Showing posts with label lampung. Show all posts
Showing posts with label lampung. Show all posts

Monday, December 24, 2012

Penyair Se-Asia Tenggara Baca Puisi di Muarojambi

JAMBI, KOMPAS.com--Panitia Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi sebagai penyelenggara pertemuan penyair se-Asia Tenggara akan menggelar acara baca puisi oleh para peserta di kawasan Candi Muarojambi.

"Salah satu agenda penting kita adalah Internasional Poets Gathering, yang tidak saja diikuti para penyair Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Singapura, Kamboja, dan Brunei Darussalam sebagai peserta PPN VI, tetapi juga penyair perwakilan dari Korea Selatan dan Perancis, di Candi Muarojambi," kata Direktur PPN VI Jambi Ramayani di Jambi, Senin.

Ia mengatakan Candi Muarojambi adalah salah satu khasanah budaya klasik teramat penting di Jambi merupakan peninggalan kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-11, khasanah tersebut telah ditetapkan presiden SBY sebagai kawasan wisata terpadu pada 2010 dan telah diusulkan ke Unesco untuk masuk daftar warisan dunia.

Di salah satu candi terpenting dan terbesar panitia PPN VI akan membangun panggung khusus tempat pembacaan puisi oleh para penyair dunia dan nusantara yang menyatu dengan pelataran candi.

"Penyair peserta akan diboyong berwisata ke aset wisata andalan Jambi tersebut dan di tempat yang dituju telah disiapkan panggung pembacaan puisi selain sebagai agenda acara juga secara langsung menjadi salah satu wahana komunikasi, edukasi dan hiburan langsung bagi para wisatawan dan masyarakat di tempat tersebut," ujarnya.

Selain itu, tambah Ramayani, selama berada di objek wisata sejarah yang amat penting bagi peradaban nusantara tersebut para penyair juga diharapkan untuk melakukan satu proses trnasformasi ide menjadi karya puisi atau tulisan lainnya.

Selanjutnya nanti akan diterbitkan pula dalam bentuk buku oleh panitia guna ditransformasikan kepada pulbik luas yang ingin mengenal candi Muarojambi lebih mendalam dengan cara unik  dari sudut pandang penyair.

"Sebenarnya panggung baca puisi di candi yang akan digelar pada 30 Desember tersebut bukanlah satu-satu panggung ekspresi bagi penyair dan tontonan bagi publik, namun juga telah dibangun dan disediakan panggung pertunjukan lainnya di arena acara Seminar PPN yakni di Hotel Shang Ratu," ujar dia.

Panitia, kata dia, juga telah membangun panggung atau pentas di atas air di tengah-tengah kolam renang Tepiang Ratu di hotel Shang Ratu tempat penyelenggaraan seminar internasional sastra nusantara selama tiga hari dari 29 hingga 31 Desember nya.

Selain itu, selama perjalanan wisata menyusuri sungai Batanghari menuju komplek candi panitia juga telah mengagendakan pembacaan puisi di atas ketek wisata yang disiapkan panitia.

"Jadi selama perjalanan menyusuri sungai Batanghari pun para penyair peserta PPN VI pun sudah langsung dapat berekspresi membaca puisi di atas ketek wisata tersebut karena panitia sudah menyiapkan pula pentas sederhana di atas perahu itu, ini pastinya akan menjadi pengalaman dan performance art yang sangat menarik serta unikbagi penyair peserta," katanya.

Helatan PPN VI akan berlangsung dari 29 hingga 31 Desember di Hotel Shang Ratu, dengan materi utama seminar nasional, nusantara dan internasional mengenai perpuisian nunsantara, namunpara peserta diperkirakan sudah mulai hadir di Jambi semenjak 27 dan 28 Desember.

"Kita hanya ingin menjadikan helatan PPN VI yang kebetulan berteatan dengan momentum pergantian tahun ini bisa berkesan dan menjadi kado tahun baru yang indah bagi para pekerja sastra khususnya penyair nusantara dan dunia yang hadir di Jambi saat itu, bahwa Jambi juga memiliki tradisi sastra dan tentang sejarah kesastraan yangg patut diperbicangkan di semua level kehidupan baik nasional, regional juga internasional," kata Ramayani. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 24 Desember 2012

Saturday, December 23, 2006

Sajak: Lampung (1)

-- Budi Hutasuhut*

sudah lama ruang ini dibekap gelap
warna samun dari rimba alpa
yang kami bangun tanpa sengaja
di dalamnya kami selalu meraba
saling menjengkal dan terluka

kami mengaduh oleh rasa sakit berbeda,
nyeri tak terawat. jiwa kami dikocok bimbang,
batin tertatih menuju pintu muasal
dengan luka yang terus bergetah
kami tak ingin semua ini di nadi mengental

nyalakan semua yang bisa menyala
hingga kau lihat kirut pada keningku,
lekuk sinis pada bibirmu tampak nyata

kami temukan juga senyuman yang dibuang
di lantai, mengirut diselaputi debu
melembab digerogot sepi tanpa kata-kata maaf
atau puisi-puisi cinta. hingga mata kami
susah mengusap lingkar dunia

sebelum segala kikis diamuk waktu
kami harus kenali lagi semua tanda
cakrawala merah, jingga, kuning, dan biru
yang lama terabaikan dalam kegelapan wasangka

kami ingin mengenali kembali tempat
tahi lalat, juntai misai, dan warna-warna
keindahan. merasakan ada yang bangkit
semacam kenangan, serupa ingatan

lihatlah!
bukankah dulu kami pernah menenggak kopi
dari gelas yang sama sampai tinggal serbuk
sampai pagi dan kau berkata:
"aku seperti menikmati keringat orang-orang dari liwa."
akupun teringat sepotong puisi
dari liwa: "ajar sikam cawa cinta!"*

* sajak udo z. karzi dalam bahasa lampung berjudul ajar sikam cawa cinta (ajari aku bahasa cinta).

* Budi Hutasuhut, lahir di Sipirok, 3 Juni 1972. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung dan jurnalis di sebuah media di media terbitan Lampung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Desember 2006

Monday, December 18, 2006

Jung Foundation Lestarikan Ragam Sastra Lampung

Bandarlampung, 18/12 (ANTARA) - Yayasan Warisan Lampung "Jung" (Jung Foundation) bekerjasama dengan Dinas Pendidikan (Diknas) Lampung, mendorong pelestarian seni sastra Lampung yang terancam punah, dengan menggelar pentas dan diskusi ragam sastra daerahnya.

Menurut Direktur Eksekutif Jung Foundation Ch Heru Cahyo Saputro di Bandarlampung, Minggu, daerah Lampung memiliki keragaman sastra tradisi yang di dalamnya mengandung falsafah budaya.

Sastra tradisi lisan Lampung itu dapat mengekspresikan kekentalan nilai adat yang amat khas dengan bermacam wacana yang terdapat di dalamnya yang disampaikan secara lisan lewat bait syair dan pantun.

Namun pelestarian sastra lisan Lampung itu menghadapi ancaman, di antaranya karena pelaku budaya dan pelestarinya terbilang sangat minim. Kebanyakan warga Lampung pun tidak mengenalnya dengan baik.

Kepala Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung Dr Khaidarmansyah SH MPd menambahkan jenis sastra lisan Lampung yang harus segera dilestarikan itu, setidaknya memiliki 30-an jenis.

Di antaranya bubiti, hahiwang, bubandung, wawancan, dadi, sagata, muayak dan beberapa lainnya.

Menurut dia, keberadaan sastra lisan Lampung itu selama ini bertujuan untuk menghibur, mendidik, menyosialisasikan nilai-nilai adat, ajaran agama, moral, pandangan hidup, rasa suka, dan tujuan lainnya.

"Sastra lisan Lampung itu, terutama yang memiliki kedudukan sangat penting dalam tatanan adat, juga telah menjadi media yang paling utama bagi masyarakat untuk mengekspresikan nilai-niali emosi dan pengetahuan mereka," ujar Khaidarmansyah.

Dia mengakui, masih sedikit kalangan mengetahui dan memahami potensi Ragam Sastra Lampung itu.

Pada Kamis (14/12) Diknas Lampung berkolaborasi dengan Jung Foundationtelah menyelenggarakan Pentas dan Diskusi Ragam Sastra Lampung yang dikhususkan bagi pelajar sebagai pesertanya.

Sumber: Antara, 18 Desember 2006

Saturday, December 16, 2006

Sastra Lampung Ekpsresikan Nilai-Nilai Adat Daerah

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Seni sastra Lampung memiliki keragaman yang mengandung falsafah budaya Lampung. Sastra tradisi lisan Lampung bukan saja karena bentuk dan fungsinya yang berbeda, juga karena kedudukan dan sifatnya yang berbeda dengan bentuk tradisi lisan lain.

Hal ini dikemukakan Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Khaidarmansyah, saat pembukaan Pentas dan Diskusi Ragam Sastra untuk Pelajar yang digelar Dinas Pendidikan bekerja sama Jung Foundation di Chriza Art's Galery, Kamis (14-12). Dia mengatakan bentuk sastra tradisi dapat mengekspresikan kekentalan nilai-nilai adat yang amat khas.

"Begitu banyak wacana-wacana yang terdapat di dalamnya yang disampaikan secara lisan melalui bait-bait syair pantun seperti bubiti, hahiwang, bubandung, wawancan, dadi, sagata, muayak, dan yang lain. Sebab, masih ada 30 jenis sastra lisan Lampung," kata Khaidarmansyah.

Sastra lisan itu pun, menurut dia, banyak tujuannya. "Di antaranya untuk menghibur, mendidik, menyosialisasikan nilai-nilai adat, ajaran agama, moral, pandangan hidup, rasa suka, dan masih banyak lagi."

Kedudukan sastra lisan, kata Khaidarmansyah, sangatlah penting, terutama dalam tatanan adat. "Selain itu juga sastra lisan menjadi media yang paling utama bagi masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai afektif atau emotif dan kognitif atau pengetahuan. Namun, sangat disayangkan masih sedikit kalangan yang mengetahui dan memahami potensi ragam sastra Lampung," ujarnya.

Sebab itu, kata Khaidarmansyah, kegiatan ini yang memadukan sastra lisan Lampung dengan sastra modern kepada pelajar sangat penting. "Tujuannya memasyarakatkan seni sastra Lampung pada masyarakat sehingga dapat diperluas dengan sasaran yang lebih umum."

Selain itu juga, kegiatan seperti pelatihan merupakan tugas dan tanggung jawab Dinas Pendidikan melalui Subdin Kebudayaan untuk peningkatan apresiasi kepada pelajar. "Ini dilakukan di tengah derasnya era globalisasi yang memberikan budaya instan. Dampak budaya instan ini sangat besar dirasakan para pelajar," ujar Kasubdin.

Adapun pemateri sastra lisan Lampung merupakan tiga budayawan Lampung, yakni Hafizi Hasan yang memaparkan tentang wawancan, Azhari Kadir dengan teori ringget, dan Sutan Purnama mengetengahkan sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Pepadun. Sementara itu, untuk materi sastra modern, pemateri terdiri dari Jimmy Maruli Alfian, A.M. Zulqarnain, dan Hasanudin.

Christian Heru dari Jung Foundation mengemukakan selain menggelar Pentas dan Diskusi Ragam Sastra untuk Pelajar, pihaknya juga menyelenggarakan Pelatihan Pembuatan Ragam Hias Lampung yang rencananya digelar hari ini (16-12). n TYO/S-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Desember 2006

Thursday, December 14, 2006

Esai: Siapakah (Masyarakat) Lampung

-- Galih Priadi S.S.*


ADA banyak makna dan tafsir yang dilontarkan dalam diskusi panjang di Lampung Post sejak Firdaus Agustian menggelontorkan pemikirannya mengenai piil pasenggiri. Pemikiran itu memantik diskusi kualitatif tentang pandangan hidup (welstanchaung) orang Lampung hingga berkembang masuk, dan membangun wacana soal identitas orang Lampung yang diuraikan Budi Hutasuhut.

Menurut saya, para penulis--Firdaus Agustian, Fachrudin, Muhammad Aqil Irham, Udo Z. Karzi, dan Budi Hutasuhut--sedang berupaya mengurai hal-ihwal transformasi masyarakat Lampung dan ide-ide yang menjadi pandangan hidupnya. Saya bersepakat dengan rekan-rekan itu soal kegelisahan dan pergulatan pencarian identitas merupakan bagian keniscayaan, konsekuensi yang harus ditanggung dari roda globalisasi dan kuda tunggangannya, teknologi informasi.

Memudarnya roh dan relevansi dari piil pasenggiri telah ditafsirkan dalam ragam makna oleh penulis-penulis terdahulu. Piil pasenggiri telah dikonstruksikan dalam sebentuk puzzle, falsafah hidup, perangkat lunak sebagai cermin "puncak" kebudayaan, kegelisahan tentang relevansi nilai dan praksis, serta sederet kegelisahan lain yang hinggap dalam benak pikir kolektif kita. Hingga terakhir Bung Budi kembali mengusik kita seumpama pertanyaan si tokoh Sophie dalam novel Dunia Sophie, "Siapakah aku". Ya, "Siapakah kita" dan "Bagaimana identitas kita?"

Segala pendapat soal welstanchaung dan identitas mesti saya maknai sebagai serialitas. Secara sederhana, mengenai serialitas ini, saya berusaha memaknainya dari pemikiran Anthony Giddens--The Constitution of Society (1995)--sifat episodis dari semua kehidupan sosial manusia. Serialitas-serialitas dalam suatu rangkai panjang cerita.

Kita bisa memaknai kegelisahan-kegelisahan tersebut sebagai pintu masuk, suatu proses dialektis untuk mencapai serialitas kehidupan masyarakat Lampung yang lebih berkwalitas. Karena, kita bisa menengok ke belakang bahwa serialitas kehidupan masyarakat Lampung terdahulu dihadapkan pada problem identitas yang lahir dari kegelisahan intelektual dan komunitas-komunitas periferi yang lebih luas, yang menempatkan eksistensinya dalam sirkum geo-politik-geo-ekonomi khas komunitas-komunitas pra-negara-bangsa di dunia pada abad-abad 19 dan 20, yang mengkonsolidasi imajinasi mereka tentang identitas nasional?

Saat itu serialitas kehidupan pra-negara-bangsa kita dipengaruhi apa yang disebut Benedict Anderson sebagai "kapitalisme cetak" (print capitalism). Dengan surat kabar sebagai wujud material dari kapitalisme cetak, komunitas-komunitas masyarakat pra-negara-bangsa itu menjadi mungkin untuk melakukan konsolidasi identitas nasional, identitas negara-bangsa melalui bahasa kolektif. Seumpama bahasa Indonesia.

Dalam serialitas hari ini, sedari awal Budi Hutasuhut telah dengan baik mengingatkan kita tentang hubungan saling menguntungkan, saling membutuhkan antara bahasa dengan eksistensi suatu masyarakat dan kebudayaannya. Sebab, kegelisahan kita tecermin dalam ungkapan yang dilontarkan Gerard Bibang, seorang sosiolinguistik, dengan pertanyaan, "Mungkinkah manusia tanpa kebudayaan, atau kebudayaan tanpa manusia?" Jawabannya adalah mustahil.

Kebudayaan adalah produk khas manusia. Ancaman terhadap bahasa adalah ancaman kebudayaan. Ancaman kebudayaan adalah ancaman terhadap manusia. Kristalisasi pemikiran ini membawa kita pada pemahaman bahasa sebagai penanda kebudayaan merupakan suatu kebutuhan mutlak. Tidak bisa tidak. Wajar jika kita mengikrarkan dan mengikhtiarkan perjuangan mempertahankan bahasa-bahasa, dari segi tertentu, sebagai perjuangan mempertahankan eksistensi dan kebudayaan masyarakat pemakainya. Bahasa telah menjadi eksistensi dan kehidupan. Begitu juga dengan bahasa Lampung.

Pascakolonialisme, lahir negara-bangsa Indonesia dan membaiat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa standar yang dipergunakan. Provokasi kemajuan iptek dan industrialisasi, menyebabkan kemajuan bahasa Indonesia dan pudarnya eksistensi bahasa-bahasa yang digunakan oleh etnis-etnis dalam negara bangsa Indonesia. Bahasa daerah, misalnya, bahasa Lampung, dianggap tidak memenuhi standar dan kebutuhan orang untuk berkomunikasi secara serbacepat, langsung, dan praktis. Bahasa yang berliku-liku dan beragam dirasakan sebagai kendala dan bakal tergusur. Peminggiran ini terkadang juga didukung keengganan penggunaan bahasa daerah oleh mayoritas penuturnya.

Memasuki serialitas berikutnya, di abad teknologi informasi ini, transformasi kebudayaan dan identitas kembali terjadi. Semua perangkat lunak dan perangkat keras masyarakat mau tak mau harus berubah. Pertanyaan "siapakah kita?" jadi sangat aktual berhadapan dengan lalu lintas global yang terus menerus menawarkan petikan-petikan identitas dari bermacam-macam wilayah dunia ini.

Dalam bimbingan Ben Anderson, Arjun Appadurai dalam bukunya Modernity at Large. Cultural Dimensions of Globalization (1996) juga membayangkan transformasi masyarakat dan kebudayaannya. Antropolog asal India itu bukan hanya tertarik pada fenomena nasionalisme, melainkan mencoba mengerti apa yang dewasa ini disebut dengan globalisasi budaya, yaitu fenomena kebudayaan yang tidak terikat kepada negara-bangsa lagi.

Appadurai melihat dewasa ini dunia media dan teknologi informasi sangat bervariasi. Negara-bangsa tidak lagi merupakan kerangka utama untuk media. Ini menjadi satu faktor paling baru, bahkan paling dashyat membahayakan kecepatan punahnya bahasa-bahasa sebagai identitas suatu komunitas masyarakat. Terpenting semakin cepat menggerus welstanchaung masyarakatnya. Begitu juga pada masyarakat Lampung.

Satu solusi yang diberikan pemerintah daerah Lampung--meminjam contoh yang dibuat Budi Hutasuhut--belum merupakan jaminan bahwa welstanchaung itu akan lestari dan dihayati dalam lelakon kehidupan masyarakat Lampung sehari-hari. Saya bersepakat dengan pertanyaan, "masih relevan atau tidak piil pasenggiri yang merupakan welstanchaung orang Lampung saat ini?"

Eksistensi dan berlakunya piil pasenggiri secara fungsional juga tergantung dengan situasi dan kondisi kehidupan dan realitas sosial-budaya yang lain. Dengan demikian, bila ada desakan terhadap piil pasenggiri dalam suatu perubahan sosial mungkin bisa dikaji dalam waktu dunia--meminjam bahasa Anthony Giddens--berarti perlu menekankan adanya pengaruh berbagai bentuk sistem kemasyarakatan yang relevan terhadap transisi episodis ini.

Seperti tantangan Udo Z. Karzi, "Syukur-syukur ada interprestasi (pun penerjemahan dalam praksis) baru tentang piil pasenggiri." Bagaimana episode selanjutnya?

* Galih Priadi S.S., Peneliti pada Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL)

Sumber: Lampung Post, 14 Desember 2006

Esai: Dilema Masyarakat Adat (Bagian Terakhir dari 2 Tulisan)

-- A. Fauzie Nurdin*


SEBENARNYA, dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, klan kecil dapat dibedakan antara Pepadun dengan Saibatin. Sementara klan besar lebih tampak pada hubungan antara kelompok masyarakat yang dapat dihimpun dalam komunitas adat Lampung.

Dalam konteks itu, para punyimbang dan dalom perlu pemikiran berdasar kesadaran kritis untuk mengaktualisasikan "wadah" atau "media" dalam bentuk organisasi "Dewan Kebudayaan Lampung" yang dirancang secara konseptual berdasar strategi kebudayaan (revitalisasi-dekonstruksi kebudayaan Lampung) yang rasional dan mampu menjawab persoalan masyarakat adat di masa depan. Sebab, kebudayaan adalah karya kita sendiri, tanggung jawab kita sendiri; dan relasi terhadap hidup kita sendiri.

Jika dipahami, kebudayaan sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan umat manusia, maka pengembangan kebudayaan tidak terlaksana di luar kita sendiri, tetapi justru kita sebagai pelaku budaya yang harus menemukan strategi dan membangun kebudayaan berdasar kebersamaan untuk kita bersama, di tengah persaingan identitas budaya lokal di era global.

Mengenai persoalan otonomi masyarakat adat, diperlukan peran eksvansif negara ke masyarakat yang merampas habis otonominya. Otonomi masyarakat adat yang dimaksudkan mengandung dua hak: hak bawaan dan hak pemberian.

Hak bawaan adalah hak asli yang dimiliki sejak dulu. Sedangkan hak pemberian adalah hak yang diberikan pihak luar seperti negara, untuk melindungi sekaligus memberdayakan komunitas adat tersebut, yang sejalan dengan percepatan pembangunan daerah.

Jika mencermati otonomi masyarakat adat, ada dua tema penting yakni siapa yang dimaksud komunitas adat dan apa itu otonomi bagi komunitas adat. Konsep itu mengutip definisi para aktivis NGO pada tahun 1991, yang menegaskan, masyarakat adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak untuk menempati (memiliki) wilayah tertentu, memiliki dan menerapkankan aturan tertentu, memiliki dan memakai sistem organisasi yang ada (tata pemerintahana/self governing community), serta bercirikan pola komunikasi face to face antarwarga dan anggotanya.

Persoalannya di masa lalu dan juga di masa sekarang, otonomi masyarakat adat dianggap sebagai hal yang akan mengancam kepentingan ekonomi dan politik dari nation-state. Tak mengherankan jika kemudian otonomi masyarakat hanya menjadi lips service dan kosmetik di wajah negara yang tak pernah dianggap serius. Alhasil, terjadi eksploitasi dan polarisasi terhadap masyarakat adat oleh penguasa dan berbagai kelompok kepentingan, tanpa upaya serius untuk memberdayakannya.

Dari perspektif yang berbeda, kita perlu mendefinisikan kembali tentang masyarakat adat. Lebih dari itu, jangan hanya terfokus pada otonomi dari sisi politik dan ekonomi, begitu juga dengan isu marginalisasi: jangan hanya dipahami dari sisi ekonomi dan politik.

Perlu dipertimbangkan merginalisasi dari sudut budaya. Marginalisasi budaya lokal itu bisa terjadi misalnya pada kondisi tata ruang berubah begitu cepat, sementara pada masyarakat terjadi arus manusia mengalir begitu cepat. Masyarakat tiba-tiba gagap bagaimana dia harus bersikap.

Beberapa pengalaman pendampingan dan pemberdayaan di berbagai suku asli dalam masyarakat adat, ternyata dalam masyarakat sekarang ini seringkali muncul stereotip terhadap masyarakat adat. Masyarakat luar (jika bupati atau wali kota) bukan penduduk asli seringkali menganggap remeh budaya lokal, bahkan peradaban dan kebudayaan mereka.

Pernah ada sekelompok masyarakat adat Pubian--Panitia Pembangunan Balai Adat (Sessat Agung)--di satu desa di Kabupaten Lampung Selatan yang mengajukan permohonan kepada bupati. Faktanya, sangat sulit untuk mendapat dukungan dan bantuan padahal perencanaan pembangunan fisik (gambar teknis, anggaran, dan kepanitiaan) sudah siap.

Hanya izin pinjam pakai tanah untuk bangunan yang tidak lebih dari setengah hektare, tidak mendapat jawaban persetujuan yang pasti, meski sudah pendekatan dengan DPRD (Komisi A), menemui Bupati ke rumah, dan menyita waktu lebih dari empat bulan.

Persoalan yang perlu dirumuskan jawabannya, bagaimana membangun demokrasi dan meberdayakan masyarakat adat dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya? Berdasar basis masa lalu ataukah mencoba membangun identitas imajinatif tentang masa depan untuk percepatan pembangunan daerah.

Namun, setidaknya ada berbagai kritik dan masukan yang sangat berharga dalam memahami ulang masyarakat adat. Masukan yang penting untuk mempertimbangkan: bagaimana memberdayakan masyarakat adat melalui keberadaan Lembaga Masyarakat Adat Lampung (LMAL) dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya, terutama di hadapan penguasa daerah; terlebih lagi ketika berhadapan dengan gurita raksasa globalisasi.

Di balik itu, sekecil apa pun pemikiran dan tindakan yang dilakukan dengan ikhlas atas dasar iman dan ihsan, semoga menjadi ibadah kita dalam proses pembebasan yang dirindukan oleh hati yang tulus setiap insan untuk mencapai rida Allah swt. Amin.

* A. Fauzie Nurdin, Staf Pengajar Pascasarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Kamis, 14 Desember 2006

Saturday, December 09, 2006

Esai: Dilema Masyarakat Adat (Bagian Pertama dari 2 Tulisan)

-- A. Fauzie Nurdin*

DEMOKRASI yang terjadi cenderung tanpa peduli dengan etika dan moral, yang kini menjamah masyarakat desa dan komunitas adat, yang selama ini hanya menjadi lahan subur untuk menggali energi ekonomi dan politik bagi negara. Problem penyeragaman dan eksploitasi ekonomi tak pelak hadir sebagai isu yang penting dalam konteks ini.

Akibatnya, tuntutan untuk kembali ke otonomi adat menyeruak ke permukaan dan bersanding dengan wacana desentralisasi. Aspirasi yang menyuarakan suara rakyat inilah kini menjadi ujaran lantang yang mesti direspon dengan seksama dan disepakati dalam proses reformasi.

Dalam rangka melacak lebih jauh tentang problematika yang berkembang dalam isu otonomi dan demokratisasi adat, pertanyaan penting tentang dilema masyarakat adat antara lain: sejauh mana urgensi serta relevansi demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat adat? Mengapa harus menyoal otonomi masyarakat adat? Logika seperti apa yang membingkainya dan bagaimana proses itu dijalankan ?

Proses marjinalisasi masyarakat adat sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Struktur adat yang ada saat ini banyak berubah akibat marjinalisasi itu. Contoh, bagaimana struktur masyarakat Sawu di NTT yang dicabik-cabik politik ruang-nya Belanda melalui sistem administrasi. Belanda menetapkan sendiri pusat administratif untuk Kepulauan Sawu di daerah Seba, salah satu teritori adat yang dalam prinsip adat dikategorikan sebagai daerah tepi.

Belanda mengabaikan prinsip pusat dan tepi yang diyakini masyarakat Sawu, dan contoh lain, punahnya tanah hak ulayat di Lampung, yang dipahami sebagai cara untuk menjadikan centre politik masyarakat adat sebagai pinggiran dan sebaliknya wilayah pinggiran justru dijadikan centre ekonomi politik.

Kritik itu memberi arti, struktur masyarakat adat yang dikembangkan di tengah-tengah proses marjinalisasi dapat mengecohkan pemahaman terhadap komunitas adat, karena muatan-muatan yang ada di dalam struktur itu menjadi sarat kepentingan. Oleh karena itu perlu penggalian (identifikasi) struktur komunitas adat yang belum terkontaminasi, tidak dalam pengertian mencari yang asli, namun berusaha memahami yang masih tersisa secara lebih dalam dan benar.

Demokratisasi masyarakat hanya akan berarti kalau struktur masyarakat adat yang sebenarnya (bukan semu) sudah dikenali, sehingga dapat diberdayakan sejalan percepatan pembangunan di era otonomi daerah. Persoalan yang perlu dipertanyakan, bagaimana relevansi logika demokratisasi dengan pemberdayaan masyarakat adat.

Dalam hal ini, perlu diawali dari melacak unit sosial (komunitas adat) mana yang akan didemokratiskan. Kalau memulai proses demokratisasi dari masyarakat adat, sering kehidupan demokrasi dan relasi antarkomunitas masyarakat di suatu negara akan terancam dan muncul ketegangan. Sebab, tanpa civic community, civil society bisa menjadi bahaya baru yang berwajah fasis a la Hittler.

Selain itu memberdayaan kehidupan demokrasi di tingkat komunitas adat akan berisiko menghadapi kekuasaan negara yang represif terhadap mereka. Kini diperlukan kesadaran akan rasa memiliki dan tanggung-jawab bersama terhadap budaya lokal agar masyarakat adat dapat diberdayakan.

Pilihan lain, membangun demokrasi di tingkat nasional dan memberdayakan masyarakat adat. Namun konsekuensinya di komunitas adat tetap muncul model "bos" dan feodalisme.

Di negara yang plural, semangat demokrasi dapat dibangun dengan mengorbankan demokratisasi di unit-unit komunitasnya. Hal ini dapat dipengaruhi pemikiran para ahli yang mengatakan, sesungguhnya sangat sulit mewujudkan demokratisasi di negara yang plural.

Demokratisasi dengan jalan ini mengandaikan pentingnya integritas kelompok-kelompok masyarakat, termasuk karakter-karakter dasarnya. Kedua pilihan itu sangat dilematis akan tetapi harus ada pilihan dan strategi yang jelas. Demokratisasi masyarakat adat akan memiliki resiko dimana integritas masyarakat adat tidak perlu diberi harga mati.

Kalau itu dipertanyakan, tentu akan menimbulkan banyak ketegangan. Tetapi kalau demokrasi di tingkat nasional yang dimunculkan, maka resikonya akan ada "bos-isme" di dalam masyarakat adat itu. Dengan cara ini, mungkin di dalam masyarakat adat tidak ada demokrasi, tetapi kelestarian mereka berlangsung.

Kini yang perlu dipertanyakan mengenai spirit pemberdayaan masyarakat adat. Kata "pemberdayaan", dapat saja bias modernis. Kaum modernis mengandaikan dirinya paling tahu jalan terbaik yang akan dituju, masyarakat lain tidak. Karenanya mereka yang tidak tahu jalan itu harus diberdayakan.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat adat, pemberdayaan ditujukan agar mereka mandiri dan berkemampuan menghadapi dampak globalisasi. Untuk dapat menghadapi itu semua, perlu diintegrasikan ke dalam sebuah sistem.

Bisa jadi sistem itu adalah negara, mereka didorong untuk menjadi salah satu pelaku. Dapat diduga, ada kontradiksi dalam spirit pemberdayaan. Semangatnya ingin memberdayakan, tetapi justru pada saat yang sama menggiring mereka masuk dalam sistem yang sebenarnya memarjinalkan. Beberapa indikasi, dapat dicarikan pembuktiannya, yang tentunya melalui penelitian ilmiah.

Kecurigaan itu dapat terjadi dalam beberapa hal, yang sesungguhnya konsep globalisasi perlu juga dipertimbangkan. Globalisasi memang bisa dilihat sebagai suatu eksploitasi baru dari pasar terhadap masyarakat. Namun, ternyata globalisasi juga melihat dan menghargai heterogenisasi. Ini yang membedakan era global dengan era modernis. Era globalisasi menunjukkan adanya proses menguatnya pluralisme.

Masyarakat Adat Lampung

Masyarakat adat Lampung terdiri dari dua macam kelompok adat: Pepadun dan Saibatin (Pesisir). Kedua kelompok masyarakat itu berkembang atas landasan dasar budaya yang sama: bahasa, tulisan, filsafat hidup, dan kini terdapat organisasi masa yang dapat diterima semua kelompok dalam masyarakat Lampung: Lampung Sai.

Meski dalam penggunaan bahasa terdapat ragam dialek yang dinamis, tetapi pada hakikatnya masyarakat adat Lampung memiliki kebudayaan yang satu dan bersifat dinamis. Terdapat interaksi dan akulturasi budaya dalam proses tranformasi sosial, yang secara empiris dipengaruhi kondisi lokal, regional, dan global.

Dalam masyarakat adat terdapat sistem kekerabatan, yang terdiri dalam kelompok-kelompok: keluarga inti (batih/nuclear families), keluarga luas (suku/extended families), klen kecil (keluarga berdasar keturunan dalam kerabat adat), dan klen besar (buay atau gabungan beberapa keluarga tersebut).

Koentjaraningrat menyebut keluarga batih adalah kelompok kekerabatan yang didasar ikatan perkawinan; dan keluarga luas adalah ikatan dari beberapa keluarga batih yang memunyai hubungan kekerabatan dari satu tokoh atau satu keluarga yang masih hidup sebagai pusat perhitungannya (ego-oriented kingroups). Klen kecil dan klen besar adalah kelompok yang mempunyai hubungan kekerabatan yang diperhitungkan dengan mengambil seorang nenek moyang tertentu sebagai pangkal perhitungannya.

Klen kecil dalam masyarakat berkemampuan untuk bersatu hati dalam membangun persaudaraan yang dipahami sebagai muakhi dan kemuakhian, dan menegakkan ketentuan (adat istiadat) yang terstruktur dalam sistem pemerintahan adat sesuai norma adat yang berlaku. Dengan kata lain, masyarakat adat seharusnya mempunyai wilayah adat yang jelas.

* A. Fauzie Nurdin, Staf Pengajar Pascasarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 9 Desember 2006

Wednesday, December 06, 2006

Esai: Hal Ihwal Identitas Lampung

-- Budi Hutasuhut*


Hal ihwal identitas dalam produk-produk kebudayaan kita, termasuk dalam karya sastra, melahirkan polemik yang tak berkesudahan sejak zaman Sutan Takdir Alisjahbana. Kesimpulan dari setiap polemik selalu saja "tak ada yang bisa disimpulkan" karena semua identitas yang bertebaran di lingkungan masyarakat memiliki argumentasi yang cocok dan pas untuk menjadi representasi nasional.

Setiap kelompok mengakui bahwa identitas yang dimilikinya paling representatif, tetapi mereka tidak pernah berjiwa besar untuk mengakui bahwa semua identitas yang ada di negeri ini bisa menjadi representasi nasional. Karena keyakinan itu, setiap kelompok akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya agar identitas yang dimilikinya mendapat pengakuan secara luas sebagai orientasi nasionalisme.

Dengan cara berpikir itu, mereka memosisikan identitas kelompok lain sebagai lain (the other), sesuatu yang tak perlu diperhatikan apalagi dipikirkan. Mereka malah berharap identitas di luar identitasnya harus dipunahkan agar kelompok-kelompok pemilik identitas bersangkutan bisa mengubah orientasinya.

Tetapi, mereka tidak pernah secara bijak untuk menjelaskan kenapa kelompok lain harus menerima identitas mereka tanpa sikap kritis. Karena sebetulnya mereka sendiri kurang paham dengan identitas yang dimiliki, meskipun berusaha mempertahankannya dengan cara yang sering mengorbankan rasa kemanusiaan.

***

SITUASI seperti itulah yang dapat ditangkap dari tulisan Firdaus Augustian, Fachruddin, Muhammad Aqil Irham, dan Udo Z. Karzi yang dimuat beberapa hari di koran ini. Setiap upaya yang dilakukan para penulis untuk membicarakan kembali ihwal falsafat hidup orang Lampung--bahkan termasuk upaya Rizani Puspanegara dalam menulis buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran--lebih kuat dipengaruhi keinginan agar identitas Lampung menjadi representasi seluruh masyarakat di provinsi ini.

Inilah politik representasi yang sudah tentu akan mengalami benturan keras dengan ragam identitas kebudayaan yang tumbuh di provinsi ini. Bukan saja disebabkan kelompok-kelompok yang ada juga memiliki keinginan agar identitas kebudayaannya menjadi representasi nasional, tetapi karena masih belum jelas bagi siapa saja mengenai batas-batas demarkasi identitas Lampung itu sendiri.

Sampai detik ini, di antara pemilik identitas Lampung ada dua identitas yang sangat dominan dan mendapat pengakuan dari pemerintah. Identitas pertama menyebut diri Pepadun, yang lain menyebut diri Peminggir (Pesisir). Tegasnya batas demarkasi antara keduanya, paling nyata pada wilayah demografi, sistem sosial, sistem budaya, dan pola mata pencaharian para penganutnya. Sebagai contoh, orang Lampung dapat dengan mudah dibedakan dari bentuk atap rumah tradisonalnya, ditambah lagi persoalan dialek bahasanya.

Setiap penganut kedua identitas ini sama-sama berusaha menjadi representasi Lampung, yang justru menyebabkan hal itu sulit terealisasi. Semestinya mereka menyadari pentingnya menjaga harmoni. Tetapi, sekalipun setiap identitas telah memperlihatkan kemampuan luar biasa untuk menjaga harmoni, pada sisi lain kita melihat betapa kedua penganut identitas ini sulit dipersatukan karena batas demarkasi diantara keduanya sangat tegas.

Seseorang dari penganut identitas Peminggir (Pesisir), sulit diterima dalam lingkungan masyarakat penganut identitas Pepadun. Namun, penganut identitas Peminggir (Pesisir) baru bisa diterima lewat sebuah proses adat yang sangat panjang dan melelahkan. Prosesi adat itu bisa diterima sebagai upaya untuk menjaga harmoni, tetapi dampaknya tidak bisa diterima akan melahirkan suatu keadaan ideal.

***

KETIDAKJELASAN identitas Lampung menyebabkan penganut ragama identitas budaya yang ada tidak terlalu peduli terhadap masa depan identitas Lampung. Bagaimana mungkin penganut identitas lain akan peduli dengan identitas Lampung, sementara penganut identitas Lampung itu tidak pernah memperlihatkan kesungguh-sungguhan mereka untuk menjaga harmoni dengan menciptakan sebuah situasi yang ideal.

Sebab itu, perlu dirumuskan satu solusi seperti yang telah dilakukan ketika Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tari Sembah (Sigeh Pengunten). Tari yang diresmikan sebagai tarian Lampung untuk menyambut para tamu penting di pemerintahan itu, merupakan hasil kreasi para kereografer dengan cara mengambil gerakan-gerakan dari sejumlah tarian yang dimiliki identitas Pepadun maupun Peminggir (Pesisir).

Penerimaan terhadap Tari Sigeh Pengunten kreasi baru ini menunjukkan bahwa setiap penganut identitas Lampung bisa menerima hal baru yang dirumuskan dari produk-produk kebudayaan mereka. Artinya, identitas Lampung yang dualisme menjadi satu dalam tari Sigeh Pengunten.

Hal serupa ini bisa diwujudkan dengan merumuskan identitas Lampung yang tidak dualisme dan bisa diterima seluruh kalangan. Dalam bahasa, misalnya, perlu dirumuskan satu bahasa yang menyimpan di dalam warisan identitas Pepadun maupun Peminggir (Pesisir).

Ketika bahasa Lampung hasil kesepakatan itu disosialisasikan kepada penganut identitas berbeda yang ada di provinsi ini, hal itu tidak lagi menimbulkan kesulitan berarti. Bahkan, ketika dalam muatan lokal bahasa Lampung masuk dalam materi kurikulum dunia pendidikan, publik yang luas tidak akan mengajukan pertanyaan: Apakah muatan lokal bahasa Lampung itu menggudakan dialek "nyo" atau dialek "api".

Setiap orang akan meyakini dan mempelajari bahwa "inilah bahasa Lampung". Soal dialek yang berbeda, "nyo" atau "api", biarkan menjadi keragaman yang memperkaya khazanah budaya Lampung, terutama pada tingkat aplikasi dalam percakapan sehari-hari.

Tentu saja semua ini akan terwujud jika mereka yang merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian identitas Lampung tidak cuma memikirkan identitas Pepadun atau Peminggir (Pesisir). Jika ini berhasil, bukan hal yang sulit untuk menafsirkan kembali falsafat hidup piil pesenggiri yang dibanggakan orang Lampung.

* Budi Hutasuhut, Aktif di Dewan Kesenian Lampung

Sumber: Lampung Post, Selasa, 5 Desember 2006

Wednesday, November 29, 2006

Esai: Piil Pesenggiri, Antara Langit dan Bumi

(Diskusi buat Firdaus Augustian dan Fachruddin)

-- Muhamamad Aqil Irham*



Saya sangat berterima kasih atas undangan LSM Cerdas dan Lampung Post pada 19 Oktober 2006 di Hotel Indra Puri. Dalam diskusi membedah buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran karya Rizani Puspawijaya, salah seorang tokoh adat sekaligus akademisi yang telah memperkenalkan piil pesenggiri. Tokoh LSM, akademisi berbagai perguruan tinggi, praktisi pers, dan ormas hadir memberi tanggapan dan krrtik atas isi buku tersebut.

Firdaus Augustian, peserta bedah buku mengkritisi piil pesenggiri dan ternyata kemudian ide-idenya dituangkan dalam di Lampung Post, 11 November 2006, "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri". Tulisan tersebut ditanggapi Fachruddin, "Piil Pesenggiri Bukan Puzzle" (Lampung Post, 18 November 2006).

Tulisan Firdaus Augustian dan Fachruddin berbeda dalam aspek pendekatan. Pendekatan pertama berada pada domain analisis atas realitas empirik sosiologis (baca: bumi), sedangkan Fachrudin lewat pendekatan idealitas-filosofis-historis (baca: langit).

Tulisan saya berusaha menyinergikan kedua pendekatan tersebut untuk keperluan pembangunan sistem nilai baru bagi masyarakat Lampung yang majemuk.

Masyarakat Lampung, sebagai kelompok etnik dalam sejarahnya pernah mencapai puncak peradaban yang tinggi dan dikenal oleh puncak-puncak peradaban dunia. Era itu saya sebut sebagai zaman keemasan bagi komunitas etnik Lampung. Beberapa ciri suatu masyarakat memiliki peradaban ditandai adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Memiliki kebudayaan yang tercermin dalam ilmu pengetahuan, budaya, tradisi, bahasa, arsitektur, sastra (seni), termasuk adat istiadat yang establish secara turun-temurun.

Filsafat dan falsafah hidup piil pasenggiri, bahasa Lampung dalam dialek nyow dan api, aksara-baca tulis (ka ga nga), tatanan pemerintahan yang terbukukan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), kerajaan dan keratuan, sastra lisan dan tulisan, hasil kerajinan tenun tapis, teknologi arsitektur rumah panggung, sesat agung, pakaian, senjata, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan adalah bukti masyarakat etnik Lampung pernah mengalami kebudayaan dan puncak peradaban.

Sebagai daerah strategis dan terbuka, komunitas Lampung kemudian diketahui dunia luar, sehingga mengundang orang datang berinteraksi menjalin hubungan politik dan dagang, baik dari Cina maupun Eropa. Kisah sukses ini karena orang Lampung memiliki semangat dan etos piil pesenggiri. Etos ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang di tengah-tengah masyarakat (status sosial).

Adakah jejak-jejak dan bekas-bekas kebudayaan dan peradaban yang amat agung tersebut di era kontemporer dewasa ini?

Orang Lampung hari ini sudah mulai tak kenal bahasanya sendiri. Aksara baca tulisnya, tidak banyak yang tahu tentang hukum adatnya, banyak yang kurang memahami falsafah hidup piil pesenggiri. Bahkan, yang sangat ironis orang Lampung dipersepsikan banyak orang sebagai orang yang malas, etos kerjanya rendah, pendidikannya rendah, dan stereotipe kurang baik lainnya.

Alhasil sebagai kelompok etnik, Lampung telah terjadi mobilitas sosial vertikal yang turun secara tajam dan terkesan menjadi penonton, bahkan tamu di rumahnya sendiri. Faktanya, kita akan mengalami kesulitan mencari dan menemukan di tengah-tengah komunitas (pekon, tiyuh, anek) yang masih memegang teguh nilai-nilai piil pesenggiri secara genuine.

Dahulu, piil pesenggiri sebagai falsafah hidup dan sistem nilai, norma sosial terintegrasi dalam sikap dan perilaku hidup masyarakat. Meskipun terdapat dalam kitab dan melembaga dalam kehidupan, belum menjadi kajian secara akademik.

Bagi masyarakat etnik Lampung, tradisi lisan lebih mendominasi khususnya di kalangan masyarakat awam. Tradisi tulisan (kitab-kitab hukum adat, sastra, dalam aksara Lampung) hanya ada di kalangan elite (tokoh adat) yang tidak diwariskan melalui proses belajar/diajarkan. Belakangan nilai-nilai tersebut disistematisasikan secara akademik oleh Hilman Hadikusuma dan Rizani Puspawijaya. Kemudian wacana ini meluas di tingkat elite pemerintahan maupun tokoh masyarakat, dan akhirnya diakomodasi sebagai pendekatan politik-kultural dalam pembangunan di Lampung.

Wacana piil pesenggiri dewasa ini marak secara teoritik, filosofis, dan historis, namun realitas empirik sosiologis sudah mulai tak terlihat aktualitasnya. Kesan ini dianggap Firdaus Augustian bahwa piil pesenggiri telah kehilangan relevansinya dalam dunia yang mengglobal. Bagi saya, pandangan ini tidak keliru, meskipun tidak sepenuhnya benar. Seharusnya ini menjadi starting point melakukan otokritik atas nilai-nilai yang disadari atau tidak sudah mulai pudar.

Masyarakat etnik Lampung sebagai sebuah komunitas sedang mengalami perubahan sosial yang sangat mendasar dan dramatis akibat developmentalisme dan modernisme sebagai paradigma pembangunan pasca-Indonesia merdeka. Nilai-nilai kearifan lokal, termasuk piil pesenggiri dan sistem budaya lainnya, dianggap kurang mendukung pembangunan kalau tidak dikatakan menghambat pembangunan.

Terpisahnya nilai-nilai "langit" dengan sikap hidup aktual sebagai implementasi dalam domain "bumi" menyebabkan perdebatan dan polemik piil pesenggiri semakin abstrak, yang berada pada posisi antara langit dan bumi.

Mewacanakan piil pesenggiri dengan sengaja melepaskan nilai-nilai historis filosofis adalah naif dan ahistoris. Begitu pun sebaliknya dengan asyiknya kita bermain di tataran filosofis historis tanpa berpijak pada realitas perubahan dan kondisi kekinian akan terjebak pada sikap romantisme dan apologetik.

Adalah hal yang menarik bila keprihatinan ini mengarah pada kesadaran melakukan penelitian dengan pertanyaan mendasar mengapa hal itu bisa terjadi dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya dan akibatnya?

Dalam perkembangan sejarah yang cukup panjang dengan melewati fase-fase pemerintahan dari keratuan, kerajaan, masa penjajahan, era kemerdekaan, dan pembangunan, masyarakat Lampung mengalami proses perubahan sosial yang cukup signifikan dalam berbagai aspek, yaitu meliputi perubahan struktur sosial politik budaya dan ekonomi.

Perubahan sosial tersebut disebabkan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, kebijakan penjajah Belanda menerapkan kebijakan kolonisasi tahun 1905 untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan, kebijakan pemerintah sejak Indonesia merdeka dan diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Faktor internal adalah kelambanan adaptasi atas perubahan sosial yang terjadi. Di antara yang cukup penting adalah perubahan pola nafkah di sektor pertanian ke luar sektor pertanian, seperti lapangan pekerjaan baru di birokrasi pemerintahan, dan industri tanpa diikuti akses pengetahuan dan keterampilan. Proses ini terjadi secara alamiah tanpa dukungan desain perencanaan dan kebijakan pemerintah.

Untuk itu patut kita cermati perkembangan tersebut. Mengkritisi dan mempertanyakan, menemukan pola dan kebijakan baru dan tepat. Kenyataan atas pluralitas, khususnya dari segi kesukubangsaan pendatang?

Tidakkah pluralitas kesukubangsaan ini menawarkan sistem nilai lain? Apakah proses asimiliasi, akulturasi, dan integrasi sudah terjadi di masyarakat kita? Mungkinkah kita mampu membangun falsafah hidup dan sistem nilai baru dalam bingkai pluralitas kesukubangsaan? Apakah relevan kita meredefinisi, reinterpretasi, dan reaktualisasi piil pesenggiri yang dibangun dari fenomena empirik masyarakat kita hari ini dan dalam perspektif ke depan? Betapa urgenkah itu untuk kita risaukan?

* Muhamamad Aqil Irham, Direktur Fordemala dan Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 November 2006

Sunday, November 26, 2006

Editorial: Pelajaran Berharga dari Konflik Lampung

KONFLIK politik Lampung yang melelahkan itu berakhir. Gubernur Lampung Sjahroedin Zainal Pagaralam dan Ketua DPRD Indra Karyadi melaporkan islah itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jumat (23/11). Ini artinya Sjachroedin tetap Gubernur Lampung hingga masa tugasnya berakhir pada 2009.

Konflik politik Lampung harus menjadi pelajaran yang amat berharga. Betapa saling meniadakan antara dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif, merugikan semua pihak. Eksekutif tidak bisa bekerja maksimal karena berbagai program yang berkaitan dengan anggaran diganjal legislatif. Yang rugi bukan siapa-siapa, melainkan seluruh rakyat Lampung. Karena ujung dari pemerintahan adalah untuk rakyat.

Meskipun konflik antara gubernur dan DPRD terjadi sejak Juli tahun lalu, masyarakat Lampung sesungguhnya sudah tidak mempunyai gubernur definitif sejak 30 Desember 2002. Waktu itu pasangan Alzier Dianis Thabranie dan Anshori Yunus terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2002-2007. Mereka tidak pernah dilantik karena Alzier diduga tersangkut kasus pidana. Alzier bahkan dibawa paksa ke Mabes Polri karena tuduhan itu.

Mendagri (waktu itu Hari Sabarno) pada Desember 2003 membatalkan kemenangan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini berpindah ke Partai Golkar itu. Tetapi, pada Mei 2004, Alzier memenangi gugatan atas Mendagri. Pembatalannya sebagai Gubernur Lampung dinilai tidak sah.

Beberapa hari setelah Alzier memenangi gugatan, Sjachroedin dan Syamsurya Ryacudu terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. DPRD kemudian menetapkan pasangan itu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2004-2009.

Sementara itu, Alzier terus mencari keadilan dan Mahkamah Agung (MA) memenangkannya atas perkara kasasi melawan Mendagri. Juli tahun lalu MA pun menyerahkan konflik Lampung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masih pada bulan yang sama, DPRD Lampung dalam sidang paripurnanya tak mengakui Sjachroedin sebagai gubernur.

Sejak itulah boikot-memboikot program-program kedua lembaga itu terjadi. Hubungan Gubernur Sjachroedin yang diusung PDIP dan Wakil Gubernur Syamsurya yang dari Golkar ikut terganggu. Ketidakkompakan itu kian 'menyempurnakan' konflik politik Lampung.

Karena itu, sekali lagi, konflik politik di Lampung harus menjadi pelajaran berharga. Bahwa, dalam alam demokrasi seperti sekarang, roda pemerintahan tidak akan berjalan optimal tanpa 'kemitraan' eksekutif dan legislatif. Konflik itu ternyata hanya membuahkan ketidakpastian rakyat.

Padahal, politik yang sesungguhnya adalah bagaimana memerintah secara benar. Politik selalu punya cara untuk mengatasi konflik. Anehlah jika konflik politik tak bisa diselesaikan.

Sekeras apa pun permainan politik tidak boleh mengorbankan rakyat. Sebab rakyat modal utama pemerintahan. Karena itu, dalam keadaan apa pun, rakyat harus mendapat penghormatan terdepan. Adalah sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan jika para elite politik hanya mementingkan diri sendiri, dan bukan untuk rakyat.

Islah politik Lampung harus dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan-perbaikan kehidupan rakyat yang selama ini terabaikan.

Para elite yang menggenggam kekuasaan hanya untuk kepentingan dan kekayaan diri sendiri, harus bersiap-siap turun gelanggang politik. Jika tidak, rakyat menilai demokrasi tak punya makna apa-apa, kecuali untuk para elite. Dan, ketidakpercayaan pada elite kini telah menjadi kenyataan. Elite Lampung dan juga elite di seluruh negeri ini harus cepat mengembalikan ketidakpercayaan itu.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 November 2006

Saturday, November 25, 2006

Konflik Lampung Berakhir

BANDAR LAMPUNG (Lampost): DPRD Lampung dan Gubernur Sjachroedin Z.P. mengakhiri perseteruan yang berlangsung sejak 16 bulan silam.

KONFLIK LAMPUNG. Presiden Yudhoyono (kedua dari kanan), didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan), menerima Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. (kedua dari kiri) dan Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi (kiri) di Istana Kepresidenan, Jumat (24-11). Pertemuan itu juga dihadiri Wagub Syamsurya Ryacudu dan tiga wakil ketua DPRD. (RUMGAPRES)

"Sjachroedin tetap gubernur Lampung hingga akhir masa jabatannya," kata Menteri Dalam Negeri Moh. Ma'ruf di Kantor Kepresidenan, Jumat (24-11).

Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menerima Gubernur Sjachroedin Z.P. dan Ketua DPRD Indra Karyadi beserta rombongan selama satu jam untuk membicarakan Lampung. "Ini kali pertama Presiden dan Wapres bersama-sama menerima seorang gubernur dan pimpinan DPRD," kata dia.

Mendagri menegaskan Gubernur Sjachroedin dan Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu tetap memimpin Lampung hingga 2009 sesuai dengan Keppres No. 71/M/2005. Sementara itu, menurut Sjachroedin, Presiden berharap eksekutif dan legislatif Lampung dapat membangun hubungan harmonis agar pembangunan berjalan lancar dan masyarakat sejahtera.

Sebelum ke Istana, rombongan petinggi Lampung terdiri dari Sjachroedin Z.P., Syamsurya Ryacudu, Indra Karyadi beserta tiga wakilnya; Nurhasanah, Ismet Romas, dan Ahmad Junaidi Auli, lebih dulu bertemu dengan Moh. Ma'ruf di Depdagri pukul 10.15.

Pertemuan diawali laporan Sjachroedin bahwa DPRD Lampung sudah aktif kembali bertugas seperti sedia kala. Rapat paripurna yang biasanya dipimpin Nurhasanah, kini dipimpin Indra Karyadi dan dihadiri lengkap tiga wakilnya. Anggota DPRD yang hadir pun mencapai kuorum. Sementara itu, dari pihak pimpinan DPRD menyatakan mulai aktif menjalankan tugas dan fungsinya, terutama fungsi bujet dan pengawasan yang selama ini tidak optimal.

Setelah itu, dengan didampingi Mendagri, rombongan menuju Istana menemui Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Rombongan diterima pukul 11.00 dan saat itu di Istana sudah hadir Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan juru bicara Presiden Andi Mallarangeng. Rombongan diterima sampai pukul 12.00 karena memasuki waktu salat jumat. Usai salat, rombongan diundang dalam acara santap siang di Istana. "Saya ikut jamuan makan siang, tapi pada pertemuan resmi saya di luar," kata Asisten I Pemprov Lampung Irham Djaffar Lan Putra melalui ponselnya, tadi malam.

Pada kesempatan itu, Presiden menyambut baik DPRD yang mulai aktif kembali. Presiden dan Wapres juga menyoroti teknik kepemimpinan Gubernur Sjachroedin dalam menjalankan disiplin. Sjachroedin mengakui hal itu sebagai kekurangannya karena dia dibesarkan di lingkungan polisi, sehingga ada yang menilainya arogan. "Namun, semua itu dilakukan semata-mata untuk menegakkan disiplin," kata Irham mengutip Sjachroedin.

Usai pertemuan, Wapres Jusuf Kalla yang juga ketua umum DPP Partai Golkar menyatakan dapat menerima islah tersebut. Menurut Kalla, rapat DPP Partai Golkar meminta kadernya menerima Sjachroedin demi kepentingan daerah. Saat ditanya apakah Golkar mengakui Sjachroedin hingga masa jabatannya berakhir, Kalla mengiyakan: "Tentu, tapi bergantung pada perkembangan kepemimpinan bulan per bulan," ujarnya. n AAN/U-2

Sumber: Lampung Post, 25 November 2006

Gubernur, DPRD Lampung Islah

JAKARTA (Media): DPRD dan Gubernur Lampung Sjachroedin Z Pagaralam akhirnya islah guna mengakhiri perseteruan mereka yang selama ini menyebabkan mandegnya pemerintahan daerah tersebut.

''Mereka menyampaikan kepada Presiden bahwa pada dasarnya pihak-pihak (esekutif dan legislatif) yang bermasalah di sana (Lampung) sudah islah tepatnya pada 17 November,'' ujar Mendagri M Ma'ruf usai diterima Presiden di Kantor Presiden, kemarin.

Mendagri menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama jajaran eksekutif dan legislatif Lampung, seperti Gubernur Sjachroedin ZP, Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu, Ketua DPRD Indra Karyadi, Wakil Ketua DPRD Nurhasanah, Junaidi Auli, Ismet Romas, Abdulah Fadri Auli, dan Asisten Gubernur Bidang Pemerintahan Irham Jafar.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, dan Seskab Sudi Silalahi.

Menurut Mendagri, bagi pemerintah yang paling utama ialah roda pemerintahan di Lampung dapat berjalan dengan baik dan pelayanan publik tidak terbengkalai. Dia menegaskan Gubernur Sjachroedin ZP dan Wagub Syamsurya Ryacudu akan tetap memimpin Provinsi Lampung hingga 2009 sesuai dengan Keppres No 71/M/2005.

Menurut Sjachroedin, pimpinan eksekutif dan legislatif Provinsi Lampung melaporkan kepada Presiden bahwa kegiatan antara eksekutif dan legislatif di Lampung sudah berjalan normal.

"Ketua DPRD, para Wakil Ketua, dan eksekutif sudah melaksanakan sidang pleno dan membahas APBD 2007 yang dimulai 17 November 2006,'' jelas Sjachroedin.

Menurut Sjachroedin, Presiden Yudhoyono berharap eksekutif dan legislatif Provinsi Lampung dapat membangun hubungan yang lebih baik dan lebih harmonis agar program pembangunan berjalan lancar dan masyarakat sejahtera.

Konflik kepemimpinan di Lampung mencuat ketika DPRD memutuskan mencabut Surat Keputusan (SK) DPRD Lampung tentang penetapan Sjachroedin-Syamsurya sebagai Gubernur dan Wagub Lampung periode 2004-2009. DPRD juga mengeluarkan SK yang meminta Presiden mencabut Keppres 71/M/2205 yang mengukuhkan Sjachroeddin-Syamsurya.

Sikap DPRD itu diambil setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Alzier Dianis Thabrani sekaligus menyatakan dua SK Menteri Dalam Negeri yang menetapkan Sjahroedin-Syamsurya cacat hukum. Namun, MA tidak memerintahkan Alzier dikembalikan ke kursi gubernur.

Wakil Ketua DPRD Lampung Nurhasanah mengakui situasi konflik pimpinan daerah di Lampung sudah membaik. "Kita tidak berbicara tentang adanya berbagai kubu, tetapi bagaimana lebih kompak sebagai penyelenggara negara di Lampung. Kuncinya, semua harus melakukan sesuai aturan."

Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar mengatakan bisa menerima islah tersebut.

"Yang paling penting, kepemimpinan daerah di sana harus membuktikan bahwa dengan kembali pada fungsi masing-masing harus betul-betul daerah itu bisa berkembang," kata Kalla. (Wis/Rdn/Fud/MJ/X-11)

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 25 November 2006

Friday, November 24, 2006

Esai: Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

-- Udo Z. Karzi*


Terus terang, saya berharap banyak mendapatkan "sesuatu" ketika menghadiri peluncuran buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2006) karya H. Rizani Puspawidjaya, S.H. di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, 19 Oktober 2006. Meski telat saya dapat menangkap substansi dari acara ini: tak lebih dari membicarakan masalah lama yang -- menurut saya -- sudah terlalu sering dibahas.

Ah, mungkin saya terlalu berharap banyak pada pertemuan itu. Barangkali juga saya terlalu terobsesi ingin menemukan hal yang terasa menggairahkan dari apa yang saya angan dari "kebudayaan Lampung". Sungguh, terlalu minim untuk berbicara secara lebih komprehensif tentang yang disebut dengan kebudayaan Lampung. Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran terlalu sedikit untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang: Apa, siapa, dan bagaimanakah manusia dan kebudayaan Lampung itu?

Relatif tidak ada yang baru -- minimal interpretasi baru tentang kebudayaan Lampung -- dari isi buku ini. Kalau dirujuk, masalah-masalah yang dibahas tidak jauh dari hasil diskusi/seminar yang melibatkan, antara lain Prof. Hilman Hadikusuma (alm.), Anshori Djausal, A. Effendi Sanusi, Sanusi Husin, Firdaus Augustian, dan Rizani Puspawidjaya sendiri selama ini. Semua pembicaraan itu sebenarnya sudah terangkum dalam buku Adat Istiadat Lampung (diterbitkan Kanwil Depdikbud Lampung, 1979/1980; cetak ulang 1985/1986) yang ditulis Hilman Hadikusuma dkk.

Sebenarnya, tidak ada persoalan kalau tak ada buku-buku: Manusia Indonesia (karya Mochtar Lubis) yang disusul buku-buku tentang manusia/kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis/Makassar, Batak, Minangkabau, dan lain-lain yang ditulis para sejarahwan-sosiolog-antropolog. Dan, baru-baru ini terbit dua buku antropologi dan sejarah terjemahan: Bugis (karya Christian Pelras) dan Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda 1607-1636 (karya Denys Lombard).

Membaca buku-buku textbook itu, saya merasa semakin "cemburu" ketika dihadapkan pada sebuah konsep yang mahakomplek tentang manusia/masyarakat dan kebudayaan Lampung. Referensi yang sudah ada -- menurut saya -- sangat tidak cukup untuk menerangkan konsep itu. Kebanyakan ulun Lampung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, piil pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serbakecil semacam Tugu Siger, perbedaan Pepadun dan Peminggir (menurut textbook bukan Pesisir atau Saibatin!), dan pembagian orang Lampung secara sektarian (orang Abung, orang Menggala, orang Pubian, orang Sungkai, orang Way Kanan, orang Belalau, dll) yang tidak akan mampu menerangkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung secara general.

Kebudayaan Lampung?


Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengutipkan sebuah definisi tentang kebudayaan. Soalnya, konsep ini terlalu sering disempitkan artinya dengan kesenian, adat-istiadat, atau apalah.

Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termasuk di dalamnya bahasa.
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius (Ninuk Mardiana Pambudy, Kompas, Senin, 31 Juli 2006).

Definisi kebudayaan ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya cakupan konsep kebudayaan. Maka, ketika kita disodorkan sebuah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kebudayaan Lampung itu, tidak bisa tidak tercakup di dalamnya dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Pertanyaannya, dimensi ide, material, dan perilaku apakah yang khas yang melekat pada ulun Lampung (masyarakat Lampung secara kolektif)? Saya pikir, tidak mudah menggambarkan masalah ini secara sistematis, komprehensif, dan ilmiah; yang bukan berdasarkan prasangka.

Piil Pesenggiri


Bagian yang kembali menyulut perdebatan adalah konsep piil pesenggiri. Rizani Puspawijaya menuturkan, pada 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan. "Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja (Lampung Post, 20 Oktober 2006).

Beberapa minggu setelah itu, Firdaus Augustian menulis "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri" (Lampung Post, 11 November 2006) yang menggugat piil pesenggiri. "Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka," kata Firdaus.

Tapi segera saja Fachruddin (Lampung Post, 18 November 2006) menampik dengan mengatakan, piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Masih menurut Fachruddin, berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

"Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir. Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia," tulis Fachruddin.

Begini -- ini menurut saya -- masih dibutuhkan penelitian (reseach) mendalam soal piil pesenggiri. Saya pikir, piil pesenggiri bukan kitab suci yang tidak bisa dipermasalahkan. Misalnya, masih dibutuhkan bukti yang lebih banyak lagi soal betapa orang Lampung tak bisa lepas dari piil pesenggiri-nya. Syukur-syukur ada interpretasi atau tafsir baru piil pesenggiri.

Ada tidak ada, yang jelas dia sudah menjadi wacana publik, menjadi bagian dari konsep adat-istiadat Lampung dan sebagian kecil dari konsep besar bernama kebudayaan Lampung.

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung


Saya sebenarnya gembira ketika Rizani mengatakan, orang Lampung itu terbuka, demokratis, dan ada konsep kepemimpinan Lampung?

Wah, saya pikir ini kan kajian yang menarik tentang konsep-konsep kekuasaan Lampung (sebagai contoh, konsep kekuasaan Jawa sudah jelas dipaparkan oleh Benedict Anderson, Cliffort Geerth, dll). Sayangnya, tidak ada yang mengelaborasi lebih jauh, tentang bagaimana sikap terbukanya orang Lampung itu, dimana letak demokratis orang Lampung, dan bagaimana contoh kepemimpinan Lampung itu.

Saya hanya memimpikan penelitian dan diskusi sosial dan kebudayaan Lampung marak. Dengan kata lain, Lampung memiliki banyak pemikir dan pemikiran kebudayaan Lampung. Sehingga orang tak lagi berkata, "Kebudayaan Lampung, Api Muneh" (Udo Z. Karzi, Lampung Post, 23 Oktober 2005). Cuma siapakah yang mau memulai? Pemerintah daerah yang lebih berorientasi "proyek" susah diharap. Yang paling mungkin adalah perguruan tinggi, terutama Universitas Lampung (baca: Udo Z. Karzi, "Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung", Lampung Post, 8 April 2006), yang paling kompeten. Atau adakah orang atau lembaga yang lebih tepat?

Pemikiran kebudayaan Lampung hanya akan lahir dari pemahaman konsep kebudayaan yang benar dan dari riset dengan metodologi yang benar oleh peneliti/pemikir kebudayaan yang teliti, tekun, dan konsisten. Tentu saja, gagasan kebudayaan yang muncul tidak berasal dari pemikiran sempit dan sektarian yang membagi-bagi Lampung menjadi bagian yang kecil-kecil: adat Pepadun dan adat Peminggir, bahasa dialek A (api) dan O (nyo), Menggala, Abung, Pepadun, Melinting, Belalau, Way Kanan, Kalianda, dan seterusnya.

Budaya Lampung. Bahasa Lampung. Adat Lampung. Kesenian Lampung. Sastra Lampung.... dst. Lampung!

Saya menulis dalam bahasa Lampung. Tidak saya namai bahasa Lampung Pesisir. Cukup saya katakan: memakai bahasa Lampung?

Bisakah kita -- ulun Lampung -- berbicara dengan bahasa kesatuan: Lampung (!) untuk kemudian secara bersama merumuskan kebudayaan Lampung?

Sungguh, belum ada lagi pengganti pakar hukum adat Lampung almarhum Prof. Hilman Hadikusuma!

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Desember 2006

Thursday, November 23, 2006

Pembukaan Program Studi Kesehatan dan Bahasa Lampung Terbentur Aturan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dekan FKIP Universitas Lampung (Unila) Sudjarwo mengatakan, Program Studi Sarjana Kesenian dan Bahasa Lampung belum bisa dibuka Unila. Pasalnya, sesuai dengan peraturan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti), dalam rangka menata kualitas perguruan tinggi negeri dan swasta tidak ada izin untuk pembukaan prodi baru.

"Kami tidak tahu pembatasan izin ini sampai kapan, tetapi hingga kini, Dikti belum memberikan lampu hijau untuk pembukaan jurusan baru. Sebab, menata kualitas perguruan tinggi bukan hal yang mudah," kata Sudjarwo, Rabu (22-11). Padahal, FKIP Unila sejak lama mempersiapkan pengembangan program studi yang dibutuhkan masyarakat. Beberapa di antaranya program S-1 Kesenian dan Bahasa Lampung yang sangat dibutuhkan tenaga-tenaga pendidik di Lampung yang rata-rata masih D-1, D-2 dan D-3.

Sebab itu, kata Sudjarwo, untuk sementara pihaknya masih mengoptimalkan peningkatan kualifikasi guru-guru mata pelajaran MIPA murni untuk menyongsong sertifikasi guru seperti program kualifikasi untuk guru Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi yang belum bergelar sarjana. "FKIP Unila menjalin kerja sama dengan Pemkot Metro dan Lampung Tengah meningkatkan kualifikasi akademik 80 guru yang masih D-2," kata Sudjarwo.

Sebelumnya, Kepala SMPN 2 Bandar Lampung, Sartono, mengatakan SMPN 1 Bandar Lampung masih memiliki dua guru mata pelajaran yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang studinya, yaitu pelajaran Bahasa Lampung diajar guru yang berlatar belakang Sarjana Bahasa Indonesia, dan pelajaran Kesenian oleh guru yang hanya lulusan D-2. Apabila sertifikasi guru diterapkan mulai 2007, guru dua bidang itu akan kesulitan mengikuti sertifikasi guru.

Hal itu juga terjadi di SMPN 1 Bandar Lampung. Kepala SMPN 1, Haryanto, mengatakan guru bidang studi Kesenian masih lulusan D-3 Kesenian. Begitu juga di SMAN 9 Bandar Lampung, mata pelajaran Kesenian dipegang guru yang berlatar belakang PPKn. RIN/S-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 November 2006

Monday, November 20, 2006

Esai: Piil Pesenggiri Bukan Puzzle, Catatan untuk Firdaus Augustian

-- Fachruddin*


Menarik membaca tulisan Firdaus Agustian, Puzzle Bernama Piil Pesenggiri (Lampung Post edisi 11 November 2006). Kalau saya sarikan, dapat dikelompokkan jadi lima persoalan.

Pertama, bukan hanya piil pesenggiri, komunitas tradisional lain pun banyak yang sarat pesan kultural.

Kedua, tidak semua kelompok masyarakat Lampung akrab dengan unsur-unsur piil pesenggiri, banyak komunitas Saibatin tidak familiar dengan sakai sambaian tetapi mereka memiliki kearifan yang lain.

Ketiga, otokritik semacam yang pernah dilontarkan Muchtar Lubis perlu juga dilontarkan kepada piil pesenggiri.

Keempat, membicarakan kebudayaan lokal piil pesenggiri di tengah arus pengaruh global dirasakan bagaikan anak kecil yang main puzzle.

Kelima, budaya besar seperti Yunani, Mesir, Romania, hilang dengan sendirinya akibat eksklusifitas pendukungnya.

Gagasan Firdaus perlu dilontarkan kepada kita semua, sehingga piil pesenggiri dapat digali lebih dalam lagi.

***

Piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Niat Fatahillah mengawini Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, bukan sekadar pelepas libido, tetapi sebuah rintisan untuk mendirikan Kesultanan Islam Lampung, sebagai penyangga Banten, Cirebon, dan Demak untuk melanjutkan perjuangan dakwah Walisongo. Itu sebabnya Pangeran Sabakingking dan Ratu Darah Putih bersegera menyelesaikan konflik yang mereka hadapi dengan piil pesenggiri sebagai acuannya--simak isi Prasasti Bojong yang sejalan dengan piil pesenggiri, yaitu nemui nyimah (saling menghargai), nengah nyappur (kesetaraan), sakai sambaian (kebersamaan), dan juluk adek (terprogram) dan titi gemeti (sistematis).

Bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah, Banten ada kiai dan jawara, di Madura ada NU dan carok di Bugis ada syiri. Jangan ditanya lagi di Jawa, banyak sekali ragamnya, tetapi ada dua yang benar benar populer. Pertama, tri ojo (ojo kagetan, ojo gumunan, dan ojo dumeh). Kedua, nyaris dianut para pejabat di zaman Orde Baru yaitu sugih tampo bondo, digdoyo tanpo aji, ngluruk tampo bolo, dan menang tampo ngasorake. Menang tampo ngasorake membahana disebut berkali kali di gedung DPR RI ketika Soeharto berhasil dipilih kembali untuk kesekian kalinya sebagai Presiden RI.

Itulah sebabnya para aparat istana tidak boleh pamer kekayaan (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake).

Konsep ini dirumuskan para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa masyarakat jelata. Karena itu, masyarakat jelata tidak boleh disakiti hatinya. Tetapi di pihak lain masyarakat jelata ditekan sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, protes, apalagi berontak.

Para aparat membina budaya pepe, apabila ada resi yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi mata hari).

***

Berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

Walaupun Kerajaan Tulangbawang telah tidak efektif, di lingkungan masyarakat Pepadun masih banyak persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, baik masalah internal maupun eksternal. Secara internal, hingga ketika adat Pepadun dibentuk ternyata masih banyak diantara kelompok itu yang belum menganut Islam, serta belum adanya kecocokan siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin. Sedangkan masalah eksternal, kelompok ini terpaksa menyelesaikan sengketa dengan Palembang lebih dahulu (Hilman Hadikusuma). Persoalan demi persoalan datang hingga kelak masuknya bangsa penjajah--lihat Facruddin dalam "Konflik Mengakar Sepanjang Abad" (Lampung Post edisi 19 September 2006).

Piil pesenggiri yang diketemukan dan dihimpun Rizani dalam penyusunan skripsinya di Fakultas Hukum Unila tahun 1966 merupakan hasil proses akulturatif. Unsur-unsurnya selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Dua kata yang digabung-gabung itu belum tentu populer di satu tempat secara utuh. Nemui, umpamanya, populer di lingkungan masyarakat Pepadun, tetapi kata simah lebih populer di daerah pesisir. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna.

Sebab itu, bila ada kata-kata yang kurang populer di daerah tertentu, jangan serta merta menolak, karena ia populer di daerah lain di Lampung ini. Itu berarti bahasa Lampung, kekayaan Lampung, milik kita bersama.

Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir.

Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia.

Pluralitas komunitas Lampung memiliki kekayaan yang terpendam. Sikap eksklusifivas terhadap piil pesenggiri berarti tidak mengikuti perkembangan terhadap kajian piil pesenggiri itu sendiri.

* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 November 2006

Sunday, November 12, 2006

Esai: 'Puzzle' Bernama Piil Pesenggiri

-- Firdaus Augustian*

Kebudayaan merupakan way of life, petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, sebuah ekspresi nilai-nilai dan cita-cita. Sebuah kebudayaan mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial. Kebudayaan berada di belakang sikap dan tingkah laku lahiriah masyarakat yang secara eksklusif share a different tradition (AL Kroeber & Clyde Klukhon, 1952).

Rizani Puspawijaya menyatakan pemahaman utuh terhadap tatanan moral suatu masyarakat perlu dilakukan, sehingga penafsiran yang keliru dan negatif dapat dihindarkan. Agar tatanan moral dapat dipahami secara utuh dan memadai, tatanan moral perlu diketahui secara proporsional.

Tatanan moral masyarakat Lampung yang merupakan pedoman perilaku budaya yang luhur terbangun dalam sebuah sistem yang selama ini kita kenal sebagai piil pesenggiri. Tatanan moral yang terbangun dalam sistem dan prinsip piil pesenggiri sejak 1970-an menjadi wacana di kalangan elite Lampung, mulai dari H. Zainal Abidin Pagar Alam, R. Sutiyoso, Yasir Hadibroto, Pudjono Pranyoto, Oemarsono, Sjachroedin, barangkali secara substantif telah dibicarakan juga oleh Kusno Dhanupoyo.

Pembicaraan ini bunga-bunga pemikiran yang meluncur dan mengalir bagai air sebagai pesan moral pemimpin-pemimpin lain di Lampung. Buat siapa pun di antara kita sebagai orang Lampung, baik dari masyarakat Pepadun maupun Pesisir (Sai Batin) istilah piil pesenggiri sangat akrab dan melekat. Pemahaman kita terhadap piil pesenggiri, dengan sama sekali tidak pernah memikirkan mempersoalkan apakah prinsip ini, ada atau tidak pada masyarakat lain.

Piil pesenggiri menurut Rizani Puspawijaya merupakan suatu keutuhan dari unsur yang mencakup juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sembayan. Barangkali perlu kita cermati secara jujur, terminologi sakai sambayan sebagai sebuah kosakata tidak dikenal masyarakat Lampung Pesisir, ini dikemukakan kepada saya oleh beberapa pemuka adat Sai Batin, termasuk Pangeran Bandar Marga (Gedong Pakuan), Radin Jaksa (Padang Cermin), Batin Kesuma Ningrat/H. Irfan Anshory (Suka Banjar, Talangpadang).

Tetapi substansi sakai sambayan sebagaimana pada masyarakat tradisional lain juga dikenal pada masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin). Sakai sambayan suatu sikap tolong-menolong dan gotong royong, memahami makna kebersamaan, hakikatnya merefleksikan partisipasi, dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan. Semangat semacam ini bukan hanya ada pada masyarakat Lampung, juga ada pada masyarakat tradisional lain.

Sebuah orasi kebudayaan yang disampaikan Mochtar Lubis (1977) membedah tentang manusia Indonesia, rasanya merupakan puncak otokritik terhadap manusia Indonesia yang selama ini dianggap berkebudayaan luhur dengan peninggalan kebudayaannya Borobudur, Mataram, Sriwidjaya, Majapahit, dan sebagainya.

Faktanya kita pernah dijajah 200 tahun oleh VOC, sebuah badan usaha yang didirikan di Kerajaan Belanda, dijajah hampir 150 tahun oleh Kerajaan Belanda, dan 3,5 tahun oleh Kekaisaran Jepang. Kemerdekaan 17 Agustus 1945, naskah Proklamasi dirancang secara damai dengan perlindungan dan jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda setelah mendapat briefing kemerdekaan dari Marsekal Terauchi, Komandon Komandon Angkatan Darat wilayah Asia Selatan di Dalat (Saigon) pada 14 Agustus 1945 (Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, 1978).

Tentunya saya belum mempunyai kemampuan otokritik terhadap piil pesenggiri seperti Mochtar Lubis. Piil pesenggiri bersifat universal pada semua masyarakat kebudayaan tradisional. Pastinya piil pesenggiri sebagai tatanan moral masyarakat Lampung tidak bersifat execlusiv exclusive share a different tradition.

Sulit mencari sifat/sistem tatanan moral yang genuine pada kebudayaan-kebudayaan yang ada, karena pada dasarnya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain terjadi proses akulturasi, intervensi, dan interdependensi. Dengan meminjam pemikiran Rizani, kita setuju piil pesenggiri merupakan tatanan moral, yang menjadi motivasi masyarakat Lampung untuk mempertahankan eksistensinya.

Tetapi kita harus menyadari bahwa tatanan moral semacam ini ada juga pada kebudayaan lain, khususnya pada masyarakat tradisional. Kebudayaan Madura, secara jernih diuraikan Dr. A Latief Wiyata (2002). Ada dua hal yang melekat menjadi stereotipe orang Madura: NU dan carok. Latief Wijaya mengungkapkan simbolis carok dalam konteks budaya Madura. Carok adalah suatu kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural sekaligus merupakan tatanan moral untuk mempertahankan harga diri, nama baik, solidaritas keluarga, dan kebersamaan. Apabila ada pihak lain yang mengganggu dan merusak norma-norma ini, carok adalah langkah yang dipilih untuk mempertahankan dan menjaga nilai-nilai di atas.

Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka.

Mungkin dapat direnungkan pesan seorang teman saya, yang pada Oktober 2006 lalu dilantik menjadi duta besar RI di Utara Eropa, ulun lappung asli. Apak indukni lappung berpesan pada saya saat bersama-sama mengikuti Spamen 1997, mempertanyakan masih relevankah kalau kita bicara tentang piil pesenggiri seolah-olah kebudayaan lain tidak mengenal piil pesenggiri.

Lebih mendasar lagi pertanyaannya: Kiay, pagun tepatkah kham bicara kebudayaan lokal dilom konstruksi pengaruh kebudayaan regional dan global, mampukah kham dilom tantangan global mempertahankan eksistensi lokal, sai hanya merupakan pernik-pernik. Secara mengejutkan dia mengemukakan begitu banyak Kebudayaan besar dunia di dalam sejarah kemanusiaan, menjadi punah dan sirna, seperti kebudayaan Yunani, Romania, Assiria, Mesir, Inca, karena bersifat eksklusif, selalu merasa besar. Sementara kita asyik dengan puzzle dan scrabble yang berlabel piil pesenggiri. Tabik mahap dikuti rumpok pun.

* Firdaus Augustian, pemerhati budaya

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 11 November 2006

Friday, October 20, 2006

Relevansi Kearifan Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Nilai-nilai lokal memainkan peranan orientasi awal bagi tindakan-tindakan etis dalam hampir semua masyarakat kita. Di Lampung, piil pesenggiri merupakan nilai lokal yang berperan penting dalam perilaku keseharian masyarakat adat.

"Mentalitas budaya masyarakat Lampung sangat kental akan nilai-nilai dalam filsafat piil pesenggiri," kata Rizani Puspawidjaja seusai peluncuran bukunya, Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (diterbitkan Universitas Lampung, 2006), di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, Kamis (19-10).

Dalam acara yang digelar Lampung Post bekerja sama Cerdas itu, hadir Wakil Gubernur Syamsurya Riacudu, kalangan akademisi dari Unila, UBL, IAIN Radin Intan, dan sejumlah aktivis LSM.

Rizani Puspawijaya mengatakan sebagai tatanan moral masyarakat adat Lampung, piil pesenggiri tidak muncul seketika. Ada proses panjang, sehingga menjadi etos bagi perilaku masyarakat yang merangkup di dalamnya unsur-unsur seperti juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan. "Susunan seperti ini sebaiknya jangan diubah," kata dia.

Menurut Rizani, budaya sekelompok masyarakat yang ada di Nusantara memiliki kemiripan dengan budaya masyarakat lain. Kemiripan itu bukan alasan menyebut tidak ada kekhasan dalam budaya suatu masyarakat, sehingga tidak perlu dijaga kelestariannya. "Perbedaan dalam tiap budaya itu selalu ada, perbedaan itulah yang khas untuk masyarakat bersangkutan. Perbedaan sering terjadi pada tingkat ekspresi budaya bersangkutan, meskipun tujuan akhirnya bisa saja sama," kata dia.

Kekhasan budaya itu harus mencerminkan perilaku masyarakat penganut budaya bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari. Penghargaan terhadap kesopanan dalam masyarakat adat Lampung yang tercermin dalam unsur juluk adek adalah gelar adat. Masyarakat budaya lain juga memiliki nilai seperti itu. "Bukan berarti tidak ada nilai budaya yang khas Lampung jika nilai itu mirip dengan nilai yang ada pada budaya lain," katanya.

Munculnya keraguan atas nilai budaya Lampung, bagi Rizani, terjadi akibat banyak masyarakat adat Lampung yang kurang memahami makna piil pesenggiri. Sering pemahaman masyarakat tidak menyeluruh, tapi sudah merasa sangat mengetahui budaya. "Sering orang membicarakan budaya Lampung dari sisi negatif, padahal tidak ada budaya yang menimbulkan ekses negatif bagi masyarakat penganutnya," kata dia.

Bagi Rizani, kualitas pemahaman piil pesenggiri akan tercermin dalam perilaku keseharian. "Mereka yang berbudaya Lampung akan menyadari nilai-nilai budaya itu tidak dilihat dari masalah fisik, tetapi terkait soal mentalitas dan perilaku keseharian dalam bermasyarakat," kata dia.

Pada dasarnya, kata Rizani, piil pesenggiri merupakan kebutuhan hidup yang bersifat mendasar bagi seluruh masyarakat Lampung. Sebagai kebutuhan hidup, piil pesenggiri menjadi tuntutan bagi masyarakat agar dapat bertahan (survive). "Sangat disyukuri jika budaya Lampung menjadi representasi identitas nasional. Setiap kebudayaan di Nusantara memiliki potensi menjadi representasi identitas nasional," katanya. n ANI/HUT/U-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 Oktober 2006

Rizani, Penjaga 'Piil Pesenggiri'

PADA 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan.

Namun, konsep yang digali dari nilai-nilai lokal masyarakat adat Lampung ini mulai mendapat perhatian pemerintah daerah sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Pada 1996, Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung kemudian menerbitkan sebuah buku panduan mengenai piil pesenggiri sebagai filsafat hidup masyarakat adat Lampung.

"Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja, penulis buku Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran.

Buku ini berisi kumpulan tulisan Rizani mengenai hukum adat dan filsafat piil pesenggiri ini, baik yang ditulis untuk kepentingan diskusi maupun perkuliahan. Lektor Kepala Madya/Pembina Utama Muda Fakultas Hukum Universitas Lampung ini, merencanakan akan menerbitkan lima buku lagi yang juga berisi karya-karya selama ini. "Sebelum pensiun, buku-buku iotu sudah harus terbit. Saya bahkan sedang menggarap dua buku lain," kata pria kelahiran Terbanggibesar, Lampung Tengah, 64 tahun silam.

Salah satu buku yang akan terbit berisikan hukum adat Lampung tentang keluarga. Dalam buku antara lain akan membahas perkawinan, dan warisan. "Saya juga akan menerbitkan buku berkaitan mata kuliah yang Sosiologi Hukum yang saya ajarkan di Unila," kata alumnus pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada 1968 dan akan pensiun pada November 2007.

Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran merupakan karya kedua Rizani. Ketua I Bidang Pemberdayaan Masyarakat Koordinator Kampung Tua tersebut optimistis dapat menyelesaikan enam buku sebelum pensiun. "Saya menerbitkan buku itu untuk masyarakat yang mau membaca. Saya ingin masyarakat Lampung memahami budaya mereka sendiri. Sebab, hukum adat Lampung sangat potensial dijadikan salah satu alat penyelesaian konflik," kata dia.

Di mata Wahyu Sasongko, buku Rizani berhasil menawarkan ide untuk menggunakan hukum adat guna menyelesaikan masalah di Lampung. "Yang terpenting pemerintah daerah dapat mengidentifikasikan hukum adat Lampung lebih dulu," kata dia.

Sebab, bagi Wahyu, teori yang terdapat dalam buku Rizani harus dibuktikan lebih dulu oleh pengambil keputusan. n ANI/LO-01

Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 Oktober 2006

Saturday, October 14, 2006

Buku: Revitalisasi Hukum Adat, Mungkinkah?


Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran. Penulis: H. Rizani Puspawidjaja, S.H. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006. 175 halaman


MESKIPUN Indonesia telah merdeka, masih terasa belum sungguh-sungguh merdeka. Setidaknya, dalam bidang hukum. Betapa tidak, sebagai negara merdeka, Indonesia seharusnya memiliki sistem dan tata hukum nasional yang berwatak kebangsaan.

Namun ternyata, hukum adat hanya sebagai pelengkap saja. Ketika kita mengakui bangsa Indonesia bersifat majemuk (pluralistis) dengan beragam suku-suku bangsa. Konsekuensinya, hukum adat tidak hanya diakui, tetapi harus dilaksanakan.


Padahal, substansi hukum adat telah diakui sarat dengan kebijakan lokal (local wisdom) tentang pengorganisasian masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat adat merupakan cerminan pola hidup yang mementingkan kebersamaan (togetherness), seperti tolong-menolong dan gotong royong, dan senantiasa menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan (the balance of interests).

Konservasi sumber daya alam dalam pengelolaan lingkungan hidup, sudah diatur hukum adat, contohnya tentang sistem tebang pilih dalam kehutanan ternyata diatur dalam hukum adat. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Rendra menyatakan hukum adat terbukti dapat melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dan memperkuat kohesi sosial.


Menurut dia, "Sampai sekarang, yang tetap peduli menjaga alam adalah masyarakat yang hukum adatnya masih kuat," (Kompas, 9 Oktober 2006). Rupanya, pemberdayaan dan penguatan masyarakat adat untuk menjaga lingkungan hidup harus segera dilakukan karena pemerintah ternyata tidak mampu menanggulangi asap akibat kebakaran dan pembakaran lahan.

Keinginan dan tuntutan agar hukum adat dilaksanakan secara efektif sudah menjadi isu lama, tapi tak kunjung direalisasi. Khususnya tuntutan para peneliti dan akademisi yang bergelut di bidang hukum adat, seperti pemikiran H. Rizani Puspawidjaja yang dituangkan dalam bukunya Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006).

Menurut dia, hukum adat memiliki potensi dan prospek yang bagus untuk pembangunan hukum nasional (hlm. 127) dan pembaruan hukum pidana (hlm. 141). Walaupun ia mengakui ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar hukum adat dapat diefektifkan.

Semangat agar hukum adat digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tampak dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi."

Rumusan pasal tersebut terkesan ada kegamangan mengakui eksistensi hukum adat karena dalam pelaksanaan hukum adat masih digantungkan pada persyaratan tertentu dan cenderung multi penafsiran. Tidak heran jika dalam implementasinya menjadi kabur atau tidak jelas. Rumusan serupa dijumpai kembali dalam Pasal 5 UUPA.

Persoalan hukum semacam itu umum dijumpai di negara yang majemuk, cenderung memiliki pluralisme hukum, sebagaimana dikatakan Lloyd's (2001), "In heterogeneous and pluralistic societies there will invariably be more than one living law." Sistem hukum nasional Indonesia setidaknya dipengaruhi tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa Barat. Ketiganya saling berinteraksi.

Berkenaan dengan pelaksanaan hukum adat, seolah-olah terjadi proses tarik-menarik atau kompetisi antara hukum yang berasal dari negara dan masyarakat adat.

Menyikapi hal itu, pemikiran H. Rizani Puspawidjaja terkesan kompromis dan realistis (hlm. 98). Sementara itu, pada bagian lain dikemukakan bahwa kasus-kasus pertanahan di Lampung menunjukkan (a) kesewenang-wenangan aparatur pemerintah dalam penerapan prinsip-prinsip hukum tanah yang berlaku; (b) kesalahan penafsiran tentang definisi tanah negara oleh pihak pemerintah; dan (c) pemberian ganti rugi yang ditekan serta tidak transparan (hlm. 34).

Dengan demikian, sesungguhnya sistem hukum Indonesia masuk kategori pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) yang oleh Griffith (1986) diartikan sebagai bentuk lain dari sentralisme hukum, karena hukum adat inferior sedangkan hukum negara superior. Sementara itu, Sally Falk Moore dalam bukunya Law as Process An Anthropological Approach (1978) menghendaki pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) melalui pengaturan hukum yang otonom dalam the semi-autonomous social field, termasuk masyarakat adat.

Dalam hal ini, pemikiran H. Rizani Puspawidjaja dapat dikatakan bersifat eklektif yang menginginkan adanya interaksi yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualistis antara hukum adat dan hukum negara. Untuk itu, lembaga adat harus ditata ulang disesuaikan dengan kondisi modern, tetapi tidak meninggalkan sistem dan struktur baku yang menjadi ciri khasnya (hlm. 124).

Buku karya H. Rizani Puspawidjaja berjudul Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran memuat kumpulan tulisan dalam berbagai kegiatan dan pertemuan ilmiah. Ada keunggulan dan kelemahan dari teknik penulisan seperti itu, di antaranya yaitu pada satu pihak dapat mengikuti isu-isu yang berkembang, tetapi di lain pihak kelemahannya adalah pembahasannya tidak runtut.



Ada tiga topik besar yang dibahas dalam buku tersebut, yaitu tentang (1) adat dan masyarakat adat mencakup sistem, struktur, tatanan moral, dan tatanan hukum adat; (2) hukum tanah adat; dan (3) eksistensi dan pelaksanaan hukum adat. Buku tersebut diuraikan secara induktif dengan membahas hukum adat Lampung agar dapat diperoleh pemahaman hukum adat pada umumnya. Selain itu juga menggunakan pendekatan inter-disipliner, yaitu menggunakan konsep-konsep sosiologi hukum dalam memahami hukum adat.

Buku karya H. Rizani Puspawidjaja tersebut patut kita berikan apresiasi karena melalui karya tersebut hukum adat menjadi objek kajian atau studi yang penting dan perlu dilakukan dalam rangka mencari solusi komprehensif atas permasalahan hukum dan sosial yang terjadi pada masa sekarang dan mendatang. Hukum adat termasuk bidang kajian yang kering dan langka.

Apalagi setelah meninggalnya Profesor Hilman Hadikusuma, Unila tidak memiliki lagi figur sekaligus tokoh hukum adat yang diakui secara nasional. Semoga dengan terbitnya buku karya H. Rizani Puspawidjaja tersebut dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum adat di Lampung khususnya dan di Indonesia umumnya.

Wahyu Sasongko
, Dosen Fakultas Hukum Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Oktober 2006

Wednesday, July 05, 2006

Nuansa: Lampung

-- Budi P. Hatees

MALAM itu, Sabtu (24 Juni 2006), saya berada di tengah-tengah orang-orang yang terbiasa berbicara dalam metafora, para sastrawan Lampung, orang-orang yang secara nasional banyak menghasilkan puisi dengan kualitas mencengangkan. Tetapi, di dalam acara Bilik Jumpa Sastra yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung, para penyair yang terbiasa bekerja dengan kata sebagai alat operasionalnya, bagai kehilangan kemampuan berbahasanya. Saya juga kehilangan kemampuan berbahasa, karena tidak mengerti dengan makna yang hendak dikomunikasikan oleh sajak-sajak berbahasa daerah itu.

Adalah Udo Z. Karzi--satu-satunya penyair di Provinsi Lampung yang memilih bahasa Lampung sebagai alat ekspresi sastranya--baru saja membacakan puisi-puisinya dalam acara tersebut. Khalayak (sebagian besar penyair), menyaksikan kata-kata dari bahasa Lampung dalam puisi-puisi yang dibacakan Udo Z. Karzi, bagai gumaman yang tak memberi makna apa pun. Selaksa burung, puisi-puisi berbahasa Lampung itu membangun sarang dalam kepala setiap hadirin, entah apa yang akan menetas dari telur-telur yang dititipkan dalam sarang itu.

Namun, bisa dipastikan puisi-puisi Udo Z. Karzi itu seperti juga riwayat bahasa Lampung itu sendiri, segera dilupakan begitu acara pembacaan puisi selesai. Sebab, bagi masyarakat Lampung, bahasa Lampung bukan bahasa yang dapat dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Tak seperti masyarakat Sunda, Batak, Padang, Palembang, Jawa, dan lain sebagainya, yang masih sering mengunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, yang diterima secara luas di lingkungan masyarakatnya. Orang Tionghoa tidak akan menggunakan bahasa Cina ketika belanja di pasar-pasar di Kota Palembang, tidak seperti orang Lampung yang justru akan menggunakan bahasa Jawa saat belanja di pasar-pasar di Kota Metro.

Realitas ini sangat mungkin terjadi, karena jumlah penduduk asli Lampung (ulun Lappung) yang menetap di Provinsi Lampung, seperti data di Bappeda Lampung, lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat pendatang, cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Budaya dan Agama (Pusaka) Lampung pada 2005, dari 32,25% ulun Lappung, sekitar 10% berkomunikasi dalam bahasa Lampung, terutama dalam acara-acara berbau tradisi. Bahasa Lampung lebih banyak dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam acara adat (gawi adat), karena ada keyakinan acara adat hanya dianggap sah jika dikerjakan semirip mungkin seperti apa yang dilakukan leluhur budaya, dan dilaksanakan dalam bahasa asli (bahasa Lampung). Meskipun demikian, tidak semua bahasa Lampung yang dipergunakan dalam gawi adat dapat dimengerti semua ulun Lappung, karena struktur bahasa Lampung sangat beragam sesuai struktur budaya yang mengayomi marga-marganya. Artinya, tak akan banyak pembaca puisi-puisi berbahasa Lampung itu, yang akhirnya membuat sastra makin berjarak dengan publik pembacanya yang ada di Provinsi Lampung. Sebab, puisi dalam bahasa Indonesia saja, menurut Goenawan Mohamad, merupakan dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia, konon lagi puisi yang ditulis dalam bahasa lokal. Apa yang diuraikan di atas menjadi bukti terjadi alienasi bahasa Lampung oleh ulun Lappung sendiri.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 5 Juli 2006