Sunday, June 23, 2013

Menghidupkan Tradisi Mendongeng Itu Penting!

-- Musa Ismail
PADA mulanya, dongeng merupakan kisah lisan yang mendunia. Semua negara, memiliki dongeng yang menggambarkan kekhasan dan kejeniusan lokal mereka. Akhir-akhir ini, kisah lisan itu dapat dengan mudah kita peroleh melalui media cetak dan media elektronik. Untuk wilayah nusantara, dongeng bukanlah sesuatu yang asing. Semua daerah di nusantara ini, mempunyai dongeng masing-masing. Bahkan, beberapa buku dongeng nusantara dengan mudah kita temukan di toko-toko buku.

Ketika mendengar kata dongeng, orang akan mengaitkannya dengan kisah bual, kisah bohong, atau kisah khayal semata.  Bahkan, sangat disayangkan, masih banyak yang menganggap bahwa dongeng sekaligus mendongeng itu tidak penting. Pemikiran seperti ini ada benarnya karena muatan peristiwa dalam dongeng didominasi oleh kisah-kisah imajinatif. Akan tetapi, ada benarnya pula kalau dikatakan bahwa tidak semata muatan peristiwa dalam dongeng merupakan rangkaian peristiwa khayalan. Peristiwa-peristiwa sejarah, misalnya, masih bisa kita sampaikan dengan cara mendongeng. Hal ini serupa dengan novel yang berpijak dari peristiwa sejarah.

Untuk Indonesia, kita tidak asing lagi dengan beberapa  nama seperti Kak Seto, Kak Wees, Kak Kusumo, Neno Warisman, Ratna Megawangi, Ria Enes. Mereka merupakan tokoh idola dalam menyampaikan tunjuk ajar dengan cara mendongeng. Bukan cuma anak-anak menyenanyi dongeng dan cara mereka mendongeng, tetapi juga remaja dan dewasa. Untuk Riau, sebenarnya, ada nama seperti Yong Dolah (Abdullah) dan Suman Hs. Namun, posisi Yong Dolah selalu dipojokkan sebagai pembual. Padahal, beliau memiliki kecerdasan linguistik yang luar biasa, terutama dalam hal mendongeng. Dongeng dan mendongeng mampu menumbuhkembangkan berbagai aspek kepribadian manusia. Asfandiyar dalam bukunya Cara Pintar Mendongeng (2007:19) menjelaskan, dongeng tidak hanya senantiasa mengaktifkan aspek-aspek intelektual, tetapi juga aspek kepekaan, kehaluasan budi, emosi, seni, fantasi, dan imajinasi, tidak hanya mengutamakan otak kanan, tetapi juga otan kiri.

Kegiatan mendongeng sudah ada sejak abad ke-6 SM di India. Menurut catatan Pollowski, seorang pendongeng dan pustakawan di Amerika Serikat, pada waktu pendongeng menggunakan media gambar yang dilukiskan pada daum palem, kulit kayu, dan kain. Kemudian, mendongeng dengan gambar ini menyebar ke Cina, Jepang, Persia, Mongolia, dan Turki pada abad ke-10. Sementara itu, menurut Asfandiyar, tradisi mendongeng di Indonesia sudah ada sejak berabad-abad silam. Kehidupan para pendongeng dijamin oleh ke(raja)an. Bahkan, mereka mendapat gelar kehormatan dari ke(raja)an. Tidak heran jika pendongeng ketika itu berperan penting sebagai pelipur lara kerabat istana. Selain itu, nenek moyang kita juga terkenal sekali dengan tradisi mendongeng untuk menyampaikan tunjuk ajar kepada anak cucu, terutama menjelang tidur.

Mendongeng merupakan kegiatan mengisahkan dongeng kepada khalayak dengan cara, metode, dan media tertentu. Kegiatan ini termasuk kemampuan produktif di dalam aspek kemampuan berbahasa, yaitu berbicara (tetapi tingkatannya lebih tinggi). Bukan cuma segi segmental, tetapi segi suprasegmental dalam linguistik pun mesti dikuasai oleh pendongeng. Di samping itu, mendongeng juga bisa memanfaatkan properti tertentu guna mendukung efektivitas penyampaian. Namun, yang terpenting di dalam mendongeng adalah ketersampaian amanat kepada para pendengar sehingga memberikan manfaat khusus kepada kepribadian mereka.

Untuk saat ini, Indonesia mulai memperhatikan kembali tradisi mendongeng. Perhatian ini dilakukan pemerintah melalui berbagai kegiatan sayembara. Kegiatan sayembara ini dilaksanakan secara rutin tahunan. Misalnya, sayembara mendongeng siswa SD dan sayembara mendongeng guru/pengurus PAUD. Selain itu, beberapa stasiun teve pun mengeset program mendongeng sebagai sarana untuk mengembangkan imajinasi dan edukasi anak-anak. Tradisi mendongeng seperti ini sebaiknya lebih ditingkatkan lagi. Sebaiknya, semua stasiun teve memprogramkan tradisi mendongeng untuk jangka panjang.

Mendongeng itu penting sekali. Begitu pentingnya tradisi mendongeng sehingga Kak Seto mengatakan bahwa semaki meyakinkan mendongeng itu sangat penting! Mudah dilakukan siapa saja yang peduli pada hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Ratna Megawangi menambahkan, dongeng membentuk karakter dan imajinasi anak. Bahkan, Ria Enes dan Susan menegaskan, dongeng itu dibutuhkan oleh siapa pun untuk menumbuhkan imajinasi anak dan orang dewasa. Sehubungan dengan itu pula, Shahnaz Haque mengatakan, mendongeng bisa menumbuhkan minat baca dan mendekatkan orang tua pada anak.

Semua pendapat di atas menyangga pernyataan bahwa mendongeng itu penting karena memiliki manfaat yang besar bagi perkembangan keperibadian anak dan orang dewasa. Menurut Asfandiyar, ada beberapa manfaat dongeng yang jika tradisi mendongeng dihidupkan. Pertama, mengembangkan aspek kognitif, fektif, sosial, dwn konatif. Kedua, membawa anak-anak pada pengalaman baru. Ketiga, memberikan beribu hikmah. Keempat, merespons sesuatu dengan cars tersendiri. Kelima, memicu daya kritis dan rasa ingin tahu. Keenam, merangsang imajinasi, fantasi, dan kreativitas anak. Ketujuh, melatih daya konsentrasi. Kedelapan, melatih berasosiasi. Kesembilan, mendorong untuk mencintai buku/membaca. Kesepuluh, merangsang jiwa petualangan. Kesebelas, memupuk rasa keindahan, kehalusan budi, dan karakter. Keduabelas, hiburan dan menyahatkan otak.

Fakta lain yang menarik bahwa materi dongeng yang disampaikan berkaitan dengan otak kita. Rosen mengatakan bahwa dalam hubungannya dengan pendidikan manusia secara umum, otak manusia adalah perkakas naratif. Ia hidup dan bergerak dalam cerita. Selain itu, sebagai karya fiksi, dongeng juga berkaitan dengan aspek rohaniah berupa perasaan. Hal ini dipertegas oleh Josette Frank bahwa seperti halnya orang dewasa, anak-anak memperoleh pelepasan emosional melalui pengalaman fiktif yang tidak pernah mereka alami dalam kehidupan nyata.

Dongeng merupakan bagian dari karya sastra. Mendongeng merupakan tradisi lisan dalam sastra. Sebagai bagian dari karya sastra, tentu saja dongeng memberikan nilai tersendiri bagi kehidupan anak. Umar bin Khattab berpesan, ajarilah anak dengan sastra. Dengan sastra, akan memperhalus budi pekerti dan anak yang takut akan menjadi pemberani. Kita tentu berharap tradisi mendongeng terus hidup dan berkembang di nusantara. Semoga. n

Musa Ismail, Sastrawan yang rajin menghasilkan karya sastra. Karya-karyanya dimuat diberbagai media massa dan saat ini tercatat sebagai guru SMAN 3 Bengkalis.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Juni 2013

'Plastik Dicintai Sekaligus Dibenci': Analisa Pesan dalam 'Penggambaran Kembali' Pengalaman dari Teater 'Segera'’ Karya Rahman Sabur

-- Jefri al Malay

PESAN dalam sebuah pementasan teater atau drama menjadi sesuatu yang dapat digambarkan kembali tatkala ia mengusik minda kita. Pesan yang didapat itu bisa saja menjadi beragam tafsir, tergantung latar belakang (perspektif) dari mana hal itu dipandang. Kelompok Teater Payung Hitam dengan pementasannya berjudul ‘’Segera’’ karya Rahman Sabur yang telah dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin (18/6), saya kira akan menjadi sesuatu yang menyimpan misteri di kepala kita, dalam arti kata akan bermunculan beragam tafsir setelah kita menyaksikannya.

Dan saya dari sekian banyak penonton akan mencoba menafsir pesan yang tersembunyi diantara ‘teror’ gerak dan set properti yang telah dieksplorasi sedemikan rupa oleh sutradara Rahman Sabur. Tentu saja dalam hal ini, saya sudah memiliki ‘konsep’ saya sendiri dengan berusaha melihat adanya pola-pola hubungan di balik pengalaman pentas tersebut.

Dengan demikian ‘’Segera’’ karya Rahman Sabur dapat dilihat dari dua macam jenis aspek yakni teater sebagai pengalaman wujud pandangan mata (apa yang tampak) dan teater sebagai rasa yakni tatkala bentuk-bentuk gerak, bunyi, cahaya, seni rupa, musik dan pesan yang terbaca mengalami proses ‘pencernaan’.

Teater Sebagai Apa yang Tampak
Sebagai pengalaman wujud pandangan mata, teater ‘’Segera’’ yang apabila dilihat secara kasat mata adalah sebuah panggung teater yang menghadirkan penggal atau sketsa-sketsa hidup gambaran dari nilai-nilai ‘kebaikan’ yang bertembung dengan ‘keburukan’. Ia menjadi semacam ironis dalam kehidupan. Betapa tidak, setiap aktor dan set properti yang telah dieksplorasi oleh sutradara, menggambarkan kesan kekerasan, kemuakan, kengerian, ketakutan, kecemasan, kecintaan dan juga kemirisan yang pada akhirnya harus ditertawakan.

Hal itu dapat kita temui di beberapa penggal dalam pementasan tersebut. Perempuan yang duduk di kursi plastik, mengarahkan senter dimukanya kemudian menjatuhkan diri atau terjatuh berkali-kali dengan gerakan serupa itu juga. Tidakkah ini mengisyaratkan apa yang saya maksudkan di atas. Laki-laki yang kakinya terikat tali plastik dan jiregen kecil, merasa risih dengan hal itu ia pun berusaha melepaskannya. Dalam kecemasan dan kemuakannya itu, pada akhirnya menghancurkan setting yang telah tertata di atas panggung. Tentu saja hal itu sudah diatur sedemikian rupa oleh penata artistiknya. Dan hal itu pula yang jadi menarik, kejelian sutradara dalam menempatkan detil-detil set properti menjadi hal yang akrobatik. Dalam sekejap mata, seting hancur dan menjadi tumpukan sampah plastik di atas panggung.

Saya kira di sinilah semuanya bermula. Di sinilah bermula ketakutan itu, kecemasan, kemuakan, kemirisan, kelucuan terhadap kebodohan. Karena memang yang terhidang di depan mata adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dari hal yang tersebut di atas. Tetapi ia-nya tentu saja tidak dalam bentuk verbal. Ia hadir dalam bentuk simbol dan bisa saja hadirnya bahkan tidak kita kenal. Tetapi bukankah simbol merupakan dunia batas antara yang dikenal dan ‘yang lain’ yang tak dikenal itu.

Rahman Sabur sebagai sutradara saya kira dalam pementasannya itu tidak pula menempatkan simbol yang tidak berlandaskan budaya kita. Artinya kita akan menemukan dari apa yang ternampak berbagai kemungkinan-kemungkinan pesan dari simbol yang dihadirkan. Namun perlu saya paparkan bahwa kesan yang muncul tersebut tidaklah menyamai ketika kita menyaksikan langsung dengan peristiwa-peristiwa pembunuhan atau tindak kekerasan lainnya seperti perut tebusai, kepala terpenggal, dan lainnya. Kesan yang kita tangkap sudah terkemas ke dalam wilayah estetika seni.

Nah, ke semua itu bila dikaitkan dengan pesan yang hendak disampaikan Pentas ‘’Segera’’ ini menurut hemat saya adalah persoalan keberaadan plastik. Sebagaimana yang tertera di ulasan pada booklet yang diberikan bahwa dampak negatif sampah plastik tidak sebesar fungsinya. Butuh waktu 1000 tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah. Saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air. Jika dibakar akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan yaitu jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain, dapat memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem syaraf, dan memicu depresi.

Tahukah kita selama ini bahaya plastik sedemikian mengerikan? Sementara itu, dalam keseharian kita hampir keseluruhan kebutuhan membutuhkan dan menggunakan plastik yang telah di daur ulang. Bahkan sampai kepada permainan anak-anak. Inilah yang barangkali disebut dengan ironis oleh sutradara. Sesuatu yang kita cintai karena efesien, ekonomis dan sekaligus pula harus kita benci.

Teater Sebagai Rasa
Mari pula kita kaitkan pesan dengan simbol gerak, set properti dari pengalaman pementasan ke dalam sebutan saya tadi yaitu teater sebagai rasa.

Teater Payung Hitam dengan sadar sebenarnya menghadirkan pesan dalam bentuk eksplorasi bahasa tubuh dan set properti untuk kemudian kita rasakan dengan penuh kesadaran. ‘Rasa’ yang saya maksudkan di sini adalah hasil tangkapan inderawi terhadap suatu objek yang kemudian dikaitkan pula dengan tema yang disuguhkan sebuah pementasan atau karya. Tentu saja di sini perlu proses pencernaan.

Kita atau katakanlah saya, begitu terasa mengasyikkan tatkala mengapresiasi pentas ‘’Segera’’ meskipun sebenarnya diteror dengan berbagai simbol, emosi yang terbangun, ketegangan, tensi meninggi, keterkejutan, kelucuan tetapi kemudian begitu pementasan selesai, ada semacam rasa yang hinggap bahwa sketsa-sketsa yang telah dikemas oleh sutradara adalah sebuah peristiwa ironis yang merasuk ke dalam diri.

Awalnya kita terpana dengan gerak atau pilihan komposisi bloking namun kemudian sutradara ‘mematahkannya’ dengan kejutan atau bahkan sentakan yang tak disangka-sangka. Awalnya kita merasa nyaman dengan set properti tapi sekejap kemudian hancur menjadi sampah-sampah plastik yang menyelerak di atas panggung. Dan banyak lagi sketsa yang hadirnya serupa demikian.

‘Rasa’ ini yang kemudian saya kira dialihkan dalam proses pementasan ini. Kita begitu dekat dengan yang namanya plastik tapi kemudian ternyata plastik itu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Kita begitu membutuhkan, begitu merasa dimudahkan oleh fungsi plastik tetapi kita justru akan tersiksa olehnya. Begitu riang anak-anak bermain dengan permainan yang terbuat dari plastik namun diantara keriangan mereka ternyata ada bencana di kemudian harinya. Nah, demikian yang saya maksudkan teater sebagai rasa. Di sebalik teror yang terhidang di atas panggung, terselip rasa ironis tersebut.

Teater Payung Hitam dengan ciri khasnya adalah menghilangkan kata-kata verbal dari pentas. Para pemain menjadi aktor sekaligus benda-benda yang ‘berbahasa’. Imaji kita terbangun dari tawaran bentuk tubuh dan gerak manusia, bunyi-bunyi yang biasa dan tak biasa, tata cahaya dan ke semua teknik yang terus digali kemungkinannya. Tetapi itu pula yang kemudian menurut saya menjadi menarik untuk diapresiasi. Karena meskipun kesempurnaan komunikasi itu adalah bahasa ternyata sesuatu yang bukan kata-kata verbal mampu juga mengantarkan sepaket pesan di pangkuan kita. Syabas Teater Payung Hitam yang sudah pentas di Negeri Lancang Kuning. n

Jefri al Malay, Dikenal sebagai sastrawan muda Riau yang telah menghasilkan banyak karya sastra seperti sajak, cerpen dan esai. Buku kumpulan puisinya yang baru terbit berjudul ‘’Ke mana Nak Melenggang’’ Selain itu, alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan saat ini sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak. Jefri tergabung di Sanggar Teater Matan. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Juni 2013

[Alinea] Merindukan Sastra Rural

-- Fariz Alneizar

DUNIA sastra merupakan dunia yang penuh dengan rasa, sarat akan makna. Ahmad Tohari menyebutkan bahwa dengan sastralah kita akan menemukan empati, simpati, bahkan ideologi. Lebih jauh, D. Zawawi Imron pun pernah mengatakan bahwa dengan bersastra manusia akan terasah jiwanya, akan sensitif mata batinnya, serta peka radar kemanusiaannya.

Banyak sastrawan muda bermunculan akhir-akhir ini, tidak hanya di ibukota, tetapi juga di daerah-daerah (desa). Ada yang memang menghabiskan hidupnya berpindah-pindah dari kota ke kota, tetapi ada juga yang memang memilih menetap tinggal di kota atau di desa. Alasannya pun berbeda-beda: ada yang karena tuntutan hidup, ada pula yang karena alasan lain. Yang pasti, dalam kaitannya dengan tulisan ini, persoalan tempat tinggal dan gaya hidup cenderung berpengaruh pada hasil kreativitas mereka.

Persoalan tempat tinggal sastrawan sempat menarik perhatian Agus R. Sarjono. Ia berkesimpulan bahwa realitas sastra yang lahir dari kantung-kantung daerah yang bernuansa pedesaan (rural) mempunyai daya pembeda yang kuat dengan sastra-sastra aroma kota. Mengapa? Karena sastra rural (pedesaan) identik dengan perilaku masyarakatnya yang homogen dan statis: dilandasi konsep kekeluargaan dan kebersamaan, berorientasi pada tradisi dan status/isolasi sosial, kesatuan dan keutuhan kultural, banyak ritual dan nilai-nilai sakral, serta bersifat kolektif (Poplin, 1972).

Tidak banyak memang tokoh yang”betah”tinggal di daerah (pedesaan) selama karir kepengarangan dan kesastrawanannya. D. Zawawi Imron dan Ahmad Tohari adalah contoh dari yang sedikit itu. Bagi D. Zawawi Imron, desa menjadi khasanah yang eksotis. Desa menjadi kampung halaman yang menginspirasi sajak-sajak yang dihasilkannya. Penyair asal Madura yang populer disebut penyair Celurit Emas ini mengakui bahwa desa memiliki kekayaan yang tiada tara.

Penyair yang mendapat Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2010 itu juga mengatakan bahwa keindahan nuansa desa, lengkap dengan kearifan lokal dan orang-orang di dalamnya, telah menginspirasi sekitar 90 persen puisi-puisinya sebelum 1990. Pedesaan menjadi sumber inspirasi dalam puisi-puisinya.”Namun, desa kerap dilupakan. Desa sering terabaikan,”ujar Zawawi.

Sementara itu, dengan sangat retoris Ahmad Tohari mengatakan bahwa dengan bersastra (rural) itulah kita bisa mendekatkan diri kepada umat. Bisa jadi, hal itulah yang membuat sastrawan-sastrawan muda, seperti Masdhar Zainal dan Benny Arnas, tetap memilih tinggal di kampung tempat kelahirannya.

Salah satu karya sastra rural yang masih bisa dinikmati hingga sekarang adalah Siti Nurbaya. Di tengah semakin menggerusnya budaya pop dalam bersastra, karya sang novelis legendaris (Marah Rusli) itu pantas direnungkan kembali. Dalam hal ini, di samping dapat dijadikan media untuk meng-counter hegemoni-hegemoni distorsi yang terjadi pada waktu itu: kawin paksa, kisah/cerita dalam novel Siti Nurbaya juga bisa dijadikan bahan rujukan sebagai representasi dari keberhasilan karya sastra dalam melawan tradisi-tradisi yang dirasa kurang memihak.

Tradisi asal yang dipresentasikan melalui sosok Datuk Marinnggih yang tua bangka, bopeng-bopeng, dan buruk hati, misalnya, dilawankan dengan sosok Syamsul Bachri yang tampan, gagah, terpelajar, rela berkorban, serta penuh kobaran cinta asmara. Dengan cara seperti itu, sudah bisa ditebak, pembaca pun akan”tersayat”hatinya: merasa iba pada Syamsul Bachri yang dianiaya oleh tradisi (melalui Datuk Maringgih) sehingga harus mengalami patah hati.  Yang menarik di sini adalah, saking ibanya, pembaca seakan melupakan penghianatan Syamsul Bachri yang ikut penjajah dan memerangi kampungnya sendiri (Agus R. Sarjono:1999).

Begitulah, hamparan karya sastra yang dipenuhi dengan tema menghujat tradisi lewat representasi yang dekat dengan hati dan khazanah pengalaman kaum muda yaitu kawin paksa terbukti mampu membabat habis budaya tersebut. Semua adalah produk sastra yang rural yang lahir dari rahim situasi dan nuansa pedesaan. Pada awalnya, Syamsul Bachri memang telah berhasil ”membius” pembaca. Secara emosional pembaca seakan-akan tidak pernah mempedulikan pengkhianatannya. Namun, kini yang justru menjadi public enemy adalah Datuk Maringgih. Dialah yang merupakan simbolisasi dari budaya lokal. Ternyata, Marah Rusli (melalui tokoh-tokohnya) adalah sastrawan yang dengan gigih melawan praktik-praktik tak sehat di negeri ini.

Lantas bagaimana dengan kondisi sekarang? Adakah produk sastra rural dari sastrawan-sastrawan muda kita yang benar-benar bisa dijadikan senjata untuk perlawanan pada segala bentuk penyimpangan dewasa ini? Wallahualam bissawab.

Yang pasti, menurut W.S. Rendra, hanya para jagoan saja yang mampu menerobos dan melawan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, agar lebih produktif, cerdas, dan berani untuk melawan kebudayaan-kebudayaan yang tak sehat sebagaimana disebutkan di muka, sastrawan-sastrawan tetaplah tinggal di kampung. Bagaimanapun sejarah telah membenarkan bahwa perlawanan melalui tulisan tidak kalah dengan perlawanan dalam bentuk yang lainnya, semisal demontrasi.

Semoga hari esok akan lahir karya-karya sastra rural yang dapat dijadikan bentuk (lain) perlawanan atas segala macam ketimpangan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, maupun budaya.***

Fariz Alneizar, Pegiat Komunitas Parageraf Jakarta

Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Juni 2013