Sunday, September 22, 2013

[Tifa] Sudjojono, Realisme, dan Kenangan

-- Iwan Kurniawan
   
RAUT wajah Rose Pandanwangi, istri almarhum S Sudjojono, tampak tenang saat diminta foto bersama para undangan. Ia berjalan perlahan menuju atas beranda yang ada tepat di depan pintu masuk gedung utama Galeri Nasional, Jakarta.

PAMERAN JIWA KETOK DAN KEBANGSAAN: Pengunjung melihat lukisan di
Pameran Seni Rupa di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, Jumat
20/9. Dalam rangka 100 tahun peringatan 100 tahun maestro seni rupa
Indonesia S Sudjojono, GNI menggelar Pameran Jiwa Ketok dan Kebangsaan
(S Sudjojono, Persagi dan Kita). Pameran yang berlangsung hingga 6
Oktober ini, menampilan karya-karya S Sudjojono dan anggota Persagi.
MI/ADAM DWI
Sambil melihat kamera, beberapa juru foto pun langsung mengabadikan ia bersama teman-temannya hingga tamu undangan lainnya, Jumat (20/9) malam. Semuanya mengikuti prosesi pembukaan pameran bertajuk Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S Sudjojono, Persagi, dan Kita, malam itu.

Pada pameran itu, panitia menghadirkan karya-karya Sudjojono yang dibuat semasa hidupnya. Maklum, pameran itu sebagai 100 tahun me­ngenang sang maestro. Ada dokumentasi tulisan dan foto-foto yang dipilih secara kolektif.

“Konteks pameran ini tentang gambaran yang hidup hari ini. Generasi yang sudah berjarak 100 tahun dengan Sudjojono. Kita dapat membangun pemahaman terhadap sosok ini melalui cerita, dongeng, mitos, literatur, dan artefak,” ujar kurator Suwarno Wisetrotomo di sela-sela pembukaan.

Dalam pameran yang berlangsung pada 20 September-6 Oktober itu, puluhan karya Sudjojono dipajang. Memang, karya-karya koleksi itu ada setiap hari bila kita mengunjungi Galeri Nasional. Namun, ada yang berbeda, terutama kehadiran Rose di pameran itu.

Memperhatikan karya-karya yang dipajang, terutama milik Sudjojono, memang cukup memberikan pengetahuan lebih, terutama pada gaya realisme yang ada dalam berbagai karya yang dibuat semasa hidup. Karya berjudul Rose Pandanwangi Istriku (1959) memiliki corak yang unik. Rose muda sedang duduk dengan menggunakan selendang di kepalanya. Ia menaikkan kedua tangan di atas pahanya.

Sudjojono memang terkenal dengan corak yang cukup kontroversial. Ia menjadi salah satu tokoh Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan pada 1938. Ia banyak meng­inspirasi pemikiran dan penciptaan seni rupa di Tanah Air. Beragam tema ia jadikan dasar gubahan untuk karya-karya seni lukisnya. Kita pasti mengingat sejumlah karyanya yang khas. Semisal, Di Depan Kelambu Terbuka (1939), Kawan-Kawan Revolusi (1947), Seko, Perjuangan (1984), dan Perusing a Poster (1956).

Pada pameran tersebut, selain karya Sudjojono, ada pula karya 14 perupa lainnya. Mereka adalah perupa (pelukis) yang diundang karena dinilai terpengaruh dan terinspirasi oleh pemikiran Sudjojono. Keempat belas pelukis yaitu Agung Mangu Putra, Alfi, Asmudjo J Irianto, Deden Sambas, Diyanto, Entang Wiharso, Hafiz, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, Pupuk Daru Purnomo, Seruni Bodjawati, dan Sigit Santoso.

Warisan kepercayaan

Rizki A Zaelani menilai wawasan realisme Sudjojono akan terus hidup sebagai warisan kepercayaan sikap berkarya seni bagi banyak seniman di Tanah Air hingga kini.

Tema tentang sikap kepahlawanan Sudjojono pada kolonialisme bergeser menjadi tema-tema lainnya seperti respons resistensi terhadap arus kekuatan pengaruh ‘Westernisasi’ bahkan hingga kini mengenai keadaan globalisasi dunia.

“Realisme Sudjojono tetap lebih meyakinkan dalam caranya meletakkan pemikiran fondasional mengenai pentingnya otonomi subjektif seniman jika dibandingkan dengan konsep seni berdasarkan teori determinasi sosial,” jelas Rizki.

Pameran tersebut cukup khas. Ada berbagai karya Sudjojono semasa hidupnya. Sebut saja Maka Lahirlah Angkatan 66 (100x85, 1966), Ada Orkes, dan High Level, hingga Anak-Anak Main Perang-perangan (sketsa).

Nazirun lewat karyanya, Di Dalam Kelambu Tertutup (200x390, 2013), misalnya, menghadirkan seorang lelaki yang sedang tidur menghadap ke kanan. Ada sebuah pesan realisme yang dibangun para pendahulu menjadi sebuah studi untuk ditelaah dan dihayati generasi masa kini.

Karya-karya Sudjojono hingga 14 perupa menunjukkan ada kesamaan, terutama pada rasa kebangsaan yang dituangkan lewat karya lukis yang tentunya abadi. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013

[Tifa] Membaca Rona Apocalypto

LORONG kota dengan sebuah pintu masuk tampak jelas dari kejauhan. Seorang lelaki bertopi ala koboi berjalan tegap di ujung jalan. Di sudut kiri dan kanan, orang-orang riuh. Hampir semuanya menggenggam uang berlambang ‘$’ yang terbungkus rapi.

Latar belakang bangunan bertingkat seperti pada sebagian besar kota di Amerika pada abad X atau XII begitu jelas. Lampu-lampu klasik bermata tiga yang menggantung melunglai ke bawah menunjukkan itu seperti Kota Tua Texas atau Meksiko yang sering kita lihat dalam film-film produk Amerika.

Ya. Begitulah gambaran singkat lukisan karya Ade Pasker berjudul Money Changger yang dipajang pada pameran tunggalnya bertajuk Apocalypto (150x120 cm) di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19-29 September mendatang.

Direktur Erasmus Huis, Ton van Zeeland, yang hadir dalam pembukaan pertengahan pekan ini menilai karya-karya Pasker penuh dengan degradasi warna, terutama pada permainan warna-warna gelap yang menggemaskan.

Pada pameran itu, pria kelahiran Sungai Penuh, Kerinci, 9 Agustus 1980, tersebut menghadirkan 64 lukisan yang dibuat pada 2004-2013. Banyak kisah kebudayaan Barat yang tertuang dalam setiap goresan. Itu menunjukkan ada sebuah kecenderungan untuk menafsir dan mengejawantahkan budaya secara global agar ditafsir dengan subjektivitasnya.

Hampir semua karya memang begitu lekat pada ranah ekspresionisme. Pasker mampu mendistorsi keadaan atau kenyataan yang ia jumpai atau lihat dalam perjalanan hidupnya. Mungkin sebagai anak rantau, ia telah menemui banyak hal. Tengok saja karya berjudul Black Coconut (100x120 cm, 2013). Sebuah kehidupan di tepi pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pasker tak memperhatikan estetika di sini.

Kehidupan Maya

Terlepas dari beberapa karya yang cenderung tidak bertema, Pasker mampu membangun sebuah tema besar tentang kehidupan suku Maya. Itu tergambar dari judul Apocalypto (Awal Baru) yang diilhami dari judul film garapan Mel Gibson pada 2006.

Pada film tersebut, ada kehidupan peradaban suku Maya, terutama pada masa periode Plaksik. Masa tersebut sering dikenal dengan sebuah peradaban pri­mitif yang hidup dengan konflik di sekitar Terusan Panama di Benua Amerika. Diperkirakan, itu telah ada pada 1800 sebelum Masehi.

Kendati demikian, tidak semua kisah dalam film tersebut dituangkan ke dalam kanvas. Pasker hanya mengambil petilan-petilan, terutama pada tokoh Jaguar Paw.

“Saya suka di penggalan cerita yang mengisahkan perjuang­an seorang istri yang melahirkan anaknya di dalam air dan selamat,” tuturnya menanggapi judul pameran tunggal ketiganya itu.

Karya Stylist (100x100 cm) menghadirkan multitafsir terhadap tema yang Pasker usung. Ia bermain di ranah budaya suku Maya, tetapi tidak begitu tergambar dalam setiap lukisan secara nyata.

Dalam karya-karya lainnya, Pasker menghadirkan kehidupan glamor. Ada sekawanan orang yang sedang bersulang menikmati bir seperti terlihat pada Cheers (200x180 cm, 2011) hingga bunga desa yang menjadi rebutan para lelaki di kampung seperti Mahadewi (150x200 cm, 2011).

Terlepas dari tema yang beragam, ada sebuah benang merah, terutama pada kehidupan objek-objek manusia yang lebih terkesan kebarat-baratan. Ia mampu menunjukkan diri tak sekadar pelukis, tetapi juga sebagai ‘pemerhati sejarah’ suku Maya.

Gaya ekspresionisme yang ada mengingatkan kita langsung pada karya-karya abad XX meskipun sebenarnya sebagian lukisan Pasker lebih dekat dengan gaya manerisme. Bisa saja ia terpengaruh itu saat masih duduk di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Malam itu, Pasker menjadi orang paling bahagia. Ia mendapatkan ucapan selamat dari rekan-rekannya. Istrinya, Sri Purnama Dewi, 33, Suhartini, 64 (mertua), dan putrinya, Anisa Hilma Salsabila, 3,5, ikut merayakan kemeriahan. “Ibu, ayah, fotoin dong,” ujar Hilma seraya bergaya di depan sebuah lukisan ayahnya.     (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013

[Jendela Buku] Menafsir Rindu lewat 'Rontaan Masehi'

-- Rudy Polycarpus
    
JURNALIS Media Indonesia Iwan Kurniawan menelurkan buku kumpulan puisinya bertajuk Rontaan Masehi. Sebelumnya, Iwan pernah menghasilkan buku kumpulan puisi Tapisan Jemari pada 2005.

BACA PUISI: Penyair Iwan Kurniawan membaca puisi saat peluncuran buku
puisi Rontaan Masehi di Jakarta, Jumat (20/9). Buku puisi setebal 95
halaman karya penyair yang kesehariannya berprofesi sebagai wartawan
harian Media Indonesia tersebut merupakan kumpulan puisi pada masa Iwan
berkuliah di Bandung, Jawa Barat. MI/ATET DWI PRAMADIA
Peluncuran kumpulan puisi itu dibuka dengan pembacaan puisi oleh artis Indonesia Sabrina. Ia membacakan puisi berjudul Kota Pagi Ini. Sementara itu, Iwan pun didaulat membacakan salah satu puisi karyanya sesaat sebelum diskusi berlangsung.

Puisi yang Iwan pilih bukan puisi yang menjadi judul buku tersebut, melainkan berjudul Penantian. Puisi itu ditujukan kepada kekasih hatinya, Clara Rondonowu. Kau mengeluarkan madu//menetesi langit-langit//pun jatuh ke bumi// semut-semutmengerumutinya// kau melilah kenangan// meluruhi waktu yang hampir gelap// serpihan angin memecah kaca// kau tunduk di depan pintu// menanti mahar di tengah musim penghujan.

Buku ini berangkat dari kegelisahan Iwan akan pergolakan kondisi sosial yang ia tuangkan lewat serangkaian kata yang kaya akan diksi. Tengok saja puisi berjudul Sambal Kehidupan yang terinspirasi demo buruh di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.

“Buku saya ini berisi gambaran tentang Indonesia, serta pergolakan-pergolakan di dalamnya,” kata Iwan dalam peluncuran buku terbitan Terbit Press di Pusat Dokumentasi Sastra, HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemarin.

Buku setebal 95 halaman ini berisi karya-karyanya dalam kurun 2005-2013 sejak ia masih menjadi mahasiswa di Universitas Padjajaran. Karena itu, kata pengagum Wiji Tukul itu, pro­ses pengumpulan karya-karya lawasnya tidaklah mudah. “Saya harus mencari lagi karya-karya saya di Bandung dulu.”

Sederet seniman dan sastrawan turut hadir dalam peluncuran buku ini, seperti pemerhati sastra sekaligus mantan jurnalis Media Indonesia Djadjat Sudrajat, sastrawan Gerson Poyk, Syahnagra Ismail, serta Mudji Sutrisno.

Djadjat mengatakan sebagian besar karya Iwan banyak mengeksploitasi kemuraman dan kecemasan meski judulnya terkesan riang penuh kegembiraan.

“Sebagian karya Iwan kala dia duduk di bangku kuliah. Saya kira, sebagai mahasiswa memang harus gelisah dengan kondisi sosial. Sajak-sajak ini memang banyak menawarkan kemuraman,” ujarnya.

Di sisi lain, Djadjat juga mengkritisi buku ini. Sebagai penyair muda, kata Djadjat, Iwan harus menemukan karakteristiknya sendiri dan mengurangi pengaruh-pengaruh sastrawan lain ketika menghasilkan suatu karya.

“Ada juga beberapa pemakaian diksi yang tidak perlu. Tapi tidak apa, ini bagian dari proses dan interpretasi masing-masing,” tuturnya.

Mozaik kehidupan

Sementara itu, Gerson menyebut puisi-puisi lelaki kelahiran Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, itu berisi pelbagai mozaik kehidupan.

Sebagai jurnalis, kata Gerson, ia melihat sisi humanis yang kental seperi karyanya yang berjudul Jeruji Jiwa, Mawar Hitam, Bahasa Angin, serta Ziarah. Sastrawan kawakan itu berharap Iwan mampu menjadi penyair andal di Tanah Air.

Selain itu, Putu Wijaya menulis sederet komentar di buku ini. “Iwan memberikan pengalaman batin kepada orang lain. Kadang ada yang gampang masuknya, ada pula yang sulit. Tapi tak apa-apa, karena investasi kultural tak ada batasnya,” tulis dia.

Adapun mantan Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta Syahnagra Ismail berpendapat sajak-sajak Iwan bak rendaman jiwa yang membawa pembacanya terbang masuk ke celah-celah lukisan hidup yang menarik.

Sajak-sajak ini banyak merekam beragam peristiwa dalam perjalanan hidupnya. Tak jarang ia larut dengan kerinduannya kepada kampung halamannya. Terutama, ketika masa referendum Timor Leste pada 1999. Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi 29 judul puisi, sedangkan pada bagian kedua terdapat 34 judul puisi.

Iwan menjaga daya literer dan kepekaan ba­tinnya. Dia tetap berkarya. Bisa jadi, dengan bersajak, segala rasa kerinduan hingga kecemasan terhadap kondisi sosial bisa sedikit terlunaskan lewat puisi. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013