Showing posts with label nuansa. Show all posts
Showing posts with label nuansa. Show all posts

Saturday, April 07, 2007

Nuansa: Pepatah Basi

-- Udo Z. Karzi

GURU kencing berdiri, murid kencing berlari. Namun, pepatah ini tidak berlaku buat anggota DPRD Negarabatin. Soalnya, meski anggota DPR (mungkin) kencing berdiri, anggota Dewan Negarabatin (tetap mungkin) kencing berdiri. Soalnya, toilet yang dibangun tidak memungkinkan (mungkin) untuk duduk sewaktu kencing. Jadi, (mungkin) pepatahnya yang basi seiring dengan perkembangan teknologi perkakusan.

Sudah tahu anggota DPR menganggarkan pembelian 500 laptop dan kemudian mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan, sehingga akhirnya dibatalkan; eh... anggota legislator Negarabatin ngikut menganggarkan pembelian 46 unit laptop. Dana diambil dari sisa APBD 2007 yang belum dimanfaatkan.

Basi... Benar-benar basi.

Masa anggota Dewan mau niru Tukul semua yang ndeso dan selalu bilang, "Kembali ke laptop!"

Eh, tahu nggak, sewaktu laptop Tukul agak crowdet, Tukul kebingungan (maklum agak gaptek alias gagap teknologi), terpaksa manggil orang IT.

"Kembali ke laptop!" Namun, di monitor laptop yang muncul malah gambar-gambar mak jelas.

Apa hayoo?

***

"Anggota Dewan kok latah begitu sih?"

"Latah apaan?"

"Ya, ikut-ikutan mau beli laptop kayak di pusat sana."

"Kali beda. Kalau pusat udah batal karena diprotes banyak orang, di sini kali nggak."

"Berarti nunggu orang protes dulu."

"Kali maunya anggota Dewan begitu."

"Kalau orang-orang pada malas protes, terus dong."

"Ya, itu yang diharap."

***

Basi... Benar-benar basi. Anggota Dewan kok nggak pernah mau berpikir makai otak sendiri. Uang APBD kok dianggap uang sendiri yang boleh diatur sekehendak sendiri.

Lihat saja bagaimana legislator itu mengatur (lebih tepatnya mengakal-akali) anggaran: Dalam pembahasan APBD 2007, Panitia Anggaran mengalokasikan Rp180 juta untuk pembelian 12 laptop. Namun, setelah revisi APBD, Panitia Anggaran menambah jumlah pembelian laptop 46 buah. Penambahan pembelian laptop memungkinkan karena masih ada dana APBD Rp4,3 miliar yang belum dimanfaatkan. Dana ini berasal dari pemangkasan sejumlah mata anggaran.

Basi... Benar-benar basi. Modus lama dipakai lagi: mata anggaran lain dipotong, tetapi hasil pemangkasan malah justru diperuntukkan hal-hal yang remeh-temeh dan sama sekali tidak penting. Sama sekali tidak penting dan meminjam istilah Jarwa Kwat, "signifikan" bagi pelaksanaan tugas-tugas anggota Dewan.

Laptop itu apa? Anggota Dewan itu siapa? Pujangga atau sastrawan besar sekalipun (mungkin) tidak memakai laptop.

Memang, apa sih yang mau ditulis anggota Dewan itu? Informasi apa sih yang hendak didapat anggota Dewan? Bukankah setiap ruangan anggota Dewan sudah dilengkapi komputer multimedia? Lagi pula, kalau mau, anggota Dewan bisa beli laptop setiap bulan. Dari uang representatif dan tunjangan-tunjangan lainnnya.

Namun, esensinya bukan di sana. Laptop hanya berguna bagi orang-orang yang kreatif seperti menulis, merancang, merencanakan, memprogram, mempresentasikan, dan berbagai olah pikir yang serba memerlukan keahlian (skill).

Basi... Benar-benar basi. Mau apa anggota Dewan dengan laptop?

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 April 2007

Monday, November 20, 2006

Nuansa: Jangan Bilang Tidak

-- Udo Z. Karzi


JANGAN sering-sering bilang tidak. Sebab, Mamak Kenut paling sebel dengar orang bilang tidak. Secara tata bahasa, kalimat yang mengandung kata "tidak" atau "bukan" digolongkan sebagai kalimat negatif. Bukan kalimat positif. (Dalam tata bahasa Inggris dikenal kalimat positif, negatif, dan interogatif).

Kalimat negatif lebih sering bermakna negatif. Kadang-kadang penuh keraguan, ambigu, dan bisa menimbulkan salah pengertian.

Tapi, entahlah. Mamak Kenut mulai mengeja kalimat-kalimat dan judul berita begini:

Pemkot tidak jamin keamanan papan reklame. Pemkot Bandar Lampung ternyata tidak pernah memeriksa keamanan konstruksi papan reklame yang kini menjamur di setiap sudut kota. Padahal, setiap tahun Pemkot menarik PAD miliaran rupiah dari retribusi. Sejauh ini, kata dia, upaya Pemkot mengantisipasi kemungkinan terjadinya musibah akibat konstruksi papan reklame yang tidak layak hanya dilakukan melalui surat imbauan.

Buruk kan? Tidak dapat menjamin keamanan, tidak pernah memeriksa, dan papan reklame yang tidak layak adalah kalimat-kalimat negatif yang menunjukkan sikap lepas tangan, teledor, dan sembrono.

Sekarang soal bantuan puting beliung. Bawasko simpulkan tak ada penyimpangan, begitu judulnya. Lead lengkapnya: Tim verifikasi Bawasko Bandar Lampung tidak menemukan penyimpangan dalam penyaluran dana bantuan bagi korban angin puting beliung di Kelurahan Jagabaya I. Padahal, sebelumnya sejumlah warga melaporkan adanya pemotongan dana tersebut oleh Ketua RT 03 Nartojo.

Ini juga kebiasaan jelek. Dalam sejarah keberadaan Bawasko-- di mana pun--pernahkah dia menyatakan, telah terjadi manipulasi, korupsi, penyimpangan, atau apa pun? Jawabnya: tidak! Ini tradisi buruk dari Bawasko (ehh... kepanjangannya, Badan Pengawas Kota). Wajar aja, Bawasko ya tak lebih dari lembaga "pembersih" citra pejabat dan dinas/instansi pemerintah kota.

Kesimpulan "tidak menyimpang" menjadi semakin ironi manakala dihubungkan dengan berita "Karena tak Punya Uang, Luka Marzuki Hanya Disumpal Kopi". Ceritanya, pakai pepatah dulu: Nasib Ibu Jaiz seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Lanjutnya: Belum hilang kesedihan atas kepergian suaminya, Marzuki, yang meninggal akibat tertimpa batu saat terjadinya angin puting beliung awal bulan ini, kini ia pun terlilit utang.

Syukur, dalam tubuh berita tak banyak kalimat negatif. Padahal, sebenarnya kalimat positif, "Ia bahkan enggan memberitahukan nama aslinya....", bisa dibikin negatif "Ia bahkan tidak mau memberitahukan nama aslinya". Ini bagus! Soalnya, "Gimana mau berobat kalau nggak punya duitnya," kata Ibu Jaiz.

Satu contoh lagi soal etos kerja, petugas tak temukan ada PNS mangkir. Tak seperti hari-hari sebelumnya, Rabu (15-11), Tim Gerakan Disiplin Nasional (GDN) Pemprov Lampung tidak mendapati satu PNS yang mangkir. Inspeksi mendadak (sidak) di tujuh unit pelaksana teknis daerah (UPTD) Tim GDN tidak menemukan seorang pun pegawai yang berkeliaran saat jam kerja. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Pol. PP) Pemprov Lampung Muhjadi, Rabu (15-11), mengatakan tidak menyangka dengan hasil sidak yang dilakukan.

Kemajuan dong!

Iyalah jangan sering-sering tidak masuk, tidak di tempat, tidak ada, atau tidak-tidak....

Maka, cobalah membuat kalimat positif. Bukan kalimat negatif! Jadi, bukan "tidak masuk", tetapi "mangkir". Bukan "tidak disiplin", tetapi malas. Bukan "tidak bisa", tetapi memang "goblok". Bukan "tidak mampu", tetapi "bloon". Bukan "tidak bertanggung jawab", tetapi "suka lepas tangan". Bukan "tidak cantik", tetapi "jelek". Bukan "tidak baik", tetapi "bangsat". Bukan "tidak sesuai prosedur", tetapi "menyimpang". Bukan "tidak lurus", tetapi "bengkok". Bukan "tidak jujur", tetapi "tukang kibul". Bukan "tidak dapat dipercaya", tetapi "pengkhianat".

Mat Puhit sih tidak menyuruh wartawan selalu berpikir positif. Sebab, kalau jurnalis senantiasa "positive thinking", dia takkan bisa membuat berita bagus. Wartawan sih mestinya berpikir "skeptis", agar bisa menulis dengan tegas dan jelas: "Di sana ada korupsi!" Dan, bukannya sebaliknya, justru ngebelain atau memang tidak menemukan data/fakta, berkata: Tidak ditemukan bukti korupsi.

Cobalah untuk tidak berkata tidak. Caranya temukan data dan fakta di lapangan! Bukan sekadar dari omongan pejabat.

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 November 2006

Friday, November 03, 2006

Nuansa: Segalanya Lebar...

-- Udo Z. Karzi


SEGALA rindu dendam telah terlampiaskan. Segala noda dosa telah disucikan. Segala tenaga dan pikiran telah tercurahkan. Segala dana yang dikumpulkan setahun terkuras habis. Semuanya: Lebar. Bubar! Tak ada lagi yang tersisa.

Logika ekonomi mikro mengatakan kerugian besar bagi rumah tangga konsumsi. Belum lagi rintangan yang mengancam sepanjang perjalanan. Antre, berdesak-desakan, berjejal, tidak dapat karcis, dikerjai calo, tidak dapat bangku, dan terpaksa berdiri dalam kendaraan. Ada lagi yang tertipu, ditelantarkan angkutan, dicopet, dirampok, dan kecelakaan.

Mengingat itu, ada pikiran untuk melarang mudik. Tapi jelas itu tak mungkin. Pemudik mempunyai hitungan sendiri. Mudik bukan sekadar buang-buang duit. Meskipun risiko mengadang di sepanjang perjalanan para pemudik, mudik menjadi sebuah seni tersendiri. Boleh jadi inilah bentuk wisata rakyat Indonesia.

Pakar ekonomi mempunyai perhitungan tersendiri tentang mudik. Mereka bilang tradisi mudik membantu pemerataan perputaran uang dari kota ke desa. Jika selama ini perputaran uang tersentral di perkotaan, dengan mudik sirkulasi uang sedikit banyak mengalir ke perdesaan. Ini karena para pemudik biasanya ingin menunjukkan keberhasilannya di kota dengan menunjukkan diri mereka mampu.

Kendati kebiasaan menghamburkan uang yang ditunjukkan pemudik kepada orang desa kurang begitu baik, setidaknya orang-orang desa kebagian juga rezeki dari perilaku konsumerisme ini. Yang ditakutkan memang adalah sikap ini menular kepada orang desa dan menganggap kota sebagai pusat keberhasilan.

Mudik itu tradisi. Tradisi baik atau tradisi buruk sangat tergantung pada orang yang memaknainya. Ada orang yang mendendangkan nikmatnya pulang kampung. Menatap panorama sepanjang perjalanan. Melihat perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Menengok kemajuan zaman yang bergerak. Kembali mengenang jalan-jalan yang pernah kita lalui. Mengingat pahit dan getirnya kehidupan. Merasakan kembali bahagia dan gembira yang sempat kita lewati.

Orang tua akan berkata, "Lebaran kali ini sepi" jika anak, mantu dan cucu tidak ada yang pulang kampung. Tak peduli pasar bertambah ramai atau acara halalbihalal di sebelah rumahnya yang berlangsung meriah. Boleh jadi anak akan berkirim surat, kartu lebaran, telegram, atau apa pun ditambah sedikit kiriman uang dan barang. Tapi tetap saja, kehadiran benda-benda itu bagi orang tua tak berarti banyak. Lebaran tetap saja sepi.

Kalau Lebaran saja tak bisa pulang ke kampung, apalagi hari-hari biasa yang penuh dengan kesibukan. Lagi pula, pulang Lebaran dan pulang bukan Lebaran jelas berbeda hakikatnya. Lebaran itu momentum untuk mudik.

Sudah tradisi! Mau apa lagi? Tahun depan kita mudik lagi.

Tinggallah kita yang menghitung-hitung kembali berbagai kemungkinan. Soalnya, segalanya sudah lebar di Lebaran kali ini.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 November 2006

Wednesday, October 11, 2006

Nuansa: PAD

-- Udo Z. Karzi


PUASA udah separuh Ramadan. Lebaran udah dekatlah.

Kalau begitu, wajarlah orang tak jauh-jauh ngomong soal anggaran, biaya, dana, dau, pitis, atau apa pun yang berbau doku.
Harga melambung. THR belum cair. Persiapan Lebaran. Dst....

Ini jadi bahan perbincangan sehari-hari di Negarabatin

Dan... Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. pun selalu punya cara untuk 'memanaskan' suasana yang memang sedang panas.

"Kalau mau jujur, Kabupaten Lambar bisa tutup karena PAD-nya hanya sekitar Rp5 miliar. Kalau dibagi 12 bulan, hanya Rp400 juta. Bagaimana mau membangun dan membayar yang lain-lain, padahal kebutuhan jauh lebih besar dari itu," katanya di Kecamatan Sumberjaya, Lambar.

Negarabatin ribut!

Penyataan Sutan Mangkubumi mendapat counter di mana-mana.

"Ya gimana? 73% wilayah Lampung Barat kan hutan lindung."

"Banyak potensi yang belum tergali."

"Fasilitas umum seperti jalan raya banyak yang tidak diperhatikan atau malah tak dipedulikan provinsi."

"Gimana Lambar mau berlari memperkecil ketertinggalan?"

"Kawasan hutan harusnya diserahkan ke Lambar untuk dieksploitasi."

"Lambar tidak harus menjadi penanggung beban. Sementara pihak luar yang menikmati."

"Upaya penggalian potensi Lambar bergantung berapa anggaran yang diberi provinsi."

"...."

Ya, ramelah.

Tapi agak aneh juga, ada yang berani menafsirkan perkataaan Gubernur begini ini: "Seandainya lahan lahan ini telah digarap dan diketemukan potensi, teknologi, dan peruntukan yang ideal bagi wilayah tersebut, bukan tidak mungkin Lambar justeru menjadi daerah penyangga ekonomi Lampung. Barangkali itu yang diharapkan Gubernur dalam pidatonya." (Fachruddn, Lampung Post, 9 Oktober 2004)

Mat Puhit yang jadi ikut panas berpidato: "Dunia makin materialistis. Orang cuma mikir duit-duit. Kalau tak punya uang tak bisa ngapa-ngapain. Boro-boro membangun, beli ini itu aja susah. PAD itu ya dana. PAD kecil ya nggak bisa apa-apa. Padahal, tengoklah APBD di mana pun. Isinya, hampir 80% untuk bayar gaji pejabat dan biaya rutin pemerintahan. Seberapa besar pun nilai PAD atau APBD kalau untuk para pegawainya atau malah untuk petinggi daerah saja, tidak akan ada artinya untuk masyarakat banyak (nggak pakai kata 'rakyat' biar nggak dikontrakan dengan penguasa)."

"Maka, atas nama PAD, lihatlah daerah-daerah memperbanyak retribusi. Ini bahasa keren dari merampok orang di jalan-jalan. Cuma dia pakai peraturan daerah. Semacam maling yang dilegalkan peraturan," kata Minan Tunja.

"Sudahlah, jangan terlalu mengagung-agungkan PAD. Kabupaten Kutai Tarumanegara, Kalimantan Tengah itu PAD-nya melebihi PAD Lampung sekalipun. Tapi, yang terjadi kemudian, bupatinya lagi pening karena tersangkut perkara korupsi, walau masih dugaan," kata Pithagiras.

"PAD Lambar boleh kecil, nggak masalah. Yang penting adalah bagaimana pemerintah kabupatennya mampu membangun budaya inisiatif, kreatif, dan inovatif," kata Udien.

"Pemda Lampung jangan mudah-mudahnya menetapkan cara mendapatkan PAD dengan membuat susah penduduknya."

Sebagai contoh, pertanian Thailand dan Vietnam bisa maju setelah belajar dari petani di Lampung Barat. La, ini kan potensi. Masih ada banyak potensi lain... yang kalau Mamak Kenut disuruh menyebutkan tidak akan mampu mengingatnya.

Eeit, jangan gampang-gampangnya memuat uang dari warga. Masa orang baru mau mulai membangun sebuah usaha (investasi), langsung ditarik ini-itu.

Pemerintah itu cuma 'mengatur' (seharusnya!). Pelaku ekonomi yang riil itu ya warga kebanyakan.

Jadi, biar PAD kecil, tetapi warga harus tetap bisa mengembangkan imajinasi dalam berbagai hal untuk kemaslahatan diri dan juga orang lain.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Oktober 2006

Tuesday, September 19, 2006

Nuansa: Dilarang Pergi-Pergi


-- Udo Z. Karzi


LIMA hari kerja. Tapi, bekerja ya hari Selasa sampai Rabu saja. Malahan boleh jadi cuma sehari-dua. Selebihnya, ya terserah aja deh.

Kan lebih baik memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Pulang ke Bandar Lampung misalnya.

Negarabatin kan cuma tempat cari duit. Maka, habis gajian, malah bingung mau dibelikan apa kalau tetap di Negarabatin. Ya, ke kota dong. Yang ada mal, supermarket, diskotik, karaoke, dan segala hal yang tentu menyenangkan.

Jelas, ini kerugian besar buat Negarabatin. Bagaimana gaji yang didapat di Negarabatin keluar begitu saja alias dibelanjakan di luar. Kan uang tidak beredar di Negarabatin jadinya.

Mamak Kenut sih sejak dulu memang heran dengan kelakuan para pangreh praja yang bertugas di daerah, tetapi rumah, anggota keluarga, dan berbagai hal-hil masih tertinggal di ibukota.

"Gimana mau fokus kerja kalau badan di Negarabatin, tetapi perasaan, angan-angan, dan pikiran masih di tempat lain," kata Minan Tunja.

Tapi, Radin Mak Iwoh sih lebih toleran. "Ya, wajar aja dong. Tempat kita ini kan serba terbatas. Apa salahnya kalau orang sering keluar daerah untuk sekadar melepas kepenatan setelah bekerja keras. Apalagi itu pulang kampung," katanya.

"Siapa bilang itu pulang kampung? Itu kan pulang kota," sambar Mat Puhit.

"Benar-benar nggak efektif model kerja kayak gitu," celetuk Udien.

"Harusnya kan mereka lebih fokus di tempat kerja, di daerah mana mereka bekerja. Pulang kota sebulan sekali sih masih wajar. Tapi, kalau tiap minggu pulang, apa biaya transportasinya nggak membengkak. Jangan-jangan gaji malah sebagian besar habis dijalan?" Pithagras serius.

Setuju!

Bahasa kerennya disampaikan Staf Ahli Bupati Lampung Barat (Lambar) Effendi Ari dalam Seminar Pembangunan Lambar, Antara Realita dan Harapan di Liwa, Selasa (19-9). "Untuk meningkatkan investasi bagi perekonomian di Lambar, para pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) diminta tak meninggalkan Lambar setiap Jumat--Minggu."

Jika pejabat dan pegawai terus meninggalkan Lambar setiap Jumat--Minggu, menurut Effendi, uang atau gaji dari hasil kerjanya itu akan habis dibelanjakan di luar Lambar. Nilai investasi bagi perekonomian Kabupaten Lambar berkurang.

Masalahnya, itu semua hanya sebatas wacana. Teorinya, memang begitu. Tapi, prakteknya sulit. Apalagi tradisi 'pulang kandang' setiap Jumat sore itu justru dicontohkan para petinggi di Negarabatin.

"Pegawai sini ya ikut pulang dong kalau kepala dinasnya pulang. Emang pejabat aja yang boleh pulang kampung."

"Masa kangen ditahan-tahan?"

"Kan demi tugas."

"Mana bisa fokus bekerja kalau sedang dilanda rindu."

"Itu kan risiko dari status."

"Katanya sebagai abdi negara, abdi masyarakat, abdi...."

"Itu kan peraturannya. Mana ada yang benar-benar bekerja ideal kayak gitu. Sudah jelas aja, kerja itu untuk keluarga. La, kalau nggak pulang-pulang, apa enaknya kerja. Paling senang kan kalau berkumpul dengan keluarga."

"Kenapa nggak diajak aja ikut ke daerah tempat kerja?"

"Ya nggak bisa. Dia juga kan aga kerjaan."

"Ya, kan bisa diatur."

"Ya nggak gampang."

Dilarang pergi-pergi! Memang ada resiko. Tapi, resiko atau berbagai argumen untuk menolak larangan ini, jelas lebih kecil dibandingkan dengan kemaslahatannya jika larangan ini benar-benar dipraktekkan. Bagi Negarabatin, daerah tempat sang pegawai dan si pejabat bekerja dan mendapatkan gaji. Ya kan?

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 September 2006

Monday, July 24, 2006

Nuansa: Kekuasaan sebagai ...

-- Udo Z. Karzi

KEKUASAAN dalam arti hubungan yang mengandung otoritas, menurut Maurice Duverger (The Study Of Politics, 1979), memengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan kekuasaan. Pertama, jika kita melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran.

Kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasil merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Di sini, kita melihat kekuasaan memainkan peran sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, Duverger menyebut ini sebagai aspek antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik.

Aspek kedua muncul jika kita menganggap politik adalah sebuah upaya menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini, kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Di sini, kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-à-vis kepentingan golongan atau kelompok.

Cinta akan kekuasaan, dalam arti yang seluas-luasnya, adalah keinginan memiliki kemampuan guna menimbulkan pengaruh yang diinginkan atas dunia di luar diri seseorang. Keinginan berkuasa merupakan bagian kodrat manusia sebagai manusia. Namun, ada perbedaan mendasar antara kekuasaan yang diinginkan sebagai alat dan kekuasaan yang diinginkan sebagai tujuan.

Orang yang menginginkan kekuasaan sebagai alat lebih dulu memiliki keinginan lain, kemudian ia berangan-angan memiliki kekuasaan sebagai alat untuk mencapainya. Orang yang menginginkan kekuasaan sebagai tujuan akan memilih sasarannya berdasarkan kemungkinan mencapainya.

Dalam politik, misalnya, seseorang ingin melihat hukum atau aturan tertentu diberlakukan. Dengan begitu, ia terdorong mengambil bagian dalam urusan publik, sementara orang lain yang hanya menginginkan keuntungan bagi diri sendiri, akan menerima program apa pun yang tampaknya memberi kemungkinan paling besar untuk mencapai kekuasaan tersebut.

Agar kekuasaan bisa menjadi alat yang efektif mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain, Bertrand Russel (Power: A New Social Analysis) menyarankan semacam etika kekuasaan menyangkut empat hal. Pertama, kekuasaan harus dikaitkan dengan tujuan selain kekuasaan itu sendiri. Kedua, cara-cara mencapai tujuan itu tidak boleh menimbulkan akibat yang mengalahkan kebaikan tujuan.

Ketiga, etika yang akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang paling baik adalah etika yang membenci cinta akan kekuasaan lebih daripada yang dapat dibenarkan akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Keempat, tujuan mereka yang memiliki kekuasaan dalam segala bentuk dan implementasinya hendaknya untuk memajukan kerja sama sosial, bukan kerja sama dalam satu kelompok untuk menghadapi kelompok lain, tetapi kerja sama di kalangan umat manusia secara keseluruhan.

Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Juli 2006

Friday, July 07, 2006

Nuansa: Rasa Pisang Goreng...

-- Udo Z. Karzi


MAMAK Kenut dan lain-lain sedang ngumpul-ngumpul. Ngobrol ke sana kemari. Sebebalak awak. Asyik juga. Ada kopi. Kalau tak suka, ada teh. Tetapi, sori untuk drug. Dan...yang penting ada goreng-gorengan hasil urunan peserta himpun.

Namanya juga cawa munggak-medoh, jelas aja yang diomongin siapa pun dan hal apa saja. Gempa berminggu-minggu jelas menarik, tetapi sudah mulai kehilangan isu. Rencana pembangunan lintasan kereta api dari Lampung hingga Aceh juga jadi angin surga. Berita paling seru pekan ini adalah soal tempat pemungutan retribusi (TPR).

Bermula dari TPR, bisa merambat ke mana-mana. Di sinilah sebenarnya gudang masalah itu. Dari TPR merembet ke masalah pungutan liar, korupsi, penyelewengan, dana taktis pejabat, pendapatan asli daerah, target, dan ekonomi biaya tinggi.

Udien: Menteri Perhubungan Hatta Radjasa minta TPR ditutup.

Minan Tunja: Saya setuju. TPR itu buat susah pengguna jalan saja. Bayangin aja di Lampung data resmi menyebutkan ada 46 pos TPR tersebar di hampir semua jalan raya. Itu yang resmi ada peraturan daerahnya. Belum lagi pungutan liar lain yang dilakukan pihak-pihak yang kelewat kreatif untuk mengeduk pitis dengan cara mudah. Boleh di bilang nyaris tak ada jalan yang bersih dari "orang yang minta-minta".

Mat Puhit: Tapi yang paling keras menentang penghapusan TPR jelas bupati-bupati. Ada daerah yang PAD terbesarnya justru dari ngerampok di jalan begitu.

Pithagiras: Ya, jelaslah. Emang dari mana mereka dapat duit kalau tidak dari sana.

Minan Tunja: Pemerintah kota/kabupaten itu kan seharusnya kreatif dalam menciptakan peluang bagi pengembangan perekenomian di daerahnya. Dunia usaha yang kondusif jelas membuat pengusaha merasa nyaman berinvestasi. Perekonomian sehat kalau biaya produksi barang dan jasa itu rasional. Tapi, dengan banyaknya pungutan yang tak jelas itu, biaya produksi menjadi membubung karena terjadi high cost. Terlalu banyak biaya-biaya siluman yang benar-benar mak jelas.

Radin Mak Iwoh: Ah, teori...pemda terdesak situasi yang mengharuskan mereka mengejar target PAD tinggi. Yang paling mudah ya menarik pajak dan retribusi. Dan yang paling menggiurkan justru retribusi jalan.

Pithagiras: Itulah pemerintah daerah. Mau cari gampang aja....

Radin Mak Iwoh: Kalau nggak begitu, emang pemda dapat doku dari mana.

Mat Puhit: Kreatif dong. Kreatif.

Minan Tunja: Ya...pemda harus mikir.

Pithagiras: Pemda harus punya terobosan.

Radin Mak Iwoh: Eh, kalian ini bisa ngomong doang. Uang yang saya kasih tadi itu berasal dari TPR. Itu sudah campur dengan uang kalian. Sekarang, saya mau tanya, bagaimana rasa pisang goreng yang kita makan bersama? Sama kan?

Pithagiras: Hueek.... Apa?

Mat Puhit: Pisang ini dibeli hasil ngerampok di jalan?

Minan Tunja: Haram...haram....

Semua: Hahahaaa.....

Sumber: Lampung Post, Jumat, 7 Juli 2006

Wednesday, July 05, 2006

Nuansa: Lampung

-- Budi P. Hatees

MALAM itu, Sabtu (24 Juni 2006), saya berada di tengah-tengah orang-orang yang terbiasa berbicara dalam metafora, para sastrawan Lampung, orang-orang yang secara nasional banyak menghasilkan puisi dengan kualitas mencengangkan. Tetapi, di dalam acara Bilik Jumpa Sastra yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung, para penyair yang terbiasa bekerja dengan kata sebagai alat operasionalnya, bagai kehilangan kemampuan berbahasanya. Saya juga kehilangan kemampuan berbahasa, karena tidak mengerti dengan makna yang hendak dikomunikasikan oleh sajak-sajak berbahasa daerah itu.

Adalah Udo Z. Karzi--satu-satunya penyair di Provinsi Lampung yang memilih bahasa Lampung sebagai alat ekspresi sastranya--baru saja membacakan puisi-puisinya dalam acara tersebut. Khalayak (sebagian besar penyair), menyaksikan kata-kata dari bahasa Lampung dalam puisi-puisi yang dibacakan Udo Z. Karzi, bagai gumaman yang tak memberi makna apa pun. Selaksa burung, puisi-puisi berbahasa Lampung itu membangun sarang dalam kepala setiap hadirin, entah apa yang akan menetas dari telur-telur yang dititipkan dalam sarang itu.

Namun, bisa dipastikan puisi-puisi Udo Z. Karzi itu seperti juga riwayat bahasa Lampung itu sendiri, segera dilupakan begitu acara pembacaan puisi selesai. Sebab, bagi masyarakat Lampung, bahasa Lampung bukan bahasa yang dapat dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Tak seperti masyarakat Sunda, Batak, Padang, Palembang, Jawa, dan lain sebagainya, yang masih sering mengunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, yang diterima secara luas di lingkungan masyarakatnya. Orang Tionghoa tidak akan menggunakan bahasa Cina ketika belanja di pasar-pasar di Kota Palembang, tidak seperti orang Lampung yang justru akan menggunakan bahasa Jawa saat belanja di pasar-pasar di Kota Metro.

Realitas ini sangat mungkin terjadi, karena jumlah penduduk asli Lampung (ulun Lappung) yang menetap di Provinsi Lampung, seperti data di Bappeda Lampung, lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah masyarakat pendatang, cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Budaya dan Agama (Pusaka) Lampung pada 2005, dari 32,25% ulun Lappung, sekitar 10% berkomunikasi dalam bahasa Lampung, terutama dalam acara-acara berbau tradisi. Bahasa Lampung lebih banyak dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam acara adat (gawi adat), karena ada keyakinan acara adat hanya dianggap sah jika dikerjakan semirip mungkin seperti apa yang dilakukan leluhur budaya, dan dilaksanakan dalam bahasa asli (bahasa Lampung). Meskipun demikian, tidak semua bahasa Lampung yang dipergunakan dalam gawi adat dapat dimengerti semua ulun Lappung, karena struktur bahasa Lampung sangat beragam sesuai struktur budaya yang mengayomi marga-marganya. Artinya, tak akan banyak pembaca puisi-puisi berbahasa Lampung itu, yang akhirnya membuat sastra makin berjarak dengan publik pembacanya yang ada di Provinsi Lampung. Sebab, puisi dalam bahasa Indonesia saja, menurut Goenawan Mohamad, merupakan dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia, konon lagi puisi yang ditulis dalam bahasa lokal. Apa yang diuraikan di atas menjadi bukti terjadi alienasi bahasa Lampung oleh ulun Lappung sendiri.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 5 Juli 2006

Monday, June 26, 2006

Nuansa: Peradaban

-- Udo Z. Karzi


LOGIS saja. Di Negarabatin ini memang berhimpun berbagai etnis, antara lain Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bugis, dan Lampung. Jawa aja macam-macam. Sunda macam-macam. Minang macam-macam. Artinya, satu etnis bisa memiliki adat yang berbeda. Begitu juga Lampung, adat-istiadatnya juga berbeda-beda.

Kita memang sangat heterogen. Tetapi, seharusnya perbedaan itu membuat kita satu sama lain saling menghormati. Seharusnya, tidak ada pihak yang mengatakan orang lain tidak tahu adat.

Sebab, bukan tidak tahu adat sebenarnya. Tetapi adatnya memang begitu. Justru karena ia berpegang teguh pada adatnya sendiri, dia menjadi begitu. Kalau begitu, ya hormati saja. Jangan pula dibilang, dia tak tahu adat.

Yang paling sering dibilang tak tahu adat oleh orang-orang tua itu ya Mamak Kenut. Biasanya, Mamak Kenut cuma bilang, "Habis kalau saya pakai adat sendirian kan aneh!"

Di kota apa iya orang bicara adat? Di sini kalau kita ngotot dengan segala tetek-bengek adat malah ditertawakan. Di sini jualan adat nggak laku.

Adat itu memang aneh. Di kota kalau orang memegang teguh adat-istiadat ya wagu. Bisa jadi tontonan orang rame. O, begitu ya adat Lampung itu. O, ternyata Lampung itu begitu. Ooo...begitu. Kota sudah membuat adatnya sendiri, itu soalnya. Kemajuan. Modern. Modernitas. Atau, apalah namanya.

Okelah, adat (tradisi) itu memang feodal, paternalistik, dan segala jenis kekolotan yang mengingkari modernisasi dan demokratisasi. Tetapi, di alam yang disebut modern dan demokratis kini, apa yang dilakukan pemerintah jauh lebih jelek. Mamak Kenut bersabda, "Janganlah marah dibilang tak tahu adat. Sedihlah kalau dibilang biadab alias tidak punya peradaban."

Lah, Mamak Kenut...bersabda? Wajar saja kalau Pithagiras ngeyel. "Mana bisa. Saya jelas nggak terima dibilang nggak tahu adat."

"La, kau orang Lampung. Tahunya kan adat Lampung. Itu pun bergantung kau Lampung mana. Orang dari etnis lain tentu saja boleh mengatakan kau tidak tahu adat (sesuai dengan mereka punya adat). Sebaliknya, kau boleh bilang orang lain tak tahu adat (seperti adat yang engkau yakini)."

Ah, sudahlah. Mat Puhit hanya ingin memaki-maki (benar-benar tak tahu adat!) pemerintah Negarabatin. "Ini pemerintahan biadab. Pemerintahan yang sekarang ini tak punya per-adab-an."

"Lo?"

"Kalau dia beradab atau memiliki peradaban. Dia tentu tak abai kesenian. Kesenian itu bukan cuma tari sembah, begawi, pemberian gelar kepada pejabat tertentu atau apa-apa yang sifatnya simbol-simbol saja. Itu kan sebagian kecil saja dari wujud kesenian. Sedang kesenian saja setitik dari apa yang disebut dengan kebudayaan."

Sementara itu, kebudayaan (yang di dalamnya ada kesenian)-lah yang membentuk peradaban. Jadi, kalau pemerintah tidak mau dibilang "biadab", muliakanlah seni-budaya. Tentu saja seni-budaya dalam arti yang sebenarnya. Bukan seni versi si anu, versi B, dll. Ini bukan menggurui: Belajarlah lagi tentang kebudayaan!

Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juni 2006

Saturday, June 10, 2006

Nuansa: Biar Miskin...

-- Udo Z. Karzi

Mamak Kenut dulu -- sampai sekarang -- punya prinsip begini: biar miskin asal sombong. Dia hampir sama sekali tak peduli dengan ejekan-ejekan teman.

Tidak tanggung-tanggung, kyai sejuta umat Zainuddin M.Z. yang sekarang jadi ketua Partai Bintang Reformasi, dulu menyindir-nyindir. Begini kata: Tuhan itu paling benci dengan orang yang miskin, tetapi sombong. Kaya sombong, wajar. Ganteng sombong, biasa. Pinter sombong, lazim. Iyalah. Memang ada yang bisa disombongin. Miskin, sombong, itu seburuk-buruk orang.

Ceramah ini diteruskan Minan Tunja untuk meledek Mamak Kenut, "Sudah miskin, jelek, beloon... mau jadi apa?"

Tapi tetap Mamak Kenut cuek.

Biar miskin asal kaya hati, kata lagu dangdut. Mat Puhit lain lagi, prinsip dia, biar miskin asal banyak duit, hidup enak, apa yang dimauin ya ada. Pithagoras juga prinsip. "Biar miskin asal bahagia," katanya.

Cuma Paman Takur yang langsung marah-marah begitu ada yang menghadap mau pinjam uang. "Makanya, siapa suruh jadi orang miskin. BBM naik saja kalian pusing. Harga barang naik kalian mengeluh. Onkos angkot naik kalian ngedumel. Emang enak jadi orang kaya. Kalian tahu nggak. Sekarang ini, segalanya akan beres dengan yang namanya duit. Uang. Doku. Segalanya beres dengan dana. Semuanya hanya bisa dibeli dengan uang. Tanpa uang ya mau apa?"

Kalau Paman Takur sudah ngomong begitu, siapa yang berani membantah. Tinggal bilang saja, "Ya Paman. Ya Paman." Iyo iyoin saja asal Paman Takur senang. Kalau Paman Takur senang, paling tidak Paman Takur bersedia memberikan pinjaman. Syukur-syukur tanpa bunga. Lebih syukur lagi kalau dikasih cuma-cuma. Tanpa embel-embel. Tanpa pamrih. Tanpa harus mengingat balas budi.

Tapi mungkin nggak ya?

Ah, orang pelit kayak gitu kok mau berderma.

"Nah, orang kaya kayak Paman Takur mamang cocok untuk sombong, angkuh, nggak pedulian, nggak punya rasa kasihan, nggak punya perikemanusian. La, Mamak Kenut miskin, jelek, bloon, kok sombong," kata Udien.

Wah, bahaya nih. Mamak Kenut dibilang sombong, miskin, jelek, dan ... bloon. Siapa nih yang buat isu itu. Mamak Kenut perlu klarifikasi. Siapa bilang Mamak miskin, siapa bilang Mamak jelek, siapa bilang Mamak begok, siapa bilang Mamak sombong, siapa bilang... Nggak. Mamak nggak miskin cuma nggak punya duit. Nggak. Mamak nggak jelek cuma nggak ganteng. Nggak. Mamak nggak bodoh cuma nggak pinter. Nggak. Mamak nggak sombong cuma (kadang-kadang) nggak tahu diri.

"Iya sih, Mamak itu rendah hati. Hehehee...," kata Minan Tunja.

"Tapi bukan rendah diri kan?" ledek Mat Puhit.

"Sembarangan...," sahut Mamak Kenut.

Biar miskin asal sombong. Iya soalnya kalau nggak gitu, kita-kita minder terus. Nggak pede terus. Mau ngapa-ngapain rikuh, ragu-ragu, takut nggak ada biaya. Nanti kayak "seniman" yang nggak bisa berkarya gara-gara anggarannya nggak cair-cair. Padahal sih dana itu mesti ada kalau orang itu kreatif. Nggak perlu korupsi. Nggak perlu buat proposal pengajuan dana terus-terusan. Nggak perlu berharap pada pemerintah terus. Nggak perlu merengek-rengek minta bagian dari proyek pemerintah terus. Nggak perlu menadahkan tangan terus.

Jadi, sudah benarlah: biar miskin asal sombong. Habis kalau kita pikir kita ini miskin, kita nggak bakal bisa ngapa-ngapain seperti kata Paman Takur. Padahal miskin itu modal. Dengan kemiskinan, bisa menjadi kreatif. Kalau "orang pinter" sih jelas, dia bisa menjual kemiskinan orang lain untuk kemaslahatan diri sendiri. Ah, biar miskin asal ...

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Juni 2006

Thursday, June 08, 2006

Nuansa: Wis... Dom

-- Udo Z. Karzi

MAMAK Kenut bukannya tidak mau menghormati bahasa Indonesia kalau pakai istilah keren model "wisdom" segala. Sebenarnya, kamus (politik) orang Indonesia sudah mencantumkan, antara lain apa yang disebut dengan "arif" atau "kearifan", "bijaksana" atau "kebijaksanaan", dan "adil" atau "keadilan".

Mamak Kenut hanya ingin merangkum semua istilah itu dalam kata "wisdom". Soalnya, dalam realitas politik di Negarabatin, dia sama sekali tak melihat kata ini dipakai. Kebanyakan pemimpin di Negarabatin lebih menonjolkan "kuasa" ketimbang "wisdom" dalam mengambil keputusan atau bertindak.

Beberapa lagi lebih mengutamakan unsur balas dendam politik ketimbang benar-benar memikirkan segi-segi yang lebih substantif, misalnya, asas manfaat, kemaslahatan, dan yang lebih penting, dampak dalam jangka panjang, dari sebuah keputusan.

Sedang asyik-asyiknya Mamak Kenut membolak-balik Kitab Kearifan (karya Bahaudin Walad terjemahan Ahmad Yulden Erwin), Mat Puhit datang menyodorkan koran. "Apa yang menjadi rasionalitas dari tindakan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menganulir Surat Wakil Gubernur-NYA (NYA huruf besar!), Syamsurya Ryacudu kepada Mendagri mengenai Usulan Pembentukan Kabupaten Pesawaran?"

Mamak Kenut yang lagi benci dengan kelakuan buruk para politisi dan pemimpin di Negarabatin yang suka seago-ago (semau-mau, tetapi bukan--sori nih kepada--Sutan Seago-ago), malah nyahut seago-ago, "Sudahlah yang begituan sih urusan kaum elite. Jangan tanya padaku."

"Waduh Mamak, jangan apatis begitu dong!"

"Lo, saya bukan apatis. Sebagai rakyat sah di Negarabatin, saya justru sedang protes berat nih."

"Protes kok diam aza?"

"Protes diam namanya!"

"Diam artinya setuju."

"Itu dulu. Diam berarti mau."

"La, protes kok diam, mana ada yang tahu."

"Pemimpin itu harusnya pinter mengartikan diamnya masyarakat. Dia harus proaktif mencari tahu mengapa masyarakat pada umumnya diam aza."

"Ah, sudah. Sekarang, bagaimana pendapat Mamak soal yang tadi?"

"Tanyakan pada Yang Mahatahu...."

"Matek nyak...."

Untung ada Udien. Dia menjelaskan Sjachroedin menolak surat Syamsurya karena substansi surat Wagub itu menyangkut kebijakan yang bersifat teknis dan khusus yang memerlukan pembahasan komprehensif bersama instansi terkait. Selain itu, usulan pembentukan kabupaten Pesawaran tersebut juga belum dikoordinasikan Wagub bersama instansi terkait.

"Api muneh?" tanya Minan Tunja tiba-tiba.

"Ah, sudahlah. Tunggu saza episode apalagi yang bakal terjadi setelah ini. Soal rasionalitas, kearifan, kebijaksanaan, dll. dari keputusan itu, nyang buat keputusan yang paling bertanggung jawab. Tanno, ram ngupi pai," kata Pitghagiras yang menyajikan minuman. Inilah enaknya jadi rakyat!

Wis... Dom. Sudah wis, ya pedom. n

Sumber: Lampung Post, Kamis, 8 Juni 2006

Friday, May 12, 2006

Nuansa: Aha....

-- Udo Z. Karzi

AHA...kalau empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut. Luar biasa riuhnya. Apa saja bisa menjadi bahan obrolan. Ada saja bisa jadi bahan kritik, tudingan, bahkan "caci-maki".

Wartawan itu memprihatinkan. Bahaya yang mengintip dari profesi mereka--konon--tak seimbang dengan kesejahteraan yang mereka terima. Belum lagi hambatan saat meliput. Tak jarang wartawan harus berurusan dengan hukum.

Aha menuturkan bagaimana empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut setiap hari menelusuri lorong desa. Terasa pahit.

Di lain waktu, empat berbincang tentang hutan.

"Rupanya, bukan saja 'tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina' sebagai pepatah. Tetapi, 'Menyeludup kayu dan menjual cara sembunyi ke Negeri Cina', juga bisa jadi peribahasa," kata Badogol menyindir oknum Kehutanan.

Tentang korupsi, Aha menulis: "Kalau pejabat RI, selalu berpegang kepada asas backing dan pejabat penting, niscaya NKRI bakal hancur. Itu namanya negara milik pejabat penting, bukan negara yang berdasarkan asas kedaulatan rakyat," ujar Badogol dan Suarsair yang mulai mengerti sedikit.

Aha, melihat bagaimana kacau-balaunya pembagian dana kompensasi bahan bakar minyak, empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut pun mencak-mencak.

Ulah aparat mendata warga miskin amburadul. Negara jadi kebobolan. Untuk ini, sejumlah warga yang seharusnya memperoleh bantuan subsidi BBM melalui PKPS-BBM, memohon pada pemerintah agar melakukan pengusutan yang gencar.

***

Empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut bersua Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, dan Udien. Bayangkan! Jelas ramai sekali.

Kenangan ini segera berlalu. Aha itu Alinafiah Harahap. Wartawan--Mamak Kenut lebih senang menyebutnya kolumnis karena kerapnya mengisi kolom Nuansa Lampung Post--yang biasa memainkan tokoh empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut itu telah pergi. Allah swt. telah memanggilnya kembali ke haribaan-Nya, Rabu, 10 Mei 2006, pukul 22.30. Inna lililahi wa inna ilaihi rajiun.

Mamak Kenut dkk. jelas takkan mampu melupakan sesosok tubuh, Tulang Harahap, begitu dia biasa disapa yang muda-muda.

Empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut jelas takkan lekang dari ingatan Mat Puhit. Lewat tokoh-tokoh yang tercetak dalam lembar-lembar koran ini, terbayang sikap ngotot dan keberanian melawan gelombang hidup yang penuh tantangan.

Aha telah mencontohkan bagaimana hidup harus diperjuangkan. Tak perlu neko-neko! Tapi, tak pula bisa hanya ikut arus, tanpa sikap, dan membiarkan segalanya terombang-ambing.

Selamat jalan, Tulang.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 Mei 2006

Tuesday, September 06, 2005

Nuansa: Tentang Perkawinan

: Udo Z. Karzi, 11 September yang itu

TIDAKKAH kau baca berita-berita itu, juru kamera televisi ke sana-ke mari, tak lupa juga polisi penjaga hukum-hukum kita itu. Pada sebuah berita, lelaki entah juga ia suami atau apalah--jika ia suami, mengapa ia begitu saja menggerakkan sepuluh jemari, mencekik leher istri--yang sadis menusukkan jejarinya ke leher putih selembut roti tawar itu. Cepat saja, esok hari berita-berita mengumandang tentang si suami yang mencekik istri hingga tewas. Leher melegam, bahu memerah; kata berita juga, telinga-mulut berdarah.

Mari-mari kita sama merasa, apakah ini perkawinan yang menghalalkan sesuatu yang haram, air mani dan nuftah ovarium menjelma jasad yang kemudian ditiupkan ruh oleh yang Mahahidup? Seperti inikah?

Oh, ya ... Kita sedang berbicara sebuah perkawinan, bukan berhebat-hebat merumuskan sebuah perkawinan. Mari-mari, Udo Z. Karzi, kita sama bertemu pada bejana besar tak berhingga hingga segala gagas tumpah. Kemudian ia menggunung, membantu kita memberi bentuk perkawinan-perkawinan itu.

Mari-mari Udo Z. Karzi.

Tidak ada yang ideal, kata kamu. Mungkin benar. Silakan kamu menggagas sepuas kau berkhalwat di pusat malam. Mari-mari Udo Z. Karzi. Bukankah Ia mencipta malam untuk kita-kita yang ingin menikmat rasa: bumi-langit-manusia adalah jagat kecil yang berhadap-hadap juga luruh dalam jagat besar yang itu...???

Lelalang-wewadon, lelaki-perempuan juga jagat-jagat yang luruh pada sebuah pertemuan kosmis yang mistis. Begitukah, saudaraku Udo Z. Karzi?

Ahaaa...mungkin kau bersungut malu, tentang jasad-jasad telanjang, misalnya. Tapi, ehemmm...bukankah kita sudah usang hingga jasad telanjang-telanjang kita tak lagi telanjang seperti lelanang-wewadon bergumul dalam jiwa-jiwa rusuh. Ada wiski, mungkin black label, juga seliwer pramumalam mengusung dentum bas drum dan keciprak senar drum di barbar. Gubahan mengacak-acak binal malam. Ehemmm...!

Menurutku, "tidak". Karena kita sudah lampau!

Andai kau ingin berseberangan, mungkin membantah omonganku, ooo...silakan. Silakan, saudaraku, Udo Z. Karzi. Kita ini sedang menggagas sebuah perkawinan, tidak sedang mendefinisikan apa itu perkawinan. Kita datang dari rasa, lalu rasa menggerak karsa. Rasa kita adalah rasa semesta. Rasa rasaning urip. Lalu, apalagi yang memaksa kita khawatir...?

***

Malam masih ada, sebentar lagi kau di peraduan berdua.

11 September sudah dekat, katamu. Kataku, biarlah sekat-sekat itu menjelma kekasih yang melekat bagai belikat. n RAHMAT SUDIRMAN

Sumber: Lampung Post, 6 September 2005