Sunday, March 31, 2013

Mengintip Dari Jendela Zaman Ini

-- Griven H Putra

SAAT ini, semakin hari rajutan kata yang jadi puisi di gelanggang sastra kita seolah kian gaib perisa. Setiap kata yang ditenun selalu saja serupa pawai kata-kata nan kering makna. Atau terkadang, sastrawan asyik-masyuk dengan bangunan ide-ide yang kemarau pengucapan atau juga sebaliknya.

Di sebagian media, karya sastra kini hanya seolah daftar hadir bagi para siswa di kelas. Ia ada karena harus ada dan terpaksa ada, bukan ada karena suatu hajat yang besar atau pesan agung sebagai media pencerahan akal budi, akal rasa atau perisa batin yang diadun dan disyiarkan melalui kata-kata nan mengandung makna sublim yang ihwalnya memang terbatas di samudera diri, dan jatinya ia menjadi bahasa dan suara lain dari ‘Tuhan’. Akibatnya amat sering didengar ungkapan dari beberapa penyair kini, bahwa tersebab bukan ingin menjadi Tuhanlah maka karya puisi dibuat panjang, tak tentu arah dengan cara yang bertele-tele tersebut.

Padahal, bukankah fungsi sebuah karya sastra adalah ‘menyambung’ firman Tuhan, yang terkadang memang pendek, rumit dipahami, dalam (dignity), penuh makna dan pesan suci yang tafsirnya aneka ragam di langit diri manusia nan penuh misteri? Bukankah manusia itu adalah puisi Tuhan yang paling elok, simpel, indah dan lengkap serta multi tafsir maknanya? Dan sampai kini, bukankah semua pemikir dan filosof juga masih ragu mendefinisikan secara sempurna siapa manusia itu sebenarnya? Ya, karena manusia adalah puisi besar yang dihajatkan bukan untuk didefinisikan dan dibuat bertele-tele.

Fenomena puisi ‘tele’ ini tidak saja wujud di Indonesia tapi juga merambah di beberapa negeri Melayu yang lain. Tapi sebagai sebuah petualangan dan penuturan batin melalui media kata, maka karya-karya sastra, utamanya puisi yang terdedah di tengah khalayak kini masih padan dan patut untuk dipertimbangkan menjadi bacaan sambil bergolek-gelempang di katil tamadun kita yang memang sudah remuk. Sebab, karya dalam apa pun bentuknya tentulah sebuah media yang berhajat untuk berdialog dengan ihwal yang terjadi kini atau potret dari masa lalu dan masa depan yang senantiasa tiada lazim.

Ketiadaan lazim memandang cermin retak itulah agaknya yang menjadi bagian dari menyembul, eksis dan pentingnya karya sastra. Jika segala sesuatu ditulis dan disajikan dalam bentuk-bentuk lazim, maka apa lagi perbedaan karya sastra dengan berita, pamflet atau slogan-slogan politik yang berserak di sepanjang jalan dan di laman media cetak, elektronik? Akan tetapi jangan pula beraneh-aneh tapi tak ada gunanya (sekadar berbeda saja). Banyak sekali karya-karya sederhana menjadi besar bahkan membukit derajatnya karena kesederhanaannya tersebut, lihatlah puisi-puisi Sapardi Joko Damono dan sebagian puisi Joko Pinurbo dan Taufik Ismail. Walaupun dipahami juga bahwa karya sastra itu memang luas cakupannya, namun ianya sastra agaknya adalah sesuatu yang mengandung yang lain (the other), yang indah, yang dalam, yang sublim, yang bermakna, yang multi tafsir dan yang macam-macam adanya.

From the Window of This Epoch (Dari Jendela Zaman Ini) diambil dari judul puisi Jair Sulai, dan buku ini merupakan antologi puisi 73 penyair Malaysia dan Singapura yang juga sedikit mengandung yang lain itu (the other).

Shamsuddin Othman menjadi pengantar antologi ini. Menurutnya, antologi ini tetap merupakan pemikiran dan suara dari wadah generasi dua negara, berupa proses  kesinambungan  suara resah, gelisah dan protes  terhadap kemelut kehidupan masyarakat yang diasak arus gelombang modernisasi global. Di dalamnya, terang benar kritik terhadap tindak laku korup, ketak-adilan sosial dan politik serta penghianatan terhadap bahasa dan kebangsaan atau bahasa Melayu di dua negara tersebut.

Apa yang disampaikan Samsuddin itu memang bisa dilihat dari beberapa puisi yang ditulis oleh Arif Mohamad seperti ini: they ask who  owns the story of Hang Jebat/nobody answer/because the reflay has never been penned/exept engraved in the heart has died/but sadly the owner of that heart has died // I seek Hang Jebat as a symbol/ as an alama mater of my race being exposed/and evicted... (“I Seek Hang Jebat”). Atau dalam puisi Mohamed Lathif Mohamed yang berjudul “Fire”. Give your little one fire/give him not the whiteness of milk/ nor the pureness of rice/then they will mock the traditions/afraid to face reality//...... therefore give your off spring embers/don’t allow them to embrace the gardenias/let the heat be felt/only then they undrstand/the meaning of nationalism.

Bisa juga ditengok dari puisi Na Vee Sathyamurthi  yang berjudul “The Chair”, ... all the chairs are in vain/except for the chair/ bought from the firts month pension money/on which he was now seated. Atau dalam puisi Nor Usman Abdul Majid yang berjudul “The Sonnet of The Abandoned Child” di halaman 245; today I am an abandoned child without an once of willingness/by a heart as such whose pity shrinks by the adge of the road/fear not then when the dead wake at night/slaying each sleeping body in the pit of thieves// Tomorrow: may my corpse become dust sprinkled over the cemetery/my burning soul demand to attend the retribution! Hal yang sama juga terlihat dalam puisi Ridzuan Harun, “Nadim’s Lament.

Ada juga puisi sederhana yang teduh ditulis oleh Noridah Kamari: Andai aku kuda Semberani/ akan kubawa engkau menjelajah sumbu pelangi/ di mana kegelapan dan bayang-bayang)/ diwarnai tujuh cahaya/ kau tak perlu menggigil ketakutan lagi/hantu-hantumu telah lama mati dipanah sinar gemilang)// Andai aku pergata dilayar/ akan kuhanyutkanmu ke ujung dunia/ di mana ikan-ikan melompat riang berderai tawa/ dan duyung-duyung mendendangkan lagu ceria/ kau tak perlu menahan ombak sengsara lagi/ lautan sudah hilang punca untuk turut berang di hati// Andai aku seekor walimana/ akan kuterbangkanmu ke taman nan indah/ di mana bunga-bunga kembang di tangkai/ dan kumbang-kumbang kekenyangan madu/ sentiasa melimpah ruah/ kau tak perlu mengurut bisa di kaki lagi/ duri-duri sudah lama tumpul dipancung tanjaknya// Sayangnya aku seorang manusia/ hanya mampu menghulurkanmu secebis harapan/ bahawa suratan ada neracanya/ pahit dan manis ada gilirannya.

Nassury Ibrahim yang terkenal berpuisi pendek, padat dan kuat selama ini tampaknya sedikit berubah dalam buku ini. Puisinya yang berjudul “Tanah Ini Merinduimu”  dan “Tugu Suara” tak seperti puisi-puisi terdahulunya yang terangkum dalam kumpulan puisi Di Rumah Wiramal. Puisi Nassury yang terangkum dalam Di Rumah Wiramal, keluar dan lain (the other) dari irama dan corak puisi penyair Malaysia kebanyakan. Kata yang dipakai hemat, makna yang dilaungkan sangat beragam dan luas seolah tiada tepi. Di Rumah Wiramal itu tampak sekali, bahwa Nassury Ibrahim seorang pemberontak cerdas yang terbungkam oleh kekuasaan yang kelam. Ia seperti burung muda yang terkurung di sangkar istana. Kicaunya menjadi pijar api yang seperti bintang-bintang di kejauhan.  

Dalam antologi puisi sekali ini Shamsuddin Othman menyertakan dua puisi yang berjudul “Sekuntum Mawar di Jambangan Syawal” dan puisi “Tanah Nurani”. Satu puisi gelegak seperti yang dilaung dan disergahkan Shamsuddin selama ini. Satu puisi lagi berupa lena munajat seorang renta kepada Yang Kuasa. Dalam “Sekuntum Mawar di Jambangan Syawal”, Syamsuddin menutup puisinya dengan cukup memesona:

sekuntum mawar di jambangan syawal
jika kau duri akulah tajamnya
jika kau cinta akulah rindunya.

Melalui antologi ini, tampaknya penyair perempuan dari dua negara itu mulai bangkit, ini bisa dilihat dari puisi-puisi Siti Raihani Mohamed Saaid, Noridah Kamari, Khairunnasriah Abdul Salam. Selain itu, ada juga puisi Xnier dan Yeng Pway Ngon dari Singapura yang ‘aneh’ dan ganjil dari kebiasaan penyair Singapura dan Malaysia selama ini. Kehadiran Siti Raihani Mohamed Saaid, Noridah Kamari, Khairunnasriah Abdul Salam, Xnier dan Yeng Pway Ngon kelihatannya bakal jadi penanda babak baru kemajuan sastra Singapura dan Malaysia. Ke depan, publik sastra menunggu kehadiran puisi-puisi mereka.

Antologi setebal 471 halaman ini sanggam dibaca oleh kalangan manapun karena di dalamnya menggambarkan pengembaraan rasa para penyair Malaysia dan Singapura dewasa ini. Yang khas dari itu semua, bahwa puisi yang terdedah di sini banyak melaungkan pemberontakan secara sembunyi-sembunyi. Tapi tak jarang juga secara terang-terangan. Dan kelihatannya, kebanyakan puisi di sini memang seperti ngiau anak kucing di musim penghujan, yang menunggu badai entah bila akan berakhir dan sang induk pun entah bila pula kan pulang menyusukan. Selain itu, saya kira, sebagian puisi di sini merupakan suara ‘Tuhan’ yang dilaungkan dengan nada bunyi yang sengau.

Tulisan ini rasanya hanya catatan yang merupakan pandangan subyektifitas dari seorang pembaca yang sangat terbata-bata dan terpatah-patah mengeja penyelaman 73 orang pengelana batin diri di dua negara semenanjung itu. Dan tentu saja, ini hanya berupa sketsa pantulan dari sebuah cermin yang kusau.

Dari Jendela Zaman Ini
Dari Jendela zaman ini/kulihat di kota bahagia itu/penghuninya sedang tekun menenun/benang-benang air mata/sementara di daerah sepi itu/penghuninya sedang tekun mengutip/persik-persik sinar/lalu kudengar keluh kesah. n

Griven H Putra, dikenal sebagai cerpenis dan novelis Riau. Karyanya banyak dimuat di berbagai media massa, baik cerpen maupun esai. Bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Maret 2013

No comments: