Monday, November 14, 2011

Mendikbud: Perguruan Tinggi Harus Bersifat Nirlaba

SEMARANG -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh menyatakan, perguruan tinggi nantinya harus bersifat nirlaba sebagaimana yang tertuang dalam rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi.

"Kami sedang menyiapkan RUU Perguruan Tinggi, antara lain untuk memastikan aksestabilitas masuk perguruan tinggi," katanya setelah berbicara dalam tayang-bincang (`talkshow`) bertajuk `Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya)` di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Senin.

Ia menjelaskan, aksestabilitas masuk perguruan tinggi, terutama bagi mahasiswa miskin sebenarnya sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66/2010, namun penerapannya diharapkan lebih kuat lagi lewat UU.

Tanpa diatur dalam UU, Nuh mengatakan kuota mahasiswa miskin sebesar 20 persen dari total mahasiswa suatu perguruan tinggi negeri (PTN) pun sudah bisa ditetapkan, apalagi jika ketentuan tersebut dituangkan dalam UU.

Melalui UU Perguruan Tinggi tersebut, kata dia, perguruan tinggi juga diharuskan bersifat nirlaba, tidak boleh penyelenggaraan pendidikan tinggi dicampuradukkan dengan komersialisasi.

Saat ditanya bagaimana penerapan keharusan sifat nirlaba itu dalam perguruan tinggi swasta (PTS), termasuk peran yayasan, ia mengatakan, pemerintah tetap akan memberikan dukungan dan fasilitas.

"Kami akan memberikan dukungan dan fasilitas (bagi PTS), karena bagaimanapun semuanya bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa. Tidak boleh dicampur dengan komersialisasi," tegas Nuh.

Dalam kesempatan "Tayang-bincang Posdaya" tersebut, Mendikbud Nuh tampil bersama Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono serta didampingi Rektor Unnes, Prof Sudijono Sastroatmodjo.

Menkokesra Agung Laksono meninggalkan lokasi sebelum acara selesai, sedangkan M. Nuh melanjutkan sesi tanya jawab dengan berkeliling stand posdaya yang diikuti 10 perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah itu.

Berbagai macam produk unggulan dan kerajinan ditampilkan perguruan tinggi peserta, antara lain Universitas Diponegoro Semarang, Unnes, Universitas Pekalongan, Universitas Muria Kudus, dan IKIP PGRI Semarang.

Sumber: Antara, Senin, 14 November 2011

Sunday, November 13, 2011

Andai Seniman (Jadi) Pahlawan

-- Ari Kristianawati

GELAR pahlawan nasional—sesuai Pasal 25 Undang-Undang No.29 Tahun 2009 tentang Pemberian Gelar Pahlawan dan Tanda Jasa—diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya memiliki peran dan jasa terhadap bangsa dan negara, di antaranya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Mereka yang “dibaptis” menjadi pahlawan nasional harus memiliki semangat tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan dan setia melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya. Mereka harus pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Serta yang penting memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Kriteria, prosedur, dan proses verifikasi seseorang yang akan dianugerahi gelar pahlawan nasional pernah mendapat kritik dari masyarakat. Bahkan, beberapa komponen masyarakat sipil pernah melakukan judicial review terhadap Pasal 1 Angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 UU No.29 Tahun 2009 terkait dengan syarat umum dan khusus seseorang untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Beberapa pasal tersebut dianggap tidak memiliki ketegasan tentang apa yang dinamakan "dosa sosial" kandidat pahlawan nasional. Dosa sosial adalah serangkaian perbuatan masa lalu seseorang yang merugikan hak asasi dan kepentingan masyarakat melalui skema kebijakan kekuasaan yang tidak adil, opresif, dan korporatif. Di dalamnya ada perilaku penyimpangan kekuasaan, pelanggaran HAM, kemiskinan integritas.

Kriteria pahlawan nasional dalam diskursus politik bahasa sangat bersifat subjektif-politis. Membatasi figur kepahlawanan dalam tafsir interpretasi hegemonis kekuasaan. Kekuasaan yang berwatak teknokratis-militeristik-feodalistik secara otomatis akan memilih sosok calon pahlawan yang sesuai sudut pandang kekuasaan. Mereka yang berprofesi atau memiliki profil di luar kriteria hegemonis tersebut secara alamiah tidak akan terpilih dan tidak akan mendapat gelar pahlawan nasional, meskipun memiliki peran dan jasa yang signifikan bagi dinamika sosial kebangsaan. Tidak mengherankan dari 147 pahlawan nasional memiliki rekam jejak sebagai pejabat sipil-militer, tokoh organisasi formal kemasyarakatan, birokrat. Dari 147 pahlawan nasional hanya 34 beridentitas kelamin perempuan.

Di Indonesia tidak ada satu pun tokoh seniman yang dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Seniman sendiri jika dikorelasikan dengan kriteria kepahlawanan nasional seharusnya bisa “dibaptis” menjadi pahlawan karena banyak seniman yang semasa hidupnya melahirkan karya besar yang bermanfaat bagi peningkatan harkat dan martabat bangsa. Taruhlah sosok Gesang. Gesang sang maestro keroncong merupakan seniman yang karyanya dikenal dan diapresiasi bangsa-bangsa di dunia. Melalui lagu Bengawan Solo, Gesang membawa harkat dan martabat bangsa dihormati oleh bangsa lain di dunia.

Syair dan ritmis lagu Bengawan Solo sejak tahun ‘40-an telah direproduksi dalam 14 bahasa dan menjadi soundtrack berbagai judul film karya para sineas lintas bangsa. Tahun 2000 lagu Bengawan Solo muncul dalam film In the Mood for Love/Fa Yeung Nin Wa besutan Wong Kar Wai (2000). Bahkan, sebuah film drama keluarga tahun 1947 karya sineas dari Inggris mengambil lagu Bengawan Solo yang diterjemahkan musical background.

Minimnya tokoh seniman dalam daftar pahlawan nasional dan juga dari daftar usulan kandidat pahlawan nasional yang tercatat di Kementerian Sosial merupakan bentuk kegalatan intelektual bangsa. Bangsa ini tidak mampu menghasilkan koridor pemikiran yang cerdas, kritis, jernih, dan objektif tentang definisi dan peran fundamental kepahlawanan nasional. Kepahlawanan nasional menurut Antonio Gramsci dalam buku berjudul We and the Republican Concentration (L'Unità, 13 Oktober 1926) merupakan manusia baik secara individu atau kolektif yang berperan dalam membangun konstruksi keadilan dan kesetaraan dalam kontinum kekuasaan yang popular. Manusia tersebut tidak dibedakan atas dasar kategori struktural, tapi berdasarkan komitmen dalam tugas kemanusiaan. Jadi dalam postulat Gramsci, seniman termasuk sebagai sosok pahlawan nasional melalui kerja-kerja kebudayaan yang dilakukannya.

Seniman memiliki etos kelayakan disebut sebagai pahlawan nasional karena peran fungsionalnya dalam mendidik masyarakat melalui karya-karyanya. Milan Kundera, seorang sastrawan pembebasan, dalam esai sosialnya berjudul The Czech Deal (1967) mengatakan seniman adalah pahlawan yang menggerakkan semangat kolektif kebangsaan. Seniman layak disejajarkan dengan para pahlawan karena seniman andil dalam memengaruhi kesadaran sosial bagi masyarakat, seniman memiliki integritas dan independen dari syahwat politik kekuasaan.

Seniman sendiri andil dalam membesarkan tajuk kebesaran "citra" kebangsaan. Seniman membangun dimensi kesadaran rohaniah masyarakat akan dimensi nilai yang humanis dan egaliter. Indonesia memiliki banyak seniman yang berjasa dalam membangun tajuk kebesaran citra bangsa. Sosok pelukis legendaris Raden Saleh, misalnya, memiliki jasa yang besar mengenalkan narasi politik, ekologis, serta kemuliaan nilai keindonesiaan di mata dunia. Melalui lukisan-lukisan romantiknya, Raden Saleh mendapatkan penghargaan dari berbagai negara, di antaranya bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll. Karya Raden Saleh tersimpan diberbagai museum berpengaruh di dunia seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Prancis.

Sayangnya sosok semacam Raden Saleh, Gesang, dan lainnya di negerinya sendiri hanya sekadar dikenang sebagai seniman. Bukan dikenang sebagai pahlawan yang menjaga kehormatan bangsa dan negara. Padahal, karya-karya seni (budaya) yang dilahirkan oleh Raden Saleh, Gesang, dan seniman besar Indonesia lainnya merupakan wujud pengabdian ikhlas terhadap bangsa. Seniman menjadi katarsis dari citra negatif bangsa akibat warisan propaganda kolonialisme dan postkolonialisme.

Seniman memang dianaktirikan dalam tafsir identitas sosiologis kepahlawanan nasional meskipun jasa para seniman jika diukur dalam logika akal sehat intelektualitas memiliki kelayakan jika dianugerahi sebagai gelar pahlawan nasional. Karya-karya seniman menjadi peneman pergerakan revolusi kemerdekaan hingga era pembaruan saat ini.

Seniman memiliki tapak-tapak kerja sosial yang turut menjaga harmoni dan soliditas sosial masyarakat. Sayangnya, bangsa dan pemerintah mengabaikan eksistensi mereka. Hal tersebut akhirnya yang boleh jadi membenarkan tesis Gabriel Marquez: "Bahwa bangsa yang tidak menghargai sastrawan dan seniman serta mengabaikan tanda-tanda peringatan kebajikan melalui karya seni dan sastra merupakan bangsa gagal memaknai jiwa kemanusiaan dan kemerdekaan."

Ari Kristianawati, Koordinator Kajian Seni Deliberatif Sragen

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011

[Buku] Sastra yang Bertahan dalam Pelarian

Judul : Kucing Kiyoko
Penulis : Rama Dira
Penerbit : Tuk Padas Publishing, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2011
Tebal buku : 124 halaman

HIDUP di negara dunia ketiga yang praktek korupsinya demikian banal memang bikin frustrasi. Orang lalu memilih tak menggubris dan sekadar menjadi penyaksi drama busuk para penyelenggara negara, persekongkolan hakim dengan petinggi partai. Sikap tak menggubris bukan berarti menerima, melainkan satu-satunya cara mengamankan diri. Pilihan lain yang paling tidak berisiko adalah mencelatkan imajinasi ke negara dunia pertama yang tertib dan beradab. Dengan harapan di sana dapat menghirup udara segar ketertiban hukum, kepatuhan pada aturan. Namun, bagaimana jika di negeri maju yang diimajinasikan pun orang tak terhindar dari penderitaan dalam bentuknya yang lain?

Jika Anda pengarang, perkara laten ini mungkin dapat diatasi dengan menciptakan kehidupan yang lain sebagai bentuk ekspresi sekaligus melarikan diri. Begitu seterusnya. Dalam kata lain, dunia sastra dalam kerangka seperti ini menjadi perangkat paling lunak untuk berkelit dari dunia nyata yang menyesakkan ditelikung persoalan korupsi yang berakibat pada karut-marut sosial tak berujung pangkal. Namun, inilah yang membuat sastra terus hidup dan diproduksi, tetapi pada saat bersamaan merayakan praktek bunuh diri.

Kumpulan cerpen Kucing Kiyoko besutan pengarang mutakhir Rama Dira bernapas dalam posisi tarik-menarik semacam itu. Cerita-cerita Rama Dira memperlihatkan bagaimana pengarang mencoba mencari rumah baru guna mempertahankan diri di rumah lama yang berantakan tanpa harapan. Kucing Kiyoko cerpen yang secara tepat diambil menjadi judul sampul buku ini, melalui bekal keterampilan berbahasa yang cukup dikuasainya untuk mengungkai kisah, Rama Dira mewujudkan rumah baru dalam dunia pelariannya dengan menciptakan tokoh-tokoh dari negeri yang tak pernah diinjaknya. Seekor kucing yang terluka, seorang dosen, dan pemain alat musik petik shamisen, dan seorang pemuda dari dunia ketiga yang berjuang memperbaiki nasib dengan meneruskan pendidikan sambil menjadi juru masak dari restoran ke restoran di kota metrpolitan Kyoto, Jepang.

Ketiga tokoh ini merepresentasikan keterasingan entitas yang tercerabut dari habitatnya masing-masing. Pemain shamisen tercerabut dari keluarganya, juru masak restoran dari kultur budayanya, dan seekor kucing terusir dari habitatnya. Mereka dipertemukan dalam simpang dunia yang penuh kesendirian. Keterasingan, sebagai konsekuensi dari sebuah pelarian, menjadi simpul cerita. Keterasingan yang sesungguhnya menyiksa terpaksa harus dijalani demi upaya penyelamatan.

Keterasingan, kesepian, dan pelarian yang demikian kuat menghidupi dan menjadi benang merah cerita-cerita di buku ini berakibat mengerikan bagi mereka yang menanggungnya. Pada cerpen Hujanlah yang Membawaku Padamu spirit melarikan diri tampil lebih mengiris lagi. Seorang gadis pelayan kedai mencoba melepaskan diri tekanan kemiskinan dengan memilih menikah dengan pemilik restoran. Dia mengambil keputusan meninggalkan kekasihnya yang hanya seorang pengarang yang tak menjanjikan memberi ruang nyaman dari tekanan kemiskinan. Si pengarang sendiri kemudian dipaksa memilih pergi dari kenyataan ke dunia arwah (hal. 40).

Demikian pula cerpen Rindu di Ujung Petang. Dalam kisah yang mengambil latar perkampungan masyarakat nelayan di Kalimantan ini, keterasingan demikian kuat menghinggapi Hanafi, bocah yatim yang berjuang merebut perhatian ibunya dengan cara yang luar biasa bagi seorang bocah: membakar dongfeng, semacam perahu, milik Hosni Mubaraoq, juragan ikan yang diduga mengguna-gunai ibu si bocah sehingga perhatiannya berpaling kepada juragan ikan (hal. 49).
Pelarian penuh keterasingan terlihat pula pada cerpen Bocah Taman, Di Gerbong Kereta, Bertemu Kembali di Kafe Blues, Senandung Ombak, dan Bocah Gadis yang Suka Bermain-main dengan Angin.

Cerita dengan spirit pelarian sangat rentan terjatuh menjadi kisah-kisah romantik yang cengeng lagi bombastis. Sejenis penyikapan yang menafikkan upaya membangun cerita yang berakar dan mengatasi persoalan yang dihadapi. Rama tampak cukup sadar hal tersebut, bahkan terkesan sangat berhati-hati, sehingga bisa selamat dari jebakan semacam itu.

Hal ini antara lain lantaran Rama menghadirkan cerita-ceritanya lewat strategi literer yang bersahaja. Hampir tanpa liukan yang memungkinkan bahasa memiliki banyak nyawa. Cerita diusung persoalan sederhana dan penyelesaian yang tidak mau rumit dengan pikiran-pikiran sederhana para tokohnya, tapi menggelitik. Terutama tampak pada cerpen Cerutu Terakhir Milik Tjoe Boen Tjiang dan Verkooper Kompas yang berlatar sejarah masa kolonial. Inilah barangkali karakteristik pengarang alumnus Jurusan Hubungan Internasional ini.

Aris Kurniawan
, cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011