Wednesday, May 18, 2011

Krisis Peradaban Matabaca Bangsa

(Refleksi Hari Buku Nasional, 17 Mei 2011)

-- Imam Ma’arif

TANGGAL 17 Mei 2011 merupakan momentum guna membangkitkan kesadaran akan komitmen menjadikan buku sebagai pemantik dalam memajukan peradaban bangsa. Artinya, kemajuan suatu negara bisa dilihat dari seberapa besar daya bangsa dalam memanfaatkan buku sebagai menu prioritas dalam membaca.

SEBAGAI bangsa Indonesia, kita sedikit menoleh dan berkaca terhadap sejarah kemajuan negara-negara di dunia, taruhlah Jepang, Amerika, dan Korea. Ternyata, kebangkitan peradaban itu berawal dari ketekunan membaca. Pada posisi yang demikian, buku merupakan sumber dari segala inspirasi untuk maju. Di samping itu, bangsa negara-negara maju tidak pernah puas dengan prestasi kemajuan yang telah dicapai sehingga mereka selalu terdorong untuk terus membaca dan membaca.

Oleh karena itu, bangsa yang memiliki sumber daya manusia unggul selalu menghasilkan barang kompetitif dan menerapkan teknologi, tidak mungkin terjadi tanpa adanya budaya membaca untuk menyerap informasi yang salah satunya membaca buku. Kenyataan ini membuktikan, buku menjadi kunci perubahan kemajuan peradaban dunia. Itulah sebabnya kita tidak asing dengan semboyan ’’buku adalah jendela peradaban’’. Tentu karena dari bukulah peradaban sebuah negara menjadi maju. Dan dari buku pula sebuah peradaban tak memberi makna apa-apa ketika diabaikan begitu saja.

Krisis Minat Baca Buku

Dalam konteks Indonesia –setelah kita telaah lebih mendalam– kenapa peradaban negara ini tetap tidak maju dan selalu dibilang ketinggalan dari perkembangan segala perspektif, baik ilmu pengetahuan maupun teknologi? Jawabannya tidak lain karena bangsanya lebih besar kemauan untuk bekerja kasar (menjadi kuli) daripada membaca (konseptor).

Kita lihat dari indeks membaca masyarakat Indonesia saat ini, kurangnya minat baca dibuktikan dengan yang baru sekitar 0,001. Artinya dari seribu penduduk, hanya satu yang memiliki minat baca tinggi. Angka tersebut masih sangat jauh dibandingkan angka minat baca di Malaysia dan Jepang. Indeks membaca di negara itu mencapai 0,45. Selain itu, berdasarkan survei UNESCO, budaya baca masyarakat Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN.

Maka, sangat tepat apa yang diungkapkan seorang sastrawan Ajip Rosidi, bahwa masyarakat Jepang sejak usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan bahan bacaan buku. Tak heran jika bangsa Jepang dijuluki sebagai bangsa yang gemar baca buku. Bahkan ada anekdot, ’’kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan Indonesia membaca sambil tidur’’.

Bagi orang Jepang, sesantai apa pun kegiatan yang mereka tengah tekuni, membaca tetap menjadi suatu kebutuhan layaknya kebutuhan makan dan minum sehari-hari. Namun sebaliknya bagi penduduk Indonesia. Sesantai apa pun kegiatan yang mereka tekuni, membaca belum dijadikan suatu kebutuhan. Pendek kata, rendahnya budaya baca buku masyarakat perlu dianggap sebagai persoalan serius dan segera dicarikan solusinya. Kebutuhan membaca setiap penduduk negeri ini boleh dibilang masih tergolong amat rendah. Walau demikian, optimisme kita agar masyarakat terus meningkatkan budaya harus digelorakan bersama. Manusia yang tidak beradab adalah orang-orang yang cuek dan tak peduli dengan budaya membaca, begitu pun menulis.

Tak dapat dipungkiri dan kita nafikan, bahwa kondisi ekonomi terkadang membuat akses masyarakat terhadap buku-buku bermutu semakin sulit. Untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok sehari-hari saja sudah susah, apalagi beli koran, buku, atau bacaan lainnya. Namun yang sangat krusial adalah minat baca masyarakat Indonesia tidak terlepas dari kurangnya kesadaran publik akan arti penting membaca dan menulis bagi peningkatan kemampuan serta kesejahteraan diri maupun bangsa.

Alquran mengajarkan kepada manusia agar selalu membaca, berkaitan dengan surah yang pertama kali turun sudah berupa perintah membaca (iqra). Maka, membaca tidak lain merupakan sunatullah yang mengajarkan kalau ingin maju, kita harus menguasai dan menggunakan ilmu sebagai basis dalam pendidikan. Yaitu melalui membacanya terlebih dahulu agar mendapatkan informasi, seperti ketika menerapkan iptek, sehingga gerbang utamanya tak lain adalah dengan membaca serta memahami ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (Alquran dan hadis) maupun qauniyah berupa alam semesta beserta segenap isinya.

Dengan demikian, untuk membangkitkan minat baca di masyarakat, tidak lepas dari peran kebijakan pemerintah desa. Seperti mengadakan dan mengoptimalisasikan perpustakaan berbasis kerakyatan di desa. Kemudian, mengadakan dan menghidupkan majalah dinding desa agar masyarakat setempat terbiasa melek informasi media cetak (koran). Kesemuanya akan berjalan dengan lancar jika ada kerja sama yang sangat baik pula antara semua stakeholder.

Imam Ma’arif
, Pencinta Buku

Sumber: Radar Lampung, Rabu, 18 Mei 2011

Monday, May 16, 2011

Ujian Nasional: 70 Persen Tak Lulus Karena Bahasa Indonesia

-- K1-11 | Heru Margianto

DENPASAR, KOMPAS.com — Bukan Matematika, bukan pula Bahasa Inggris, melainkan momok para siswa yang tidak lulus di Bali justru berasal dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang sejak kecil telah diajarkan oleh orangtua. Ironisnya, 70 persen siswa yang tidak lulus gara-gara Bahasa Indonesia kebanyakan berasal dari sekolah negeri.

Fenomena siswa kesulitan mengerjakan soal Bahasa Indonesia ini sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun-tahun sebelumnya juga banyak siswa yang gagal dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Usut punya usut, salah satu faktor yang menyebabkan anjloknya nilai Bahasa Indonesia karena sebagian siswa berpikir lebih baik menekuni Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia karena lebih menjanjikan pada masa mendatang.

”Bahasa Indonesia kualitas dan bobot soal lebih kuat, selain itu telah terjadi euforia bilingual, yakni Bahasa Inggris, yang menurut siswa harus menonjol,” ujar Kepala Dinas Penididikan dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali Ida Bagus Anom.

"Ada juga yang menganggap bahwa pelajaran Bahasa Indonesia belum bisa menjanjikan ke depannya daripada pelajaran Bahasa Inggris," ujarnya.

Dalam ujian nasional tahun ini tak ada satu siswa pun yang meraih nilai sempurna dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, menurunnya kualitas siswa dalam mengerjakan soal Bahasa Indonesia ini bukan karena lunturnya jiwa nasionalisme. "Bukan karena itu, tetapi banyak faktor yang seperti saya sebutkan tadi,” kata Anom.

Untuk tingkat kelulusan, Bali merupakan provinsi dengan nilai kelulusan tertinggi secara nasional. Dari 42.572 siswa SMA/MA/SMK yang mengikuti ujian nasional, hanya 20 siswa yang dinyatakan tidak lulus.

Sumber: edukasi.kompas.com | Senin, 16 Mei 2011

151 Penyair Ikuti PPN V di Palembang

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sebanyak 151 penyair siap mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) V di Palembang pada 17-20 Juli mendatang. Mereka lolos seleksi dari 215 penyair yang masuk ke panitia PPN V.

Tim Kurator/Dewan PPN V Palembang, Ahmadun Yosi Herfanda, Anwar Putra Bayu, dan Isbedy Stiawan Z.S. menetapkan 151 penyair dari empat negara serumpun: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand di Palembang,

Menurut Anwar Putra Bayu, mewakili editor, rapat editor pada Minggu (15-5) di Hotel Swarna Dwipha, menyeleksi sekitar 650 puisi dari 215 penyair. "Tim editor sudah kerja maksimal. Buku yang akan diterbitkan bakal tebal," ujar Anwar Putra Bayu.

Bayu menjelaskan antologi puisi tersebut berjudul Akulah Musi sebagai representasi sejumlah puisi yang mengangkat tema Musi sebagai ikon Sumatera Selatan.

"Kami memilih judul Akulah Musi didasari pertimbangan banyak yang menulis ihwal Musi dengan berbagai tafsir dan persoalan. Jadi, kami nilai itu sudah mewakili ke-melayu-an," kata Bayu.

Tim editor sekaligus dewan pengarah PPPN V juga mengagendakan penyair yang akan tampil pada acara pembukaan dan penutupan. Mereka antara lain Sutardji Calzoum Bachri, Dato Kemala, Nana Riskhi Susanti, Inggit Putria Marga, Toton Dai Permana, Alya Salaisha-Sinta, dan Diah Hadaning.

Selain seminar, PPN V akan dimeriahkan dengan pembacaan puisi para penyair yang diundang. "Kami menyiapkan sejumlah panggung terbuka untuk membacakan puisi, misalnya di Kambang Iwak atau di dekat Jembatan Ampera, dan tempat lain yang akan disiapkan panitia," kata Bayu.

Sementara itu, Ahmadun Yosi Herfanda menjelaskan dari 215 penyair yang mengirimkan puisi ke panitia, hanya 165 penyair bersama karyanya yang layak diperdebatkan tim editor. MG1/D-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 16 Mei 2011