan Saburai, Bandar Lampung, dan jalan-jalan di sekitarnya, Sabtu (24/7). Mereka antusias melihat arak-arakan Festival Krakatau XX yang panjangnya lebih dari 2 kilometer. Warga sudah menunggu sejak pukul 13.00 walaupun arak-arakan baru dimulai pukul 15.00.

Arak-arakan dalam Festival Krakatau XX, Sabtu (24/7) di Bandar Lampung, Lampung, diikuti parade gajah. Arak-arakan itu diikuti ribuan peserta dari 14 kabupaten/kota di Lampung. Festival Krakatau digelar untuk memperingati letusan Gunung Krakatau tahun 1883 dan menarik wisatawan ke Lampung. (KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA)

Bagi warga Lampung, Festival Krakatau merupakan salah satu agenda yang selalu dinantikan setiap tahun. Festival yang sudah diselenggarakan selama 20 tahun itu masih memiliki daya tarik yang besar hingga saat ini.

Festival Krakatau diselenggarakan untuk memperingati letusan Gunung Krakatau pada tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883.

Letusan Gunung Krakatau menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer dan tsunami setinggi 40 meter. Letusan gunung yang terletak di Selat Sunda, tetapi secara administratif masuk wilayah Lampung, tersebut menewaskan sekitar 36.000 orang.

Selain untuk memperingati tragedi yang memilukan itu, Festival Krakatau juga bertujuan menarik wisatawan berkunjung ke Provinsi Lampung.

Festival Krakatau XX berlangsung pada Sabtu-Minggu (24-25/7). Tahun ini Festival Krakatau agak berbeda dengan kegiatan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.

Festival kali ini diwarnai dengan pemberian gelar adat kepada Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Ketua DPRD Lampung Cik Marwan Hasan, dan Ketua Majelis Penyeimbang Adat Lampung Qadarsah Irsa.

Prosesi pemberian gelar berlangsung di Mahan Agung, yaitu rumah dinas Gubernur Lampung di Bandar Lampung. Prosesi dilakukan dengan serangkaian upacara adat Lampung, di antaranya mengarak para penerima gelar menggunakan kereta kuda.

Adapun arak-arakan Festival Krakatau dimulai dari Jalan Jenderal Sudirman, kemudian masuk ke Lapangan Saburai. Di lapangan tersebut telah berdiri panggung utama dengan ornamen kepala gajah.

Di depan panggung utama berdiri tenda VIP. Di tenda tersebut duduk para tamu undangan, di antaranya Duta Besar Yunani, Brunei, Filipina, Belgia, dan Singapura.

Lebih meriah

Zainudin (64), warga Bandar Lampung, mengutarakan, Festival Krakatau tahun 2010 lebih meriah ketimbang Festival Krakatau tahun sebelumnya.

”Festival Krakatau tahun ini lebih meriah karena diikuti peserta dari 14 kabupaten/kota. Tahun sebelumnya jumlah peserta karnaval tidak sebanyak tahun ini,” kata Zainudin yang setiap tahun selalu menonton Festival Krakatau bersama cucunya.

Menurut Zainudin, akan lebih baik kalau Festival Krakatau diselenggarakan dua kali setahun. ”Sebenarnya kami ini haus hiburan. Kalau bisa diselenggarakan lebih dari sekali dalam setahun juga bagus,” ujarnya.

Evi (38), juga warga Bandar Lampung, mengutarakan, karnaval Festival Krakatau akan lebih menarik jika para pesertanya melakukan atraksi. Evi melihat para peserta karnaval hanya berjalan kaki atau menari dan memainkan musik seperlunya. ”Kalau cuma jalan kaki, terlihat kurang menarik,” katanya.

Evi menyayangkan kurangnya publikasi mengenai Festival Krakatau XX. Seandainya publikasi lebih gencar, Festival Krakatau tahun ini dipastikan lebih meriah, kata Evi.

Melihat Krakatau

Puncak acara Festival Krakatau adalah melihat Gunung Anak Krakatau hari Minggu (25/7). Para tamu undangan menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Bakauheni menuju ke Gunung Anak Krakatau.

Di perairan sekitar Gunung Anak Krakatau, perahu-perahu kecil yang dihiasi bendera telah disiapkan untuk menyambut kedatangan para tamu.

Namun, feri yang mengangkut tamu tidak bisa mendekat ke Gunung Anak Krakatau sehingga para tamu VIP hanya bisa menikmati keindahan gunung dari kejauhan.

Siang itu Gunung Anak Krakatau terlihat indah dengan semburan asap yang tingginya mencapai ratusan meter. Asap berwarna kelabu bergulung-gulung ke angkasa.

Di kaki Gunung Anak Krakatau, puluhan warga Pulau Sebesi yang merupakan pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau dengan antusias menunggu kedatangan feri.

Festival Krakatau disambut dengan sukacita oleh warga Lampung di Bandar Lampung dan di tengah lautan, seperti warga Pulau Sebesi. Festival Krakatau adalah pestanya warga Lampung!

Sumber: Kompas, Rabu, 28 Juli 2010

Saturday, June 19, 2010

Tanah Air: Tangkubanparahu yang Penuh Legenda...



Kawah Ratu di kawasan obyek wisata Gunung Tangkuban Perahu, Subang, Jawa Barat, masih menjadi daya tarik wisata, Rabu (9/6). (KOMPAS/EDDY HASBY)

-- Rini Kustiasih/Adi Prinantyo

WISATA kawah Tangkubanparahu adalah paduan kekuatan legenda Sangkuriang yang mengakar di masyarakat Jawa Barat dan keelokan kawah yang setia menyemburkan belerang dan sumber air panas.

Ribuan turis domestik dan turis mancanegara setiap hari berkunjung ke Tangkubanparahu. Dalam kunjungan ke kawah itu, April lalu, hawa dingin segera menyapa kawasan wisata yang dikunjungi sekitar 1,5 juta wisatawan per tahun itu. Tak heran karena hawa dingin itu, keluar uap dari mulut para wisatawan yang bercengkerama.

Gunung berketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut ini dikenal sebagai salah satu gunung api aktif di dunia, yang kawahnya bisa dilihat dengan mata telanjang. Bahkan, dasar kawahnya bisa dituruni, dan air hangat yang muncul ke permukaan kawah bisa dinikmati pengunjung untuk berendam, hingga merebus telur!

Tentu saja, memori tentang Tangkubanparahu tak bisa dilepaskan dari keelokan dan memori gelang-gelang obyek wisata di sekitarnya. Sebut saja pusat sayur-mayur dan pasar bunga Lembang yang memiliki gedung Peneropongan Bintang Boscha. Lalu hutan alam Jayagiri yang dipuja-puja generasi 1970-an, dan diabadikan kelompok Bimbo dalam lagu ”Melati dari Jayagiri” serta Taman Wisata Alam Maribaya yang menyediakan guyuran air hangat belerang.... Maribaya pun pernah diabadikan oleh grup musik The Cats asal Belanda sebagai judul lagu.

Keistimewaan kawahnya membuat Tangkubanparahu ditetapkan sebagai kawasan wisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/UM-IX, 3 September 1979. Luas taman wisata alam di wilayah hutan konservasi ini mencapai 370 hektar dan menjadi bagian dari Cagar Alam Tangkubanparahu yang seluas 1.290 hektar.

Berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Bandung, Tangkubanparahu bisa ditempuh selama satu jam dari pusat kota, dengan mobil. Keterjangkauan jarak itu yang membuat banyak wisatawan dalam dan luar negeri, terutama asal Malaysia dan India, mengunjungi Tangkubanparahu.

Harta Tangkubanparahu terletak pada keberadaan 12 kawahnya, baik yang aktif maupun tidak aktif. Tiga kawah terbesar dengan diameter sekitar 500 meter menjadi tujuan utama wisata, yakni Kawah Ratu, Domas, dan Upas. Adanya gas beracun di Kawah Ratu dan Kawah Upas mengakibatkan keduanya tidak bisa dituruni sejak 1975. Hanya Domas yang bisa dituruni.

Untuk melihat Kawah Ratu, yang dikisahkan sebagai tempat Dayang Sumbi menceburkan diri, gara-gara obsesi cinta anaknya Sangkuriang itu, wisatawan bisa memarkir mobil tepat di bibir kawah.

Pandangan bebas ke dasar Kawah Ratu membuat takjub. Genangan air hujan yang jatuh di dasar kawah bisa berubah warna-warni: kadang biru, lain hari hijau. Halimun yang turun perlahan dari pucuk pepohonan menerbitkan eksotisme alam.

Jika hujan rintik turun, kegelapan segera menyelimuti kawasan itu. Keraguan kerap muncul, antara ingin pergi karena hawa begitu dingin, atau bertahan karena penasaran menyaksikan gelap yang datang.

Kawah Ratu selalu menjadi tujuan pertama wisatawan. Perjalanan diteruskan ke Kawah Upas yang berjarak 1,5 kilometer dari Kawah Ratu, lalu menuju Kawah Domas berjarak 1,2 kilometer. Di Kawah Domas wisatawan bisa duduk-duduk di dasar kawah, sembari merendam kaki dengan air hangat. Suhu air bervariasi, mulai 35 derajat celsius hingga yang terpanas 100 derajat celsius. Turis juga bisa merebus telur di kolam terpanas selama 10 menit. Merebus telur di kawah gunung benar-benar sebuah sensasi.

Rata-rata 1.500 turis berkunjung setiap hari, 500 di antaranya turis asing yang sebagian besar dari Malaysia dan India.

Sayang, keindahan alam itu jadi kurang sempurna karena kondisi jalan sepanjang sekitar 5 kilometer di kawasan itu rusak. Perbaikan jalan terkendala karena status pengelolaan Tangkubanparahu yang bermasalah.

Sejak 2007, PT Graha Rani Putra Persada memegang izin pengelolaan pariwisata alam Taman Wisata Alam Tangkubanparahu dari Kementerian Kehutanan. Namun, izin itu ditentang tokoh dan pegiat lingkungan Jabar karena dinilai merusak fungsi ekologis kawasan itu. Ada informasi, PT Graha Rani akan membangun hotel, restoran, dan cottage di sana. Padahal, perizinannya, tanpa rekomendasi Gubernur Jabar.

Pengelolaan kawasan itu menjadi sorotan publik karena taman wisata alam berfungsi ekologis, ekonomis, sekaligus etnologis bagi masyarakat Sunda. Tangkubanparahu memasok 60 persen sumber air bagi cekungan Bandung. Kerusakan ekologis di sini berarti ancaman bagi warga Bandung.

Di gunung ini juga tumbuh beberapa jenis flora khas Tatar Sunda, antara lain puspa (Schima wallichii), pohon lemo yang bisa mengusir ular dan serangga, dan 12 macam pakis. Fauna langka yang dilindungi, seperti elang jawa, macan tutul, dan macan kumbang, juga hidup di sana.

Fungsi etnologis merekatkan hubungan masyarakat Sunda dengan Tangkubanparahu. Dikisahkan, Sangkuriang yang ingin menikahi ibunya, Dayang Sumbi, dimintai syarat untuk membuat danau, berikut perahunya dalam semalam. Dayang Sumbi menggagalkan upaya itu dengan mengibarkan selendang, dan di ufuk timur muncullah semburat fajar.

Merasa gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahunya sehingga jatuh tertangkup. Dari sanalah nama Tangkubanparahu muncul sebagai ”kata bersayap”. Tangkubanparahu juga dikenal sebagai tempat para dewa karena secara etimologis parahu menunjuk kata para yang artinya banyak dan hu yang artinya dewa atau kebaikan.

Kini Tangkubanparahu berubah jadi sandaran hidup ribuan orang. Pedagang suvenir dan makanan, tukang parkir, dan tukang kuda, dan banyak lagi. Bibir Kawah Ratu, yang dulu sunyi, kini dijejali ratusan kios, tempat parkir mobil, sampai pemain angklung yang menggoda dengan lagu jenaka Sunda.

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Juni 2010