Showing posts with label pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Saturday, September 07, 2013

Dibanggakan tapi Dilupakan

-- Syafnijal Datuk S

Bahasa Lampung masuk dalam kurikulum sekolah, tapi generasi muda enggan menggunakan dalam keseharian.

Aksara Lampung. (SH/Syafnijal Datuk S)
Dibanding suku lain di Nusantara, nenek moyang orang Lampung termasuk yang memahami pentingnya aksara bagi kehidupan bermasyarakat.

Nenek moyang orang Lampung merupakan salah satu dari sedikit suku yang sejak awal memiliki aksara sebagai  simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya, seperti batu, kayu, kain untuk mengekspresikan unsur-unsur ke dalam suatu bahasa. Sayang, kekayaan khazanah budaya ini kurang terpelihara hingga nyaris terlupakan. Kenapa?

Menurut sejarahnya, aksara Lampung atau biasa disebut Had Lampung berasal dari perkembangan aksara Devanagari yang lengkapnya dinamakan Dewdatt Deva Nagari atau aksara Palawa dari India Selatan. Aksara ini berbentuk suku kata seperti halnya aksara Jawa ca-ra-ka atau bahasa Arab alif-ba-ta.

Had Lampung terdiri dari huruf induk yang berjumlah 20 huruf, yakni ka–ga–nga–pa–ba–ma–ta–da–na–ca–ja–nya–ya–a –la–ra–sa–wa–ha–gha. Serta atribut lain seperti anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah Kaganga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan.

Aksara Lampung diperkirakan masuk ke daerah Sumatera Selatan pada era Kerajaan Sriwijaya (700-1.000 Masehi). Aksara ini memiliki banyak persamaan dengan aksara-aksara di luar Lampung, tetapi bukan berarti yang satu meniru yang lain, melainkan aksara-aksara tersebut memang bersaudara, sama-sama diturunkan dari aksara India.

Karena ada pembeda bentuk dan digunakan oleh sebagian orang di daerah pedalaman Lampung, maka disebut aksara Lampung atau dalam bahasa daerah Lampung disebut kelabai surat Lampung, yang berarti ibu surat Lampung.

Aksara Lampung mulai jarang digunakan setelah Islam masuk. Menurut budayawan yang juga tokoh adat Lampung Zulkarnain Zubairi, sejak Islam masuk ke Lampung setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, aksara Lampung banyak digunakan untuk menuliskan mantra-mantra dan kelabai yang bertentangan dengan Islam yang tidak memercayai mantra-mantra.

Karena itu masyarakat diminta tidak lagi menggunakan aksara yang dinilai syirik itu, lalu berkembanglah peradaban baru dengan aksara Arab Melayu atau Jawi.

“Kelihatannya Islam yang masuk Lampung berbeda dengan yang berkembang di Jawa. Kalau Islam yang masuk Lampung menenggelamkan budaya lama, diganti dengan budaya Islam karena dinilai bertentangan dengan kepercayaan Islam. Sementara di Jawa, budayanya tetap berkembang sejalan dengan Islam,” ujar Zulkarnain yang biasa dijuluki Udo Z. Karzi di Bandar Lampung, Kamis (5/9).

Kemungkinan naskah-naskah kuno yang sebelumnya disimpan dan dipelajari oleh masyarakat secara turun-temurun dimusnahkan. “Yang saya dengar naskah-naskah tersebut masih ada yang tersimpan di perpustakaan di Belanda dan Jerman. Tapi saya belum lihat apa isi naskah kuno yang ditulis dalam aksara Lampung tersebut. Kemungkinan isinya mantra-mantra, sastra, dan kelabai,” ungkap Udo.

Kendati sejak masuknya Islam aksara Lampung sudah ditinggalkan, Udo tidak risau aksara ini akan punah. Justru Udo risau dengan tradisi lisan, yakni bahasa Lampung yang menurut kajian para peneliti bakal punah dalam 75 tahun ke depan.

Meskipun saat ini bahasa Lampung dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan SD sampai SLTA di Lampung, masyarakat Lampung terutama generasi mudanya mulai enggan menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.

Untuk mengatasi kepunahan bahasa Lampung, Udo berharap perguruan tinggi  memelopori penyadaran kepada masyarakat bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Untuk itu perlu strategi pemberdayaan bahasa daerah agar masyarakat Lampung bangga menggunakan bahasa ibunya.

“Bukan sporadis seperti yang dilakukan pemerintah paerah sekarang dengan mengimbau pegawai berbahasa Lampung di lingkungan kantor setiap Jumat dan menulis nama jalan dengan aksara Lampung, sebab dampaknya tidak akan signifikan,” pintanya.

Bangga Orang Lampung

Budayawan Lampung lainnya, Isbedy Setyawan juga berpandangan bahwa dengan memiliki aksara tulis dan lisan seharusnya masyarakat Lampung bangga menjadi salah satu suku di Nusantara yang memiliki warisan budaya sempurna. “Hanya sebagian kecil suku bangsa yang memiliki aksara tulis dan lisan seperti Lampung,” ungkapnya di tempat terpisah.

Terancam punahnya bahasa dan dilupakannya aksara Lampung, menurut Bang Is—panggilan akrabnya—ini karena salah persepsi dari pemerintah daerah.

Yang diperhatikan dan dilestarikan hanya terbatas pada tari, padahal warisan dan kekayaan budaya Lampung lebih banyak; ada aksara, bahasa, upacara adat, tempat bersejarah, rumah kuno, arsitektur. Sementara yang diperhatikan pemerintah hanya tari dan yang dipelajari di sekolah hanya bahasa. Itu pun bahasa tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Isbedi menyesalkan tradisi tulis menggunakan aksara Lampung yang berkembang sejak nenek moyang orang Lampung terputus kemudian yang digunakan dalam pesta-pesta adat hanya tradisi lisan sehingga generasi penerus miskin informasi mengenai tradisi nenek moyangnya.

Khusus soal bahasa, menurut Isbedi, masih menyisakan persoalan karena terdapat dua dialek, yakni dialek yang dikembangkan masyarakat adat Sai Batin, yakni masyarakat yang bermukim di sepanjang pinggir pantai di Provinsi Lampung dan masyarakat adat Pepadun, masyarakat yang bermukim di darat (pegunungan).

“Keduanya harus kita sepakati dulu bahasa mana yang akan dinobatkan sebagai bahasa Lampung. Hingga kini orang Lampung belum bersepakat soal itu, meskipun tulisannya sama tapi cara membacanya berbeda,” akunya.

Sama dengan orang Minang yang juga memiliki dua dialek, yaitu dialek a yang banyak digunakan di daerah Agam dan Padang (pantai), dan o yang digunakan di kabupaten 50 kota (darat/pegunungan). Namun yang dinyatakan sebagai dialek Minang adalah yang menggunakan dialeg a, sehingga masyarakat pendukung dialek o tidak merasa rendah.

“Itulah kelebihan orang Minang, bersepakat dalam perbedaan. Berbeda dengan di Lampung, masalah dialek saja masih belum ada persamaan persepsi dan tidak ada yang mengalah,” ia menambahkan.

Diakui Isbedi, sama dengan di Minangkabau yang memiliki Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), sebetulnya di Lampung juga ada MPAL (Masyarakat Pemangku Adat Lampung) untuk tingkat provinsi.

Di masing-masing daerah juga ada lembaga adat. Seperti di Kabupaten Tulang bawang ada Lembaga Adat Megow, Pak. Lembaga-lembaga ini bukan mengurusi budaya, tapi lebih banyak upacara pemberian gelar untuk kepentingan penguasa. “Sejauh ini MPAL tidak membuat program-program pelestarian budaya, tapi malah lebih banyak membuat program untuk kepentingan penguasa,” sindir budayawan senior ini.

Strategi

Sastrawan Lampung, Oyos Suroso HN juga menilai seharusnya lembaga-lembaga budaya di Lampung meniru program dan kegiatan yang masih berjalan di daerah lain dalam menjaga warisan budayanya. Seperti orang Jawa yang tetap menggunakan bahasa Jawa, begitu pula orang Sunda. Mungkin juga Minang dan Bali.

“Selain karena bahasa Jawa dan Sunda (lisan dan tulisan) masih aktif dipakai oleh masyarakat Jawa dan Sunda di wilayah mereka, juga bahasa Jawa dan Sunda didukung oleh media pelestarian bahasa dan tradisi seperti majalah Panyebar Semangat (Surabaya), Joko Lodhang (Yogyakarta), dan Mangle (Bandung),” ia mencontohkan.

Menurut Oyos, bahasa akan tetap hidup dan berkembang kalau masih dipakai oleh masyarakat pendukungnya. Dalam kasus bahasa Lampung, bahasa Lampung kini terancam karena daya dukung pengembangannya sangat minim. Bahasa Lampung hanya didukung masyarakatnya dari segi kelisanan. Padahal, seharusnya ada strategi pengembangan bahasa Lampung lewat pendidikan di sekolah. Itu pun harus sistematis dan ada intervensi dari pemerintah daerah.

“Perguruan Tinggi di Lampung harus mendukung pengembangan bahasa Lampung lewat pembukaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan jurusan Bahasa dan Sastra Lampung,” Oyos mengusulkan.

Bahasa Lampung semestinya bisa berkembang seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak. Bahkan bisa lebih dari bahasa-bahasa tersebut, sebab di Nusantara hanya sedikit suku yang memiliki aksara sendiri, seperti Lampung. “Sunda yang besar dan berkembang seperti sekarang pun tidak punya aksara Sunda. Jadi, dalam segi keberaksaraan sebenarnya Lampung sejajajar dengan Jawa, Batak, Bali,” jelasnya.

Jika orang Lampung tidak sigap dalam menjaga bahasanya maka nasibnya akan sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Itu sudah terjadi di beberapa daerah. Data UNESCO menyebutkan, ada 12 bahasa daerah yang telah punah, yakni Hukumina, Kayeli, Liliali, Mapia, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, Tandia, Te’un, Tobada’. Sebagian besar di Indonesia Timur.

“Sangat diyakini jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding yang sebenarnya karena ada banyak bahasa daerah yang tidak terdokumentasi. Intinya, yang patut dicemaskan bukan hanya masa depan bahasa tulis, tetapi juga bahasa lisan,” Oyos mengingatkan.

Kini semuanya terpulang pada orang Lampung sendiri. Jika tetap tidak ngeh (dalam bahasa pergaulan orang Lampung artinya peduli dan berbuat), maka anak cucunya hanya akan tahu bahwa nenek moyangnya pernah memiliki kekayaan tradisi tulis dan lisan, sementara mereka sendiri tidak bisa menuliskannya dan tidak bisa bertutur dalam bahasa tersebut
   
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 7 September 2013

Sunday, August 25, 2013

Iwan Fals dan Pendidikan

-- Beni Setia

LAGU hit Iwan Fals Teman Kawanku berterus terang mendahului kenyataan zaman dengan mengidentifikasi fenomena kuliah asal-asalan, tetapi sukses menjadi sarjana?dengan membeli skripsi. Praktik yang kini terasa wajar cuma dengan PT papan nama, dengan sekadar embel-embel kampus filial yang hanya menyelenggarakan kuliah Sabtu-Minggu. Mirip satu perkemahan pramuka sehingga wajar kalau ditertibkan c.q. UU Sisdiknas, tidak lagi sekadar digarisbawahi (Iwan Fals) sebagai fenomena jual-beli skripsi, yang beredar sebagai gosip tentang ?si temannya teman dari kawanku?.

Barangkali ironi itu yang membuat hit Iwan Fals lainnya, Sarjana Muda, memiliki korelasi intertekstual?tidak ada makan pagi gratis. Kenyataan bila para sarjana kita tidak memiliki keterampilan kerja di satu sisi, sekaligus kompetensi karyawan berkeahlian itu cukup dengan pelatihan singkat. Fenomena yang secara gamblang diidentifikasi Rendra sebagai generasi yang tidak mampu memobilisasi kemungkinan di sekitar, yang sangat berlimpah?lihat Sajak Seonggok Jagung pada Potret Pembangunan dalam Puisi, LSP, Jakarta, 1980.

Tentu saja, prosesi belajar-mengajar yang tidak ditata dalam satuan kurikulum yang bisa mendorong siswa dan mahasiswa sadar akan bakat dan potensi diri, hingga punya kepekaan si wiraswasta inovatif yang kreatif mengeksploitasi kemungkinan di sekitar. Pada gilirannya, apa terkait fakta penghasilan guru minim?seperti dikeluhkan Iwan Fals melalui Oemar Bakri, dan Rendra dengan Sajak SLA?yang ironis sarkastik menempatkan guru sebagai objek pelecehan seksual dari si murid berduit?

Jawabannya ya, setidaknya buat saat itu. Kini, gaji guru relatif tinggi, sebab ada tunjangan profesi nan setara gaji pokok. Namun, apa pendapatan ekstra itu identik dengan level spirit pengabdian meningkat setara si Oemar Bakri? Atau malah?menurut cerita seorang kawan guru?sama sekali tidak berkaitan karena hanya menggugah semangat konsumsi ketimbang fokus mendidik. Mereka tetap abai, mengajar seperti biasanya?tanpa ada peningkatan kuantitas dan kualitas mengajar. ***

KADANG impulsif seperti seniman yang suka improvisasi. Seperti guru PPKN yang memanfaatkan dua jam pelajaran ulangan harian, dengan satu jam mendiktekan soal ulangan yang dicari-cari dan satu jam pelajaran lagi untuk siswa menjawab. Pola improvisasi yang berpindah-pindah kelas sehingga soal tidak pernah seragam dan sulit dikoreksi. Meskipun memang tidak pernah dikoreksi, atau dikoreksi tetapi diabaikan karena seluruh nilai ulangan harian, UAS, dan angka rapor disasar secara improvisatif dengan pengulangan ritmis di atas nilai standar kompetensi yang imajinatif.

Jadi, ide remedial untuk meningkatkan kompetensi siswa itu nonsens?tidak pernah dilakukan. Itu semua bermula dari teknik mengajar tanpa persiapan serta improvisastif?padahal guru harus tertib mempersiapkan apa yang akan diajarkannya via RPP per semester, dengan legalisasi KS.

Ketidakbertanggungjawaban?termin teknisnya: tidak profesional?memicu tindakan otoritarian berlebihan dalam proses belajar-mengajar. Sistem yang sengaja dipersiapkan agar siswa tidak banyak tanya dan protes itu kadang memuncak menjadi tindakan ringan tangan, pelit memberi nilai, atau obral nilai. Tindakan semau gue asal senang sendiri tanpa peduli kepentingan siswa, kualitas kompetensi.

Yang tergerak menjadi sikap tidak profesional, kondisi alumni yang pintar ya alhamdulillah, bodoh ya sudahlah! Hal yang dengan pedih ditulis almarhum I Asikin (guru, sastrawan Sunda) pada cerpen Sandiwara Kahirupan (Sandiwara Kehidupan)?Nu Tepung di Imah Dukun (Yang Bertemu di Rumah Dukun), Pustaka Dasentra, Bandung, 1983. Yang bercerita tentang seorang guru galak suka menempeleng siswa dan yang berkeyakinan laku fisik itu perlu karena sesuai dengan keyakinan: cara terakhir agar siswa yang melenceng bisa diluruskan.

Sekian tahun kemudian, setelah rapat dinas di ujung berung, bertemu Andreas, sang siswa nakal yang pernah dihajarnya, dalam angkot jurusan Cicalengka?Kebonkelapa. Di setengah perjalanan, di Cicadas, saat banyak kawan turun tiba-tiba disalami si Andreas sambil mencopet uangnya.

Ketika sampai di Kebonkelapa, sebelum terus ke Ciparay, Andreas mengajaknya makan di restoran, bahkan mengembalikan semua uang kembalian, yang sebenarnya sisa uang yang dicopetnya, sebagai hadiah. Si guru galak bangga, tetapi bingung ketika duit bekal yang merupakan hasil kasbon ke sekolah hilang dan mau atau tidak mau harus digantinya.

Kekurangajaran itu merupakan manifestasi sebagian?tidak semua?siswa ketika membalas dendam karena (pernah) diperlakukan tidak proporsional di sekolah, baik itu tindakan fisik sederhana atau berlebihan, mungkin juga pelecehan dengan kata-kata, dan tidak mustahil menjadi korban pelampiasan unlike nonmasalah pendidikan. Di titik itu saya teringat lagu Iwan Fals, yang bercerita tentang anak kecil yang menjajakan koran sore dalam gerimis sekitar Tugu Pancoran, Jakarta, mencari uang membiayai pendidikan?tetapi di sekolah dicemooh temannya dan dianggap siswa bermasalah oleh gurunya. ***

PENDIDIKAN tanpa kepekaan humanistik. Hasil pendidikan asal-asalan dari si guru yang mengajar asal-asalan, padahal orang tua siswa serta sebagian dari siswa itu sendiri?sebelum bebas SPP?harus jungkir balik mencari biaya untuk pendidikan. Pas seperti dikeluhkan Iwan Fals lewat lagu Sore Tugu Pancoran dan Engkau Tetap Temanku yang bercerita tentang seorang ayah kuli kelas sandal jepit berkelahi demi mendapat duit untuk biaya sekolah anaknya, membunuh dan dipenjara sehingga si anak tidak berijazah itu terpaksa mencari kerja, saat ditolak dan dilecehkan ia berubah menjadi preman yang gemar rusuh.

Salah kaprah pendidikan yang melahirkan pribadi yang berjeniskan ?TKW susu macan, lulusan SD pengalaman? dalam Nyanyian Preman-nya Katanta Takwa. Di titik ini kita kini bisa bertanya: apa yang salah saat itu bila identifikasi negatif ihwal masalah sosial dari pendidikan di dekade ?80-an dari Iwan Fals, Rendra, dan I Asikin itu melahirkan politikus muda yang gemar beromong kosong dan meraup gratifikasi? Tidak jauh berbeda dari ikon anggota Dewan pemalas yang hanya aktif ketika gajian, seperti yang dicatat secara sinis oleh Iwan Fals dalam lagu Surat buat Wakil Rakyat.

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013

Tuesday, June 18, 2013

Surutnya Budaya Kampus

-- Ahmad Ubaidillah

ADA satu fenomena dari dunia kampus akhir-akhir ini yang menarik untuk diamati. Tindakan dan pemikiran orang-orang kampus, meski tidak semua, telah mengalami kecenderungan yang bersifat remeh, tidak esensial, dan banal. Rektor, dosen, dan mahasiswa, sebagai elemen utama kampus, telah merayakan banalitas budaya kampus. Ruang-ruang kebudayaan dipenuhi oleh berbagai pertunjukan, tontonan, tayangan, representasi dan tindakan-tindakan yang mengeksploitasi berbagai bentuk yang bersifat permukaan. Hal-hal yang bersifat substansial (intelektualitas, moralitas, spiritualitas) dilibas oleh sesuatu yang bersifat sensasional (kesenangan, tontonan, pertunjukan).

Theodor Adorno, salah satu teoritikus dari Mahzab Frankfurt (Frankfurt School), mengatakan kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditas atau industri budaya, hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal, yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan, dan ekstasi massa yang bersifat temporer, dengan mengeksploitasi berbagai fetishism, untuk memenuhi "hasrat rendah" (desire) manusia, di antaranya adalah seks, kekerasan, dan mistik.

Kebudayaan yang dibungkus dengan format budaya massa tersebut biasanya dikendalikan oleh sekelompok elite (produsen, pengusaha, media massa) untuk menarik massa yang luas dan menciptakan bentuk-bentuk kebudayaan yang dapat dipahami dengan mudah oleh massa sehingga ia cenderung bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan yang ringan, enteng, mudah, menghibur, "menarik perhatian" (eye catching), dan menimbulkan pesona?inilah banalitas budaya, sebuah budaya yang remeh-temeh.

Dalam konteks kampus, budaya remeh-temeh tersebut akan menciptakan sebuah lingkungan, keadaan, dan suasana kampus, yang tidak ubahnya seperti shop display, di mana mahasiswa lebih senang menampilkan gaya pakaian, gaya bicara, gaya ponsel, gaya kendaraan, gaya tongkrongan, sebagai cara untuk menampilkan status, prestise, dan kelas, ketimbang mengejar ilmu pengetahuan.Mereka asyik tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu, keinginan, dan antusias untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial, politik, kultural, spiritual).

Tidak hanya itu, banalitas kampus saat ini telah menciptakan kondisi kampus yang penuh dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup. Aktivitas-aktivitas kampus, di satu pihak kini mengikuti model-model ekspresi budaya populer, misalnya kuliah di sebuah kafe, yang menyediakan doorprize, studi banding (baca: jalan-jalan) yang disponsori perusahaan; di pihak lain, mengikuti model asylum, mahasiswa dikondisikan hidup di dalam sebuah ruang steril, yang tidak ada kontak dengan masyarakat, dan terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Padahal, kontak dengan masyarakat dan terlibat menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat, misalnya memberikan pencerahan keilmuan atau memberikan pendidikan kewirausahaan, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab seorang mahasiswa.

Banalitas budaya kampus juga menciptakan anak bangsa (mahasiswa) sebagai manusia penerus bangsa yang cenderung hanyut, terpesona atau menerima begitu saja apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya dan mencoba melawan. Inilah manusia yang digambarkan Baudrillard, In the Shadow of the Silent Majorities (1983), sebagai manusia fatalis, yang tidak berdaya di dalam kekuasaan sistem (objek, tontonan, media, citra), manusia yang terlena dalam kesadaran dan hanyut di dalam logikanya--homo fatalis.

Anehnya, manusia kampus sebagai manusia fatalis sudah terserap ke dalam berbagai dunia (musik, fashion, komoditas, gaya hidup) yang bersifat enteng dan remeh-temeh, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Kalau sudah begini, manusia kampus tersebut sudah menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang tidak mampu melakukan kritik dan refleksi dan mereka hanya dapat menyerap segala sesuatu yang disodorkan kepadanya tanpa mampu menginternalisasikan, mengkritisi, dan memaknainya secara jernih dan bemakna.

Manusia kampus (rektor, dosen, mahasiswa, dan sebagainya) ketika sudah ?teracuni? banalitas budaya akan menjadi manusia penikmat (gaya, pengetahuan, teori), ketimbang pencipta. Mereka lebih nyaman menjadi pemakai ketimbang pencipta.

Akibatnya, ini hanya menghasilkan kebudayaan yang tidak produktif, yang hanya terperosok pada budaya konsumerisme. Inilah anak bangsa yang menghabiskan hidupnya, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar, pangkat, dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya, seperti intelektualitas, produktivitas, sosialitas, spiritualitas, dan religiositas.

Oleh karena itu, dalam meneropong arah budaya kampus di masa depan agar tidak terjadi budaya remeh-temeh tersebut, harus ada upaya-upaya untuk menghentikan dominasi banalitas, popularisme, sifat steril, dan asylum budaya kampus. Seluruh "warga" kampus harus menciptakan budaya tandingan (counter culture) untuk mengimbangi atau melawan budaya banal tersebut sehingga kelak akan tercipta sebuah wajah budaya kampus yang lebih produktif, substantif, humanis, dan bermakna, yang di dalamnya manusia-manusia kampus tidak lagi menjadi "subjek pasif" kebudayaan, tetapi menjadi "subjek aktif", yang mampu secara dinamis, kreatif, dan inovatif membangun dunia kebudayaannya sendiri.

Selain itu, untuk membangun budaya kampus yang lebih humanis, bermakna, dan luhur, kita harus mereproduksi "manusia aktivis", yaitu manusia yang mempunyai daya kritis, daya kreativitas, jiwa kepeloporan, keinginan berprestasi, hasrat inovasi, dan jiwa kosmopolitan, yang secara bersama-sama mampu membangun sebuah masyarakat yang tidak lagi dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar (kapitalisme, globalisasi, atau neoliberalisme), tetapi secara kreatif mampu memproduksi sebuah budaya yang digali dari nilai-nilai, budaya bangsa sendiri yang bermuatan kebaikan, kebenaran, dan keindahan.

Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 Juni 2013

Saturday, May 11, 2013

Otonomi Pendidikan

-- Arbai

PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional 2013, berdasarkan surat ederan Menteri Pendidikan No 080/MPK.F/LL/2013 mengambil tema, "Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan". Tema itu terasa sangat paradoks. Penyebabnya, silang sengkarutnya wajah pendidikan kita saat ini. Satu di antaranya kisruh ujian nasional (UN).

    Permasalahan distribusi soal, soal yang tertukar, tidak cukup lembaran soal dan harus difotokopi di luar, kertas jawaban berkualitas rendah dan lain-lainnya, hanya beberapa persoalaan yang mengemuka dalam pelaksanaan UN kali ini, khususnya di 11 provinsi di Indonesia Tengah. Parahnya lagi, UN harus ditunda di 30 kabupaten di Sumatera Utara. Pertanyaannya, di manakah kualitas dan akses berkeadilan itu, kalau UN-nya saja silang sengkarut?

    Adanya kisruh UN ini semakin menambah sentimen negatif masyarakat terhadap kinerja Kemendikbud. UN yang sejak awal banyak diperdebatkan akan semakin disorot. Ini bisa membuat masyarakat semakin meragukan pengelolaan pendidikan.

    Selanjutnya, atas berbagai kisruh UN 2013, Kemendikbud seharusnya mau mengevaluasi diri, termasuk UN SD yang dilaksanakan pada 6-8 Mei. Namun, bagaimanapun, kisruh UN sempat mendatangkan kecemasan bagi pesertanya. Casbarro J (2005) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan ujian terwujud sebagai kolaborasi dan perpaduan tiga aspek yang tidak terkendali dalam diri individu, yaitu manifestasi kognitif, afektif, dan perilaku motorik.

    Manifestasi kognitif yang terwujud dalam bentuk ketegangan pikiran siswa, sehingga membuat siswa sulit konsentrasi, kebingungan menjawab soal dan mengalami mental blocking. Kemudian, manifestasi afektif, yang diwujudkan dalam perasaan yang tidak menyenangkan seperti khawatir, takut dan gelisah yang berlebihan. Terakhir, perilaku motorik bisa tidak terkendali, yang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti gemetar, sering merasa ingin ke belakang dan sebagainya.

    Dalam keadaan siswa dilanda kecemasan, kemampuan maksimal tidak akan keluar. Karena, konsentrasi mereka tidak secara total. Kondisi siswa seperti ini berakibat pada rendahnya capaian hasil pekerjaan. Oleh sebab itu, dalam menghadapi UN khususnya SD, pihak Kemendikbud sepantasnya terbuka dan mengevaluasi diri terhadap apa pun yang terjadi.

    Selanjutnya, kisruh UN ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam reformasi birokrasi di bidang pendidikan. Penyebabnya, reformasi pengelolaan pendidikan tidak disertai reformasi mental penyelenggaranya, yang masih mempunyai mindset lama dengan kacamata kudanya.

    Meminjam istilahnya, Rhenald Kasali bahwa pendidikan di Indonesia tidak menghasilkan pribadi yang unggul, yang minim DNA perubahan. Para pejabat penyelenggara pendidikan belum mempunyai jiwa OCEAN yaitu, openness to experience (keterbukaan pikiran), conscientousness (keterbukaan hati dan telinga), extrovertion (keterbukaan terhadap penderitaan rakyat), agreeableness (keterbukaan terhadap kesepakatan), dan neuruticism (keterbukaan terhadap tekanan-tekanan).

    Padahal, untuk mengelola pendidikan di abad 21 yang semakin kompleks dibutuhkan orang-orang berjiwa OCEAN seperti disebutkan oleh Rhenald Kasali. Dibutuhkan orang-orang yang luar biasa (extra ordinary people) untuk membawa pendidikan yang bisa menjemput masa depan. Jika tidak jadilah pendidikan kita, bak tarian poco-poco (maju selangkah mundur selangkah), meminjam istilahnya Megawati.

    Apalagi melihat kondisi Indonesia yang sangat beragam, hal ini sudah seringkali menjadi pembahasan banyak pihak. Kondisi heterogen ini tidak akan mampu dibawa pada satu aturan yang seragam. Artinya, pendelegasian wewenang dalam pelaksanaan UN perlu dipertimbangkan. Keunikan daerah beserta karakteristik seluruh penghuninya seharusnya diakomodasikan melalui sistem pendidikan yang sesuai kebutuhan daerah, bukan hanya sesuai kehendak Jakarta. Kita diingatkan pepatah lama, "Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Kearifan lokal seharusnya menjadi satu pijakan untuk menentukan sistem yang akan diterapkan. Bukannya memaksakan satu sistem yang baku yang terus diyakini akan sukses membawa pendidikan ini kepada visi yang dicita-citakan.

    Padahal, untuk mewujudkan cita-cita tersebut, bisa ditempuh dengan cara-cara yang berbeda. Tidak harus dengan cara yang monoton dan seragam dari Sabang sampai Meurauke. Secara logika saja, hal tersebut tidaklah mungkin. Sebagai bahan perenungan, siswa yang ada di pucuk pegunungan Jaya Wijaya (Papua) tidaklah bisa diperlakukan sama dengan siswa yang ada di Jakarta. Siswa di Papua tidak bisa setiap hari menemukan gurunya yang siap berada di kelasnya, tidak setiap siswa pula mampu membeli buku-buku pelajaran, dan bahkan setiap hari mereka harus melewati jalanan yang becek dan berlumpur untuk mencapai sekolahnya.

    Dengan sistem pendidikan yang terpusat di Jakarta, merupakan bentuk pengingkaran atas keunikan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada di berbagai daerah seharusnya dioptimalkan dengan cara memberdayakan daerah. Ini lebih masuk akal. Alasannya pun logis. Di samping untuk efektivitas pelaksanaannya juga bisa menekan anggaran. Karena, untuk saat ini, anggaran UN lebih besar dihabiskan untuk operasional. Dengan memperpendek rantai koordinasi, dengan sendirinya memangkas jalur birokrasi.

    Sistem pendelegasian wewenang juga akan menggerakkan roda usaha yang ada di daerah. Sehingga, uang yang beredar di daerah pun semakin meningkat jumlahnya. Tidak seperti sekarang semua ditentukan di Jakarta. Dengan sendirinya daerah hanya sebagai penonton. Namun, ketika bermasalah, merekalah yang kena getahnya (ora mangan nangkane, keno pulute). Kalau pendidikan/UN tidak ada pendelegasian ke daerah, tema Hardiknas, "Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan," hanyalah sebagai pemanis kata. Atau, "bertanam tebu di bibir." Nah! ***

 Arbai, pendidik, mahasiswa S2 Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM Yogyakarta. 

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 11 Mei 2013

Friday, May 10, 2013

Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

-- Nafisatul Husniah


ING ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sebaris kalimat penuh makna inilah yang dibawa Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara untuk membangun negeri ini melalui semangat juangnya. Hingga akhirnya tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal kelahiran beliau, sampai sekarang terus diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional dan beliau sendiri dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959.

    Ki Hajar Dewantara sosok tokoh yang rela berkorban, menguras tenaga dan pikirannya demi memperjuangkan pendidikan untuk anak negeri. Menurut beliau, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.

    Bisa dikatakan bahwa antara ketiga hal tersebut harusnya mendapatkan posisi yang seimbang dalam proses pendidikan. Namun melihat realitas yang terjadi di masyarakat kita, tampaknya tidak demikian. Lembaga pendidikan saat ini cenderung hanya mengasah kemampuan kognitif peserta didiknya saja. Sekolah lebih banyak menuntut siswanya untuk berpikir melalui latihan-latihan soal yang diberikan. Ironisnya, hanya berdasarkan angka-angka saja seorang siswa bisa di-judge bodoh atau pandai.

    Sebagai hasilnya, banyak upaya yang dilakukan siswa agar mereka bisa dikatakan pandai. Termasuk di dalamnya melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan makna pendidikan itu sendiri. Contoh konkritnya, dalam pelaksaan Ujian Nasional (UN), sejumlah kasus kecurangan ditemukan di beberapa sekolah. Kecurangan-kecurangan seperti itu selalu mengiringi pelaksanaan UN, seakan tidak afdol jika hal tersebut ditinggalkan. Persoalan utama yang mendasarinya tidak lain adalah keinginan untuk mendapakan angka (nilai) yang tinggi. Ketika kejadian semacam ini terjadi, jelas ada hal lain yang bertentangan yaitu mengenai pendidikan karakter.

    Melalui semboyannya yang biasa disebut juga dengan 'Trilogi Pendidikan', Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan bagaimana seharusnya guru mendidik muridnya.

    Pertama, Ing ngarsa sung tuladha memiliki makna, di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Selain mengajar atau mentransfer ilmu, guru harus bisa meberikan teladan kepada siswanya, setidaknya mengenai hal yang diajarkannya. Namun, kenyataannya, di negara kita sekarang masih sering dijumpai guru yang sama sekali tidak menunjukkan sikap yang patut untuk diteladani. Peristiwa pencabulan anak dengan pelaku oknum guru kepada siswinya yang beberapa kali diberitakan media sudah cukup menjadi bukti akan hal tersebut.

    Kedua, Ing madya mangun karsa, maksudnya, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Di sini guru harus bisa memberi wawasan pengetahuan kepada siswa-siswinya. Harus dicermati, bahwa mereka harus bisa memberi wawasan bukan hanya membaca ulang apa-apa yang sudah tertera di buku yang dipegang siswa. Atau, malah hanya memberi soal-soal saja dan siswa diminta mengerjakan. Di wilayah ini, sebisa mungkin guru menanamkan pendidikan karakter kepada siswa meskipun tidak secara langsung. Dari materi-materi yang disampaikan pasti ada muatan karakter yang bisa ditunjukkan pada siswa. Nilai-nilai pembangun karakter sangat urgen untuk dimiliki setiap siswa yang merupakan generasi bangsa kita.

    Ketiga, Tut wuri handayani, yakni, dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan. Inilah tugas utama guru yang harus pula dilakukan yaitu sebagai motivator. Bagaimana para pendidik bisa menumbuhkan dan merangsang serta mengarahkan setiap potensi yang dimiliki siswa, merupakan hal yang harus difikirkan. Harapannya, mereka dapat memanfaatkan potensinya secara tepat, sehingga lebih tekun dan semangat dalam belajar untuk mengejar cita-cita yang diinginkan.

    Trilogi pendidikan ini sangat penting diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran sehari-hari di kelas. Sekarang sudah bukan saatnya lagi guru mengajar hanya sekedar menuntaskan tuntutan kurikulum saja. Mereka harus memiliki idealisme untuk mengajar dan mendidik siswa. Hakikat dari mengajar harus benar-benar diterapkan. Melalui merekalah generasi bangsa kita berproses. Setiap proses situ semestinya berjalan sebaik-baiknya agar menghasilkan produk pendidikan yang benar-benar umggul. Bukan yang secara intelektual unggul namun moralitasnya hancur.

    Sudah cukup kita melihat pemandangan di pemerintahan yang dipenuhi pejabat korup sekarang ini. Mereka adalah bukti produk pendidikan yang tidak bisa memberikan penguatan pada karakter siswanya. Meski sebenarnya ada hal lain yang berpengaruh. Mereka yang duduk di kursi pemerintahan jelas bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pintar yang merupakan produk dari pendidikan pula. Namun, kita pun bisa melihatnya sendiri bahwa kerusakan lah yang terjadi ketika ketinggian intelektual tidak diikuti dengan kualitas kebaikan karakter. Kepintarannya bukan membawa bangsa kita pada kemajuan tetapi malah membawa bangsa pada kehancuran.

    Sebagai awal mula setiap generasi penerus bangsa berproses, trilogi pendidikan yang dicanamgkan Ki Hajar Dewantara adalah cara yang tepat untuk diterapkan. Dengan benar-benar mengimplementasikan ketiganya dalam dunia pendidikan maka akan lebih mudah bagi bangsa ini untuk bangkit. Lepas dari julukan negara terkorup, dan membersihkan birokrasi dari tindakan-tindakan penyelewengan yang merugikan rakyat. Negara kita benar-benar sedang membutuhkan generasi yang selain tinggi intelektualnya juga tinggi kualitas karakternya. Dengan menjunjung tinggi konsep Trilogi Pendidikan-lah, semua itu bisa didapatkan. ***

Nafisatul Husniah, aktivis di Laskar Ambisi dan mahasiswa Santri Pesantren Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Sumber: Suara Karya, Jumat, 10 Mei 2013

Sunday, May 05, 2013

[Buku] Ikhtiar Kaum Miskin Memerangi Kebodohan

Data buku
Sekolah untuk Kaum Miskin
James Tooley
Alvabet, Jakarta
I, Februari 2013
ix + 476 hlm.
KAUM miskin selalu diidentikkan dengan kaum marginal, berpendidikan rendah, berstatus sosial rendah, dan cenderung diremehkan di mata publik. Sebaliknya, kaum kaya justru sering dipuja-puji publik lantaran segala keinginannya bisa dituruti karena mereka memiliki harta berlimpah.

Tetapi, tahukah bahwa di dunia ini ternyata ada kaum miskin yang mampu menyekolahkan anak-anaknya secara mandiri tanpa harus menunggu sedekah pendidikan dari pemerintah? Buku ini adalah jawabannya.

Buku karya James Tooley, profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University Inggris ini bertutur ihwal kisah perjalanan sang profesor yang tengah galau dalam mengamati fenomena pendidikan kaum miskin yang sering dipandang sebelah mata oleh para pakar pendidikan. Tooley memberanikan diri mengunjungi kota-kota kumuh terbesar di Afrika hingga ke daerah pedalaman Ganshu di China demi misi penelitian sekolah mandiri bagi kaum miskin.

Selama perjalanannya ke beberapa negara; India, Somalia, Nigeria, Ghana, hingga Ganshu di China, Tooley menemukan beberapa fakta unik yang cukup mencengangkan bagi dunia pendidikan modern saat ini. Setidaknya, ada sekitar lima fakta unik.

Pertama, Tooley menemukan fakta bahwa di kampung-kampung kumuh negara miskin itu terdapat sekolah-sekolah kecil yang didanai secara mandiri oleh orang tua siswa. Kedua, mayoritas orang tua miskin itu lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Ketiga, Tooley mendapati fakta bahwa para orang tua miskin di negara-negara itu rela menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya seadanya tanpa harus menunggu sedekah dari pemerintah negara setempat.

Keempat, Tooley menemukan fakta bahwa mayoritas guru sekolah bagi kaum miskin di negara-negara itu bukanlah orang-orang pintar yang memiliki deret gelar kesarjanaan, melainkan mayoritas dari mereka hanyalah orang-orang biasa yang kebetulan punya ilmu lebih dan memiliki dedikasi tinggi sebagai pengajar. Uniknya yang kelima, ternyata sekolah swasta bagi kaum miskin, baik yang diakui maupun yang tidak diakui, kualitasnya lebih unggul jauh daripada sekolah negeri dalam beberapa hal, kecuali dalam poin penyediaan lapangan bermain.

Sekolah Swasta Kaum Miskin

Mayoritas pakar pembangunan ternama yang disebut Tooley dalam buku ini mengklaim bahwa sekolah swasta bagi kaum miskin itu tidak ada. Jika pun ada itu bukan bagi orang miskin, melainkan bagi kaum elite. Atau kalaupun ada, sekolah swasta itu fasilitasnya serta para guru yang mendidiknya di sekolah itu tidak memenuhi standar kelayakan pendidikan modern.

Bahkan yang paling parah, sebagian dari mereka (para pakar pembangunan) ada yang memvonis bahwa para orang tua miskin itu adalah orang-orang pandir. Sebab, mereka punya niat baik menyekolahkan anaknya, tetapi tidak bisa mempertimbangkan sisi baik-buruknya untuk masa depan anak.

Terlepas hal itu, lewat buku ini, Tooley mampu menampik pelbagai keraguan dan klaim tidak berdasar itu dengan bukti bahwa kualitas sekolah swasta bagi kaum miskin di Hyderabad, Delhi, Mahbubnagar, Ga, Lagos, dan Kibera itu patut diperhitungkan ketimbang sekolah negeri yang mayoritas dipenuhi oleh kaum elit.

Selain itu, di buku ini Tooley juga menyuguhkan opini-opini dari beberapa responden, baik dari orang tua miskin maupun anak miskin itu sendiri, ihwal mengapa mereka lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ketimbang di sekolah negeri. Tooley menyimpulkan setidaknya ada lima alasan; yakni guru di sekolah negeri yang sering mangkir, guru sekolah negeri yang berjarak, kondisi kelas yang buruk tidak terkendali, standar pendidikan yang rendah, serta kegagalan para guru sekolah negeri dalam menjangkau dan mengimbangi realitas kehidupan kaum miskin (hlm: 216?229).

Selama proses penelitian, Tooley menemui pelbagai rintangan dan hambatan. Sebut saja ia sering mendapat respons sinis, penyangkalan, bahkan peremehan dari beberapa pakar pembangunan dan birokrat yang menganggap bahwa ikhtiar Tooley itu hanyalah sia-sia.

Meskipun demikian, Tooley sama sekali tidak menggubrisnya. Bahkan, luar biasanya, ia selalu tidak pernah menyerah dan ingin membuktikan sendiri bahwa sekolah swasta bagi kaum miskin di negara-negara miskin itu memang benar-benar ada.

Buku ini adalah jawaban lantang atas pendapat usang yang menyatakan bahwa selamanya kaum miskin itu tidak mampu menyekolahkan anaknya secara layak dan tidak mungkin diselenggarakan sekolah tanpa sedekah pendidikan dari pemerintah. Membaca buku ini, pembaca seakan diajak langsung oleh Tooley untuk bergumul menelusuri kampung-kampung kumuh itu. Buku ini sebenarnya menawarkan pelajaran sederhana; ikhtiar pantang menyerah dari kaum miskin untuk memerangi kebodohan.

Pelajaran penting yang bisa diambil bagi bangsa ini adalah sudahkah Indonesia mampu memberdayakan semua rakyatnya, termasuk kaum paling miskin di negara ini sekalipun, untuk mendapat pendidikan yang layak?

Jika jawabannya belum, sudah saatnya pemerintah kita saat ini harus memikirkan nasib pendidikan kaum miskin. Bagaimanapun juga, pendidikan adalah gerbang utama menuju maju atau mundurnya peradaban sebuah bangsa. Sudah saatnya pemerintah kita tidak perlu lagi berbusa-busa mengobral janji manis, tetapi perlu bukti riil!

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Mei 2013

Sunday, April 21, 2013

[Buku] Menjadi Guru Panutan Murid

Data buku
Guruku Panutanku
Sigit Setyawan
Kanisius, 2013
134 hlm
SEORANG guru, sebagaimana dirumuskan negara dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, haruslah memiliki kompetisi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Namun, dewasa ini perkembangan profesionalisme guru tampaknya mengarah pada hal lain. Sebagian dari mereka lebih banyak bergelut dengan persoalan teknis dan legal formal portofolio yang harus dikumpulkan untuk mendapatkan predikat ?profesional? melalui program sertifikasi guru.

Pada saat yang sama, pelatihan guru lebih banyak berkaitan dengan kemampuan pedagogik semata, seperti kompetensi untuk menyusun rencanan pengajaran, metode mengajar, dan mengevaluasi. Sedangkan kompetensi kepribadian dan sosial yang berkaitan erat dengan penanaman nilai-nilai hidup bagi siswa sangat sedikit dibahas.

Kondisi demikian rupanya membuat gelisah seorang guru Bahasa Indonesia bernama Sigit Setyawan sehingga dalam tesis S-2-nya sebagaimana yang tertuang dalam buku yang diberi judul Guruku Panutanku ini, penulis berusaha secara singkat mengingatkan serta menjelaskan peran guru dalam menanamkan nilai kepada siswa berdasarkan teori kognitif sosial Albert Bandura.

Guru sebagai model dalam konteks teori kognitif sosial dijelaskan dalam konsep modeling, siswa sebagai pihak yang mengamati dan terpengaruh dalam konteks ini dianggap sebagai human agency, dan proses terjadinya pengaruh itu telah dipolakan dalam proses pembelajaran observasional.

Teori kognitif sosial berangkat dari pembelajaran observasional. Manusia belajar dari interaksinya dengan manusia lain. Seorang anak akan belajar dari orang dewasa dengan cara mengamati tindakan orang dewasa. Dari pengamatan, seorang anak dapat membuat imitasi atas tindakan tersebut. Observasional biasanya dipakai untuk memostulatkan tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain. (hlm. 11)

Hasil penelitian di IPEKA International Christian School Jakarta ini, Sigit Setyawan menyimpulkan peran guru dalam mendidik karakter siswa sangat penting. Keteladanan dalam sikap disiplin merupakan temuan paling kuat dalam hal ini.

Memberikan nasihat kepada siswa juga ternyata merupakan salah satu cara efektif dalam memengaruhi siswa. Namun, yang tak kalah penting adalah pendekatan individual dengan memahami kebutuhan tiap siswa sangat efektif mempengaruhi siswa dengan tipe pendiam atau pasif di kelas. (hlm. 71-85)

Berjam-jam waktu yang dihabiskan para siswa di kelas setiap harinya, menjadikan guru sosok model dalam kelas. Apa yang dilihat siswa kemudian diabstraksikan ke dalam pikiran mereka. Modeling merupakan salah satu hal paling kuat dalam mentransfer nilai-nilai, sikap, pola pikir, dan perilaku. Keteladanan adalah faktor utama dalam mendidik remaja, tanpa keteladanan, ajaran atau didikan akan dicemooh dan dianggap munafik oleh siswa.

Sayangnya, tidak sedikit guru cenderung tidak menyadari bahwa mereka memengaruhi siswa. Apa pun mata pelajaran yang diajar oleh seorang guru, nilai-nilai yang dihayati akan memancar dari diri guru.

Teladan yang buruk akan membuat siswa menangkap hal-hal yang buruk pula, demikian sebaliknya teladan yang baik akan membuat siswa menangkap nilai positif dari diri sang guru. (hlm. 127)

Sebagaimana dikatakan oleh Paul Suparno, S.J. dalam pengantarnya, kehadiran buku ini dapat memberikan inspirasi kepada pembaca dan pendidik cara membantu siswa mengembangkan nilai kehidupan. Selain itu, juga dapat menjadi inspirasi bagi para guru untuk sadar bahwa tugas mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan nilai kehidupan, termasuk nilai karakter, kepada siswa.

Dengan kata lain, tugas seorang guru bukan hanya masuk kelas dan menjejali para murid dengan teori-teori dengan tujuan sekadar mengejar target kurikulum, atau meng-install isi kepala mereka dengan transfer pengetahuan. Lebih dari itu, guru juga seharusnya menjadi sosok yang patut diteladani dan memberikan contoh positif kepada para muridnya. Mari menjadi guru panutan para murid.

Hilyatul Auliya, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

Sunday, April 07, 2013

Kampus Motor Kebudayaan

-- Hendrawan

KAMPUS ini harus terus menghasilkan karya, menghidupkan seni dan menggeliatkan kebudayaan Melayu di Riau. Bila seni dan kebudayaan itu tidak digerakkan melalui lembaga seperti Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) maka kebudayaan dikhawatirkan akan hilang.

Para wisudawan berfoto bersama dengan pihak Yayasan Sagang
dan civitas akademika AKMR (sekarang STSR). Foto: defizal/riau pos

Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) kembali mengukuhkan wisudawan Sabtu (6/4) pagi di Hotel Grand Elite. Prosesi wisuda ke-VI itu mengukuhkan 37 Ahli Madya Seni (Amd Sn) dari tiga jurusan yakni teater, musik dan tari yang telah menggali ilmu dan bertungkuslumus di akademi berakreditasi B tersebut.

Sebagai satu-satunya akademi yang fokus di bidang seni dan budaya di Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X, AKMR kembali menegaskan perannya sebagai salah satu tonggak perwujudan Visi Riau 2020, menjadikan Riau sebagai pusat seni dan budaya Melayu di Asia Tenggara. Komitmen ini kembali diungkapkan Ketua Dewan Pembina Yayasan Sagang, H Rida K Liamsi di sela-sela prosesi.

‘’Salah satu tugas AKMR mendorong budaya Melayu agar terus berkembang. Kebudayaan kita tidak akan maju kalau tidak ada penyokongnya. Riau Pos Group melalui Yayasan Sagang selalu komitberjuang bersama stake holder untuk memajukan seni dan kebudayaan sesuai visi Riau 2020. Sejauh ini belum ada lembaga yang lebih baik dari AKMR,’’ ungkap Rida.

Jika alumni berhasil menjalankan fungsinya sebagai pengembang seni dan budaya, bukan mustahil visi Riau untuk mewujudkan daerah ini menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara akan cepat terwujud.

Ketua Yayasan Sagang Kazzaini Ks memberikan kabar gembira pada civitas akademika AKMR. Kazzaini menyatakan, Pemerintah Provinsi Riau akan merealisasikan bantuan gedung AKMR dan segera dibangun dalam tahun ini juga. ‘’Pelelangan pembangunannya akan dilaksanakan dalam waktu dekat, tahun ini mudah-mudahan sudah mulai dibangun. Informasi dari Dinas PU, akan dibangun di Jalan Garuda (Panam, red),’’ ungkap Kazzaini saat ditemui usai prosesi wisuda.

Sementara itu Direktur AKMR Syamsul Bahri Samin tidak kalah semangat melihat perkembangan AKMR ke depan. Saat ini Syamsul akan sibuk mempersiapkan perubahan status dari AKMR menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Keinginan ini mendapat sambutan baik dari Kopertis Wilayah X Jamurin SH MH yang hadir pada perhelatan tersebut.

‘’Ini perkembangan yang bagus, saat ini saja sudah terakreditasi B dan tidak diragukan lagi ditingkatkan menjadi sekolah tinggi. Saya yakin bisa, karena untuk urusan administrasi lembaga ini sudah baik. Kalau semua syarat sudah lengkap, Kopertis tinggal mengeluarkan rekomendasi saja,’’ ungkap Jamurin meyakinkan.

Jamurin juga melihat AKMR memiliki potensi yang bagus, apalagi akademi ini unik. Karena menurut dia, fokus pada kesenian dan budaya Melayu hanya ada satu-satunya di Indonesia. ‘’AKMR akan jauh lebih maju ke depannya karena dia unik. Tinggal bagaimana menjalin kerja sama yang baik dengan pemerintah daerah dan membangun karakter akademik yang kuat. Dalam hal ini pemerintah daerah harus memberikan bantuan,’’ ungkap Jamurin lebih lanjut.

Pada acara wisuda yang mengukuhkan 37 Amd Sn itu diumumkan pemuncak diraih Raja Yusriamsyah RM dengan IPK 3,7 melalui kertas kerja dengan judul ‘’Pedinding’’ sekaligus sebagai cumlaude.

Seminar Seni 
Usai perhelatan prosesi wisuda, acara dilanjutkan dengan seminar seni Dies Natalis ke-1 Sekolah Tinggi Seni Riau dengan tama ‘’Tantangan Masa Depan Pendidikan Seni dan Pembentukan Karakter Bangsa’’. Seminar tersebut menghadirkan dua profesor seni yakni Prof Dr Yudiaryani MA (Yogyakarta) serta Endang Catur Wati (Bandung).

Yudiaryani lebih dulu tampil sebagai pembicara dengan judul ‘’Aktualisasi Pendidikan Seni Budaya Guna Meningkatkan Pendidikan Berkarakter dengan Perspektif Kebangsaan’’. Sedang Endang Caturwati membentangkan makalah dengan judul ‘’Tantangan Masa Depan Pendidikan Seni dalam Pembentukan Karakter Bangsa’’. Kedua pembicara mampu membuat ratusan peserta seminar betah berlama-lama dan ikut dalam sesi tanya jawab.

Yudiaryani menjelaskan, ada empat isu pokok pembangunan pendidikan dan kebudayaan antara lain; akses, mutu dan relevansi, pelestarian dan pengembangan kebudayaan serta tata kelola. Begitu pula dengan enam pilar pendidikan berkarakter seperti kepercayaan, respek, tanggung jawab, keadilan, peduli dan kewarganegaraan.

Sebagai pemikir dan pekerja teater Indonesia, Yudiaryani tentu saja lebih fokus melihat masalah dan penyelesaian masalah Indonesia dari seni teater. Yudiaryani menutup makalahnya dengan menulis, ‘’Fungsi lembaga pendidikan seni budaya adalah membuka wacana kepada masyarakat terhadap sistem, fungsi, praktik dunia kesenian di tanah air, biak kesenian sebagai ekpresi individual maupun ekpresi industri hiburan. Peserta didik diharapkan mampu mengahadapi industri ini dengan rasa tanggung jawab dan bersikap kritis.

Sementara itu Endang Caturwati mengatakan, karya seni pada hakekatnya diciptakan untuk disajikan kepada masyarakat dengan demikian karya seni mempunyai fungsi sosial. Dapat mengarahkan cara mereka berpikir, merasakan dan kadang-kadang juga menentukan tindakan mereka. Dalam hal ini, peran guru atau pendidik sebagai pewaris generasi penerus bangsa sangatlah berperan dalam menentukan ‘konsep pendidikan seni dalam pembentukan karakter bangsa.

Untuk itu, dalam konteks pemuliaan seni tradisional, seni tidaklah sekedar menyajikan suatu ‘tontonan yang indah’ dan menyenangkan, melainkan seni harus menjadi tuntunan. Dalam hal ini peran pendidik atau guru sebagai penyampai misi mempengaruhi atau mewariskan seni sangatlah penting. Tantangan pendidik seni melalui potensi budaya lokal atau seni tradisional adalah motivasi sumber daya manusia (SDM pendidik seni tradisional) yang kreatif, serta pandai memberdayakannya didikannya ke ajang-ajang eksistensi tradisional. (fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 7 April 2013

Tuesday, January 15, 2013

Kembalikan Sekolah Kami!

--  Yonky Karman

TELAH lama sekolah di Indonesia bukan lagi rumah kedua yang nyaman bagi siswa. Siswa dibebani mata pelajaran titipan yang menjemukan.

Ujian nasional tak menghargai pengembangan proses kreatif siswa, bahkan memicu modus kecurangan baru. Banyak sekolah di daerah krisis guru dan fasilitas. Guru tak profesional pun dipertahankan. Harapan sederhana orangtua agar sekolah mencerdaskan anak tak digubris.

Kambing hitam kurikulum


Negara belum berhenti menjadikan siswa sebagai obyek politik pendidikan. Sebelum evaluasi menyeluruh, tiba-tiba kurikulum lama dianggap gagal membentuk insan berakhlak mulia. Mengurangi jumlah mata pelajaran memang langkah yang patut diapresiasi dan sudah lama dikritik, tetapi revisi itu lebih mengikuti selera penguasa sebagai garda negara moralis, bukan kepentingan siswa sebagai generasi masa depan bangsa. Bahasa Inggris dihapus dalam kurikulum wajib sekolah dasar. Suka atau tidak, ruang publik kita disesaki bahasa asing itu. Materi pengetahuan melimpah di dunia maya dan siap diakses. Bahasa Inggris bukan hanya pintu masuk dunia pengetahuan yang kini nyaris tanpa batas, melainkan juga isi gagasan. Mendesak sekali perkenalan dengan bahasa itu sejak dini. Itu tak menghambat penguasaan bahasa Indonesia yang baik, apalagi daya serap otak siswa seperti karet busa kering yang cepat menyerap air.

Tugas pemerintahlah menghadirkan guru bahasa Inggris yang mengajar secara kreatif dan menarik, seperti dilakukan dalam berbagai kursus bahasa di Tanah Air. Bahasa sebenarnya lebih efektif saat dikaitkan dengan percakapan, seperti bahasa dalam bahasa Jerman (Sprache) terkait berbicara (sprechen). Beberapa pesantren modern menjadikan satu hari dalam seminggu untuk memaksa komunitasnya berbahasa Inggris.

Pancasila yang sempat dikeluarkan kini hendak dimasukkan lagi sebagai mata pelajaran tersendiri. Memang penting siswa memahami ideologi negara. Namun, ketakmampuan penyelenggara negara mewujudkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pangkal pudarnya penghayatan Pancasila. Moralitas bangsa dirusak ulah elite politik dan penyelenggara negara korup, ditambah toleransi negara untuk pelbagai kerusakan itu.

Berpaling ke mata pelajaran agama bukan solusi. Sungguh tak tepat sekolah negeri justru membangun fanatisme suatu agama dan membuat siswa agama lain enggan memasuki sekolah yang seharusnya jadi tempat bercampurnya siswa dengan berbagai keyakinan. Idealnya, pelajaran agama di sekolah negeri bersifat lintas agama dan ramah terhadap semua kepercayaan. Generasi masa depan berkualitas merupakan buah pendidikan berkualitas berbasis sekolah umum. Sekolah umum bukan tempat mempelajari keterampilan kerja betapapun pentingnya (bukan sekolah kejuruan), bukan tempat perdalam ilmu agama betapapun luhurnya (bukan sekolah agama), juga bukan tempat indoktrinasi ideologi negara betapapun mulianya (bukan sekolah ideologi).

Sekolah umum

Sekolah tempat mempelajari pengetahuan universal sebagai bagian pengalaman hidup banyak orang. Melampaui keterbatasan usia, pengalaman, dan lokasinya, siswa di bawah bimbingan guru menjelajah dunia kebendaan (fisika, biologi, geografi), dunia manusia (budaya lokal, kewargaan, ideologi negara), dan dunia abstrak (matematika, bahasa). Semua itu dikemas ringan dalam proses pembelajaran yang bersahabat dengan dunia anak. Sekolah adalah tempat yang seharusnya budi pekerti siswa menjadi tercerahkan. Sekolah adalah sebuah warisan intelektual peradaban Barat yang lebih dulu mengenal demokratisasi pengetahuan. Istilah ”sekolah” tak hanya berarti tempat belajar, tetapi kata Latin schola atau Yunani schole juga berarti waktu luang. Kegiatan dalam waktu luang tak wajib dan dikerjakan dengan senang, untuk memperkaya hidup dan pengalaman.

Dalam cara pikir orang Yunani kuno, belajar hal-hal mendalam terpisah dari kegiatan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Orang harus membereskan dulu kebutuhan dasar hidupnya. Demikian ungkapan Latin primum vivere, deinde philosophari, hidup dulu, barulah berfilsafat. Sekolah adalah ruang olah nalar dan hidup siswa. Dalam lukisan ”Sekolah Atena” karya Raphael, seniman Renaisans, jari telunjuk Plato digambarkan menunjuk ke atas (dunia abstrak) dan tangan Aristoteles mengarah ke bawah (dunia konkret). Sekolah Plato (academia) mengajarkan gagasan kesempurnaan penghuni dunia sana dan semua yang baik di dunia ini hanya tiruan tak sempurna. Mengajar untuk tahu adalah membidani kesadaran tentang kebenaran dalam diri seseorang, seperti bidan yang membantu ibu melahirkan. Demikian metode Sokratik atau maieutik.

Sekolah Aristoteles (lyceum) mengajarkan yang sempurna tersua di dunia ini menyatu dengan benda konkret. Kendati bertolak belakang dalam mendefinisikan apa yang nyata, kedua filsuf ini besar dengan cara masing-masing. Keduanya mencerahkan peradaban Barat, teristimewa Aristoteles untuk dunia Arab semasa Abad Pertengahan. Mereka mewariskan kesadaran yang jadi basis perkembangan sains modern terkait kemampuan rasio (alam dapat diselidiki) dan tanggung jawab manusia (alam harus diselidiki).

Belajar adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai makhluk rasional. Jika proses belajar itu benar, akhlak siswa dengan sendirinya terbentuk. Belajar menuntut kesediaan untuk belajar dari kesalahan, belajar disiplin dalam berlogika dan menerapkan rumus (melawan mentalitas ”yang penting hasilnya”), dan belajar tekun (melawan budaya instan). Budaya nyontek dan plagiarisme menjadi aneh dalam kultur belajar yang sehat.

Menuntut ilmu setinggi-tingginya tak perlu dikhawatirkan sebagai penghambat kemuliaan akhlak. Keserakahan dan hawa nafsu yang tak terkendali adalah sumber kerusakan moralitas bangsa. Namun, penentu kemajuan bangsa dalam jangka panjang adalah tradisi pendidikan yang kuat.

Indonesia harus mempersiapkan generasi masa depan berkualitas untuk menyongsong era pasar bebas tenaga kerja yang kian kompetitif di lingkungan Komunitas ASEAN mulai 2015. Jangan sampai untuk posisi resepsionis pun orang kita kalah dari tenaga kerja asing hanya karena soal kemampuan berbahasa Inggris.

Daripada tergesa-gesa menerapkan kurikulum 2013, kualitas guru untuk mendampingi siswa belajar harus dapat prioritas. Pemerintah belum melakukan pendidikan berkelanjutan untuk guru yang umumnya berkemampuan mengajar pas-pasan. Sertifikasi guru baru memotivasi guru mendapat tambahan penghasilan dan memotivasi kaum muda memilih profesi keguruan. Tersebar kabar 50 persen guru Matematika SD di Sulawesi Utara tak paham berhitung. Kemampuan siswa kelas VIII dalam Matematika dan Sains menurut survei internasional 2011 menurun, bahkan berperingkat di bawah Palestina. Lalu, Kurikulum 2013 hendak menggabungkan pengetahuan sosial dan pengetahuan alam ke pelajaran bahasa Indonesia. Kembalikanlah sekolah sebagai rumah masa depan anak dan bangsa!

Yonky Karman,  Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Sumber: Kompas, Selasa, 15 Januari 2013

Kesesatan RSBI

-- Darmaningtyas


RINTISAN sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang merupakan langkah awal menuju SBI (sekolah bertaraf internasional) ibarat bunga rontok sebelum berkembang. Bukan hanya layu, melainkan sudah rontok sekaligus sebelum berkembang dengan keluarnya Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No 5/PUU-X/2012 Perilah Pengujian UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, bahwa Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Pembubaran RSBI/SBI itu sama sekali tidak akan mengurangi kualitas pendidikan nasional karena sekolah-sekolah yang dilabeli RSBI/SBI itu sudah bermutu sejak semula. Justru karena sudah bermutu itu, mereka dilabeli RSBI/SBI. Kekhawatiran akan memengaruhi kualitas itu bila yang dilabeli RSBI/SBI itu ialah sekolah-sekolah tidak bermutu, setelah dilabeli kemudian bermutu. Namun, ini tidak.

Implikasi putusan MK tersebut ialah RSBI harus bubar karena tidak memiliki landasan hukum lagi. Bila ada pemimpin daerah yang masih tetap akan mempertahankan RSBI/SBI dengan alasan apa pun, pemimpin tersebut melanggar konstitusi. Secara otomatis ia dapat diberhentikan karena melanggar sumpah jabatan (setiap ada Pancasila dan UUD 1945). Yang dapat dibenarkan hanyalah semangat mempertahankan hal yang baik di RSBI/SBI, seperti proses belajarnya yang lebih aktif dan guru-gurunya yang sudah lebih memenuhi kualifikasi yang diperlukan. Namun, mempertahankan nama RSBI/SBI jelas tidak dapat dibenarkan sama sekali sebab hal itu berarti pembangkangan terhadap putusan MK alias melanggar konstitusi.

Meskipun dalam sidang MK pada 8 Januari 2013 lalu ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi Achmad Sodiki, tidak berarti bahwa putusan MK itu kurang kuat. Putusan MK tetap mengikat secara konstitusi. Suara berbeda hanyalah memperlihatkan adanya dinamika pemikiran di kalangan hakim konstitusi dan itu sah-sah saja dalam alam demokrasi. Penulis percaya bahwa munculnya dissenting opinion tersebut disebabkan hakim konstitusi Achmad Sodiki lebih mendasarkan pada logika linier saja daripada mendasarkan realitas di lapangan. Bila hakim konstitusi Achmad Sodiki memiliki referensi lapangan yang cukup, pastilah suaranya akan tunggal.

RSBI/SBI yang menyesatkan

Keberadaan RSBI/SBI sejak awal telah menimbulkan masalah karena dalam praktiknya menyesatkan. Praktik RSBI/SBI yang menyesatkan itu tecermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pertama, dari batasan pengertian RSBI/SBI, dalam permendiknas tersebut dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mutu tertentu yang berasal dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau negara maju lainnya. Tujuannya meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. Itu sungguh batasan yang konyol mengingat negara-negara OECD itu banyak dan masing-masing memiliki sistem pendidikannya sendiri, lalu kita akan mengikuti negara mana? Tujuan pendidikan sekadar untuk meningkatkan daya saing juga merupakan bentuk reduksionisme terhadap makna pendidikan itu sendiri sebagai proses pemerdekaan manusia dan proses budaya. Apalagi ketika hanya untuk memperoleh medali emas, jelas ini amat instrumentalis.

Kedua, kurikulum RSBI/SBI disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar negara anggota OECD atau negara maju lainnya. SBI juga menerapkan satuan kredit semester (SKS) untuk SMP, SMA, dan SMK (Pasal 4) serta mempergunakan proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lain sebagai pengantar untuk mata pelajaran, kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah, dan muatan lokal (Pasal 5).

Aturan tentang kurikulum dan standar proses yang demikian jelas amat menyesatkan karena secara sadar kita menghamba pada sistem pendidikan bangsa lain yang belum tentu cocok. Terbukti krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara anggota OECD (Eropa dan Amerika Serikat) sampai sekarang belum reda juga. Itu artinya mereka juga punya masalah dalam negerinya sendiri. Tidak tepat bila kita mengekor mereka.

Ketiga, Pasal 7 Permendiknas No 78/2009 tersebut juga mengamanatkan bahwa SBI diberikan hak untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik apabila tidak ada pendidik warga negara Indonesia yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk mengampu mata pelajaran/bidang studi tertentu (ayat 1). Pendidik warga negara asing tersebut paling banyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik (ayat 2). Itu sungguh-sungguh pasal yang kurang ajar karena ayat (1) tersebut sama dengan menghina dan meremehkan bangsa kita sendiri. Masak dari 4.000 guru besar dan 23.000 doktor di negeri ini tidak ada yang dapat mengampu materi di tingkat SD-SMTA sehingga harus impor guru?

Tentu jauh lebih santun bila meminta bantuan ke perguruan-perguruan tinggi yang memiliki banyak doktor tersebut daripada mengundang bangsa lain untuk mendidik bangsa kita sendiri. Ayat (2) tersebut sama saja mengundang penjajah asing untuk datang ke Indonesia dengan peran sebagai guru di sekolah-sekolah RSBI/SBI.

Bila pasal tersebut terlaksana, berarti keberadaan RSBI/SBI menggusur 30% guru-guru dalam negeri di sekolah-sekolah tersebut dan digantikan guru asing. Sulit dipahami oleh akal sehat bahwa banyak lulusan LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) yang belum mendapatkan pekerjaan, tapi yang sudah menjadi guru (di RSBI/SBI) justru di-PHK demi memberi tempat bagi tenaga kerja asing. Ini konyol dan menyesatkan! Keempat, Pasal 9 (ayat 3) memberikan kebebasan kepada SBI memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RKS (rencana kerja sekolah) dan RKAS (rencana kerja dan anggaran sekolah). Oleh karena RSBI/SBI itu meliputi tingkat SD-SMTA, permendiknas itu jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 mengingat pendidikan dasar menurut UUD 1945 itu gratis.

Kelima, masalah pengelolaan SBI yang harus memenuhi standar pengelolaan yang diperkaya dengan standar pengelolaan sekolah di negara anggota OECD dan negara maju lainnya; serta menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir; jelas menyesatkan. Pilihan negara anggota OECD mana yang akan menjadi acuan itu sendiri sudah merupakan masalah tersendiri. Keharusan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir itu sama saja memperlakukan sekolah seperti perusahaan manufaktur. Padahal, mengelola sekolah beda sekali dengan mengelola pabrik.

Berdasarkan kajian terhadap Permendiknas No 78/2009 itulah penulis memiliki keyakinan bahwa implementasi dari konsep sekolah bertaraf internasional seperti dimaksud dalam Sisdiknas 20/2003 Pasal 53 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, 29, 31, 32, dan 36. Keyakinan tersebut yang menghilangkan keraguan kami ketika memutuskan maju ke MK atau tidak. Akhirnya kami memilih maju terus dan kemudian dikabulkan MK. Kami patut mengapresiasi putusan MK tersebut yang mencerminkan keluasan berpikir dan kewicaksanaan bertindak para hakim konstitusi. Agar putusan MK tentang RSBI tersebut dipatuhi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kontrol dari publik harus terus dilakukan. Jangan pengalaman sebelumnya terjadi, yaitu UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dibatalkan oleh MK, tapi kemudian muncul UU PT (Pendidikan Tinggi). Dengan kata lain, harus ditolak pula ketika RSBI/SBI dibubarkan, tapi kemudian muncul SKM (sekolah kategori mandiri) atau sejenisnya yang hanya merupakan ganti baju.

Semua regulasi yang mengatur tentang RSBI/SBI, termasuk Permendiknas No 78/2009 dan turunannya, harus dicabut. Alihkan alokasi dana untuk ke RSBI/SBI ke sekolah-sekolah swasta pinggiran atau yang ada di daerah-daerah tertinggal demi pemerataan mutu pendidikan. Kembalikan sistem pendidikan nasional ke identitas nasional.

Para penentu kebijakan pendidikan perlu menyimak kembali amanat para founding father kita yang disampaikan melalui 'Subpanitia Pendidikan dan Pengajaran' BPUPKI, yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara. Dengan para anggotanya terdiri dari Prof Dr Husein Djajadiningrat, Prof Dr Asikin, Prof Ir Rooseno, Ki Bagus Hadji Hadikusumo, dan Kiai Hadji Masykur, yang kelak menjadi landasan rumusan Pasal 31 UUD 1945 asli. Mereka mengamanatkan bahwa "Dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah 'keselamatan' dan 'kebahagiaan' masyarakat". Menciptakan sistem pendidikan yang mengekor ke negara-negara OECD dengan meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa sama saja meninggalkan amanat para pendiri bangsa sehingga berdosa besar terhadap bangsa dan negara.


Darmaningtyas,  Perguruan Tamansiswa Jakarta

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 15 Januari 2013

Monday, January 14, 2013

RSBI: Rusak Sudah Bangsa Ini

-- Yudhistira ANM Massardi

BELUM lagi reda debat tentang Kurikulum 2013, kini dunia pendidikan dihebohkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang memvonis bahwa proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua perkara itu menarik perhatian masyarakat luas terutama karena nalarnya dinilai tidak nyambung dan bertentangan dengan pemahaman umum tentang tujuan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu di antara banyak pokok keberatan, baik terhadap Kurikulum 2013 maupun proyek RSBI/SBI, meskipun dimaksudkan untuk peningkatan kualitas, pada praktiknya penghapusan bahasa daerah dan penggunaan bahasa Inggris justru dinilai melemahkan jati diri bangsa.

Proyek pembuangan

Kritik lain terhadap proyek RSBI/SBI, yang lantas menjadikan sekolah eksklusif dan mahal, adalah melahirkan diskriminasi kaya-miskin dan meniadakan kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warga negara.

Kehebohan ini untuk kesekian kali membuktikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tampaknya tak paham tentang arti dan tujuan pendidikan, apalagi dalam hubungannya dengan kebudayaan. Lahirnya berbagai keputusan yang aneh itu juga menunjukkan bahwa mereka tak paham fungsi Kemdikbud.

Satu-satunya hal yang mereka pahami tampaknya adalah bahwa ada dana triliunan rupiah yang harus segera digelontorkan. Untuk itu, dibuatlah berbagai program sebagai proyek pembuangan uang. Diberitakan, dalam kurun 2006-2010, Kemdikbud telah menyubsidi 1.172 RSBI/SBI dengan dana Rp 11,2 triliun! Proyek itu juga menyedot dana yang tak sedikit dari pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, kiranya Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut peruntukan dan aliran seluruh dana itu, serta menghukum berat para koruptor apabila ternyata mereka berpesta pora dalam proyek itu.

Hakim konstitusi Akil Mochtar seusai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 8 Januari lalu tegas mengisyaratkan bahwa kehadiran Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan payung hukum bagi proyek RSBI/SBI terkesan dipaksakan.

”Undang-Undang Sisdiknas itu tidak memberikan penjelasan, tiba-tiba pasal itu muncul begitu saja sehingga (harus) dibatalkan,” kata Akil. Jadi, keberadaan norma dalam pasal itu tak memiliki penjelasan dalam pasal-pasal sebelumnya. Fakta adanya ”pasal siluman” ini mengingatkan pada berbagai modus kongkalikong antara eksekutif dan legislatif dalam sejumlah kasus korupsi. KPK harus turun tangan.

Rakyat sudah letih

Setelah MK menyatakan RSBI/SBI inkonstitusional dan harus dibubarkan, Mendikbud M Nuh secara normatif menyatakan menghormati dan akan melaksanakan keputusan MK. Namun, pada saat yang sama, ia menyerukan agar para guru dan siswa RSBI/SBI tetap berkegiatan seperti biasa. Hal serupa dinyatakannya terhadap keputusan Mahkamah Agung beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa ujian nasional harus dihentikan. Namun, hingga kini ia berkeras menyelenggarakan ujian nasional—suatu hal yang menunjukkan pembangkangan hukum.

Semua kemelut itu, selain membingungkan dan menyedihkan, bisa dimaklumi jika juga membangkitkan rasa apatis sekaligus amarah publik. Hendak dididik jadi apa sebenarnya bangsa kita? Sudah 67 tahun merdeka, tetapi pemerintah tak juga mampu merumuskan dan membuat desain besar pendidikan bangsa yang jelas, bernas, dan holistik. Sebuah kebijakan pendidikan yang bisa dipahami akal sehat dan mudah dilaksanakan di lapangan di semua unit pendidikan serta adil bagi seluruh rakyat.

Rakyat sudah letih menjadi bangsa pariah dunia yang moralnya ambruk oleh semeru korupsi, yang pemerintahannya begitu lemah tanpa visi, yang kementerian pendidikannya begitu limbung tanpa arah.

Kerusakan bangsa ini hanya bisa dihentikan jika, pertama-tama, Kemdikbud dan Kementerian Agama yang juga menangani institusi pendidikan sebagai mercusuar intelektualitas dan moralitas berhenti menjadi sarang koruptor. Kedua, Kemdikbud dan Kementerian Agama harus mengibarkan visi membangun manusia Indonesia yang berilmu, berakhlak mulia, dan kukuh jati diri; serta misi membangun lembaga pendidikan nasional yang membuat anak didik bahagia belajar dan cinta belajar sepanjang hayat. Ketiga, semua pihak harus sadar bahwa semua itu tak akan mewujud jika tak dimulai dengan penanganan ekstra serius terhadap pendidikan anak usia dini!

Yudhistira ANM Massardi, Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

Sumber: Kompas, Senin, 14 Januari 2013

Friday, January 11, 2013

Mengawal Pembubaran Sekolah RSBI

-- Ari Kristianawati


Sekolah RSBI menjadi ladang uji coba penerapan kurikulum yang berorientasi kebarat-baratan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberadaan RSBI tidak sah dan melanggar Konstitusi melegakan banyak pihak yang peduli dengan pendidikan pro publik. Publik dengan antusias menyambut "bubar”-nya RSBI yang selama ini banyak memunculkan kontroversi dan gugatan dari publik.

Memang faktanya, keberadaan sekolah-sekolah RSBI (Rintisan Sekolah bertaraf Internasional) tidak berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Eksistensi sekolah RSBI selama ini diakui tidak mampu mengungkit peningkatan mutu sekolah sebagai "gerbang" pencerdasan generasi muda.

RSBI justru tercitrakan sebagai institusi pendidikan yang berbiaya mahal yang pelayanannya hanya bisa dinikmati anak usia sekolah dari keluarga berkasta ekonomi mampu. RSBI yang dalam kegiatan belajar mengajarnya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dianggap sekadar sebagai "proyek" peningkatan kualitas pendidikan yang menghabiskan alokasi dana APBN.

Satu sekolah RSBI konon mendapatkan kucuran dana pembinaan per tahun antara Rp 200-750 juta. Sekolah RSBI menjadi "ladang uji coba" penerapan kurikulum pembelajaran yang berorientasi kebarat-baratan (western oriented) dan berbagai kegiatan yang beraroma penyerapan (penghabisan) anggaran di sekolah.

Dari segala hal beraroma bintek pengembangan kompetensi guru hingga proyek peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Sekolah-sekolah RSBI menjadi "menara gading" di tengah sekolah-sekolah yang kualitas sarana-prasarananya buruk dan tidak memadai.

Sekolah RSBI yang ditarget berkembang menjadi sekolah bertaraf Internasional (SBI) justru menjadi sekolah atau institusi pendidikan yang mendiskriminasi aksesibilitas publik atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Ironinya, label "bertaraf internasional" dijadikan tameng praktik pungutan anggaran yang membumbung tinggi di sekolah.

Sekolah RSBI menjadi bagian dari apa yang disebut “Mc Donaldisasi pendidikan” bahwa pendidikan menjadi komoditas yang standar harganya ditakar atas standar pelayanan fisik yang diberikan, serta ditentukan sejauh mana sekolah bisa menghargai dirinya dengan berbagai variasi pelayanan kegiatan belajar-mengajar yang serba mewah.

Diskriminasi Pola Kolonial

Kehadiran sekolah RSBI yang konon dilegitimasi UU No 20 Tahun 2003 yang liberal-kapitalistik mengabaikan peran negara dalam mendorong fasilitasi pendidikan yang murah dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.

Konsepsi pendidikan untuk semua (education for all) dinegasikan oleh kehadiran dan sekolah RSBI. Sekolah RSBI menjadi sekolah yang memberikan fasilitas pendidikan yang didukung fasilitas yang "mewah" bagi anak-anak dari keluarga berkasta ekonomi papan atas.

RSBI telah mensegregasi anak usia sekolah dan masyarakat atas apa yang disebut paradoks pelayanan pendidikan bagi masyarakat dan mengabaikan hakikat pendidikan menjadi instrumen sosiologis yang mencerdaskan masyarakat. RSBI ibaratnya seperti sekolah-sekolah di era kolonial (Belanda) yang mendiskriminasi hak rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas.

Sekolah di zaman kolonial semacam HIS, HBS, hingga sekolah pendidikan tinggi STOVIA (Sekolah Kedokteran) dan OSVIA (Sekolah Pamong Praja) hanya bisa dinikmati oleh anak-anak bangsa Belanda (Eropa) dan para aristokrat, yakni anak-anak punggawa pemerintahan bumi putera yang menjadi alat kepentingan kolonial.

Sekolah-sekolah di zaman kolonial sekadar menjadi institusi pendidikan yang berfungsi menyiapkan tenaga administrasi bagi kepentingan sistem ekonomi kolonial dan menyediakan tenaga fungsional di bidang kesehatan-pendidikan yang pekerjaannya mengabdi kepada rezim penjajah.

Sekolah ini menghamba kepada kepentingan pasar dan korporasi. Mengapa disebut demikian? Karena pola pendidikan dan kurikulum RSBI mengacu kepada kepentingan pasar, yang memerlukan tenaga-tenaga siap pakai untuk kepentingan politik niaga pasar bebas. Sekolah ini menjadi sekolah yang membedakan status sosial masyarakat atas kastanisasi ekonomi, jabatan, dan kemampuan membayar "jasa" pelayanan pendidikan.

RSBI seolah menjadi sekolah yang dihadirkan untuk mengabaikan mandat Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945 bahwa pendidikan nasional menjadi tanggung jawab negara dan negara tidak boleh membeda-bedakan status dan eksistensi sekolah atas label "unggulan" atau tidak "unggulan".

Mengawal Pembubaran

Kemendikbud melalui pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan akan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Namun pernyataan tersebut tidak menjamin RSBI akan tetap eksis dengan berganti "label", atau "topeng' karena sekolah-sekolah RSBI merupakan produk unggulan birokrasi pendidikan yang memiliki kepentingan terhadap anggaran.

Harus diakui mandat UU No 20 Tahun 2003 bahwa batas minimal anggaran APBN untuk sektor pendidikan sebesar 20 persen membuat "bingung" perencana (pendesain) kebijakan pengelolaan anggaran.

Anggaran puluhan bahkan ratusan triliun sangat sulit dibelanjakan karena mindset pengambil kebijakan pendidikan yang terbiasa dengan kultur penghabisan anggaran sehingga anggaran yang besar tidak sebanding dengan desain inovasi dan kreasi perencanaan pendidikan. Akibatnya, sekolah RSBI dan proyek-proyek peningkatan mutu guru menjadi objek belanja pengeluaraan anggaran Kemendikbud.

Untuk itulah publik dan masyarakat yang antidiskriminasi pendidikan harus berani mengawal dan mengadvokasi keputusan MK tentang pembubaran sekolah RSBI. Jangan sampai RSBI hanya sekadar berganti wajah dan pola kebijakannya dilanjutkan. Publik harus sadar bahwa eksistensi sekolah RSBI tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional dan tidak mampu mengungkit meningkatnya mutu sumberdaya manusia.

Pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas manusia dan pendidikan nasional adalah yang memiliki konsepsi pendidikan untuk semua. Pendidikan harus ditingkatkan mutu dan dukungan anggaran secara adil dan merata. Tidak boleh ada sekolah yang dimanjakan fasilitas dan diperbolehkan menjadi alat kepentingan bisnis yang mengabdi kepada kepentingan pasar.

Publik saat ini harus mengadvokasi putusan MK sebagai media perjuangan pendidikan yang humanis, egaliter, dan pro publik. Publik harus bisa merealisasikan gagasan pendidikan yang memiliki filosofi nilai kegotongroyongan sosial, seperti apa yang dicita-citakan oleh KH Dewantara. Pendidikan bukan diabdikan untuk kepentingan elite sosial, namun untuk masyarakat. Rest in peace sekolah RSBI!

Ari Kristianawati, guru SMAN 1 Sumberlawang, Sragen.

Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 11 Januari 2013

Thursday, January 10, 2013

Yang pro, yang kontra RSBI

-- Imam Santoso dan Maria Rosari Dwi Putri

SELASA pekan ini, Mahkamah Konstitusi membuat putusan mengejutkan perihal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur RSBI dan SBI.

Mahkamah Konstitusi menyimpulkan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.

Para hakim konstitusi membongkar sejumlah cacat filosofis dalam RSBI dan SBI. "Ini merupakan bentuk baru liberalisasi dan dualisme pendidikan, serta berpotensi menghilangkan jati diri bangsa dan diskriminasi," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Sementara hakim konstitusi Anwar Usman menyoroti pembedaan sarana dan prasarana, pembiayaan dan pendidikan SBI/RSBI dari sekolah lain akan mencipta perlakuan berbeda kepada sekolah dan siswa.

"Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," kata Anwar.

Taraf atau tarif

Polemik baru segera muncul. Guru dan orangtua pun berbeda pandangan soal inkonstitusionalisasi RSBI ini.

"RSBI adalah terobosan dalam tingkatkan pendidikan dan perlu," kata Wakil Kepala Sekolah SMAN 12 Jakarta, Mulyanto.

Mulyanto menyayangkan kritik terhadap RSBI selalu berpusat pada sisi biaya yang memang di atas persekolahan biasa.

Dia menilai sekolah bagus tak hanya ditentukan oleh seleksi siswa, tapi juga kemampuan sama bagusnya antara guru dan siswa.

Untuk menghadirkan kondisi ideal ini tentu memerlukan kelengkapan-kelengkapan khusus yang berkonsekuensi biaya besar.  Pada tingkat ini seharusnya negara yang lebih berperan, bukan dikembalikan pada masyarakat.

Mulyanto menyayangkan kesalahan dan kekeliruan praktikal RSBI membuat sistem yang dianggapnya baik ini, harus terkorbankan. "Jangan bakar lumbungnya, tapi perbaikilah," kata dia.

Pandangan berbeda diutarakan Mathius Sadmoko Murti, Kepala Sekolah SMA Regina Pacis, Jakarta, yang mengaku tidak tahu menahu RSBI.

"Hanya saja sering ada ledekan, bukan taraf internasional tapi tarif internasional, karena SDM-nya atau guru-guru-nya tidak khusus," kata Mathius.

Dia sendiri tidak menyetujui RSBI.  "Kami  (Regina Pacis) tidak menyelenggarakan RSBI karena belum mengetahui persis aturannya," sambung Mathius.

Namun, meski tidak menentang putusan inkonstitusionalisasi RSBI oleh Mahkamah Konstitusi, Mathius menyayangkan putusan itu keluar saat tahun ajaran tengah berjalan dan ini memperpelik masa depan kerjasama yang telah dilakukan sekolah dengan pihak lain.

"Kasihan orangtua dan guru. Pihak sekolah dan pihak orangtua," kata Mathius.

Bahasa asing

Pandangan orangtua juga terbelah. Ada yang sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi.  Ada pula yang menilai positif RSBI di tengah menurunnya kualitas pendidikan nasional dalam beberapa masa terakhir.

"Buat apa sih negara bikin RSBI? Itu kan akhirnya cuma memicu kesenjangan sosial, yang punya duit bisa tambah pinter, tapi yang nggak punya duit, ya dapat seadanya," kata Nastiti Wulandari, ibu rumah tangga berdomisili di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

Nastiti menilai sekolah milik negara di Indonesia belum bisa menggunakan konsep RSBI.

Sementara Rini Abed, bertempat tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan, mempertanyakan konsep internasional dalam RSBI.

"Kalau konsep internasionalnya berupa guru asing, Bahasa Inggris sebagai pengantar, dan ujian tambahan di akhir tahun ajaran, yaa itu masih perlu ditinjau ulang," kata Rini.

Rini khawatir, karena tak membiasakan Bahasa Indonesia di kelas, RSBI dapat memicu lunturnya nasionalisme anak muda, kendati diakuinya banyak faktor yang bisa melunturkan nasionalisme.

Bahkan pakar sosiolinguistik Prof Fathur Rokhman menyebut kecondongan RSBI menggunakan Bahasa Inggris telah membuat Bahasa Indonesia kalah gengsi.

"Memang tidak semua. Namun, lihat saja papan nama untuk ruang-ruang di sekolah RSBI. Banyak yang memakai istilah Bahasa Inggris, misalnya library (untuk perpustakaan)," katanya di Semarang, Rabu.

Tetapi, Reshma, ibu artis cilik Nizam Hasan, menilai  nasionalisme tidak hanya ditekankan di sekolah.

"Keluarga sebagai tempat pendidikan dasar anak, punya peran penting untuk menumbuhkan nasionalisme anak. Pendidikan boleh luar negeri, tapi kita orang Indonesia, seharusnya diajari budaya Indonesia," kata Reshma.

Namun,  berbeda dari Nastiti, Reshma menganggap Indonesia memerlukan RSBI. "Kita semua tahu pendidikan (taraf) internasional memang lebih bagus," kata dia.

Tuntutan tinggi

Sebaliknya, Anjelika Wijaya, ibu tiga anak, menganggap membuat pandai bangsa tak perlu dengan menghadirkan sekolah taraf internasional.

"Kalau anak belajar di sekolah bertaraf internasional, apa bisa dibilang pandai? Banyak anak stres karena tekanan sekolah. Kurikulumlah yang harus diperbaiki," tegas Anjelika.

Anjelika mencontohkan anak bungsunya yang kini duduk di kelas lima SD yang kewalahan oleh bertumpuknya tugas sekolah.

Dia iba pada anak sekolah sekarang yang kehilangan waktu bermain dan bercengkerama dengan orang-orang tercintanya, karena banyaknya tuntutan sekolah.

"Kurikulumnya juga masih berantakan. Kalaupun dicampur kurikulum asing, bayangkan beban siswanya yang semakin tidak punya waktu bermain, dan orang tuanya harus membayar ekstra untuk pendidikan yang mahal itu," keluh Anjelika.

Mereka patut didengar, karena pendidikan, bukan melulu soal prestasi, apalagi prestise dan modal, sebaliknya menyangkut juga jati diri dan pembangunan karakter.

Sejauh ini, pemerintah sendiri sigap menindaklanjuti "koreksi konstitusional" dari Mahkamah Konstitusi ini.  "Apapun putusan itu, kami akan menghargai, dan tetap menjalankannya," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.

Namun Nuh mengingatkan siswa-siswa berprestasi sudah sewajarnya ditangani secara khusus, demi membuat mereka bisa terus berkembang.

Kini semua menanti langkah pemerintah berikutnya, tentunya yang sungguh menjawab kekurangan filosofis seperti diutarakan Mahkamah Konstitusi, dan tidak memoles produk lama menjadi seolah-olah baru.

"Jangan membangkitkan kembali roh RSBI dengan nama lain," kata Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti. n

Sumber: Antara, Kamis, 10 Januari 2013

Saturday, November 10, 2012

Mengajar Sastra Tanpa Pamrih

-- Y Alprianti

JENDERAL berbintang lima pertama yang dimiliki Indonesia, Sudirman, bukanlah seorang dengan latar belakang militer yang hebat. Ia, sebagaimana Hatta, Sjahrir, Ki Hadjar, Kartini, Tan Malaka, dan Agus Salim, adalah masyarakat sipil yang sederhana. Salah satu kesamaan dalam kisah-kisah yang membumbui di sela-sela perjuangan tokoh itu adalah kewajiban menularkan ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan kepada orang lain. Pun demikian ketika pahlawan-pahlawan tersebut sedang berada dalam pengasingan dan gerilya.

    Di sela-sela penahanan pihak Belanda di Bengkulu misalnya, Soekarno hampir setiap pagi mengajari anak-anak belajar membaca dan menulis.

    Secara substansial, mereka sebenarnya telah melakukan tugas-tugas guru. Mereka mendidik tanpa pamrih, mengajar tidak dibayar, dan menyuluh tanpa disuruh. Tetapi mengapa kerap terdengar keluhan guru guru fiksi yang merasa tersisihkan? Padahal sebagaimana guru lain, guru fiksi juga menularkan ilmunya tanpa pamrih.

    Pendidikan yang dilakukan di sembarang papan. Asal ada anak didik dan mereka haus pengetahuan, maka orang-orang itu maju tanpa gentar menularkan pengetahuannya. Ruang yang digunakan pun di tempat para darah biru bersemayam. Pura Pakualaman, Yogyakarta juga tidak luput menjadi tempat berlangsungnya transformasi intelektual. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) adalah salah satu 'murid' didikan Sarekat Islam yang rajin belajar di sana, dua kali seminggu. Pada perkembangan selanjutnya, makna 'guru' mengalami pergeseran.

    Oleh karena laju zaman dan modernitas, guru di mata masyarakat menjadi sebuah profesi. Guru bekerja memberikan pelajaran yang tertulis di buku, menerangkannya di kelas, memberikan tugas-tugas rumah, kemudian dibayar. Di dalam tulisan ini, akan disinggung sedikit tentang guru dan dunianya, di dunia nyata dan dunia fiksi. Fiksi dalam pembahasan ini adalah karya sastra, khususnya puisi dan cerpen. Menarik untuk membicarakan guru dalam dunia fiksi, karena karya fiksi pada galibnya tidak lahir dari rahim kebudayaan yang nir.

    Tema guru dalam karya fiksi telah banyak diciptakan oleh pengarang, baik naskah drama, novel, puisi, maupun cerpen. Hal itu disebabkan dunia guru adalah ladang subur dalam berkreasi dan berempati.

    Dunia guru seperti halnya cermin bening yang memantulkan hal-hal yang terjadi padanya. Dari banyak karya fiksi, cerita yang ditampilkan adalah satire hidupnya. Nyaris tidak ada yang mengisahkan kehidupan guru dalam suasana yang gemerlap sebagaimana sinetron Indonesia tercinta. Selama pemerintahan Orde Baru, profesi guru dipandang sebagai kelas pinggiran. Penyebabnya, tentu saja karena gaji dan jaminan kesejahteraan tidak memenuhi standar kelayakan.

    Pemerintah nampaknya mengadopsi kinerja dan filosofi para pahlawan ketika mendidik dan mengajar tanpa dibayar, tidak mengejar citraan tertentu, apalagi menyangkut material. Oleh karena cara pandang yang mengadopsi mentah-mentah makna guru dalam teks/kamus, mengakibatkan kebijakan yang mentah pula.

    Menurut Mochtar Buchory, ada tiga masalah yang menjadi sumber terciptanya kondisi kerja menyedihkan bagi para guru, yaitu: 1) Kesejahteraan guru yang dipandang terlalu rendah, 2) Sistem manajemen sekolah yang dipandang bersifat menekan guru, dan 3) Kurikulum sekolah yang dipandang terlampau sarat (overload) sehingga menimbulkan beban yang berlebihan pada guru (2007:146).

    Cuplikan cerpen di bawah menegaskan tiga hal yang disebutkan oleh Mochtar Buchory di atas. Begitulah Safedi, dia merasa banyak yang tidak cocok dan tidak sesuai di dalam hati. Mulai dari sikap murid-muridnya, kebijakan kepala sekolah, atau tentang dunia pendidikan itu sendiri secara lebih luas. Karena itu, dia sering dianggap radikal oleh beberapa teman ketika berdikusi soal pendidikan. "Tiap sebentar kurikulum diganti. Kemarin KBK, sekarang KTSP. Tetapi penerapannya tidak ada yang sesuai..." (Kompas, 14/12/08). Penggambaran kehidupan guru yang miris tersebut ditulis oleh Farizal Sikumbang dalam cerpennya Guru Safedi.

    Dikisahkan, Safedi berprofesi sebagai guru honorer kewalahan dalam mengatur biaya hidup sehari-hari. Guru Safedi menerima gaji sekali dalam tiga bulan, sebesar seratus delapan puluh ribu rupiah. Edan! Zaman seperti sekarang, rumah tangga mana yang mampu hidup demikian, sementara istrinya adalah ibu rumah tangga?

    Maka, konsekuensinya, hutang istrinya di warung menumpuk. Istrinya terpaksa hutang ke beberapa warung untuk menutup kekurangan biaya hidupnya. Perselisihan terjadi ketika idealisme Safedi yang menjadi guru berdasar hati nurani tanpa pamrih menghadapi keresahan istrinya. Sang istri pun kemudian meminta Safedi untuk nyambi, mencari penghasilan tambahan.

    Benturan antara dunia ideal dengan kenyataan rupanya susah disandingkan, karena guru haruslah jaga image, sebab ia mulia, digugu lan ditiru. Tapi, sesuai dengan sifat dasarnya, guru adalah orang yang mulia, memiliki kelebihan, pembimbing spiritual, dan menjadi teladan.

    Kelebihan guru, baik pengetahuan maupun sifat kemanusiannya tetap saja kentara, dan tidak pernah lekang. Mas Guru dan Guru Safedi dalam balutan kemelaratan dan kepiluan, masih memegang teguh sifat dasar tersebut.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 10 Nopember 2012

Sunday, October 21, 2012

Sekolah Tinggi Seni Riau: Menuju Visi yang Radikal

-- Bayu Arsiadhi

MENGINGAT perhatian dunia yang sedang tertuju pada: terorisme, kemiskinan dan penyakit, populasi migran tanpa harapan, sistem pendidikan yang amburadul, perampasan budaya, penjajahan dan eksploitasi, pemanasan global, sistem komunikasi dan komputer berkecepatan tinggi, kekayaan korporasi raksasa, trafficking, perjuangan kesetaraan gender/persamaan hak, penelitian internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dari latar belakang permasalahan-permasalahan sosial yang monumental tersebut, universitas di Riau dan di kota-kota lain yang menawarkan musik sebagai program studi akan terlihat aneh, bahkan tidak ada kaitan secara langsung. Kami lebih memusatkan energi pada pelatihan pemain-pemain dan komposer untuk pasar yang kian waktu kian berkurang dan sempit bagi musik seni, tradisi, orkestra, jazz dan banyak lagi. Program musik pendidikan lebih banyak mempersiapkan siswa untuk mengajar band, paduan suara, grup musik tradisi di sekolah-sekolah tanpa henti mereplikasi repertoar yang sama atau mirip atau membuat materi pop dengan bantuan komputer. Sedangkan teori dan sejarah berdasarkan superioritas musik Barat dan mata kuliah yang terkait (seperti pelatihan telinga dan analisis harmonik) tetap menjadi sesuatu yang istimewa di jenjang sarjana.

Sementara program bagi calon guru musik, terus menekankan kinerja berbasis metode di atas segalanya. Ada sedikit ruang khas yang dapat membantu siswa menjadi informan, musisi yang bijaksana dan guru yang dapat menghubungkan apa yang mereka pelajari tentang musik dan pendidikan ke dunia yang lebih luas seperti, studi filsafat, kajian budaya, sosiologi, sejarah, budaya populer atau bidang seni lainnya. Namun pada akhirnya, tujuan siswa cenderung pada pelatihan keterampilan profesional mengabaikan perannya yang akan menjadi warga-musisi terdidik yang mampu mengatasi masalah dunia nyata dan situasi yang melibatkan keunikan, ketidakpastian dan konflik nilai. Penekanan dalam program sarjana musik terus terjadi dalam taraf penerima pasif, reproduksi pengetahuan ahli dan kurangnya keterlibatan intelektual dalam dunia sosial musik.

Sempitnya tujuan dan misi tidak hanya nampak pada kurikulum kita, tapi juga dalam isolasi sosial oleh program studi musik dengan fakultas dan disiplin ilmu lain. Karena itu dosen dan mahasiswa sering kurang informasi tentang (atau hanya tidak tertarik pada) isu-isu saat ini dan perdebatan akademik yang lebih luas dalam universitas (misalnya, departemen yang akan mendanai penelitian dan program-program yang ditakutkan akan merusak gagasan pendidikan publik), sementara mahasiswa lama terlalu banyak memusatkan konten sumber daya mereka pada beberapa elit dan mengabaikan massa. Di lain pihak, akademisi dari disiplin ilmu lain kadang-kadang terlibat dalam perdebatan artistik yang lebih luas dalam ruang publik. Umumnya juga, karena keterlibatannya di ruang-ruang pemerintahan, suatu fakta yang membuat rentan saat penghematan anggaran dan reformasi pendidikan. Program studi musik lebih memilih untuk tetap tiarap, menghindar dari politik.

Meskipun ada yang beranggapan bahwa mahasiswa musik akan membenci isolasi sosial dan merasa kurang kebebasan untuk mempertanyakan dan menantang otoritas, maka lebih banyak yang memilih status quo, karena mampu membawa mereka lepas dari kekacauan dan ketidaknyamanan realitas. Pada akhirnya, guru-guru musik di SMU harus menanggung sikap lari dari kenyataan ini, karena nilai mata pelajaran musik sering terlalu tinggi dibanding dengan mata pelajaran lain, sehingga memberi keyakinan guru-guru pelajaran lain, bahwa musik adalah pelajaran yang tidak memerlukan banyak belajar dan kerja keras untuk mencapai sukses ditambah lagi kelas-kelas pertunjukan musik dianggap sebagai pengalihan perhatian dari mata pelajaran lain yang merepotkan. Jika menanyakan mahasiswa mengapa memilih studi musik dan respon yang biasa diperoleh ‘’karena menyenangkan’’ dan ‘’persiapan kerja’’ ketimbang pendapat bahwa musik adalah sesuatu yang benar-benar penting bagi masyarakat atau tantangan intelektual. Tentu saja, mahasiswa musik bukanlah satu-satunya yang melihat kampus hanya sebagai tempat untuk mendapatkan pengalaman pelatihan dan kejuruan belaka. Emberley (1996) mengamati, banyak mahasiswa yang hanya ingin ‘’informasi praktis untuk memperoleh pekerjaan’’. Pasif intelektual dan konservatisme adalah sesuatu yang biasa di perguruan tinggi.

Jika program studi sarjana musik akan mewujudkan mandat mereka untuk mendidik, tidak hanya melatih siswa, maka ada baiknya untuk mengkonfrontasikan ideologi-ideologi pelatihan yang menyenangkan dan kejuruan dari awal, terutama dalam kuliah sejarah dan pengantar teori yang selalu memakai pendekatan pembelajaran tradisional dalam kaitannya mengisi pikiran siswa dengan fakta-fakta. Dalam kuliah mereka, mahasiswa harus ditantang untuk berpikir musik sebagai konsep yang berkembang dan terbuka yang dipengaruhi oleh politik, agama, sosial, ilmu pengetahuan dan humaniora lainnya, bukan sebagai koleksi terisolasi dari fakta-fakta, tokoh, atau metode yang harus diterima secara pasif, dihafal, lalu dimuntahkan (tanpa melalui olah pikir dan rasa). Siswa juga harus diingatkan terus-menerus bahwa metode dan teknik merupakan capaian tertentu (harus ada timbal-balik di antaranya); bahwa capaian tersebut tidak harus atau selalu menjadi musikal; lebih lanjut, pencapaian juga selayaknya membawa mereka sebagai individu yang memandang pentingnya refleksi, diskusi dan evaluasi.

Seperti saran saya dalam artikel singkat ini, salah satu cara yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali pendidikan musik adalah dengan rekonseptualisasi, di mana permasalahan moral, etika, budaya dan politik datang lebih dahulu di hadapapan para siswa, menantang mereka menyadari potensi dirinya agar dapat berkontribusi pada perbaikan nilai-nilai masyarakat. Hal ini juga melibatkan memperkenalkan kepada siswa keragaman mosaik musik yang ada, sambil membantu mengembangkan suara-suara kritis mereka sehingga dapat berpartisipasi cerdas dalam membentuk nilai-nilai musik dan humanis lainnya. Untungnya, Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) kini membuat terobosan dengan diversifikasi mata kuliah sebagai investasi di masa depan dan mulai menghidupkan kembali pendidikan tinggi musik dengan ide-ide segar para dosen, khususnya di bidang musik Melayu, sosiologi dan filsafat. Singkatnya, mari kita lanjutkan untuk mengajar siswa dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya, namun ada banyak hal yang lebih penting, memungkinkan mereka untuk membuat apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Con anima. n

Bayu Arsiadhi, dosen luar biasa di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan Sendratasik Universitas Islam Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Oktober 2012