Sunday, March 10, 2013

[Sosok] Cinta Tanah Air dan Tanah Dayak

-- Ratu Selvi Agnesia

MESKI lama tinggal di Prancis karena cekalan Orde Baru, namun penyair, budayawan, dan penulis Jean Jacques Kusni (JJ Kusni) selalu mencintai Tanah Airnya, Indonesia, terutama Tanah Dayak.

katakan juga segala kebingungan
keangkuhan dan kepura-puraan
pembudakan hilang diri serta kekosongan
tidakkah itu juga Indonesia?

mengatakan Indonesia
aku mengutuk
menikam diriku
karena mencintaimu, o Tanah Air!"


(Kutipan puisi "Karena Mencintaimu Tanah Air", Paris-November 2003)

PUISI tersebut dibuat oleh orang yang pernah disekap kerinduan untuk pulang karena mencintai Tanah Airnya. Itulah cara penyair bernama asli Kusni Sulang meluapkan rasa rindunya pada Indonesia. Di sudut ruangan Gedung Tambun Bungai-Palangkaraya, sosok laki-laki yang lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, pada 25 September 1940 itu mengenakan kemeja putih disandingkan dengan jas abu dan topi khas Dayak. Dia terlihat begitu berkonsentrasi mendengarkan perbincangan tentang masyarakat adat khususnya Dayak pada pertemuan Sarasehan dan Diskusi Aliansi Masyarakat Adat pada Rabu (20/2).

Tangan kanannya menggenggam pulpen dan tangan kirinya tak lepas dari pipa dan rokok kretek yang sesekali dihisapnya dengan intim. Tampilannya memang sederhana untuk sosok yang memiliki berbagai pengalaman, tingkat pendidikan, dan karya-karya produktifnya. Sosok sederhana itu adalah Jean Jacques Kusni, sosok budayawan Dayak yang akrab disapa JJ Kusni dan bernama pena Magusig O Bungai.

Kusni adalah seniman, penyair, dan penulis pentolan LEKRA yang produktif, pernah menjadi cekalan Orde Baru pada masa itu karena pemikirannya yang kritis. Kusni terhitung lama tinggal di Paris, Perancis. Di sana bersama-sama dengan Umar Said, Sobron Aidit, dan lainnya, ia mendirikan restoran Indonesia sebagai bagian memperkenalkan Indonesia lewat kuliner.

Seusai tumbangnya Orde Baru, Kusni pulang dan menetap di Palangkaraya-Ibukota Kalimantan tengah dan tinggal bersama isterinya Andriani S Kusni. Lalu mengapa Kusni memutuskan pulang ke Indonesia, padahal di Prancis dia sudah mendapat tempat dan mendapat penghargaan atas buah pikirnya juga pekerjaan yang mapan?

"Bagi saya, saya seorang pencari yang tidak pernah punya ujung, jadi saya tidak pernah sampai ke tujuan akhir kecuali Indonesia. Jadi, kampung halaman tempat saya lahir adalah kampung Indonesia yang mataharinya menurut penyair Spanyol tidak bisa tergantikan," ujar Kusni dengan tatapan matanya yang teduh saat Jurnal Nasional mewawancarainya.

Merunut riwayat hidupnya, Kusni seolah tak pernah merasa kenyang dengan ilmu pengetahuan --baik formal maupun informal-- yang ditimbanya. Dia pernah mengenyam pendidikan dengan biaya dari peluh pekerjaanya sebagai pelayan toko, penggembala babi dan kambing, hingga membuka restoran. Pendidikan yang ditempuhnya antara lain: Ilmu Politik (Jurnalisme dan komunikasi), Universitas Gadjah Mada, 1965; Matrise: Economic Developement of l'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (l'EHESS, Sorbonne), Paris, Perancis; M A in Anthropology of l'EHESS (Paris, Perancis); Ph.D. in history of l'EHESS (Paris, Perancis); dan International Law (Diplomacy) of New South Wales University, Sydney (Australia) selain menyelesaikan akademi militer di China dan Vietnam. Pengetahuannya yang tentunya sungguh luar biasa itu juga berdampak pada produktivitas karyanya, yang lebih menekankan pada pemberdayaan Suku Dayak dan kaum pergerakan.

Selain masih mengelola restoran Indonesia di Paris yang sudah berlangsung hampir 30 tahun, Kusni membangun LSM-LSM di Indonesia, termasuk di Kalteng. Dia pun menjadi pembicara di forum-forum lokal, nasional, dan internasional serta universitas-universitas berbagai negeri. Ia mendirikan majalah ilmiah populer "Kancah" di Paris (berlangsung lebih dari 18 tahun) dan beberapa penerbitan di luar negeri. Ia pun menjadi koresponden luar negeri, beberapa harian nasional dan lokal Indonesia.

Bagi Kusni, Dayak adalah etnik yang bermutu, seperti dijelaskannya bahwa etnik yang ada di Indonesia dari 230 juta penduduk tidak sampai 10%, tapi mereka (Dayak) ada di semua sektor ekonomi dan pendidikan.

"Jadi, bagi saya bermutu itu artinya mempunyai kualitas dan kemampuan menanggapi zamannya. Kuncinya untuk menjadi bermutu adalah pendidikan, contohnya Tionghoa. Sehinggga tidak ada yang melihat mereka dari sebelah mata karena mereka mampu mempunyai kekuatan rill di bidang ekonomi dan pemikiran. Jadi bermutu artinya mempunyai kemampuan dan kemitraan manusiawi dari tanahnya, mempunyai kemampuan dan keterampilan tinggi," ujar Kusni yang katanya tahun ini dia masih mempunyai utang menerbitkan 6 buku, sedangkan 4 buku barunya telah terbit.

Bagaimana pemberdayaan Dayak untuk ke depannya di era Indonesia saat ini, dengan rendah hati dan memotivasi Kusni memetaforakan harapannya untuk Dayak saat ini, "Saya punya napas dengan menghirup udara Indonesia, meminum air Indonesia. Patokan saya begini seperti dalam budaya Dayak saya mengatakan: berdiri di kampung halaman, memandang Tanah Air, merangkul Bumi, semestinya itulah menjadi anak dayak, tidak bertentangan menjadi anak Indonesia sama sekali dan tidak bertentangan menjadi anak manusia," katanya.

Kusni menambahkan, "Jadi kalau kita berbicara lokal, sebenarnya lokal ini mempunyai nilai universal, menepuk air didulang terpecik muka sendiri. Ini kan dialektik, hukum sebab akibat, ini ungkapan yang lokal tapi memiliki nilai universal dan menjadi Dayak adalah kemerdekaan saya," kata Kusni yang tidak diragukan lagi rasa cintanya pada Tanah Air dan Tanah Borneo, Tanah Dayak.

rselvia@jurnas.com

***

Buah Pikir JJ Kusni

Beberapa buah pikiran Kusni yang telah diterbitkan antara lain:

Budaya Dayak: Permasalahan dan Alternatifnya (Bayumedia, Malang, 2011);

Senjata Tradisional & Pakaian Adat Dayak Kalteng (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, 2011);

Negara Etnik: Beberapa Gagasan Tentang Pemberdayaan Dan Pembangunan Masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah (Fuspad, Yogyakarta: 2002);

Dayak Membangun: Masalah Etnik dan Pembangunan Kasus Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah (PT Paragon, Jakarta: 1994);

Sanjak dan Bunga (Yogyakarta: 1959);

Indonesian Progresive Poem (Jajasan Pembaruan, Jakarta: 1962);

Karungut Jata Sansana Tingang (PT Paragon Jakarta: 1994),

Sansana Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan (ISDM, Culemborg: 2000);

Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil (Amanah Lontar Jakarta dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia, Amsterdam: 2002);

Membela Harkat dan Martabat Diri dan Indonesia. Koperasi Restoran Indonesia di Paris (Ombak, Yogyakarta 2005)

dan tidak terhitung karya lainnya baik dalam bentuk naskah drama yang sudah seringkali dipentaskan, maupun dalam bentuk puisi. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 10 Maret 2013

No comments: