Saturday, March 29, 2008

Kritik Sastra: Tiga Pertanyaan untuk Yeni

-- Yopi Setia Umbara*

MENARIK membaca tulisan Yeni Mulyani (YM) yang berjudul "Kritik Sastra Rasa Bandung" di "Khazanah" Pikiran Rakyat (Sabtu, 15 Maret 2008). Saya tergelitik untuk urun rembug. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan saya terhadap tulisan YM. Pertama, apakah tema tulisan tersebut memang berpusat pada kritik sastra rasa Bandung? Kedua, apakah tulisan tersebut justru bertema kritik sastra rasa kritikus Bandung? Dan ketiga, apakah temanya tentang kritik sastra rasa koran Bandung ("PR")?

Sebelum membahas beberapa pertanyaan tersebut ada baiknya kembali sedikit berbicara mengenai kritik sastra. Dalam sastra Inggris abad ketujuh, istilah critic digunakan untuk orang yang melakukan kritik maupun untuk perbuatan sendiri. John Dryden pertama kali menggunakan istilah criticism (1677) dan istilah criticism menjadi lebih kokoh daripada istilah critic setelah terbitnya buku John Dennis, The Grounds of Criticism in Poetry (1711). Kritik sastra lantas tumbuh dan berkembang menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan dan pengajaran sastra.

Di Indonesia, dalam Kritik Sastra (Attar Semi: 1985), pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan Indonesia memperoleh atau mendapat pendidikan di negara Barat sekitar abad kedua puluh.

Hari ini sering kita temukan kritik sastra di media massa, terutama koran. Sebagai media massa, koran tentu saja berusaha untuk objektif dalam menyampaikan berita terhadap publik. Pada posisi demikian, koran disebut egaliter. Begitu pula dengan pembaca. Oleh karena itu, tulisan atau kritik sastra koran akan berbeda dengan kritik sastra dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Kritik sastra akademis sebagai bentuk kajian komprehensif yang bersifat formal disampaikan di lingkungan akademis untuk kepentingan perkembangan dunia akademis. Apakah hasil penelitian itu nantinya diterapkan untuk dunia pendidikan dan atau untuk kemudian dipublikasikan kepada publik dalam bentuk yang lain, buku misalnya. Oleh karena itu, bila YM gelisah dengan kritik sastra koran yang berbeda dengan kritik sastra akademis adalah wajar. Sebab ruangnya berbeda, ruang dalam hal ini adalah ruang pembaca.

Jika YM mengacu pada model pendekatan Abrams lantas mencoba menguraikan mengenai kritik sastra di koran, sesungguhnya itu baru sedikit dari berbagai metode yang dikehendaki oleh kritikus. Mengingat ruang koran yang terbatas untuk kritik sastra, mungkin hanya cukup untuk 9.000-12.000 karakter maka setiap penulis yang melakukan kritik terhadap karya sastra berusaha semaksimal mungkin menyampaikan gagasannya pada ruang koran seobjektif mungkin.

Sebagai pembaca yang egaliter, saya memaklumi asumsi YM mengenai kritik sastra di Bandung (di PR) sebagai sebatas kegelisahan seorang pengamat yang belum selesai membaca berbagai teori sastra dan mungkin juga kurang bergaul dengan kiritik sastra koran. Apalagi, jika kita merujuk data kasus yang disampaikan YM yang tidak dilengkapi edisi tanggal pemuatan dan nama penulisnya. Hal tersebut telah mengesankan saya pada kekuatan intuisi YM yang hebat.

Menilik kritik sastra koran yang berbeda dengan kritik akademis sesungguhnya hanya pada persoalan wilayah. Namun demikian, bukan berarti kritik sastra koran boleh asal tulis karena kritik sastra koran pun tetap harus ilmiah (bukan akademis). Ilmiah sebagai kata sifat berbeda makna dengan kata sifat akademis. Maka, seharusnya YM bisa mendudukan dua perkara yang berbeda tersebut pada posisinya masing-masing, bukan malah menjustifikasi kasus berdasarkan asumsi yang dangkal dan tidak ditunjang dengan data dan fakta yang akurat. Sebab, akibatnya dapat menimbulkan distorsi informasi pada masyarakat.

Secara pragmatis, kritik sastra koran ditulis seorang kritikus untuk mengkaji teks dan konteks yang tersirat dalam sebuah karya sastra, lantas ditransformasikan kepada masyarakat sebagai sebentuk ulasan atas pembacaan kritis terhadap objek yang dikritiknya. Tentunya, untuk mencapai sebuah tesis kritis terlebih dahulu digunakan metode yang baku, yaitu kajian struktural dan untuk menganalisis lebih dalam setiap struktur konstruksi karya sastra maka digunakan pisau-pisau kajian.

Dalam teori sastra ada yang disebut sosiologi sastra, semiotika, stilistika, hermeneutika, dan resepsi (Terry Eagleton: 1996). Dan pisau-pisau kajian tersebut penerapannya disesuaikan dengan objek kajian dan tujuan kritikus dalam membedah karya sastra. Akan tetapi, konstruksi kritik yang sangat detail hanya bisa kita temukan dalam karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi di lemari perpustakaan universitas jurusan sastra.

Suatu kritik sastra tidak ditulis dengan memisahkan antara teori dan penerapannya. Lain halnya dengan kajian ilmiah yang membutuhkan landasan teori sebagai dasar kajian karya tulis ilmiah pada bab yang terpisah. Meski demikian, pada penerapannya teori-teori tersebut diaplikasikan sesuai dengan metode dan fungsinya sehingga memberikan kejelasan dan kemudahan pada kajian yang dilakukan.

Sementara hari ini, kritik sastra koran lebih mengutamakan efektivitas dan keluwesan bentuk supaya bisa dibaca masyarakat dari berbagai kalangan. Bukan berarti pula bahwa kritik sastra koran hanya sebatas potongan-potongan kajian yang dipublikasikan kepada masyarakat. Saya sendiri membaca "PR" yang menyajikan kritik sastra setiap pekan dalam kolom "Khazanah" mengacu pada konsep umum seperti media massa yang lain. Di mana kritik sastra koran sebagai semacam ulasan dari opini dan argumentasi kritis atas pembacaan terhadap karya sastra.

Kritikus sastra sendiri sesungguhnya tidak terbatas dari mana dia berasal. Tidak peduli dia berasal dari lingkungan akademis atau jalanan sekalipun, apabila dia mampu melakukan kritik terhadap karya sastra berarti dia telah membaca karya yang dikritiknya. Setiap kritik sastra yang ditulis di media massa pasti berlandaskan pada pijakan yang jelas. Dengan kata lain, jelas objek dan metodenya serta didukung referensi yang dapat menguatkan argumentasi penulisnya (setiap penulis tentu sudah paham hal ini).

Kritikus sastra selama ini memang kebanyakan berasal dari lingkungan akademis, sastrawan, jurnalis, dan budayawan. Jarang sekali masyarakat umum menulis kritik sastra. Hal demikian mungkin disebabkan oleh kultur dan kemampuan dalam membaca. Apalagi, jika kita merujuk pada fenomena budaya membaca masyarakat kita yang rendah.

Dalam dunia sastra di Jawa Barat dan Bandung khususnya, barangkali kita tidak banyak mengenal para penulis kritik sastra yang berasal dari luar lingkungan seperti yang telah disebutkan tadi. Kita mungkin telah sangat akrab dengan nama-nama seperti Jakob Sumardjo, Wilson Nadeak, serta Saini KM yang sering menulis kritik sastra.

Kebetulan nama-nama yang disebut adalah yang senior dalam dunia sastra Bandung, bukan berarti mengecilkan para kritikus sastra lainnya. Namun, tiga nama tersebut cukup punya pengaruh dan dihormati dalam perkembangan kesusastraan bukan hanya di Bandung. Maka, apabila YM mau bicara kritik sastra rasa Bandung wajib menyebut kritik sastra karya tiga orang tersebut. Apalagi, bila mengingat keterlibatan tiga nama tersebut dalam kesustaraan Indonesia yang telah lebih dari dua dekade. Artinya, kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi.

YM memang menyebut Jakob Sumardjo dalam tulisannya di "Khazanah" pekan kemarin, tapi melupakan Wilson Nadeak dan Saini KM. Selain dikenal sebagai sastrawan, dua nama terakhir pernah menjadi pengasuh rubrik sastra koran. Wilson Nadeak pernah menjadi pengasuh rubrik di "PR" dan juga sering menulis kritik di berbagai media massa nasional. Dan Saini KM telah membimbing penyair seperti Acep Zamzam Noor, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, dan lainnya dengan ulasan-ulasannya di rubrik "Pertemuan Kecil" "PR". Kritik sastra rasa Bandung akan terasa pédo jika komposisinya komplet.

Sayangnya, fenomena kritik terhadap karya sastra seperti yang sering kali dilakukan ketiga begawan sastra Bandung tersebut, hari ini jarang sekali tampil di koran, bahkan di "PR". Entah karena karya-karya yang tampil di media massa atau yang terbit dalam bentuk buku tidak layak untuk dikritik atau justru karya sastra hari ini memang jarang dibaca.

Kritik sastra yang ramai hari ini malah lebih banyak berbicara perkara wacana dan isu politik sastra yang ruwet. Hal demikian menyebabkan kurang terpantaunya kemunculan karya-karya sastra dan para pendatang baru (penyair dan prosais) dalam dunia sastra Bandung. Oleh karena itu, apabila YM lebih jauh memperhatikan perkembangan kritik sastra di Bandung maka rasanya adalah hambar.

Kembali pada pertanyaan saya terhadap YM, pertama, apa kritik sastra rasa Bandung tersebut? Apabila YM bicara soal rasa sesusungguhnya agak sulit mendefiniskan asumsi tersebut. Apakah harus dilihat dari domosili si kritikus atau dari cara pandang kritikus dalam mengkritik karya sastra dengan cara Bandung.

Sebab, walau bagaimanapun kritik sastra sebagai sebuah karya yang ilmiah akan berlandaskan pada teori-teori baku dalam ilmu kesusastraan. Kecuali memang telah ada teori kritik dengan parameter rasa Bandung. Akan tetapi, adakah parameter tersebut? Sejauh yang saya amati, belum ada teori seperti demikian. Maka, pernyataan YM tersebut menjadi kabur maknanya.

Kedua, apakah kritik sastra rasa kritikus Bandung? Jika tema tulisan YM memang demikian, lalu apa bedanya dengan kritikus asal Padang atau Jakarta misalnya yang menilai karya sastra. Oleh karena landasan kritikus adalah teori ilmu kesusastraan maka metodenya tidak akan berbeda, kecuali retorika dalam menyampaikan pembacaan kritisnya, dan hal tersebut masih sangat umum. Dan apakah harus disesuaikan dengan selera kritikus Bandung? Saya kira hal demikian tidak mungkin.

Sebab, karya sastra berbeda dengan kuliner. Jika dalam kuliner lidah bisa menentukan rasa karena kebiasaan yang dilakukan dengan cara makan dan makanan yang dikonsumsi. Misalnya, orang sunda akan merasa pedas bila makan masakan padang atau agak manis ketika makan masakan jawa. Sementara menilai karya sastra bukan hanya dengan "lidah", namun juga menggunakan konvensi logika yang rasional. Karena jika memaksakan unsur-unsur lokal pada hal yang universal bisa menyebabkan terjadinya primordialisme atau chauvinisme.

Ketiga, kritik sastra rasa korang Bandung ("PR")? Mengenai pertanyaan terakhir ini seperti yang telah saya singgung, "PR" selama ini menyajikan kritik sastra tidak jauh berbeda dengan konvensi media-media massa lainnya. "PR" menyajikan kritik dalam bentuk ulasan penilaian terhadap karya sastra, seperti yang dilakukan oleh Mona Sylviana terhadap novel Hubbu karya Mashuri ("Dunia Hubbu yang Serius", Sabtu, 5 Januari 2008), misalnya.

Kalau mau yang agak berbeda adalah pada masa Saini KM yang sangat signifikan dengan ulasan karya di "Pertemuan Kecil", tapi itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sementara hari ini kritik sastra di koran Bandung ("PR") rasanya tidak berbeda dengan koran-koran yang lain. Oleh karena itu, tulisan YM "Kritik Sastra Rasa Bandung" sesungguhnya tidak terasa rasa Bandungnya.***

* Yopi Setia Umbara, Penggiat ASAS dan Jurnal Sastra DerAS.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Maret 2008

No comments: