Sunday, October 13, 2013

[Tifa] Batu-Batu Berjiwa

PEREMPUAN berparas ayu sedang memegang cermin. Ia menatap paras wajahnya sambil berdiri ala seorang peragawati. Tubuh semampai dan payudara tak tertutup memang sengaja dihadirkan pelukis Mas Padhik.

NISKALA CINTA: Pengunjung memperhatikan sebuah lukisan-lukisan karya
Mas Padhik, lulusan STSRI/ASRI Jogja, pada pameran tunggalnya bertajuk
"Niskala Cinta", di Galeri Cipta 3, TIM, Senin (7/10). Pameran ini akan
berlangsung hingga 13 Oktober 2013. ANTARA FOTO/Dodo Karundeng
Sambil berdiri, si objek perempuan pun menggunakan sepatu berhak tinggi (heels) merah. Sebuah sentuhan sensualitas membuat karya sedikit mencuri perhatian pengunjung.

Di atas objek perempuan itu, ada sebuah jam analog, menunjukkan tepat pukul lima subuh. Seekor ayam jantan sedang berkokok menandakan hari menjelang pagi.

Gambaran itu terlihat jelas pada karya lukis Roro Jongrang (93x210 cm) yang dipamerkan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4-13 Oktober. Padhik mencoba untuk menuangkan sebuah legenda di atas karyanya.

Pada pameran bertajuk Niskala Cinta itu, ada sebuah gaya yang masih ia pertahankan. Terutama, gaya arca dan bebatuan yang terposkan di atas kanvas. Sebagai latar belakang pematung, memang Padhik tak menghiraukan aliran dalam gayanya.

“Ini berbicara tentang legenda. Saya angkat kembali dengan sentuhan kekinian. Objek perempuan memang menjadi misteri di sini,” ujar Padhik di sela-sela pameran, awal pekan ini.

Tema pada pameran Padhik cukup khas. Ada postulat riil; secara tematik maupun narasi, serta gambar-gambar yang dihadirkan memang berakar pada visualisasi akan batu atau arca.

Lalu, ada postulat kosmologis; ruang lingkup sosial, pandangan mengenai kemanusiaan, etika interaksi, dan gagasan kebaikan, yang secara implisit melumuri hampir semua prinsip-prinsip yang tampak dari rongga ekstrinsik karya Padhik.

Situs

Ada yang menarik pada pemeran tunggal Padhik itu. Dia menyulap galeri menjadi semacam sebuah situs bersejarah. Di pintu masuk hingga bagian dalam terlihat relief-relief. Membawa pengunjung untuk masuk ke sebuah candi atau tempat suci agama bumi.

Karya Roro Jongrang pun mengingatkan kita pada Arca Durga Mahisashuramardini dalam ruang utara candi Siwa Prambanan yang dipercaya sebagai perwujudan Putri Rara Jonggrang (Roro Jongrang). Sebuah karya yang terkesan monumental. Meski secara nyata hanya dua dimensi saja.

Karya lain yang ia pamerkan, di antaranya Catatan Sejarah (150x200 cm), Buddha (95x105 cm), Upeti Sang Raja (110x110 cm), hingga Membaca Tanda-Tanda (110x110 cm).

Tema perempuan masih menjadi daya tarik Padhik dalam menuangkan imajinasi yang kuat. Tengok saja pada karya lainnya, Putri Puspa Indah (100x150 cm) yang begitu sinergis. Seorang putri sedang memegang empat tangkai bunga matahari.

Sambil memegang, bunga-bunga itu seakan hendak ia gunakan sebagai sebuah ritus. Kain sutra tembus pandang pun semakin memunculkan sensual dari objek. Namun, Padhik mencoba untuk tak menghadirkan sebuah pornografi. Ada seni tinggi dalam karya itu sehingga menjadikan objek semakin penuh keagungan.

Di belakang objek kepala perempuan, ada sebuah lingkaran yang melambangkan sebuah ‘matahari’. Vukar Lodak dalam catatan kuratorial meng­ungkapkan tentang Padhik yang cukup kuat berbicara tentang tema cinta dalam pameran tunggalnya itu.

“Padhik mampu menghadirkan ikonografi relief-relief dan arca-arca candi di atas kanvas. Ada simbol tentang cinta terhadap sesama manusia,” katanya.

Memang, sebagai pelukis, Padhik mampu menghadirkan 17 karya lukis dalam pameran itu. Namun, ada yang menjadi semacam ketidakmampuan atau ketidakpercayaan diri.

Itu terlihat dengan adanya beberapa tulisan tangan dari para budayawan hingga sutradara film yang dibingkai menjadi semacam ‘karya’ dan dipajang di ruangan pameran.

Terlepas dari ke­seriusan dan ketekunan bermain di ranah bebatuan dan arca, karya-karya Padhik lainnya masih terasa datar. Tidak begitu menunjukkan ada sebuah letupan atau kehebohan dalam gaya-gaya baru di pameran itu.

Hampir semua karya masih sama seperti pada pameran tunggalnya pada 2008 di Jakarta silam. Kendati demikian, Padhik dengan idealismenya mampu menjaga ritme dan karakter.

Terutama mengha­dirkan jiwa-jiwa batu di atas lembar­an kanvas. Tentu saja, Padhik memiliki nilai-nilai akan sejarah dan peradaban yang ia bangun sendiri lewat setiap lembar­an kanvas. (Iwan Kurniawan/M-2)
     
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013 

[Jendela Buku] Dari Sabda Palon hingga Luka Batin

-- Iwan Kurniawan 

LATAR belakang sejarah masih menjadi tema yang kuat untuk dituangkan dalam novel. Penggunaan metode dan pendekatan literatur memang patut diperhatikan sastrawan dalam menum­pahkan ide dan tema dalam bukunya.

Di satu semester pertama di tahun ini, banyak novel yang bermunculan ke publik. Namun, hanya segelintir yang menjadi perbincangan di kalangan akademisi hingga sastrawan. Semua buku memang memiliki kelebihan dan kekurangan.

Dua buku yang sudah dilempar ke publik, di antaranya Sabda Paloh Geger Majapahit karya Damar Shashangka dan Luka Batin: Yang Tersisa karya Fanny J Poyk. Buku-buku tersebut menjadi bacaan yang unik. Ada tema sejarah yang menjadi titik konsentrasi hingga ada tema psikologi sastra yang menjadi tameng sebagai gula-gula dalam novel.

Seorang sahabat penikmat sastra yang sedang berada di Jerman mengaku perkembangan buku di sana cukup me­lejit. Buku-buku yang di­terbitkan oleh penerbit kecil ternyata memiliki kualitas yang tak kalah dengan penerbit besar. “Intinya, bukan se­berapa besar toko yang menampung. Namun, novel itu harus mampu diperbincangkan di komunitas-monunitas,” ujar Hanna dalam sebuah per­binca­ngan, pekan lalu.

Memang, karya Damar dan Fany tidak seperti buku lain yang diterbitkan penerbit ternama. Sabda Palon diterbitkan Penerbit Dolphin (Jakarta) dan Luka Batin diterbitkan Q Publisher (Depok). Tentu sangat menarik karena lewat proses kreatif, dua no­velis ini bisa menunjukkan sebuah karya berbeda yang dapat menjadi referensi dalam kesusastraan di Tanah Air. Kendati demikian, karya fiksi sangat minim untuk dijadikan sebagai data primer untuk menunjukkan kebenaran suatu massa. Terutama, sejarah.

Plot Luka Batin, misalnya, memang sangat sederhana. Fanny mengambil latar belakang di Bali karena di sana­lah ia menghabiskan masa kecilnya. Tokoh Made Liani dan I Nyoman Sumerta menjadi titik sentral dalam novel setebal 163 halaman itu.

Magnet

Berkaca pada sastra dunia, tak hanya novelis Indonesia yang menjadikan latar belakang kedaerahan kita untuk menjadikan setingan tempat perjalanan mereka. Sebelumnya, Christopher Kock, novelis asal Hobart, Tasmania, pernah menjelajahi sebagian besar provinsi di Indonesia un­tuk dituangkan sebagai pe­manis dalam novelnya The Year of Living Dangerously (Vintage, Australia, 1998).

Lewat petualangan itulah, ia mampu menangkap ber­bagai khazanah budaya yang ada sehingga ia bumbui dalam novel setebal 296 halaman itu. Namun, Kock lebih fokus pada kehidupan masyarakat petani, terutama yang disebut Marhaen(isme).

Novel-novel berlatar belakang sejarah memang menjadi sangat unik untuk dikaji secara ilmiah. Dalam banyak perbincangan hingga kajian para kritikus hingga pemerhati sastra menilai bahwa no­vel Pramoedya Ananta Toer (alm) seperti Arok Dedes, Percikan Revolusi Subuh, Tetralo­gi Buru, Di Tepi Kali Bekasi hingga Jalan Raya Pos Jalan Daendels menjadi bukti kuat.

Pram, sapaan Pramoedya, terbukti sebagai seorang saksi sejarah hingga ‘sejarawan’ pa­da masanya. Ia andal dalam me­nawarkan cara pandang kri­tis di dalam menggambar­kan latar belakang novel-no­velnya.

Terlepas dari latar belakang sejarah yang diracik para pendahulu, novel Sabda Palon masih minim dalam penggambaran konflik. Terutama, pada Bab ke-11 (Surutnya Sang Naga) dan Bab ke-14 (Mataram Membara). Persoalan tentang Raden Kertawijaya yang dinobatkan sebagai raja Majapahit mengganti Ra­ni Suhiti juga masih minim data-data sejarah sehingga tak membuat novel ini terasa bergeming.

Jika dibandingkan dengan karya Pincalang karya nove­lis Idris Pasaribu (Salsabila: Jakarta, 2012), nilai tradisi dan sejarah dalam Pincalang masih terasa lebih kuat. Idris mampu menghadirkan kehidupan manusia laut yang tersebar di pesisir pantai uta­ra Sumatra dengan terperinci dan tidak membosankan.

Sementara, Luka Batin yang mampu menunjukkan sebuah perjuangan seorang tokoh I Nyoman Sumerta dalam mengarungi rumah tangga secara apik. Ada tradisi pernikahan ala Bali hingga permainan psikologi pada tokoh-tokoh yang diciptakan Fanny. Penuh imajinasi dan permainan hati.

“Tema-tema, baik sejarah maupun psikologi sastra memang menjadi pilihan kebanyakan penulis. Namun, saya melihat psikologis sastra yang masih minim diangkat penulis Indonesia,” nilai Fanny dalam sebuah pembicaraan.

Novel bertema sejarah hing­ga psikologi sastra memang masih menjadi pilihan bagi para pecinta sastra, umumnya dan novel khususnya, di Indonesia. Novel-novel itu te­lah lahir dan beredar di pu­blik. Alamlah yang akan me­nyeleksi. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013 

[Jendela Buku] Blue Economy Memaksimalkan Potensi Laut

SEBUAH buku mengenai konsep pengelolaan sektor kelautan bertajuk Our Blue Economy: An Odyssey to Prosperity di Forum APEC Bali 2013.

Melalui buku, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo mengatakan berbagai macam informasi dan potensi kelautan di Indonesia, termasuk bagaimana strategi pengelolaan sektor kelautan yang tepat dan dapat memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan rakyat.

“Buku ini memberikan gambaran kepada kita betapa besar potensi kelautan Indonesia dan bagaimana konsep blue economy menjadi sangat relevan untuk di­terapkan. Saya berharap buku ini dapat menjadi referensi bagi upaya pengembangan dan pengelolaan potensi kelautan Indonesia,” jelas Sharif pada acara Book Launch & Business Networking Kementerian Kelautan dan Perikanan di Nusa Dua, Bali, Sabtu (5/10) lalu.

Sebagai negara kepulauan dengan 17.499 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 104.000 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, potensi kelautan sangat besar.

Diperkirakan, potensi ekonomi di sektor kelautan, baik yang berhubungan dengan sumber daya alam maupun pelayanan maritim nilainya mencapai lebih dari US$1,2 triliun per tahun. Dengan potensi kelautan yang demikian besar, kontribusi sektor kelautan produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 22%.

Saat ini dan di masa depan sektor kelautan dan perikanan semakin memiliki peran strategis dalam memperkuat keta­hanan pangan dan mendorong perekonomian Indonesia. Buktinya, sejak strategi industrialisasi perikanan mulai dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011, produktivitas di sektor ini terus meningkat.

Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal II -2013 sektor kelautan dan perikan­an tumbuh 7% dibandingkan periode yang sama tahun 2012. Tingkat pertumbuhan ekonomi di sektor kelautan dan perikanan itu lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,81%.

Dorong produktivitas

Meskipun industrialisasi perikanan telah berhasil mendorong produktivitas dan nilai tambah di sektor kelautan terus meningkat, penerapan konsep blue economy akan semakin memperkuat pengelolaan potensi kelautan secara berkelanjutan, produktif, dan berwawasan lingkungan.

“Konsep blue economy juga me­ngajarkan bagaimana menciptakan produk nirlimbah (zero waste), sekaligus menjawab ancaman ke­rentanan pangan serta krisis energi (fossil fuel),” ujarnya.

Melalui konsep blue economy Indonesia akan dapat membuka lebih banyak lapa­ngan pekerjaan bagi masyarakat, mengubah kemiskin­an menjadi kesejahteraan serta mengubah kelangkaan.

Agar penerapan konsep blue economy berjalan dengan baik, Sharif melanjutkan, dibutuhkan sinergi di antara para pemangku kepentingan.

Oleh karena itu, dukungan ke­mitraan dari masyarakat, sektor swasta, akademisi, peneliti, pakar pembangunan, lembaga nasional dan internasional mutlak harus dilakukan.

"Jika seluruh aset dan potensi kelautan dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, seharusnya kontribusinya terhadap PDB bisa jauh lebih besar daripada saat ini," ujarnya.

Apalagi, seperti diproyeksikan Mckinsey Global Institute, sektor kelautan termasuk empat pilar utama selain sumber daya alam, pertanian, dan jasa yang akan membawa Indonesia berjaya di tahun 2030. (Ant/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013