Sunday, October 24, 2010
Belajar dari Komunitas Sastra Dunia
JANGAN pernah memastikan bahwa kehadiran komunitas sastra di Indonesia yang marak sejak 1980-an merupakan suatu fenomena yang khas di dunia. Di belahan dunia lain, hal yang sama juga terjadi.
Meski aktivitas kreatif dalam kesenian, termasuk kesusastraan, umumnya masih dilakukan secara individual alias soliter, sebagai makhluk sosial, pelakunya, yakni seniman atau pekerja seni, termasuk sastrawan atau pekerja sastra; tetap butuh bersosialisasi dalam kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita.
Malah, di Prancis, pada abad ke-16, sekelompok penyair dari Abad Pertengahan tekah bersekutu di bawah nama The Pluiade. Sebelumnya, pada 1323, masih di Prancis, tepatnya di Toulouse, nama yang sama pernah digunakan oleh sebuah kelompok yang beranggota 14 penyair (tujuh lelaki dan tujuh perempuan). Artinya, ketika komunitas sastra atau budaya di Indonesia masih anonim, komunitas sastra di Prancis mulai mengarah ke bentuk organisasi. Komunitas sastra yang seperti itu di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-19, yakni Rusdiyah Klab di Sumatera dan Paheman Radyapoestaka di Jawa.
Di pelbagai belahan dunia, sejarah komunitas sastra juga tidak hadir sebagai kerumunan yang asosial. Ia selalu terikat dengan lingkungannya, sekurangnya lingkungan kesusastraannya. Tengok, misalnya, Tachtigers di Belanda, Harlem Renaissance dan The Nashville di Amerika Serikat, Bloomsbury di Inggris, dan tentu Gruppe 47 di Jerman.
Sekitar akhir abad ke-19, di Belanda, Tachtigers (Angkatan 1880) muncul sebagai kelompok penulis yang kemudian turut memengaruhi satu paruh dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia. Angkatan tersebut merupakan satu kumpulan penyair dan penulis muda yang memperbarui kesusastraan Belanda secara radikal pada 1880-an. Para penyokongnya, antara lain, Albert Verwey, Frank der Goes, Frans Eren, Frederik van Eeden, Herman Gorter, Jaques Perk, L. van Deysell, Willem Kloos, dan Wouter Paap.
Sebelum kemunculannya, kesusastraan Belanda pada pertengahan abad ke-19 memang perlahan-lahan mundur menjadi semacam kesusastraan �khotbah� lantaran inspirasi puitisnya diganti dengan pengajaran moral dan berkembang terus dengan sendirinya tanpa hubungan apa pun dengan kesusastraan Eropa pada masa itu. Tak lama setelah 1880, sekelompok orang muda mulai memberontak dan pada 1885 mereka bersatu dalam Majalah De Nieuwe Gids (Pandu Baru).
Dari namanya, kelompok anak muda tersebut jelas ingin bereaksi terhadap majalah terpenting pada masa itu, yaitu De Gids (Pandu), yang dibentuk pada 1837 dan mewakili pandangan golongan tradisional. Umur kelompok tersebut memang tak lama, tapi kegiatan gerakan tersebut yang tampak amat tiba-tiba dan revolusioner menjadikannya sangat menarik perhatian.
Abad berikutnya, tepatnya pada 1920-an, di Amerika Serikat, di sebuah distrik di New York yang disebut Harlem, muncul kebangkitan sastra yang disebut Harlem Renaissance ketika sejumlah sastrawan kulit hitam, seperti James Baldwin, Ralph Ellison, dan Zora Neale Hurston, memproduksi karya sastra yang diakui para kritisi sastra Amerika pada zamannya. Nama kelompok tersebut mengarah pada upaya kebangkitan kelompok sastrawan kulit hitam sekaligus upaya mengikis diskriminasi berdasarkan warna kulit.
Di Vanderbilt, masih di sekitar dasawarsa yang sama, ada kelompok The Nashville. Komunitas sastra ini merupakan kelompok �pembangkang� dalam pengertian yang lebih baik. Mereka mencoba mencari untuk menemukan kembali nilai-nilai tertentu dari masa lalu, seperti nilai-nilai dari tradisi budaya Selatan dan sudut pandang yang religius. Hasilnya, karya-karya sastra kelompok ini telah memberi pengaruh yang luas terhadap kritik sastra pada 1970-an di Amerika Serikat. Komunitas sastra yang dipimpin penyair John Crowe Ransom tersebut pernah mencatat penyair dan esais Allen Tate sebagai anggota kehormatannya.
Di Paris, Prancis, pada dasawarsa yang sama, 1920-an itu, tercatatlah "Generasi yang Hilang" atau The Lost Generation. Nama tersebut bermula dari selorohan Gertrude Stein�di Indonesia, dia dapat disejajarkan dengan H.B. Jassin�ketika suatu hari mendapati sekelompok anak muda kesulitan memperbaiki sebuah mobil yang mogok, "Oh, you are the lost generation." Anak-anak muda tersebut merupakan bagian dari anak-anak muda yang makmur setelah meraup banyak uang akibat Perang Dunia I, tapi spiritualitas mereka kosong. Karena karisma Stein, banyak sastrawan muda asing, terutama dari Amerika Serikat�termasuk Ernest Hemingway, yang menetap di Paris sebagai koresponden Toronto Star untuk meliput perang Yunani-Turki�sering berkumpul bersamanya di sebuah kafe di Paris. Sejumlah sastrawan Amerika Serikat bernostalgia tentang keterlibatan mereka di Perang Dunia I di Eropa. Dari sanalah, kita kemudian mengenal komunitas The Lost Generation. Tokoh sentralnya memang Stein.
Di Jerman, pada 1947, muncul Gruppe 47. Kehadiran Gruppe 47 dilatari imbas Perang Dunia II yang memorak-porandakan Jerman. Sebanyak 10-16 juta serdadu mati bersama warga sipil. Enam juta orang Yahudi dibantai Nazi. Sebelas juta orang Jerman dibui karena kalah perang, dua juta cacat seumur hidup, dan sepuluh juta orang Jerman harus pergi meninggalkan tanah air mereka.
Pada masa sesudahnya, buku menjadi barang mewah, sangat langka, dan dicari banyak orang. Harganya di pasar gelap setara dengan kebutuhan hidup sekeluarga selama seminggu. Padahal, sastra sudah seperti menjadi kebutuhan pokok. Sayangnya, karya-karya sastra yang dihasilkan penulis muda tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan zamannya.
Padahal, masyarakat membutuhkan sebuah bentuk sastra baru. Sastra yang menampilkan pergulatan hidup untuk mencari jawaban atas setiap kesalahan yang telah dilakukan. Orang butuh "bahasa baru" untuk menyusun kenyataan secara lugas, sebuah bahasa yang jelas, tegas, dan tepat. Kondisi seperti itulah yang memicu kelahiran komunitas sastra yang kemudian melegenda di Jerman ini. G�nter Grass, Alfred Andersch, dan Heinrich Boll pernah menjadi anggota Gruppe 47.
Di luar komunitas-komunitas itu, tentu masih banyak komunitas lain yang dapat disebut sebagai contoh. Dalam sejarah kesusastraan Amerika Serikat, misalnya, kita mengenal komunitas Brook Farm pada pertengahan abad ke-19. Di desa utopia yang dipimpin George Ripley tersebut pernah bergabung sastrawan Nathaniel Hawthorne selama beberapa bulan pada 1841. Pada akhir abad ke-19, Greenwich Village, sebuah distrik di New York, Amerika Serikat, terkenal sebagai kantong budaya yang didukung berbagai majalah sastra bertiras kecil. Di sana bermukim para sastrawan terkenal Negeri Paman Sam tersebut, mulai dari Edgar Allan Poe sampai dengan Edward Estlin Cummings (e.e. cummings). Di Vanderbilt, pada awal abad ke-20, John Crowe Ransom dan Allen Tate juga tergabung dalam kelompok para penyair yang dikenal dengan sebutan Fugitives bersama Donald Davidson, Robert Penn Warren, dan para penyair lain.
Masih di sekitar awal abad ke-20 tersebut, komunitas sastra juga sudah dikenal di Argentina, Amerika Selatan. Pada 1916, penyair terkenal Argentina, Alfonsina Storni, disebut-sebut mulai tampil di depan umum untuk membacakan puisi-puisinya dan bergabung dalam komunitas sastra di Argentina. Bahkan, penyair kelahiran Swiss, 29 Mei 1892, yang meninggal dunia pada 1938 itu menjadi salah seorang pendiri Asosiasi Penulis Argentina.
Di Inggris, pada 1920-an, sejumlah sastrawan, seperti T.S. Elliot, Joseph Conrad, dan beberapa sastrawan dari Amerika Serikat, seperti Herold Frederick dan Stephen Crane, sering berkumpul. Bahkan, mereka mengarang drama dan membacakannya bersama serta menyusun sejumlah rencana kreatif, walaupun tidak jarang hanya tinggal rencana. Tak jauh dari dasawarsa tersebut, masih di Inggris, tepatnya di London, novelis Virginia Woolf menjadi bagian dari grup Bloomsbury. Bahkan, di kota yang sama, pada 1909, The Poetry Society sudah berdiri.
Tentu tak lengkap menderetkan contoh komunitas sastra di dunia tanpa menyebut organisasi Poets, Playwrights, Editors, Essayists, and Novelist (PEN). Sebelum ada Gruppe 47, PEN sudah hadir, yakni sekitar 1930-an. Banyak sastrawan terkenal di dunia, termasuk Gunter Grass, menjadi anggotanya. PEN kemudian memang menjadi organisasi yang mengglobal dengan pusat di London, Inggris. Cabang PEN hadir di puluhan negara di berbagai benua di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Kalau beberapa dasawarsa terakhir, tak sedikit kampus di Indonesia ditengarai sebagai basis pertumbuhan komunitas sastra, hal yang sama sudah terjadi di Amerika Serikat sejak beberapa abad yang lalu. Misalnya, di Columbia University, ada The Philolexian Society, salah satu komunitas sastra kampus yang tertua di sana yang didirikan pada 1802. Contoh lain adalah The Philomathean Society di University of Pennsylvania yang didirikan pada 1813.
Ketika raja-raja di Nusantara pada masa silam memiliki sejumlah pujangga untuk mengagungkan masing-masing raja, di Inggris, King George IV telah mendirikan The Royal Society of Literature pada 1820. Organisasi sastra tersebut didirikan untuk memberikan penghargaan atau beasiswa sekaligus membangkitkan bakat-bakat sastra tak hanya di kalangan masyarakat Inggris, tapi kemudian juga di kalangan masyarakat di luar Inggris. Karena itu, selain Yeats, Kipling, Thomas Hardy, dan George Bernard Shaw, kemudian Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, misalnya, juga menerima beasiswa dari organisasi sastra itu.
Sebagaimana di Indonesia kemudian, pelbagai komunitas sastra di sejumlah negara tersebut hadir tanpa atau dengan ikatan, baik sebagai paguyuban informal maupun organisasi formal. Ada yang bermotif melawan kemapanan, ada yang hanya untuk bernostalgia. Ada yang punya tokoh sentral, ada yang tidak. Ada yang bertahan lama lebih dari tiga perempat abad dan lebih banyak yang hidup hanya untuk rentang masa yang pendek. Di Indonesia, belum ada yang aktif terus-menerus hingga seperempat abad pun. Yang lebih banyak adalah yang aktif hanya untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa pekan.
Iwan Gunadi, Pemerhati komunitas sastra
Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Oktober 2010
Sunday, March 08, 2009
Meyakini Kembali Komunitas
SEJAK terserang stroke beberapa tahun yang lalu, maestro tari topeng Indramayu Rasinah (Mimi Rasinah) sehari-hari hanya bisa duduk di rumahnya sambil mengasuh cicitnya. Penari yang pernah tampil di Jepang dan sejumlah negara Eropa itu kini masih terus menjalani pengobatan. Foto diambil, Selasa (24/2) di rumahnya, Desa Kandangan Kab. Indramayu.* AGUS BEBENG
DIKEPUNG zaman SMS, online chatting, facebook, e-mail, dan aneka model percakapan "langit-elektronik" lainnya, menerima suratmu via jaringan kantor pos benar-benar terasa berbeda: terasa lebih personal- secarik kertas yang dapat diraba seakan kita saling bersentuhan kulit secara langsung. Kabar darimu datang menghampiri seakan kita bercakap-cakap langsung berhadap-hadapan muka. Ah ya, kita bahkan sudah tidak lagi sekadar berbasa-basi, "Halo, apa kabar?" Tetapi lebih dari itu, surat balasanmu berupa karyamu-aneka bentuk seni yang bisa terkirim via pos. Surat seni! Kamu menyatakan ekspresi dalammu, senimu, wilayah yang diyakini sebagai tanpa batas, mendalam sekaligus meluas dan sukarela mengirimnya kemari.
Terima kasih sahabat, suratmu menggetarkan diri. Tiupan solidaritasmu tambah menyalakan harapan yang tengah redup. Kami mendapatkan suntikan tenaga berkat kehadiran ungkapan empatimu. Dengan itu teguhlah kembali jalinan rasa kemanusiaan kita di dunia yang semakin kerontang, tetapi juga serbadingin menggigit ini. Kami menikmati ekspresimu dengan penuh suka cita. Rasa bahagia bersemi lantaran kami jadi yakin tidak bersendiri dibekuk gundah dan letih mempertahankan kehijauan hutan kota dan kehangatan komunitas kami.
Suratmu dari jauh itu, yang meliputi tiga puluh negara, melelehkan batas-batas jarak. Adapun surat-surat dari para sahabat satu kota makin mempertautkan langkah keseharian kami masing-masing. Yang jauh dan yang dekat dalam tatapan jarak geografis, luluh mengkristal bening sebagai kehadiran intim yang bikin hati bungah. Demikianlah kita bersama menghimpun surat-surat seni ini guna saling meneguhkan keyakinan "From The World With Love", tanpa diembel-embeli harga, tanpa pasar kapitalistik! Semata kasih.
Demikianlah saya membayangkan pertautan batin yang tercipta oleh momen Pameran Surat Seni di Sanggar Olah Seni (SOS) Bandung, 7-21 Februari 2009. Menurut Deden Sambas, salah seorang penggagas yang juga pengusung projek Seni Rupa Koran, kontak-kontak surat berjalan kurang lebih sejak dua bulan terakhir. Evie Setiyadi dan Toni Antonius turun sepenuh diri meyakini dan menjalankan gagasan yang pada gilirannya membentuk jejaring sosial ini.
**
SOS di bawah pimpinan Syarif Hidayat dengan bersemangat turut mengeksekusi projek ini. Lebih dari seratus seniman dari tiga puluh negeri berhasil terhimpun karyanya, melalui pengorganisasian yang ramping, sederhana, bekerja berbasiskan kesukarelaan yang riang, dan keyakinan tengah memperjuangkan sesuatu yang bermakna konkret bagi publik.
Alhasil, sebenarnyalah dalam pandangan saya, yang tengah mengalir dan tersalurkan secara alamiah ini adalah energi spontan yang terhimpun dalam sebuah kolektivitas cair. Dan terwujudnya sebuah perayaan spontanitas tiada lain itulah festival dalam makna sesungguhnya. Ini sesuatu yang mustahil dicapai oleh birokrasi pemerintahan. Sebabnya ada dua alasan mendasar. Pertama, birokrasi pemerintahan sudah sedari karakter dasarnya memang nonalamiah. Ia serba pesanan dan penuh beban. Kedua, birokrasi yang sudah sebagai sumber mata pencaharian bagi para pengusung dan pegawainya, akan dengan sendirinya menelurkan organisasi yang reyot dan lembam. Sialnya mereka kerap tak tahu diri. Aneka perhelatan mereka gelar dan dengan keras kepala mematut-matutnya sebagai festival. Persisnya festival kemubaziran: sudah pasti festivalnya tampil artificial, pasti pula menyedot dana miliaran guna memanggung-manggungkan seni penghiburan yang sebenarnya memiskinkan publik secara lahir dan batin.
Akan tetapi, lantas untuk apakah "From The World With Love" tersebut diseru-serukan? Demi apakah?
Pada tatapan permukaan, sebagaimana kita maklumi bersama, itu adalah upaya mempertahankan tetap adanya komunitas sanggar-sanggar seni di kawasan Babakan Siliwangi yang sekaligus juga area hutan kota. Kita paham mereka terancam oleh rongrongan egoisme pembangunan yang kapitalistik. Upaya tersebut merupakan salah satu dari serentetan upaya panjang sebelumnya yang sudah bertumbuh sebagai upaya kewargaan yang meluas.
Langgam kapitalistik yang garang merangsek itu, ada di mana-mana. Ia menebar dari dunia terdekat hingga pelosok terjauh sekalipun. Namun tindak spontan berkarya, mengemasnya dan sengaja keluar rumah untuk mengeposkannya kemari, ini sungguh sebuah pertanda bahwa yang meluas ada di mana-mana, tidak otomatis berarti benar. Betapa pun mereka menyatakan sebagai pembangunan yang ramah lingkungan. Toh, tampak dalam beragam langkah keseharian, tindak-tanduk mereka beraroma tak sedap, nyaris di setiap tahapan pelaksanaan projeknya, mereka meminggirkan publik. Mereka bahkan mengembangkan habitus bermuka manis seakan bermartabat. Mereka berceloteh tentang kebaikan bersama, demi kesejahteraan ekonomi pengangguran. Namun sebenarnya menuai keuntungan sesaat sembari mencekik masa depan, degradasi lingkungan yang diakibatkannya menebarkan ancaman kematian bagi flora fauna dan kanak-kanak masa depan. Ini persis muslihat serigala berbulu domba.
Jika pada lapis kedalaman berikutnya, warga meneriakkan pentingnya ruang publik, maka sebenarnyalah ada arus dalam yang genting dan yang tak selalu ternyatakan, tak tersuarakan. Maklum, sebagian diri kita, oleh sebab terjangkiti habitus kapitalistik, sadar maupun tidak menyuarakan langgam yang sama dan sebangun dengan mereka. Yakni suara yang berdasarkan azas fungsional ruang fisikal kota-kota yang berderap seirama ekonomi pasar kapitalistik. Maka yang terbayangkan pun sebatas pelataran terbuka, taman ataupun sejumput seni budaya pariwisata agar kerumunan bisa duduk santai sejenak sembari tak henti didorong-dorong untuk terus mengonsumsi, terus berindustri sekreatif apa pun. Kemudian kerumunan terpecah-pecah kembali, dalam kesendirian masing-masing pulang ke rumah untuk lagi-lagi dihajar mimpi buruk itu. Diburu atau memburu, senantiasa yang kuatlah yang menang (survival of the fittest) seakan dunia adalah medan perang tak kenal henti. "Kau dongengkan aku surga, kendati itu semata kilatan neon," teriak nyanyian Hannah Marcus.
Kita kerap lupa bahwa ruang publik sejati tak akan pernah bisa hadir tanpa adanya komunitas yang berdaulat menjalankan mikropolitik keseharian yang tak selalu mesti heroik. Kita ingat di tanah ini pernah ada Bapak dan Ibu Iso yang menanak dan mengepalkan nasi timbel berkat kayu bakar Babakan. Pak Iso telah melakukan pilihan dan menjalaninya, hidup berbasis kealamiahan yang hijau dan benci kepada lalu lintas ramai yang tak mengizinkan manusia seperti dirinya menyeberang dengan aman. Di luar Babakan bisa kita kenali kegairahan muda yang egaliter, saling ber-saya-kamu tanpa beban kendati usia saling berpaut jauh. Mereka mengumpulkan sayuran, memasaknya, dan membagikannya di ruang terbuka. Namun mereka tidak sedang menabung wibawa moral dan tidak sedang berderma. Mereka tengah menentang politik makanan yang melulu menghasilkan ketimpangan. Kiranya, festival spontanitas serupa Surat Seni pun mustahil terselenggara tanpa adanya komunitas.
Maka agar tak pulang dengan lagi-lagi jiwa yang hampa, tepatlah kiranya meyakini kembali komunitasmu. Sepanjang sejarah negara bangsa rontok namun tidak demikian halnya dengan komunitas. Komunitas senantiasa ada kendati dipendam dan dikangkangi oleh negara, modal dan para pelayan hukumnya. Yakinilah dan rebutlah kembali aliran arus bawah yang sayup-sayup dari komunitasmu.***
* Setoaji Purnasatmoko, Aktif di studi ekologi sosial Kolektif Hijau Merdeka.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Maret 2009
Sunday, October 19, 2008
Salihara untuk Kreativitas Merdeka
JAKARTA sekarang punya kantong seni-budaya baru lagi. Komunitas Salihara, markas seni-budaya di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, resmi dibuka, Jumat (17/10) malam lalu.

Banyak orang berharap komunitas hasil pengembangan dari Komunitas Utan Kayu di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, itu bakal memperkuat kemerdekaan kreativitas seni di negeri ini.
”Komunitas Salihara, yang jadi tempat seni pertunjukan, film, seni rupa, seni musik, dan lain- lain, kami persembahkan untuk menghidupkan kreativitas. Kreativitas yang membuahkan kemerdekaan jiwa untuk masa kini dan masa depan bangsa ini.” Begitu komentar Goenawan Mohamad, pendiri Komunitas Salihara, saat membuka Festival Salihara, Jumat (17/10) malam.
Berlangsung meriah, festival itu menggelar berbagai macam seni secara bersamaan, seperti musik, tari, teater, dan seni rupa. Pergelaran yang berlangsung 17 Oktober-6 Desember ini sekaligus menandai pembukaan resmi komunitas tersebut. Kompleks yang berdiri di atas lahan seluas 3.237 meter persegi ini punya tiga unit bangunan utama: Teater Salihara, Galeri Salihara, serta bangunan kantor dan wisma seniman.
Di ruang galeri, digelar pameran seni rupa bertajuk ”Dari Penjara ke Pigura” yang merespons teks tulisan para pahlawan kemerdekaan, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka. Karya yang dipajang—berupa lukisan, patung, atau instalasi—dibuat sejumlah seniman, antara lain Acep Zamzam Noor, Agus Suwage, Dadang Christanto, Djoko Pekik, Hanafi, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yuswantoro Adi.
Di gedung teater, dengan bangunan model black box yang menampung 250-an penonton, Orkestra Arupadatu dari Komunitas Lima Gunung di Magelang, Jawa Tengah, menyuguhkan ”Jazz Gladiator Gunung”. Sekitar 60 orang, termasuk sejumlah bocah, memainkan alat perkusi, gamelan (demang, sarong, kendang), musik trunthung, sambil bernyanyi-menari dengan bentuk mirip adegan pertarungan.
”Entah namanya tradisi, modern, atau kontemporer, kami mencoba mempertajam dan membuka kemungkinan musikal baru,” kata Sutanto, komposer dan mentor kelompok ini.
Acapela Mataraman pimpinan Pardiman Djoyonegoro memikat penonton dengan pertunjukan ”Cangkem Khatulistiwa”. Dengan mengandalkan keterampilan menirukan bunyi alat musik dengan mulut, mereka mencoba merangkai adegan yang membentuk narasi sebuah upacara yang penuh sindiran. Folk Jazz Titi Aksan and Friends juga tampil menawan di akhir acara.
Kemerdekaan
Apa yang kental terasa dalam Festival Salihara? Sebagaimana ditegaskan Goenawan Mohamad, komunitas itu dibangun untuk mengembangkan kemerdekaan kreativitas. Semangat ini pula yang menapasi menu acara festival, setidaknya pada malam pembukaan itu.
Pameran seni rupa ”Dari Penjara ke Pigura” jelas berangkat dari etos kebebasan dalam teks dari para tokoh kemerdekaan, yang kemudian ditafsirkan secara visual oleh para perupa. Lukisan Agus Suwage, Tanpa Judul, yang menggambarkan potret Tan Malaka muda, cukup menarik. Sosok pahlawan ini muncul kuat dengan sapuan ekspresif, sedangkan warna monokrom segera mengingatkan kita pada sejarah.
Teks kutipan yang ditorehkan di atas wajah itu mengentalkan gairah kebebasan. ”Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia mesti berpikir merdeka! Jadi ia mesti berdiri atau roboh dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan, dan kemauannya.”
Orkestra Arupadatu menyiratkan kemerdekaan lewat gairah para petani pegunungan yang berekspresi secara bebas, bahkan agak liar. Dengan ritme musik dan gerak tari yang cair, pertunjukan mereka sangat hidup karena dilambari etos paguyuban khas masyarakat agraris. Energi, vitalitas, dan kegembiraan orang tua dan bocah-bocah yang berjoget ala warok itu memendar hingga ke tengah penonton.
Acapela Mataraman memperlihatkan keleluasaan mencampur-baurkan gending Jawa, lagu pop Barat, dan musik Brasil dalam semangat bermain yang sangat lentur. Keberanian mereka untuk menyerap spontanitas jalanan mencipratkan kesegaran tersendiri. Dalam bentuk berbeda, spirit kebebasan juga telah memungkinkan Titi Aksan and Friends memainkan racikan Folk Jazz yang asyik, dengan improvisasi-improvisasi yang merdeka dan tak terduga.
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Oktober 2008
Wednesday, July 02, 2008
Komunitas: 600 Karya Buku di Rumah Cahaya
Menurut database pengurus FLP Pusat, dari sekitar 5.000 anggota, telah lahir lebih dari 600 karya. Karya-karya tersebut menurut Ketua Umum M. Irfan Hidayatullah, terdiri atas karya-karya pribadi anggota, juga antologi para penulis daerah yang dikumpulkan rekan-rekan muda FLP di daerah. Sebagian besar royalti biasanya didedikasikan untuk kemanusiaan, juga untuk operasional kegiatan kepengurusan FLP.
Antologi-antologi FLP wilayah yang telah diterbitkan di antaranya, Doa untuk Sebuah Negeri - FLP Aceh (Syaamil, 2001), Atas Nama Cinta - FLP Bandung (Syaamil, 2000), Salsa Tersayang - FLP Kaltim (Syaamil, 2000), Tarian Sang Hudoq - FLP Kaltim (Syaamil, 2001), dan Kucing Tiga Warna - FLP Sumatera Selatan (Syaamil, 2002).
Selain buku karya pribadi dan antologi bersama, anggota FLP juga menerbitkan karya-karya untuk kemanusiaan. Program ini merupakan bagian dari kampanye "Sastra untuk Kemanusiaan", di mana rekan-rekan FLP mengumpulkan tulisan dan menerbitkannya. Seluruh royalti didedikasikan untuk kemanusiaan, seperti bencana alam, tokoh sastra, dan kegiatan amal.
Beberapa antologi cinta yang telah diterbitkan, Nyanyian Perjalanan (Syaamil, 2000), untuk anak-anak jalanan, Doa Untuk Sebuah Negeri (Syaamil, 2000), untuk janda korban DOM, juga untuk membangun kegiatan sosial FLP di Nanggroe Aceh Darussalam, Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2001), untuk biaya pengobatan penulis Pipiet Senja, dan Merah di Jenin (FBA Press, 2002), untuk anak-anak Palestina, disumbangkan melalui Mer-C.
Program lain yang lebih berorientasi kepada masyarakat adalah dibentuknya Rumah Cahaya.
Program FLP ini merupakan bagian dari kampanye membaca dan menulis dan kontribusi FLP terhadap masyarakat.
Rumah Cahaya berdiri pertama kali di Depok pada 2003 hasil bekerja sama dengan Dompet Dhuafa. Rumah ini kemudian dikenal dengan Rumah Cahaya Depok. Menyusul Rumah Cahaya Penjaringan hasil kerja sama dengan FOJIS Penjaringan Jakarta.
Rumah Cahaya merupakan tempat untuk masyarakat yang datang membaca buku atau majalah, sekaligus memiliki kesempatan menuangkan pikiran dan gagasan dalam bentuk tulisan. Tempat ini memberikan kesempatan bagi kalangan umum, khususnya kaum duafa untuk membaca lebih banyak buku, majalah, dll., sehingga wawasan mereka lebih berkembang.
Rumah Cahaya juga mendukung kalangan umum, terutama duafa yang berminat di bidang tulis-menulis untuk belajar menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Diharapkan kualitas kehidupan mereka kelak bisa lebih baik.
Secara keseluruhan, kegiatan-kegiatan Rumah Cahaya FLP meliputi bimbingan menulis untuk anak dan remaja, dongeng untuk anak, diskusi dan peluncuran buku, teater, dan lain-lain.
Rumah Cahaya FLP sudah berdiri di beberapa wilayah, seperti Rumah Cahaya Depok di Jln. Keadilan Raya No. 13 Depok; Rumah Cahaya Penjaringann di bawah tol bandara, Pasar Ciplu, Kampung Rawa Bebek, Penjaringan Jakarta Utara; Rumah Cahaya Bandung di Jln. Kopo Sayati Gg. Umroh No. 174 RT 05 RT 07 Bandung; Rumah Cahaya Pekalongan di Jln. Laksamana Yos Sudarso Gg. II No. 327B Kepatihan Wiradesa Pekalongan; Rumah Cahaya Medan Rumah Cahaya Aceh; dan Rumah Cahaya Jati Padang, Jakarta Selatan. (Eriyanti/"PR")***
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 2 Juli 2008
Komunitas: Forum Lingkar Pena (FLP) Berbagi Seberkas Cahaya
Begitulah bila anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Bandung mengisi kegiatan rutinnya setiap Kamis, pukul 16.00-18.00 WIB di selasar Masjid Salman ITB, Bandung. FLP Cabang Bandung hanyalah satu dari 80 cabang FLP yang terdapat di berbagai kota/kabupaten di Indonesia.
Organisasi yang semula hanya beranggotakan 30 orang ini, berdiri pertama kali 22 Januari 1997 di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Kampus UI Depok. Diskusi pertama seputar membaca, menulis, dan menyepakati dibentuknya wadah bernama Forum Lingkar Pena yang kemudian sangat populer dengan sebutan FLP.
"Sejak itulah kegiatan kita mulai terarah. Selain kegiatan rutin pekanan dan bulanan, ada juga bengkel penulisan kecil-kecilan sambil merekrut anggota," ujar Ketua Umum FLP Pusat M. Irfan Hidayatullah, mengisahkan awal lahirnya FLP.
Pada 1998 Muthi Masfufah mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan kemudian Sangata. FLP Kaltim inilah yang merupakan kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP.
Setahun kemudian banyak permintaan dari daerah untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap provinsi. Hingga pada tahun 2000 melalui majalah Annida yang saat itu dipimpin Helvy Tiana Rosa, diadakan rekrutmen terbuka. Sekitar 2000 orang mengajukan diri menjadi anggota.
Ibarat musim bunga, FLP terus bermekaran di berbagai wilayah dan daerah. Malah, FLP juga berdiri di luar negeri seperti di Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Kanada, Sudan, Jepang, Korea, dan Pakistan. Terakhir FLP juga berdiri di Hongkong dan menurut rencana akan dibuka pula di Singapura.
Habiburahman Saerozy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) bahkan membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang) Mesir.
"Jadi, kalau ditotalkan jumlah FLP ada 28 kepengurusan wilayah (provinsi), 80 kepengurusan cabang (kota/kabupaten), dan 8 kepengurusan wilayah luar negeri. Dengan jumlah anggota mencapai lebih kurang 5.000 orang," kata Irfan.
Pengurus dan anggota FLP adalah pelajar Indonesia yang sedang studi di negara-negara tersebut dan bersedia membuka cabang FLP di negara itu. Seperti FLP Amerika, Kanada, Jepang, dan negara lainnya. Yang unik, hampir sebagian besar anggota FLP Hongkong adalah para pekerja migran.
"Pada dasarnya, FLP itu organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama. Mayoritas anggotanya memang Muslim, tetapi ada juga non-Muslim yang bergabung. Sebab, niat FLP adalah membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah," ungkap Irfan.
FLP juga tidak mensyaratkan anggotanya sebagai penulis yang sudah jadi. Ada tiga kriteria anggota FLP yakni anggota dengan kemampuan dasar nol, anggota dengan kemampuan dasar minimal, anggota yang sudah terbiasa menulis, dan anggota yang sudah menjadi penulis.
"Ibu Pipiet Senja itu merupakan anggota FLP yang sudah jadi penulis. Tapi banyak juga anggota FLP yang awalnya tidak bisa menulis tetapi kemudian bisa menjadi penulis," ujar Irfan.
Semangat kepenulisan
FLP mengusung visi membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. Berdasar pada visi tersebut, kegiatan bulanan FLP diisi dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis, atau cendekiawan.
Kegiatan rutin penulisan digelar setiap minggu. FLP juga bergiat mengadakan diskusi dan seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer. Digelar pula bengkel-bengkel penulisan, aktif mengirimkan tulisan ke berbagai media massa, menerbitkan buletin dan majalah, membuat skenario teater, sinetron, film, dan lain sebagainya.
Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kampanye gemar membaca dan menulis ke SD, SMP, SMU, pesantren, dan universitas di seluruh Indonesia. Selain itu, secara berkala FLP mengadakan berbagai sayembara penulisan untuk pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum. FLP juga memberikan FLP Award dan membuka program Rumah Cahaya (rumah baca dan hasilkan karya) di berbagai daerah di Indonesia, serta mengadakan "Kampanye Sastra untuk Kemanusiaan".
"Dengan semua program tersebut FLP ingin mendorong agar setiap anggotanya bergiat menulis dan melahirkan karya. Sampai-sampai FLP juga memasang target harus bisa menerbitkan buku minimal 5 karya para anggota per bulannya," ujar Irfan.
FLP juga organisasi yang mengutamakan transfer ilmu antarsesama anggotanya. Sesuai dengan poros dasarnya yakni organisasi pengaderan, para anggota FLP rajin berbagi ilmu, mengadakan pelatihan, berdiskusi, juga kontribusi terhadap masyarakat dalam bentuk kampanye membaca dan menulis.
"Pendeknya, FLP hadir mengobarkan semangat kepenulisan yang kemudian hasil dari penulisan tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat," ujar Irfan menambahkan.
Sampai saat ini terdapat sekitar 5 ribu anggota dan telah menerbitkan 600 karya. Sebagian besar karya-karya mengusung tema cinta dan kekuatan Ilahi dalam berbagai ruang gerak kehidupan sehingga banyak kritikus sastra dan novel mengategorikan karya-karya penulis FLP sebagai karya sastra Islami.
Buku-buku karya FLP tersebut booming di masyarakat dan menempati rak-rak buku bestseller Indonesia. Malah, novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburahman Saerozy (FLP Mesir) disebut-sebut sebagai karya monumental anggota FLP dalam "meruntuhkan" paradigma novel-novel beraliran cinta.
"Meski demikian, kita tetap tidak ingin keberhasilan AAC itu membuat penulis maupun anggota FLP lainnya bersikap jumawa. Oleh karena itu, pada Munas dan Silnas 11 Juli ini kita akan membedahnya dengan sangat kritis. Termasuk kelemahan-kelemahan AAC agar terlahir kembali karya-karya yang lebih bagus," tutur Irfan.
Kerja sama
Untuk jaringan, FLP menjalin kerja sama dengan berbagai penerbit. Bahkan, semakin banyak penerbit yang meminta anggota FLP untuk bekerja sama. Terutama untuk memenuhi ketersediaan buku-buku baru. Biasanya, bagi anggota yang berhasil menerbitkan buku, 10-15 persen dari royaltinya diberikan untuk pengembangan komunitas. Sementara untuk lebih menguatkan eksistensinya kepada masyarakat dan industri perbukuan, FLP mensyaratkan penerbitan yang menerbitkan karya-karya anggota FLP harus selalu mencantumkan logo FLP pada buku tersebut.
Namun, sama halnya dengan komunitas lain, FLP yang sudah "menggurita" pun tetap terkendala dana. Terutama bila akan mengadakan kegiatan-kegiatan besar seperti silaturahmi nasional (silnas) dan musyawarah nasional (munas) yang akan digelar pada 11 Juli ini. Anggaran yang dibutuhkan mencapai puluhan juta dan ini sedang diupayakan terus oleh panitia Silnas 2008.
Silnas dan munas merupakan tradisi FLP sejak tahun 2002. Kegiatan ini diisi dengan pertemuan wakil dari pengurus FLP wilayah/cabang di seluruh Indonesia dan perwakilan luar negeri. Hadir pada waktu itu, kata Irfan, sekitar 100 orang termasuk pengurus dari Mesir dan Belanda.
Sementara itu, Munas dan Silnas 2005 di Yogyakarta, hadir sekitar 200 pengurus dari seluruh Indonesia, dan perwakilan dari Mesir, Jepang, dan Sudan. Saat itu juga disahkan AD/ART FLP dan pemilihan ketua umum baru. Terpilih M. Irfan Hidayatullah, mantan Ketua FLP Jawa Barat, menggantikan Helvy Tiana Rosa yang telah menjabat sebagai ketua umum dari tahun 1997-2005.
Dari semua perjalanan FLP ini, penyair Indonesia Taufik Ismail mendefinisikan FLP sangat fenomenal. Menurut Taufik, FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia. Nah, siapakah yang ingin menjadi pemberi hadiah bagi Indonesia? Bergabunglah dengan FLP. (Eriyanti/"PR")
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 2 Juli 2008
Monday, June 02, 2008
Langkan: Pembangunan Rumah Budaya Pramoedya
Sumber: Kompas, Senin, 2 Juni 2008
Sunday, February 17, 2008
Wacana: Komunitas Sastra dan Sastra Komunitas
KONGRES pertama Komunitas Sastra Indonesia (KSI), yang diadakan di Kudus 19-22 Januari 2008, tentu sangat penting artinya bagi perjalanan sastra Indonesia. Tema kongres --Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia -- saya pikir sangat tepat.
Dari observasi dan bacaan saya atas liputan beberapa koran menjelang kongres, saya mencatat bahwa sastra Indonesia masih diidentikkan dengan sastra yang diterbitkan atau ditampilkan di kota-kota besar terutama Jakarta, kurangnya publikasi tentang sastra Indonesia, perlunya pendidikan sastra di sekolah-sekolah, dan kurangnya anggaran untuk pengembangan kebudayaan dengan sastra sebagai rohnya. Dan, yang tak kalah penting, nasib sastrawan perlu mendapat perhatian.
Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya.
Komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya.
Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.
Bagaimana dengan sastra lokal, sastra komunitas, yang didukung dan dilestarikan oleh orang-orang desa yang sederhana, yang mungkin tidak tahu dan tidak mau menyebut dirinya sastrawan, melainkan sebagai hanya pelestari ritual, tradisi warisan leluhur? Untuk yang terakhir ini, terutama saya berbicara tentang sastra lisan.
Menurut saya, tidak kalah pentingnya KSI juga memperhatikan perkembangan sastra lisan. Jika sekarang kita berbicara tentang musikalisasi puisi, seniman-seniman tradisional di desa-desa Jawa sudah lama melakukannya dalam bentuk mocopat, seni kentrung, yang melantunkan syair dengan iringan kendang.
Bentuk-bentuk musikalisasi sastra juga ada di desa-desa di seluruh Nusantara. Bahkan, petani sering melantunkan syair, parikan dalam bentuk uro-uro tatkala bekerja di sawah/ladang seperti waktu membajak sawah dan memanen padi, jagung dan kedelai.
Yang aktif melestarikan sastra lisan di desa-desa sekarang, justru bukan sekolah, melainkan pesantren tradisional dan majelis-majelis pengajian atau kelompok-kelompok yang mengadakan pertemuan/sarasehan pada hari-hari tertentu seperti Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon.
Sastra di desa-desa pada waktu saya kecil dulu mendapat tempat yang tinggi. Salah satu buktinya, orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis dianggap mengerti sastra dan pantas memakai nama tua (setelah menikah) 'sastro' seperti Nitisastro, dan Sastrodiningrat. Orang yang buta huruf dianggap tidak mengerti sastra dan kalau pun ingin memakai nama sastra, diplesetkan menjadi 'setro'.
Sengaja saya berbicara tentang sastra lisan dalam kedudukan saya sebagai Direktur Utama RRI, yang bisnis utamanya memang audio, oral atau lisan, sekalipun kini RRI sudah mengembangkan program siarannya secara three in one (audio, video dan teks). Seluruh 58 stasiun RRI yang tersebar dari Banda Aceh sampai Merauke telah menggalakkan gelar seni budaya sejak dua tahun terakhir.
Beberapa bentuk seni tradisional kami tampilkan dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya. Di antara acara tersebut, yang erat dengan KSI adalah acara berbalas pantun daerah antara stasiun RRI. Juga ada acara berbalas pantun antara RRI dengan RTM (Malaysia) dan RTB (Brunei Darussalam). Dan, sekarang KSI sudah mempunyai jadwal tampil di RRI. Saya undang anggota KSI di manapun Anda berada untuk tampil di stasiun RRI terdekat Anda.
Tentu, undangan ini juga berlaku untuk sastrawan, seniman dan budayawan, yang tidak tergabung dalam KSI, karena RRI sekarang adalah radio milik publik. Sesuai dengan perintah undang-undang dan peraturan yang membidani kelahiran Lembaga Penyiaran Publik (LPP), salah satu tugas RRI adalah sebagai pelestari budaya bangsa.
Lima pilar
Saya perlu mengulang tesis saya tentang pelestarian budaya, termasuk seni sastra, yang relevan dengan tema kongres KSI. Pelestarian budaya tidak identik dengan pengawetan, tetapi menjaga dan mengembangkan nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman perilaku, cara berpikir dan cara hidup manusia yang telah disepakati oleh sebuah komunitas di suatu wilayah dan atau negara. Untuk itu, perlu ada regenerasi (seniman, budayawan), kreasi dan kompetisi.
Agar pelestarian budaya dengan pengertian tersebut berhasil, maka lima pemangku (pilar) kepentingan budaya perlu terlibat atau dilibatkan dalam sebuah upaya yang terpadu. Pertama, negara/pemerintah yang memfasilitasi. Kedua, seniman dan budayawan yang berdedikasi dalam berkreasi. Ketiga, publik yang mengapresiasi. Keempat, dunia usaha yang memberi donasi dan membangun industri (seni budaya). Dan, kelima, media massa, termasuk RRI, yang melakukan publikasi.
Dari ke lima pemangku itu, saya ingin lebih menyoroti peranan negara/pemerintah dan dunia usaha sebagai fasilitator dan penyandang dana.
Keluhan kekurangan biaya untuk pengembangan kebudayaan, mestinya bisa diatasi dengan memanfaatkan anggaran untuk pendidikan yang sekarang dipercayakan kepada Depdiknas, yang jumlahnya, sesuai perintah konstitusi, harus mencapai minimal 20 persen dari APBN.
Jika kita sepakat bahwa tugas utama pendidikan itu tidak hanya membuat orang pintar, tetapi harus berwatak (berkarakter), dan watak itu cerminan dari kebudayaan kita, maka pengembangan kebudayaan, termasuk seni sastra, harus mendapat porsi yang besar dari anggaran yang kini dikelola oleh Depdiknas itu.
Singkat kata, perlu revisi atau relokasi anggaran Depdiknas dengan memberi porsi besar untuk pendidikan budi pekerti melalui pendekatan seni budaya. Pendidikan, menurut saya, adalah upaya pembudayaan. Hal serupa juga perlu dilakukan dengan anggaran Departemen Agama karena departemen ini juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
Dunia usaha memang pantas diimbau untuk mendukung upaya pelestarian seni-budaya, termasuk sastra. Dana untuk itu bisa diambil dari anggaran Corporate Social Responsibility (CSR). Tapi, saya ingin ingatkan bahwa masih ada kecenderungan dana CSR itu lebih diarahkan untuk promosi daripada donasi murni.
Tentu, saya gembira kongres KSI bisa terselenggara berkat sponsor PT Djarum, pabrik rokok, yang terkenal aktif sebagai pendukung utama berbagai kegiatan, termasuk olah raga dan seni-budaya.
* Parni Hadi, Dirut RRI, pengamat sastra
Sumber: Republika, Minggu, 17 Februari 2008
Saturday, November 03, 2007
Kebangsaan: Keserakahan dan Korupsi Mesti Dilawan
"Ini pekerjaan yang tidak mudah, bahkan menimbulkan rasa pesimistis," kata budayawan Ajip Rosidi dalam diskusi Seri Tokoh Lintas Sejarah Berbicara bertema "Kehidupan Seniman Tahun 50-an" di Jakarta, Kamis (1/11). Acara yang diselenggarakan The Habibie Center ini juga menghadirkan seniman tahun 50-an lainnya, Misbach Yusa Biran.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, kata Ajip, mentalitas korupsi itulah yang menghancurkan kejayaan kerajaan di Indonesia pada abad XV-XVI. Pertengkaran karena keserakahan atau korupsi yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia dari zaman kerajaan itu berlanjut hingga kini, bahkan semakin buruk.
"Mentalitas korup itu kok sulit diatasi, sementara Singapura atau Malaysia bisa mengatasinya. Kenapa Indonesia tidak mampu? Generasi muda yang menggulingkan kekuasaan lama yang bermentalitas korup akhirnya juga terjebak ke dalam lingkaran korupsi. Sungguh parah jika sifat korup itu memang mentalitas bangsa ini," kata Ajip.
Tokoh perfilman Misbach Yusa Biran menyoroti perilaku masyarakat yang mudah marah dan melakukan kekerasan hanya karena perbedaan pendapat atau pandangan. "Dalam kehidupan komunitas seniman tahun 50-an, khususnya seniman Senen, berbeda pandangan itu hal biasa. Jika sampai bertengkar pun tidak sampai bermusuhan. Berbeda dengan kondisi sekarang, orang bahkan bisa membunuh yang lainnya hanya karena tidak bisa sependapat," kata Misbach.
Menurut Misbach, bangsa ini masih memiliki harapan untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik. Perbaikan dalam pendidikan merupakan salah satu kunci supaya masyarakat memiliki nilai-nilai dan sikap-sikap positif yang membawa keharmonisan dan kejayaan bangsa. (ELN/NAR)
Sumber: Kompas, Sabtu, 03 November 2007
Sunday, May 13, 2007
Wacana: Menuju Komunitas Sastra-Budaya Nusantara
KOMUNITAS Sastra Indonesia (KSI) sudah banyak dikenal. Tapi, apakah sudah ada yang mengenal keberadaan komunitas sastra-budaya Nusantara?
Sudah dapat dipastikan tidak ada yang tahu, karena sebenarnya secara de jure terbentuk. Tetapi, secara de facto, komunitas yang mencoba menggalang hubungan timbal-balik dan kerjasama sastra dan budaya Nusantara itu sudah ada. Hanya saja belum mempunyai wadah resmi secara organisatoris.
Ide untuk membentuk semacam jaringan atau komunitas sastra se Nusantara (baca: Asia Tenggara) sebenarnya sudah sempat mengemuka di kalangan pengurus KSI. Pembentukan komunitas -- yang idenya bermula dari penyair Ahmadun Yosi Herfanda -- itu bahkan sudah menjadi agenda penting Jambore Sastra Asia Tenggara yang rencananya akan diadakan tahun 2006 di Pantai Anyer, Banten. Tapi, acara itu tertunda oleh Pilkada Banten 2006, dan sampai saat ini belum diagendakan kembali.
Kebetulan sekali, pada 25-28 Mei 2007, di Medan akan digelar The 1st International Poetry Gathering, yang mayoritas pesertanya berasal dari negara-negara di wilayah Nusantara. Kiranya sangat tepat, kalau pada acara yang dilaksanakan oleh Laboratorium Sastra Medan itu juga diagendakan pembetukan semacam jaringan atau komunitas sastra-budaya se Nusantara.
Misalnya, disepakati nama dan pengurus inti atau formaturnya dulu, lalu dideklarasikan. Sedangkan kelengkapan pengurus, program dan tetek bengeknya, sesuai usul Ahmadun, bisa dimatangkan dalam 'kongres pertama' (misalnya, Kongres Komunitas Sastra-Budaya Nusantara I) yang kita harapkan dapat dilaksanakan di tengah Jambore Sastra Asia Tenggara di Anyer, Banten, yang juga kita harapkan dapat direalisir pada tahun 2008.
Wilayah Nusantara tentu tidak hanya Indonesia. Wilayah Nusantara atau yang disebut oleh pujangga penyair besar zaman Mojopahit, Empu Prapanca, sebagai Wilayah Yang Delapan dimulai dari Tanah Genting Kra sampai Pattani (kini disebut Thailand selatan), lalu Hujung Medini (kini Malaysia bagian Semenanjung), Temasik (kini Singapura ), Baruna Dwipa (kini menjadi wilayah Brunei, Sabah-Malaysia, Labuan-Malaysia dan Kalimantan-Indonesia).
Selanjutnya, adalah Sulu dan Manila (kini Filipina), lalu Timor (kini Timor Leste dan Timor-Indonesia), dan keseluruhan wilayah Indonesia tanpa kecuali. Saat dikuasai oleh Majapahit, keseluruhan wilayah itu diberi nama Nusantara atau Dwipantara. Jadi, wilayah Nusantara hampir meliputi sebagian besar wilayah Asia Tenggara.
Konsep kewilayahan Nusantara itu tidak banyak diingat oleh kebanyakan orang Indonesia. Tetapi, para budayawan-sastrawan Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand, serta sedikit dari Filipina Selatan (Mindanao), sangat mengenal dengan baik konsep kenusantaraan itu.
Karena itulah, dalam setiap pertemuan antar mereka yang diadakan secara patungan dan sistem gilir-arisan di negara-negara mereka, tanpa risih mereka memakai istilah Nusantara. Padahal, bagi mereka yang non-Indonesia, sebenarnya istilah Nusantara mempunyai konotasi masalalu yang kurang enak, karena identik dengan penjajahan politik Jawa-Majapahit terhadap bangsa-bangsa Nusantara.
Tetapi, mungkin karena mereka kini adalah bangsa-bangsa yang kaya dan terhormat, maka tak merasa risih dan jengah kepada mantan 'penjajah mereka' yang kini jatuh miskin dan bodoh, akibat selalu menjatuhkan diri secara pasrah mirip keledai ke dalam jajahan para pemimpinnya sendiri yang berjiwa kerdil dan korup.
Bahkan, saking berjiwa besarnya para tetangga itu, pada PSN (Pertemuan Sastrawan Nusantara) XIV pada Juli 2007 nanti, yang direncanakan akan berlangsung di Alor Star, Negara Bagian Kedah, Malaysia, salah satu makalah yang dipesan mereka adalah Membicarakan Kembali Gajah Mada, Pahlawan Agung Nusantara. Karena, tema utama pertemuan internasional itu memang Maha Wangsa atau bangsa yang gagah perkasa.
Mungkin karena mereka sadar, bahwa Gajah Mada tidak hanya menjajah, melainkan juga mendidik mereka menjadi bangsa yang berperadaban maju, dan mereka sadar, ketika Jawa sudah menjadi kota yang canggih dan beradab, kota-kota besar Malaysia masih berupa hutan. Pemukiman mereka kebanyakan hanya di pantai-pantai nelayan, dengan istana kesultanan yang ringkih dan mudah terbakar.
Kondisi itu bahkan berlangsung sampai abad ke-17 M, seperti digambarkan oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam karyanya, Pelayaran Abdullah ke Kelantan.
Toh, sekarang keadaannya terbalik total. Murid yang dulu banyak berguru ke Majapahit, bahkan di zaman Orba masih banyak mahasiswa Malaysia yang belajar di Indonesia, kini menjadi bangsa maju dan kaya, dengan kota-kota indah dan cantik bersih, karena sistem gotnya yang bagus dan besar ala Amerika.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan mantan gurunya yang bodoh, kota-kotanya becek dan banjir tiap hujan, akibat sistem gotnya yang cethek dan penuh sampah.
Aktivitas jaringan sastrawan Nusantara yang ada, yang biasanya diaktifkan oleh Gapena Malaysia di bawah pimpinan Prof DR Tan Sri Datuk Ismail Hussein, kini agak meredup. Sudah menjadi hal yang biasa, bila sang pimpinan sudah sepuh, generasi penerusnya belum tentu mau melanjutkan usaha mulia yang telah dirintisnya.
Bahkan, mereka yang berada di bawah bimbingan Tan Sri, kini mulai merasa pintar, dan mulai berani melontarkan kritik. Padahal, apa yang diperbuatnya secara pribadi sangat jauh sedikit dan tidak banyak artinya dibanding keringat dan air mata sang pemimpin.
Maka, sangat diperlukan 'penerima tongkat estafet baru' dari komunitas sastrawan Nusantara itu yang akan melanjutkan usaha mulia Tan Sri Datuk Ismail Hussein.
Kebetulan, The 1st International Poetry Gathering di Medan akan diikuti sekitar 100 penyair dan sastrawan dari berbagai negara di Nusantara. Selain dari Indonesia, ada yang dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan dan Thailand selatan.
Komitmen mereka yang luar biasa terhadap persaudaraan Nusantara perlu diresmikan dengan pembentukan wadah secara nyata dalam organisasi nirlaba serumpun, semacam komunitas sastra-budaya Nusantara.
Pencantuman unsur budaya disamping sastra adalah untuk memperluas wilayah cakupan kegiatan, karena sastra tanpa budaya akan sangat miskin dan kering, dan selama ini mau tidak mau, sastra akan banyak bersentuhan dengan unsur kebudayaan secara luas.
Bahkan, dalam Perhimpunan Penulis Muda Nasional 2005 yang berlangsung di Pontian, Johor, Malaysia, yang sebagian dari tokoh-tokoh pentingnya akan hadir dalam acara di Medan tersebut, ada budayawan muda bernama Rahimiddin Zahari, yang melontarkan kerisauannya karena unsur budaya banyak diterlantarkan oleh para penulis muda Malaysia.
Rahimiddin mengajak penulis generasi baru untuk memperkaya wawasan dengan mengenal budaya sendiri, budaya lokal yang kaya dan tinggi mutunya.
Bagi Indonesia, acara di Medan itu adalah momMient yang tepat, karena dilantiknya DR Mukhlis PaEni sebagai Dirjen Kebudayaan telah membawa angin segar dengan kebijakan yang berkomitmen pada kebudayaan lokal.
Beberapa langkah pentingnya, antara lain memberi santunan tetap tiap bulan kepada empu-empu kebudayaan lokal Indonesia, dan kemudian akan memberi uang pensiun kebudayaan kepada budayawan Indonesia.
Di Malaysia, Brunei dan Singapura, hal itu sudah biasa dan sudah lama dilakukan oleh pemerintah, karena pemerintah di sana berpendapat, bahwa budayawan adalah penjaga roh bangsa. Tanpa penjagaan, kebudayaan suatu bangsa akan tergerus dan akhirnya akan musnah, seperti yang sedang terjadi di Indonesia.
* Viddy AD Daery, Sastrawan, pekerja televisi
Sumber: Republika, Minggu, 13 Mei 2007
Saturday, July 29, 2006
Esai: Kesenian yang Kurang Perhatian

Cahaya remang-remang dari lighting yang cukup sederhana, kursi, dan layar berwarna hitam tampak di ruangan berukuran sedang yang dipenuhi sekitar 50-an orang. Asap yang berasal dari rokok para penonton perlahan merayap memenuhi ruangan, menjelma kabut.
Di antara para penonton tampak beberapa penyair yang sudah amat dikenal dalam dunia kepenyairan di Lampung, bahkan di tingkat nasional, di antaranya Iswadi Pratama, Budi Hutasuhut, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, dan Eddy Samudera.
Di bawah pijar cahaya lampu, Paus Sastra Lampung, penyair yang sangat produktif dan tetap konsisten bersetubuh dengan imajinasinya untuk melahirkan karya-karya; puisi maupun cerpen, dengan bergairah membacakan sajak-sajaknya.
***
Itulah secuil deskripsi suasana acara yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung yang memasuki bulan kedua, dari 12 bulan yang direncanakan. Pada bulan pertama setelah digagasnya kegiatan tersebut, UKMBS Unila memfasilitasi pementasan teater dengan lakon "Petang di Taman" yang dipentaskan UPT KSS FKIP Unila dan pembacaan puisi yang menampilkan Udo Z. Karzi.
Sebagai awam yang berusaha mengenal sastra, saya menganggap ini sebuah peristiwa yang cukup luar biasa; para seniman berkumpul membincangkan kesenian di sebuah "bilik"--menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini didefinisikan sebagai "sebuah ruangan kecil yang bersekat".
Sebuah ruangan kecil.... Pengertian ini yang sesungguhnya sangat menarik. Sebab, meskipun hanya sebuah ruangan kecil (yang bisa jadi salah satu ruangan dari sebuah rumah/bangunan), ia seperti memiliki daya magis penuh pesona. Sebuah ruangan yang sederhana tanpa hiasan, tanpa air conditioner, tapi mampu "memaksa" seniman datang, berkumpul membincangkan karya-karya dari seorang penyair atau menyaksikan sebuah pementasan teater.
Namun, memori otak saya mencatat sebuah pertanyaan, benarkah daya magis ruangan tersebut yang mampu "memaksa" para pencinta karya sastra untuk hadir, meskipun di malam-malam? Setelah tercenung sesaat, saya berkesimpulan bukan daya magis ruangan kecil bersekat itu yang mampu "memaksa" mereka datang, melainkan mereka yang mengikhlaskan waktu dan dan hatinya untuk memfasilitasi pergelaran tersebut.
Selain itu, mereka yang menggagas kegiatan tersebut demi menjaga silaturahmi antarseniman, sehingga di rumah ini (Lampung) gairah para penyair untuk tetap berkarya terus terjaga. Saya sangat yakin gagasan cerdas yang dituangkan dalam kegiatan tersebut penyebab mengapa para seniman dapat berkumpul di bilik itu.
Malam menanjak naik, meskipun belum larut. Di bawah remah-remah cahaya, Sang Paus Sastra baru saja usai membacakan sajak-sajaknya: "Bunga Hujan, Maret...", "Sebaris Bulu di Pelipis Ibu", "Ranting Menjadikan Aku Tetap Ada," dan "Kenangan Pada Juni". Selanjutnya acara beralih pada sesi diskusi membahas puisi-puisi yang telah dibacakan. Pada sesi ini, Jimmy Maruli tampil sebagai moderator dan Panji Utama sebagai pembahas. Di sini perbincangan seputar Isbedy dan puisinya membuat suasana benar-benar hangat, sehingga waktu seperti berjalan terlalu cepat. Malam terus bergerak. Bahkan, nyaris sampai di ujung larut, sehingga diskusi tersebut mesti ditutup.
***
Dalam perjalanan pulang, saya tak henti-henti mengagumi kecerdasan dan keikhlasan mereka yang bersusah-susah menggagas dan menggelar acara itu, tanpa bantuan dana dari mana pun (itulah yang saya ketahui setelah berbincang-bincang dengan beberapa kawan yang ikut terlibat kegiatan tersebut). Suatu hal yang mulai langka ditemui dalam era sekarang--menggelar acara tanpa meminta bantuan dana. Hanya mereka yang benar-benar langka yang mampu melaksanakannya.
Menurut saya (paling tidak hingga bulan kedua ini), penyelenggara melaksanakan acara tersebut dengan sukses; menggelar pertunjukan teater dan pembacaan puisi--yang katanya--akan digelar rutin setiap bulan selama satu tahun. Saya sempat berpikir bagaimana mungkin kegiatan semacam itu bisa digelar tanpa meminta bantuan dana? Namun, segala tanya itu segera pergi ketika saya teringat pada sejarah silam; bagaimana keberanian nenek moyang dengan peralatan seadanya menaklukkan ganasnya samudera, dengan keberanian dan strategi yang hebat Sultan Trenggono akhirnya memukul mundur pasukan Portugis, serta bagaimana dengan keberanian dan kekuatannya Ken Arok mampu mengubah sejarah setelah mengalahkan Tunggul Ametung.
Yang pasti, sebagai masyarakat Lampung yang mencoba mengenal karya sastra, saya bersyukur masih ada penghuni negeri atas angin yang benar-benar bersetia dengan kedudukannya dan bersedia menyediakan tempat bagi para seniman (dan mereka yang mencoba mencintai seni) untuk melepaskan kerisauannya; melalui pementasan teater dan pembacaan puisi.
Bukanlah hal yang mengagetkan jika di tanah ini untuk menggelar sebuah pertunjukan teater di sebuah tempat yang layak (Taman Budaya Lampung misalnya) kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (mencapai ratusan ribu rupiah).
Yang lebih merisaukan, dewan/badan/lembaga yang mengatur tentang hal tersebut, yang jelas-jelas menerima anggaran dari pemerintah daerah untuk membantu mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan kesenian tak mampu memberikan perhatian lebih kepada kantong-kantong kesenian/penggiat seni.
Terkait hal tersebut, dalam bukunya Mempertimbangkan Tradisi, Rendra menjelaskan peranan roh adalah yang memberi hidup, menghirup zat pembakar, dan mengedarkan kesegaran baru ke seluruh organisme badan. Peranan badan adalah suatu organisasi untuk mewujudkan suatu nilai atau aspirasi dan sekaligus memnatapkannya dalam suatu lembaga.
Personalisasi badan adalah raja, sedangkan personalisasi roh adalah empu. Yang satu berumah di keraton, sedangkan yang lain berumah di angin. Dalam bahasa modern, badan adalah semua institusi yang ada dalam masyarakat, sementara roh mencari jalan-jalan baru untuk terus memperluas daerah kesadaran dan wilayah spritual manusia melalui seni, agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Institusi dipimpin orang-orang yang mempunyai otoritas dan kekuasaan, sedangkan peranan roh dijalankan para agamawan, ilmuawan, cendekiawan, para seniman, dan literati. Sebagai penghubung kedua peran tersebut, muncul kemudian berbagai dewan/paguyuban/lembaga yang mengoordinasi kerja sama di antara para petugas badan dan para pemimpin angin, sehingga semua dapat berjalan seimbang.
Namun, sekali lagi mungkin kini zaman sudah berubah. Namun, saya masih berharap para "anggota dewan" masih menyimpan kekuatan dan keberanian untuk berkorban demi kemajuan seni di daerah ini tanpa harus menengadahkan tangan meminta bantuan kepada pemerintah.
Semoga dari bilik ini aroma kesenian menyebarkan wanginya hingga seberang lautan, melintasi gunung-gunung, bahkan menembus batas langit.
* Anton Kurniawan, Bergiat di UPT KSS Unila
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Juli 2006