-- Fredy Wansyah
KETIKA saya melihat laman internet Pusat Bahasa, saya sedikit bingung dengan adanya istilah "pos-el" yang mengandung arti "surat elektronik". Faktanya, istilah itu tidak tersebar luas di masyarakat. E-mail adalah istilah yang lebih dikenal di masyarakat kita dibandingkan dengan istilah "pos-el". Dari berbagai kalangan usia, latar sosial, ataupun politik, lebih akrab menggunakan istilah e-mail karena telah terbiasa muncul di ruang-ruang publik, seperti radio, televisi, dan media cetak. Saya juga menduga pemakaian istilah e-mail tidak hanya terbiasa pada situasi nonformal, situasi formal pun istilah tersebut mungkin sering digunakan oleh berbagai kalangan.
Beberapa waktu lalu, dalam kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) kita yang bernama Sumiati, pejabat pemerintah yang menaungi TKI mengatakan melalui siaran di televisi bahwa pengurusan TKI sekarang sudah menggunakan sistem online. Penggunaan istilah online tersebut tidak jauh berbeda dengan fakta istilah e-mail tadi . Online merupakan suatu istilah yang dimaknai sebagai suatu sistem berjaringan melalui komputerisasi.
Ada banyak penggunaan istilah asing lainnya yang sudah meluas di masyarakat. Istilah-istilah tersebut pada umumnya merupakan istilah yang berkaitan dengan pola hidup berteknologi. Dari berbagai latar sosial ataupun latar ekonomi, masyarakat kita seakan membutuhkan hidup dengan teknologi. Anak-anak sekolah dasar, misalnya, berapa banyak yang membawa telefon seluler pribadinya ke sekolah. Oleh karena itu, pola hidup berteknologi bukan lagi menjadi suatu fenomena budaya, melainkan telah menjadi fakta budaya.
Sejak munculnya teknologi informasi yang ditandai dengan penyebaran televisi, barang-barang elektronik di Indonesia begitu mudah tersebar dan (dianggap) menjadi komoditas mewah. Televisi, telefon seluler, sepeda motor, mobil, komputer, ipad, bahkan terakhir muncul buku elektronik. Kemunculan buku elektronik ini kemungkinan pula akan tersebar dengan cepat di pasar Indonesia seperti pendistribusian telefon seluler di Indonesia yang menjadi salah satu konsumen terbesar di Asia Tenggara. Barang-barang berteknologi tinggi tersebut tersebar luas, bahkan masyarakat kita menjadi sasaran utama bagi produsen barang elektronik. Media yang berperan atas penyebaran tersebut adalah media elektronik, seperti radio dan televisi.
Pola hidup berteknologi bukan sesuatu yang mutlak salah. Akan tetapi, bila ditelusuri kehidupan berbahasa kita (bahasa Indonesia), perlahan-lahan bahasa Indonesia akan mengalami ketercerabutan, seperti dua fakta pada awal tulisan. Semakin sering kita menggunakan istilah-istilah asing tersebut, semakin akrab pula bagi masyarakat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dapatlah kita maknai bahwa pola kehidupan berteknologi merupakan salah satu gejala krisis bahasa Indonesia.
Salah satu wujud budaya berteknologi saat ini adalah internet. Dengan berbagai sistemnya, internet dapat mempermudah dan mempercepat akses informasi ke berbagai wilayah. Internet menjadi kebutuhan masyarakat. Perkembangan internet di Indonesia seolah-olah tidak terkontrol lagi. Artinya, berbagai pihak yang berwenang tidak mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari berbagai aspek ke publik. Seperti akses jejaring Facebook di Indonesia, misalnya. Sejak kemunculan fenomena jejaring tersebut di Indonesia, pengguna aktif Facebook telah mengalami peningkatan 645 persen. Terhitung sejak awal 2009, pengguna aktif Facebook telah mencapai satu juta lebih.
Pembiasaan dalam penyebutan suatu barang, penamaan suatu rujukan yang berkenaan dengan elektronik, dan penyebutan suatu perilaku yang berkenaan dengan internet merupakan kebiasaan yang secara tidak sadar akan menciptakan bahasa-bahasa asing sebagai bahasa yang biasa hingga menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Padahal, bahasa-bahasa asing tersebut bukan bagian kebahasaan yang tidak dapat distandarkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, aspek-aspek yang berkenaan dengan bahasa akan terancam. Aspek-aspek tersebut adalah sejarah, budaya tradisional, dan kesastraan Indonesia.
Selain masyarakat, penanggung penuh wewenang dalam membenahi awal ketercerabutan berbahasa kita adalah pemerintah dan lembaga kebahasaan. Pemerintah sebaiknya membentuk suatu kebijakan untuk menjaga keutuhan berbahasa nasional dalam pola-pola kehidupan berteknologi. Pengaturan dilakukan terhadap sistem jual-beli barang-barang elektronik agar tidak lupa menyertai penggunaan bahasa Indonesia sebagai bagian dari pemakaian barang tersebut.
Sementara itu, lembaga kebahasaan melakukan standar baku bahasa-bahasa asing yang masuk ke Indonesia. Nasionalisasi bahasa asing merupakan salah satu pilihannya. Bahkan, hasil-hasil standardisasi tersebut dengan cepat disebarkan ke publik melalui berbagai media publik agar penggunaannya tidak didahului oleh istilah (bahasa) asing. Dengan begitu, bahasa yang tetap terjaga tersebut dapat digunakan oleh penggunanya dengan baik, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.***
Fredy Wansyah, mahasiswa Sastra Indonesia Unpad serta penggiat bahasa dan sastra Indonesia.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
Sunday, December 26, 2010
Khazanah Sastra 2010
SEPANJANG 2010, halaman sastra suplemen budaya Khazanah Pikiran Rakyat telah memuat 24 cerpen serta 70-an sajak karya para cerpenis dan penyair. Dengan hanya muncul dua kali dalam sebulan (dua mingguan), secara kuantitas, jumlah ini tentu hanya separuh dari jumlah cerpen dan puisi yang terdapat di halaman sastra di berbagai koran lain yang terbit setiap hari Minggu. Akan tetapi, lepas dari perbandingan semacam itu, jumlah itu bisalah menjadi semacam bayangan untuk menatap beberapa gejala yang terjadi dalam konteks kekaryaan. Mulai dari kuantitas naskah-naskah yang masuk, kecenderungan tematik, pencapaian estetis sejumlah penulis yang telah dikenal, hingga kemunculan para penulis muda (usia).
Pada yang terakhir ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, hampir tujuh puluh persen penulis yang karyanya dimuat merupakan penulis muda (usia). Mereka umumnya kelahiran 1980-an yang sebagian karyanya baru muncul dalam khazanah sastra Indonesia, bahkan beberapa di antaranya merupakan pendatang baru. Sisanya adalah para penulis "senior" yang nama dan karyanya telah dikenal, mulai dari Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Acep Iwan Saidi, Beni Setia, Soni Farid Maulana, Bambang Q-Anees, Dorothea Rosa Herlyani, Aslan Abidin, atau M. Aan Mansyur.
Meski perkembangan teknologi informasi hari ini telah meniadakan batasan-batasan geografis pembaca media, Khazanah tetap berupaya menjaga fokus prioritas pada komunitas atau publik sastra di Bandung atau di Jawa Barat. Seraya itu pula, perkembangan teknologi informasi juga tetap meniscayakan hal yang lain, yakni, keperluan untuk memperluas jaringan publik sastra di seluruh kota di Indonesia. Perluasan jaringan publik ini juga merupakan upaya untuk memosisikan Khazanah sebagai salah satu media dalam orbit perkembangan sastra Indonesia, meski hanya terbit dua kali seminggu.
Oleh karena itulah, di tengah mayoritas para penulis Bandung (Jabar), sesekali dijumpai juga cerpen dan puisi karya para penulis dari Aceh, Medan, Padang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Bogor, Serang, Magelang, Yogyakarta, Madura, Bali, Kendari, atau Makassar. Jika melakukan penghitungan secara kasar, dalam sepekan redaksi Khazanah rata-rata menerima dua sampai lima surat elektronik berisi pengiriman karya puisi dan cerpen. Untuk puisi, umumnya dalam satu pengiriman terdapat sepuluh karya. Dengan jadwal terbit dua mingguan, antrean karya yang telah diseleksi tentu saja menjadi lebih panjang.
Sepanjang 2010, dari berbagai karya yang masuk, bisa dikatakan tak ada karya yang bisa dianggap "penting" jika diukur dari kehendak menemukan bentuk pengucapan, gaya, atau eksplorasi bahasa yang menawarkan hal-hal yang "mengejutkan". Ini adalah tahun yang biasa-biasa saja, bahkan tak jarang begitu sulitnya menemukan cerpen atau puisi yang menggoda untuk secepatnya dimuat. Oleh karena itulah, kerap harus ditempuh strategi jemput bola dengan mengunjungi jejaring sosial Facebook. Mengintipi karya para penulis muda, dan mengundangnya untuk mengirimkan karyanya ke Khazanah. Silakan menyebutnya sebagai cara yang tak lazim, tetapi ini harus dilakukan demi juga melakukan pembacaan yang lebih luas atas kemungkinan potensi-potensi yang ada di luar media mainstream ketimbang hanya menunggu dan menggerutu.
**
MESKI disebut sebagai tahun yang biasa-biasa saja, 2010 menghadirkan perkembangan yang lumayan menarik dalam konteks kemunculan sejumlah nama yang bisa dikatakan sebagai generasi baru dalam perkembangan sastra di Jawa Barat. Sebutlah, Toni Lesmana (Ciamis), Bode Riswandi (Tasikmalaya), atau juga apa yang sebenarnya diam-diam dijanjikan oleh Abdulrahman Mohammad (Cirebon). Meski belum sepenuhnya bisa lepas dari jejak pendahulunya, karya-karya mereka memperlihatkan bentuk pergulatan yang menarik dalam mengeksplorasi bentuk dan tema, tanpa dibebani keinginan untuk menyebal dari konvensi bahasa liris. Paling tidak, karya-karya mereka terasa ditulis dari semacam kegelisahan mencari dan mengeksplorasi bahasa seraya menjaga gagasan tematiknya.
Dari generasi yang sama, kegairahan ini sebenarnya juga terjadi pada para penulis di Bandung. Sebutlah, Yopi Setia Umbara, Faisal Syahreza, atau Heri Maja Kelana. Hanya, pada beberapa nama, sepanjang 2010 tampaknya produktivitas menjadi beban yang membuat karya mereka terkesan tak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sejumlah karya yang mereka kirimkan, terutama puisi, amat terasa bagaimana nada dasar pengucapan mereka nyaris sama. Meski sebagai penyair mereka telah selesai dengan urusan-urusan teknis, kerap bentuk pengucapan dan pendalaman tematik yang ditawarkan belum menjanjikan semacam totalitas kegelisahan. Di luar itu sebenarnya mereka menyimpan potensi yang menarik seandainya produktivitas itu dan keseragaman itu mau diwaspadai.
Di luar itu, terdapat juga semacam harapan yang dijanjikan oleh kemunculan sejumlah nama baru. Meski mereka masih berurusan dengan persoalan-persoalan teknis, karya mereka mereka menghadirkan semacam greget yang tak lazim. Paling tidak, karya-karya itu menawarkan semacam kesegaran dan antusiasme yang berbeda dalam mengeksplorasi bahasa dan tema. Imaji dan temuan metafora mereka bahkan sering kali tak terduga, luput dari sekadar melakukan reproduksi metafora. Sebutlah, karya-karya Pradewi Tri Chatami, Dyen Wijayatiningrum, Evi Seviani, Ellie R. Noer, Sinta Ridwan, Arry Syakir Gifari, atau Theoresia Rumte.
Tentu akan jadi berlebihan jika kemudian mereka disebut sebagai lapisan generasi terbaru dalam kepenyairan di Bandung, apalagi jika hanya merujuk pada beberapa karya mereka yang dimuat di Khazanah pada 2010. Akan tetapi, sepanjang mereka tetap memiliki intensitas dan kesetiaan pada proses, tampaknya tak berlebihan jika orang menaruh harapan pada karya-karya mereka pada tahun mendatang. Beberapa karya mereka cukup menjadi alasan untuk menaruh harapan semacam itu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, umumnya naskah cerpen banyak datang dari para penulis di luar Jawa Barat. Terutama Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Ini seolah makin menegaskan asumsi bahwa perkembangan karya sastra di Jabar lebih didominasi oleh puisi ketimbang prosa. Paling tidak anggapan itu merujuk pada karya-karya yang muncul di media massa.Di antara yang sedikit itulah, Langgeng Anggradinata dan Faisal Syahreza bisa diharap melapis generasi Fina Sato yang sebuah cerpennya juga muncul di Khazanah tahun ini. Demikian pula dengan Agustina Kusuma Dewi yang kembali menulis cerpen setelah cukup lama karyanya tak terdengar.
Meski lebih memprioritaskan penulis (muda) Jabar, terutama pada puisi, dalam beberapa hal secara sengaja juga memberi tempat pada para penyair di luar Jabar dengan strategi pemuatan yang berbarengan. Penyandingan ini diniatkan semata-mata sebagai bahan perbandingan, demikian pula dengan pemuatan tunggal karya para penyair "senior". Lebih dari sekadar itu, sekali lagi, itu mesti dilakukan demi memosisikan Khazanah sebagai media dalam orbit perkembangan sastra Indonesia. Di lain pihak, Khazanah juga memberi ruang pada karya-karya berbahasa daerah (Sunda), puisi, dan carpon (carita pondok). Ada keinginan agar ruang bagi karya berbahasa Sunda muncul secara tetap sebulan sekali, tetapi dengan durasi penerbitan dua minggu sekali, keinginan itu diupayakan menjadi dua bulan sekali. Begitu idealnya, tetapi ternyata ruang untuk karya berbahasa Sunda menjadi sangat bergantung pada ada tidaknya naskah yang berbahasa Sunda yang dikirimkan ke redaksi.
**
SEBAGAI tahun yang biasa-biasa saja, secara umum cerpen dan puisi yang diterima redaksi tak banyak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam cerpen, misalnya, cerpen-cerpen suasana dengan terasa masih banyak mendominasi. Demikian pula yang mencoba mengangkat warna lokal, penokohan yang stereotip, atau yang mencoba masuk ke tema-tema sosial. Banyak cerpen yang dikirim dengan ide cerita yang menarik. Hanya, sering kali sejak paragraf awal eksplorasi bahasa gagal mengantarkan roh cerita. Demikian pula dalam puisi. Dari karya-karya yang diterima, sangat sulit untuk menyebutkan bahwa terdapat sejumlah gejala menarik dalam penjelajahan estetika para penyair. Pada banyak karya para penyair muda (usia), selain munculnya keseragaman pengucapan, juga begitu banyaknya puisi personal yang hanya menjadi dokumentasi pribadi ketimbang menawarkan pengalaman bersama.
Di luar karya-karya yang muncul di Khazanah sepanjang tahun ini, perkembangan sastra Indonesia di Jabar terus menghadirkan berbagai kegairahan. Komunitas-komunitas sastra terus dengan keras kepala mengadakan berbagai aktivitas, mulai dari launching buku, penerbitan antologi bersama, baca puisi dan cerpen, diskusi atau pengajian sastra (meminjam bahasa Majelis Sastra Bandung). Seluruhnya menjadi penting dan menarik sebagai ruang proses bersama, sepanjang itu tidak melulu menjadi keramaian seperti halnya event sastra "nasional" yang terjadi pada 2010 ini.
Kesibukan untuk terus berproses dengan begitu menjadi jauh lebih penting ketimbang kesibukan untuk diundang ke dalam berbagai event sastra dengan biaya sendiri sehingga lebih mirip mengundang jailangkung. Apalagi kemudian event sastra berkelas "nasional" itu ternyata tak pernah memunculkan isu dan diskursus apa pun seperti yang terakhir ini, selain hanya menjadi kehebohan yang tak jelas juntrungannya. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
Pada yang terakhir ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, hampir tujuh puluh persen penulis yang karyanya dimuat merupakan penulis muda (usia). Mereka umumnya kelahiran 1980-an yang sebagian karyanya baru muncul dalam khazanah sastra Indonesia, bahkan beberapa di antaranya merupakan pendatang baru. Sisanya adalah para penulis "senior" yang nama dan karyanya telah dikenal, mulai dari Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Acep Iwan Saidi, Beni Setia, Soni Farid Maulana, Bambang Q-Anees, Dorothea Rosa Herlyani, Aslan Abidin, atau M. Aan Mansyur.
Meski perkembangan teknologi informasi hari ini telah meniadakan batasan-batasan geografis pembaca media, Khazanah tetap berupaya menjaga fokus prioritas pada komunitas atau publik sastra di Bandung atau di Jawa Barat. Seraya itu pula, perkembangan teknologi informasi juga tetap meniscayakan hal yang lain, yakni, keperluan untuk memperluas jaringan publik sastra di seluruh kota di Indonesia. Perluasan jaringan publik ini juga merupakan upaya untuk memosisikan Khazanah sebagai salah satu media dalam orbit perkembangan sastra Indonesia, meski hanya terbit dua kali seminggu.
Oleh karena itulah, di tengah mayoritas para penulis Bandung (Jabar), sesekali dijumpai juga cerpen dan puisi karya para penulis dari Aceh, Medan, Padang, Lampung, Jakarta, Bekasi, Bogor, Serang, Magelang, Yogyakarta, Madura, Bali, Kendari, atau Makassar. Jika melakukan penghitungan secara kasar, dalam sepekan redaksi Khazanah rata-rata menerima dua sampai lima surat elektronik berisi pengiriman karya puisi dan cerpen. Untuk puisi, umumnya dalam satu pengiriman terdapat sepuluh karya. Dengan jadwal terbit dua mingguan, antrean karya yang telah diseleksi tentu saja menjadi lebih panjang.
Sepanjang 2010, dari berbagai karya yang masuk, bisa dikatakan tak ada karya yang bisa dianggap "penting" jika diukur dari kehendak menemukan bentuk pengucapan, gaya, atau eksplorasi bahasa yang menawarkan hal-hal yang "mengejutkan". Ini adalah tahun yang biasa-biasa saja, bahkan tak jarang begitu sulitnya menemukan cerpen atau puisi yang menggoda untuk secepatnya dimuat. Oleh karena itulah, kerap harus ditempuh strategi jemput bola dengan mengunjungi jejaring sosial Facebook. Mengintipi karya para penulis muda, dan mengundangnya untuk mengirimkan karyanya ke Khazanah. Silakan menyebutnya sebagai cara yang tak lazim, tetapi ini harus dilakukan demi juga melakukan pembacaan yang lebih luas atas kemungkinan potensi-potensi yang ada di luar media mainstream ketimbang hanya menunggu dan menggerutu.
**
MESKI disebut sebagai tahun yang biasa-biasa saja, 2010 menghadirkan perkembangan yang lumayan menarik dalam konteks kemunculan sejumlah nama yang bisa dikatakan sebagai generasi baru dalam perkembangan sastra di Jawa Barat. Sebutlah, Toni Lesmana (Ciamis), Bode Riswandi (Tasikmalaya), atau juga apa yang sebenarnya diam-diam dijanjikan oleh Abdulrahman Mohammad (Cirebon). Meski belum sepenuhnya bisa lepas dari jejak pendahulunya, karya-karya mereka memperlihatkan bentuk pergulatan yang menarik dalam mengeksplorasi bentuk dan tema, tanpa dibebani keinginan untuk menyebal dari konvensi bahasa liris. Paling tidak, karya-karya mereka terasa ditulis dari semacam kegelisahan mencari dan mengeksplorasi bahasa seraya menjaga gagasan tematiknya.
Dari generasi yang sama, kegairahan ini sebenarnya juga terjadi pada para penulis di Bandung. Sebutlah, Yopi Setia Umbara, Faisal Syahreza, atau Heri Maja Kelana. Hanya, pada beberapa nama, sepanjang 2010 tampaknya produktivitas menjadi beban yang membuat karya mereka terkesan tak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sejumlah karya yang mereka kirimkan, terutama puisi, amat terasa bagaimana nada dasar pengucapan mereka nyaris sama. Meski sebagai penyair mereka telah selesai dengan urusan-urusan teknis, kerap bentuk pengucapan dan pendalaman tematik yang ditawarkan belum menjanjikan semacam totalitas kegelisahan. Di luar itu sebenarnya mereka menyimpan potensi yang menarik seandainya produktivitas itu dan keseragaman itu mau diwaspadai.
Di luar itu, terdapat juga semacam harapan yang dijanjikan oleh kemunculan sejumlah nama baru. Meski mereka masih berurusan dengan persoalan-persoalan teknis, karya mereka mereka menghadirkan semacam greget yang tak lazim. Paling tidak, karya-karya itu menawarkan semacam kesegaran dan antusiasme yang berbeda dalam mengeksplorasi bahasa dan tema. Imaji dan temuan metafora mereka bahkan sering kali tak terduga, luput dari sekadar melakukan reproduksi metafora. Sebutlah, karya-karya Pradewi Tri Chatami, Dyen Wijayatiningrum, Evi Seviani, Ellie R. Noer, Sinta Ridwan, Arry Syakir Gifari, atau Theoresia Rumte.
Tentu akan jadi berlebihan jika kemudian mereka disebut sebagai lapisan generasi terbaru dalam kepenyairan di Bandung, apalagi jika hanya merujuk pada beberapa karya mereka yang dimuat di Khazanah pada 2010. Akan tetapi, sepanjang mereka tetap memiliki intensitas dan kesetiaan pada proses, tampaknya tak berlebihan jika orang menaruh harapan pada karya-karya mereka pada tahun mendatang. Beberapa karya mereka cukup menjadi alasan untuk menaruh harapan semacam itu.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, umumnya naskah cerpen banyak datang dari para penulis di luar Jawa Barat. Terutama Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Ini seolah makin menegaskan asumsi bahwa perkembangan karya sastra di Jabar lebih didominasi oleh puisi ketimbang prosa. Paling tidak anggapan itu merujuk pada karya-karya yang muncul di media massa.Di antara yang sedikit itulah, Langgeng Anggradinata dan Faisal Syahreza bisa diharap melapis generasi Fina Sato yang sebuah cerpennya juga muncul di Khazanah tahun ini. Demikian pula dengan Agustina Kusuma Dewi yang kembali menulis cerpen setelah cukup lama karyanya tak terdengar.
Meski lebih memprioritaskan penulis (muda) Jabar, terutama pada puisi, dalam beberapa hal secara sengaja juga memberi tempat pada para penyair di luar Jabar dengan strategi pemuatan yang berbarengan. Penyandingan ini diniatkan semata-mata sebagai bahan perbandingan, demikian pula dengan pemuatan tunggal karya para penyair "senior". Lebih dari sekadar itu, sekali lagi, itu mesti dilakukan demi memosisikan Khazanah sebagai media dalam orbit perkembangan sastra Indonesia. Di lain pihak, Khazanah juga memberi ruang pada karya-karya berbahasa daerah (Sunda), puisi, dan carpon (carita pondok). Ada keinginan agar ruang bagi karya berbahasa Sunda muncul secara tetap sebulan sekali, tetapi dengan durasi penerbitan dua minggu sekali, keinginan itu diupayakan menjadi dua bulan sekali. Begitu idealnya, tetapi ternyata ruang untuk karya berbahasa Sunda menjadi sangat bergantung pada ada tidaknya naskah yang berbahasa Sunda yang dikirimkan ke redaksi.
**
SEBAGAI tahun yang biasa-biasa saja, secara umum cerpen dan puisi yang diterima redaksi tak banyak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam cerpen, misalnya, cerpen-cerpen suasana dengan terasa masih banyak mendominasi. Demikian pula yang mencoba mengangkat warna lokal, penokohan yang stereotip, atau yang mencoba masuk ke tema-tema sosial. Banyak cerpen yang dikirim dengan ide cerita yang menarik. Hanya, sering kali sejak paragraf awal eksplorasi bahasa gagal mengantarkan roh cerita. Demikian pula dalam puisi. Dari karya-karya yang diterima, sangat sulit untuk menyebutkan bahwa terdapat sejumlah gejala menarik dalam penjelajahan estetika para penyair. Pada banyak karya para penyair muda (usia), selain munculnya keseragaman pengucapan, juga begitu banyaknya puisi personal yang hanya menjadi dokumentasi pribadi ketimbang menawarkan pengalaman bersama.
Di luar karya-karya yang muncul di Khazanah sepanjang tahun ini, perkembangan sastra Indonesia di Jabar terus menghadirkan berbagai kegairahan. Komunitas-komunitas sastra terus dengan keras kepala mengadakan berbagai aktivitas, mulai dari launching buku, penerbitan antologi bersama, baca puisi dan cerpen, diskusi atau pengajian sastra (meminjam bahasa Majelis Sastra Bandung). Seluruhnya menjadi penting dan menarik sebagai ruang proses bersama, sepanjang itu tidak melulu menjadi keramaian seperti halnya event sastra "nasional" yang terjadi pada 2010 ini.
Kesibukan untuk terus berproses dengan begitu menjadi jauh lebih penting ketimbang kesibukan untuk diundang ke dalam berbagai event sastra dengan biaya sendiri sehingga lebih mirip mengundang jailangkung. Apalagi kemudian event sastra berkelas "nasional" itu ternyata tak pernah memunculkan isu dan diskursus apa pun seperti yang terakhir ini, selain hanya menjadi kehebohan yang tak jelas juntrungannya. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
Tembakau dan Taktik
-- Heru Hikayat
TERSIAR kabar panen tembakau tahun ini kurang bagus. Mulai ada anekdot, tahun depan, kita harus berhati-hati. Apa hubungannya tembakau dengan seni rupa? Seperti dilansir majalah Forbes dalam daftar orang terkaya Indonesia, ada sejumlah pemilik perusahaan rokok. Dalam dunia seni rupa, telah dimaklumi bersama, sebelum bos-bos perusahaan rokok, para distributor tembakau pun kaya luar biasa, dan banyak yang menjadi kolektor lukisan. Beberapa di antara mereka terhitung kolektor dan pemilik galeri penting.
Apa boleh buat, soal pasar masih dominan. Sebab galeri di Bandung terlalu sedikit, perupa-perupa Bandung lebih sering berpameran di Jakarta. Kesuksesan beberapa perupa muda Bandung--mereka memulai kariernya pada pertengahan 2000-an--meningkatkan minat untuk menjadi seniman di kalangan mahasiswa seni rupa, sekaligus mempersempit orientasinya: memulai karier dengan berusaha mendapatkan kesempatan berpameran di galeri komersial. Suara umum para pemilik galeri di Jakarta adalah tahun ini jenuh: terlalu banyak pameran dengan isi yang datar-datar saja. Lelang lukisan tahun ini juga cukup banyak diselenggarakan, dengan hasil yang tidak lagi gempita. Sebagian pemilik galeri dan kolektor bilang, mereka tidak lagi antusias melihat undangan pembukaan pameran atau katalog lelang. Isinya sudah terduga dan fluktuasi harga pun tidak lagi dinamis.
Di Bandung, pameran paling menarik tahun ini adalah "Bandung New Emergence vol. 3" (BNE) di Selasar Sunaryo Art Space dan "Sang Ahli Gambar-Sketsa dan Gambar S. Sudjojono" di Galeri Soemardja ITB. Pada pameran pertama, Agung Hujatnikajenong (kurator Selasar Sunaryo Art Space) membuat terobosan baru dengan mengajak sejumlah perupa yang telah cukup mapan kariernya, tetapi juga tidak terlalu jauh beda umurnya hingga masih bisa dibilang sezaman dengan para perupa baru yang hendak "diperkenalkan" pameran ini, untuk menjadi--dalam istilah mereka--"rekan diskusi". Dengan demikian, pameran ini tidak sekadar menjadi ajang pemunculan wajah baru, juga jadi ajang tukar pendapat, dan berbagi pengalaman.
Jadinya pameran ini menyegarkan sebagai cara mengamati penampang terbaru seni rupa Bandung. Pameran kedua, sebaliknya dari pameran pertama, merupakan kesempatan berefleksi dari sejarah: mengamati keahlian seorang pelopor seni rupa modern Indonesia. Kita bisa mempelajari sketsa-sketsa sejumlah karya penting Sudjojono, hasil riset Aminudin TH Siregar (kurator/direktur Galeri Soemardja).
Pameran "Sang Ahli Gambar", diikuti oleh seri pameran dan sejumlah program publik di 17 tempat di kota Bandung, melibatkan lebih dari 200 seniman, di bawah tajuk "Sang Ahli Gambar dan Kawan-kawan" (SAGKK). Para seniman membuat karya berupa penghargaan pada figur Sudjojono, para pengelola ruang membuat sejumlah program publik yang mengelaborasi karya dan pemikiran Sudjojono. Model kegiatan ini mengingatkan pada Bandung Art Event (BAE) 2001. Kegiatan besar dan rampak yang terangkum dari kumpulan energi ruang-ruang seni di Bandung. Ini kegiatan seni rupa terbesar 2010 di Bandung, selain Pasar Seni ITB. Pasar Seni ITB, di mata saya gagal berhadapan dengan persoalan ruang publik kita. Pasar Seni ITB, karena skala kegiatannya dan mengambil tempat terbuka yang luas di mana orang banyak berkumpul, semestinya menjadi kegiatan yang berhadapan langsung dengan masalah ruang publik kita yang makin hari makin tidak ramah dan toleran.
**
SECARA umum ada tiga suara di sekitar pameran SAGKK. Suara pertama, menyambut baik inisiatif yang bersifat merangkum, karena memberi kesempatan lebih luas pada lebih banyak seniman untuk tampil, sambil menyayangkan kegiatan ini, justru karena merangkum, jadi kurang selektif dan kemungkinan tidak berkelanjutan--hanya menjadi keramaian sesaat. Suara kedua gelisah memandang kemungkinan keuntungan komersialnya. Karena sejak paruh kedua 2007 jumlah perupa Bandung yang mendapat apresiasi pasar meningkat, pameran gabungan ini dipandang sebagai "pemerataan" kesempatan di lapangan komersial juga. Suara ketiga fokus pada diskusi mengenai karya dan pemikiran Sudjojono, sambil mencari cara-cara untuk menafsirnya.
Apakah perkara menjadi seniman melulu soal tiga cara pandang ini? Lalu bagaimana dengan persoalan aktual macam problema ruang publik? Saya sampai pada perkara menjadi seniman karena memperhatikan peningkatan minat seperti yang sudah saya sebutkan, dan karena menemukan secarik kertas di arsip lama saya. Kertas berukuran 9,5 X 28 cm dengan tulisan tangan, "Saya mau jadi seniman." -Itu ungkapan dulu. Sekarang saya tahu, mana yang baik, mana yang buruk... tgl 28 Sept. `95.
Ini adalah satu dari sekian banyak teks yang terkumpul dengan cara nyaris kebetulan semasa saya mahasiswa FSRD ITB. Ristyo Eko Hartanto (lahir 1973), penulis teks ini adalah salah satu perupa yang menjadi "rekan diskusi" di pameran BNE vol. 3. Ia salah satu perupa Bandung yang kariernya cukup mapan, sejak dirintis dari penghujung dekade 1990-an. Selain mengikuti sejumlah pameran dan program residensi di mancanegara, Tanto (panggilan akrabnya) juga mendapat apresiasi baik dari pasar seni Indonesia sejak akhir 2007. Pada 1995, saat menulis teks itu, ia masih mahasiswa, menjadi seniman hanyalah satu dari sejumlah pilihan karier.
Nama Tanto mulai melejit 1999 ketika memenangi Philip Morris Indonesian Art Awards dan penghargaan juri pada Philip Morris ASEAN Art Awards. Tidak seperti umumnya pemenang penghargaan Philip Morris yang langsung menikmati apresiasi pasar lokal, Tanto kemudian pergi ke Belanda untuk mengikuti program residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, Amsterdam, selama dua tahun.
Karya Tanto yang mendapat pernghargaan saat itu, seperti juga karya Isa Perkasa (pemenang Philip Morris Indonesian Art Awards 1998) merupakan komentar terhadap situasi sosial politik kita. Penghargaan berturut bagi Tanto dan Isa Perkasa dari kompetisi seni lukis bergengsi saat itu, mengukuhkan "kemenangan" tema-tema sosial-politik dalam seni, setelah sebelumnya gerakan aktivisme seni turut menyumbang pada gerakan menumbangkan rezim Suharto. Tanto, di masa-masa itu juga aktif dalam gerakan mahasiswa. Ia merupakan salah satu perancang-pelaksana pertunjukan multimedia "wayang subversif" di Jln. Ganesha Bandung. Hari-hari itu, gerakan protes makin menunjukan karakter teater. Ruas Jalan Ganesha depan gerbang ITB menjadi panggung tempat protes dilancarkan dalam bentuk yang makin artistik. Keterlibatan Tanto dalam aktivisme di ujung era Suharto, kemenangannya dalam kompetisi seni lukis bergengsi, kegiatan-kegiatannya di mancanegara, apresiasi pasar tahun-tahun belakangan ini, menjadi alasan saya memilih menutup laporan akhir tahun ini dengan mengulas pengalaman Tanto pada 2010. Lima belas tahun lalu ia menuliskan teks yang menggarisbawahi kegentingan pilihan menjadi seniman, lalu apa yang membuatnya bertahan hingga kini?
Tanto menyatakan, tahun ini bukanlah tahun yang dinamis. Ia merasa tidak mengikuti pameran yang terlalu penting. Kegiatan paling pentingnya adalah menjadi fasilitator di BNE vol. 3. Tanto tidak terlalu risau, karena ia lebih berfokus ke tahun depan. Ia dijadwalkan pameran tunggal di National University of Singapore. Singapura, memang melirik potensi besar seni rupa kita. Ketertiban infrastruktur, akses internasional yang lebih terbuka, dan jarak yang tidak terlalu jauh, membuat pameran di Singapura menjadi pilihan bergengsi bagi perupa kita tahun-tahun belakangan ini.
Ada hal lain yang menggelisahkan Tanto, yaitu mengenai karyanya sendiri. Mendapatkan kesempatan pameran di ruang dan waktu yang (dianggap) prestisius merupakan usaha tersendiri, sementara berkarya tetap merupakan proses yang harus terus digeluti seniman di studionya. Akhir 2007, apresiasi pasar membaik pada Tanto, pada seri karya "Post-North-Korea Nuclear Test". Seri karya ini meliputi lukisan kanvas, gambar pada kertas, instalasi, dan video. Pameran tunggal terakhir Tanto, 2009, berjudul sama dan dianggap puncak penampilan seri karya ini.
Tahun ini waktunya bagi Tanto untuk melangkah, dengan kata lain ia harus meninggalkan "zona nyaman". Kebiasan Tanto memproduksi teks pendek masih berlanjut. Salah satu lukisan yang sedang ia garap berupa teks, "If we lose, i will destroy the world". Tanto menerangkan, ini adalah jawaban Kim Jong-il, pewaris tahta kedikatoran Korea Utara, pada ayahnya (Kim Il Sung) atas pertanyaan, "Apa yang akan kamu lakukan kalau negara kita terseret perang dan kalah?" Seri karya "Post-North-Korea Nuclear Test" didominasi gambar potret "foto-realis", slapstik, orang-orang yang terkaget-kaget macam di film-film kartun Holywood. Tanto mengembangkan ide ini dari kekagetan dunia setelah Korea Utara melakukan percobaan senjata nuklir. Korea Utara terbukti mempunyai senjata pemusnah massal berhulu ledak nuklir. Berarti perkataan Kim Jong-il bisa jadi bukan ancaman kosong, bukan? Saya melihat karya teks ini menandai pergeseran ide dasar seri karya Tanto, dari "fear" (ketakutan) pada "angst". Angst, kata berbahasa Jerman yang telah diadopsi ke Bahasa Inggris, berarti "perasaan cemas, bersalah, atau penyesalan mendalam, terutama tentang keadaan dunia."
Terakhir mengunjungi studio Tanto, di salah satu dinding, tergantung karya teks lain, "Only paranoid will survive". Tanto adalah salah satu dari sedikit perupa kita yang terampil bermain di wilayah "seni dan bahasa". Ia terampil memadukan pilihan teks dengan penjelajahan visualnya. Teks-teks Tanto rapi dan tertib. Pendek kata, indah. Ada paradoks antara keindahan dengan isi teks. Karya seni jadi indah secara tragis. Lalu kenapa nadanya begitu pesimistis?
Saat menjalani program residensi di Belanda, Tanto sempat menyelanya dengan kegiatan di Lembah Bessengue di Douala, Kamerun. Seperti umumnya kesan tentang Afrika, Douala merupakan kota yang kumuh. Tanto dan kolega-koleganya kemudian merasa frustrasi: orang-orang di sana tidak butuh seni, yang mereka butuhkan adalah sanitasi, pendidikan, kemakmuran. Pada masa ini, Tanto mulai membuat gambar-gambar bertema kematian (Tanto rapi dalam pengarsipan, termasuk catatan dan sketsa karya). Pulang dari Bessengue, tidak lama kemudian adalah masa open studio di Rijksakademie. Masa karya para seniman di sana ditinjau oleh para pelaku medan sosial seni, sebuah kesempatan bagi mereka untuk dikenali. Tanto dan kolega-koleganya merasakan kejanggalan: kenapa aku berkesenian di ruang-ruang yang tertib dan serba terjaga ini sementara dunia di luar sana begitu buruk?
Sepulang dari Belanda, Tanto lebih sibuk berorganisasi dan menjadi fasilitator bersama Bandung Center for New Media Arts--kemudian berkembang jadi Common Room Network Foundation. Kegiatan berorganisasi menampung kegelisahan mengenai masalah-masalah aktual. Beberapa tahun sibuk di sini, Tanto tidak terlalu produktif berkarya dan berpameran. Ia kembali merasa janggal: ia ingin kembali berkarya seni. Kegelisahan-kegelisahan ini terpadu menghasilkan ide dasar "ketakutan" bagi seri karya Post-North-Korea Nuclear Test yang menjadi penanda penting pergeseran karya Tanto masa "Philip Morris" dan "Rijksakademie".
Berhasil memproduksi sejumlah besar karya yang mendapat sambutan baik tidak selalu menyamankan. Ini beban. Sambutan dari kritisisme seni adalah satu hal, sambutan dari pasar adalah hal lain. Kritisisme seni mudah mencap produksi berlebihan sebagai mandek, pasar sewaktu-waktu terancam jenuh. Tanto berhitung. Ia perlu waktu untuk mengembangkan karyanya. Berarti pameran-pameran harus dikurangi. Tetapkan satu gol pameran penting, pusatkan konsentrasi ke situ.
Lalu bagaimana dengan ide? Angst menjadi pilihan terusan sekaligus pembeda dari ide "ketakutan" yang dieksekusi merujuk pada sesuatu yang kasuistik sifatnya. Angst lebih ada di dalam diri. Kini Tanto sedang menimbang-nimbang dua pilihan, antara mengeksekusi ide Angst dengan cara yang membuat pelihat karyanya nanti merasakan kecemasan itu, atau mengekspresikan sesuatu dari dalam dirinya sendiri.
Pertimbangan mengenai pengembangan karya berkelindan dengan pertimbangan mengenai strategi berkarier. Tanto membayangkan sebuah piramida tiga jenjang. Jenjang paling bawah, paling lebar, adalah reputasi seniman, jenjang kedua adalah permintaan (pasar dalam arti luas), jenjang puncak adalah harga karya. Penghargaan atas karya hanya dampak dari dua jenjang lain. Bagi Tanto, pasar seni kita sering membuat piramidanya terbalik: harga karya menempati porsi paling lebar, sedangkan reputasi seniman menempati porsi terkecil.
Saya kira, paduan kekeraskepalaan dengan taktik macam yang dimiliki Tanto ini, berhadapan dengan dominasi pasar yang ditingkahi krisis moneter, infrastruktur yang terlalu sedikit berkembang, bisa menjadi harapan di 2011. Tahun yang, jika kita tidak cukup keras kepala mengembangkan diri, akan membuat kekurangdinamisan di 2010 makin memburuk.***
Heru Hikayat, kritikus
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
TERSIAR kabar panen tembakau tahun ini kurang bagus. Mulai ada anekdot, tahun depan, kita harus berhati-hati. Apa hubungannya tembakau dengan seni rupa? Seperti dilansir majalah Forbes dalam daftar orang terkaya Indonesia, ada sejumlah pemilik perusahaan rokok. Dalam dunia seni rupa, telah dimaklumi bersama, sebelum bos-bos perusahaan rokok, para distributor tembakau pun kaya luar biasa, dan banyak yang menjadi kolektor lukisan. Beberapa di antara mereka terhitung kolektor dan pemilik galeri penting.
Apa boleh buat, soal pasar masih dominan. Sebab galeri di Bandung terlalu sedikit, perupa-perupa Bandung lebih sering berpameran di Jakarta. Kesuksesan beberapa perupa muda Bandung--mereka memulai kariernya pada pertengahan 2000-an--meningkatkan minat untuk menjadi seniman di kalangan mahasiswa seni rupa, sekaligus mempersempit orientasinya: memulai karier dengan berusaha mendapatkan kesempatan berpameran di galeri komersial. Suara umum para pemilik galeri di Jakarta adalah tahun ini jenuh: terlalu banyak pameran dengan isi yang datar-datar saja. Lelang lukisan tahun ini juga cukup banyak diselenggarakan, dengan hasil yang tidak lagi gempita. Sebagian pemilik galeri dan kolektor bilang, mereka tidak lagi antusias melihat undangan pembukaan pameran atau katalog lelang. Isinya sudah terduga dan fluktuasi harga pun tidak lagi dinamis.
Di Bandung, pameran paling menarik tahun ini adalah "Bandung New Emergence vol. 3" (BNE) di Selasar Sunaryo Art Space dan "Sang Ahli Gambar-Sketsa dan Gambar S. Sudjojono" di Galeri Soemardja ITB. Pada pameran pertama, Agung Hujatnikajenong (kurator Selasar Sunaryo Art Space) membuat terobosan baru dengan mengajak sejumlah perupa yang telah cukup mapan kariernya, tetapi juga tidak terlalu jauh beda umurnya hingga masih bisa dibilang sezaman dengan para perupa baru yang hendak "diperkenalkan" pameran ini, untuk menjadi--dalam istilah mereka--"rekan diskusi". Dengan demikian, pameran ini tidak sekadar menjadi ajang pemunculan wajah baru, juga jadi ajang tukar pendapat, dan berbagi pengalaman.
Jadinya pameran ini menyegarkan sebagai cara mengamati penampang terbaru seni rupa Bandung. Pameran kedua, sebaliknya dari pameran pertama, merupakan kesempatan berefleksi dari sejarah: mengamati keahlian seorang pelopor seni rupa modern Indonesia. Kita bisa mempelajari sketsa-sketsa sejumlah karya penting Sudjojono, hasil riset Aminudin TH Siregar (kurator/direktur Galeri Soemardja).
Pameran "Sang Ahli Gambar", diikuti oleh seri pameran dan sejumlah program publik di 17 tempat di kota Bandung, melibatkan lebih dari 200 seniman, di bawah tajuk "Sang Ahli Gambar dan Kawan-kawan" (SAGKK). Para seniman membuat karya berupa penghargaan pada figur Sudjojono, para pengelola ruang membuat sejumlah program publik yang mengelaborasi karya dan pemikiran Sudjojono. Model kegiatan ini mengingatkan pada Bandung Art Event (BAE) 2001. Kegiatan besar dan rampak yang terangkum dari kumpulan energi ruang-ruang seni di Bandung. Ini kegiatan seni rupa terbesar 2010 di Bandung, selain Pasar Seni ITB. Pasar Seni ITB, di mata saya gagal berhadapan dengan persoalan ruang publik kita. Pasar Seni ITB, karena skala kegiatannya dan mengambil tempat terbuka yang luas di mana orang banyak berkumpul, semestinya menjadi kegiatan yang berhadapan langsung dengan masalah ruang publik kita yang makin hari makin tidak ramah dan toleran.
**
SECARA umum ada tiga suara di sekitar pameran SAGKK. Suara pertama, menyambut baik inisiatif yang bersifat merangkum, karena memberi kesempatan lebih luas pada lebih banyak seniman untuk tampil, sambil menyayangkan kegiatan ini, justru karena merangkum, jadi kurang selektif dan kemungkinan tidak berkelanjutan--hanya menjadi keramaian sesaat. Suara kedua gelisah memandang kemungkinan keuntungan komersialnya. Karena sejak paruh kedua 2007 jumlah perupa Bandung yang mendapat apresiasi pasar meningkat, pameran gabungan ini dipandang sebagai "pemerataan" kesempatan di lapangan komersial juga. Suara ketiga fokus pada diskusi mengenai karya dan pemikiran Sudjojono, sambil mencari cara-cara untuk menafsirnya.
Apakah perkara menjadi seniman melulu soal tiga cara pandang ini? Lalu bagaimana dengan persoalan aktual macam problema ruang publik? Saya sampai pada perkara menjadi seniman karena memperhatikan peningkatan minat seperti yang sudah saya sebutkan, dan karena menemukan secarik kertas di arsip lama saya. Kertas berukuran 9,5 X 28 cm dengan tulisan tangan, "Saya mau jadi seniman." -Itu ungkapan dulu. Sekarang saya tahu, mana yang baik, mana yang buruk... tgl 28 Sept. `95.
Ini adalah satu dari sekian banyak teks yang terkumpul dengan cara nyaris kebetulan semasa saya mahasiswa FSRD ITB. Ristyo Eko Hartanto (lahir 1973), penulis teks ini adalah salah satu perupa yang menjadi "rekan diskusi" di pameran BNE vol. 3. Ia salah satu perupa Bandung yang kariernya cukup mapan, sejak dirintis dari penghujung dekade 1990-an. Selain mengikuti sejumlah pameran dan program residensi di mancanegara, Tanto (panggilan akrabnya) juga mendapat apresiasi baik dari pasar seni Indonesia sejak akhir 2007. Pada 1995, saat menulis teks itu, ia masih mahasiswa, menjadi seniman hanyalah satu dari sejumlah pilihan karier.
Nama Tanto mulai melejit 1999 ketika memenangi Philip Morris Indonesian Art Awards dan penghargaan juri pada Philip Morris ASEAN Art Awards. Tidak seperti umumnya pemenang penghargaan Philip Morris yang langsung menikmati apresiasi pasar lokal, Tanto kemudian pergi ke Belanda untuk mengikuti program residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, Amsterdam, selama dua tahun.
Karya Tanto yang mendapat pernghargaan saat itu, seperti juga karya Isa Perkasa (pemenang Philip Morris Indonesian Art Awards 1998) merupakan komentar terhadap situasi sosial politik kita. Penghargaan berturut bagi Tanto dan Isa Perkasa dari kompetisi seni lukis bergengsi saat itu, mengukuhkan "kemenangan" tema-tema sosial-politik dalam seni, setelah sebelumnya gerakan aktivisme seni turut menyumbang pada gerakan menumbangkan rezim Suharto. Tanto, di masa-masa itu juga aktif dalam gerakan mahasiswa. Ia merupakan salah satu perancang-pelaksana pertunjukan multimedia "wayang subversif" di Jln. Ganesha Bandung. Hari-hari itu, gerakan protes makin menunjukan karakter teater. Ruas Jalan Ganesha depan gerbang ITB menjadi panggung tempat protes dilancarkan dalam bentuk yang makin artistik. Keterlibatan Tanto dalam aktivisme di ujung era Suharto, kemenangannya dalam kompetisi seni lukis bergengsi, kegiatan-kegiatannya di mancanegara, apresiasi pasar tahun-tahun belakangan ini, menjadi alasan saya memilih menutup laporan akhir tahun ini dengan mengulas pengalaman Tanto pada 2010. Lima belas tahun lalu ia menuliskan teks yang menggarisbawahi kegentingan pilihan menjadi seniman, lalu apa yang membuatnya bertahan hingga kini?
Tanto menyatakan, tahun ini bukanlah tahun yang dinamis. Ia merasa tidak mengikuti pameran yang terlalu penting. Kegiatan paling pentingnya adalah menjadi fasilitator di BNE vol. 3. Tanto tidak terlalu risau, karena ia lebih berfokus ke tahun depan. Ia dijadwalkan pameran tunggal di National University of Singapore. Singapura, memang melirik potensi besar seni rupa kita. Ketertiban infrastruktur, akses internasional yang lebih terbuka, dan jarak yang tidak terlalu jauh, membuat pameran di Singapura menjadi pilihan bergengsi bagi perupa kita tahun-tahun belakangan ini.
Ada hal lain yang menggelisahkan Tanto, yaitu mengenai karyanya sendiri. Mendapatkan kesempatan pameran di ruang dan waktu yang (dianggap) prestisius merupakan usaha tersendiri, sementara berkarya tetap merupakan proses yang harus terus digeluti seniman di studionya. Akhir 2007, apresiasi pasar membaik pada Tanto, pada seri karya "Post-North-Korea Nuclear Test". Seri karya ini meliputi lukisan kanvas, gambar pada kertas, instalasi, dan video. Pameran tunggal terakhir Tanto, 2009, berjudul sama dan dianggap puncak penampilan seri karya ini.
Tahun ini waktunya bagi Tanto untuk melangkah, dengan kata lain ia harus meninggalkan "zona nyaman". Kebiasan Tanto memproduksi teks pendek masih berlanjut. Salah satu lukisan yang sedang ia garap berupa teks, "If we lose, i will destroy the world". Tanto menerangkan, ini adalah jawaban Kim Jong-il, pewaris tahta kedikatoran Korea Utara, pada ayahnya (Kim Il Sung) atas pertanyaan, "Apa yang akan kamu lakukan kalau negara kita terseret perang dan kalah?" Seri karya "Post-North-Korea Nuclear Test" didominasi gambar potret "foto-realis", slapstik, orang-orang yang terkaget-kaget macam di film-film kartun Holywood. Tanto mengembangkan ide ini dari kekagetan dunia setelah Korea Utara melakukan percobaan senjata nuklir. Korea Utara terbukti mempunyai senjata pemusnah massal berhulu ledak nuklir. Berarti perkataan Kim Jong-il bisa jadi bukan ancaman kosong, bukan? Saya melihat karya teks ini menandai pergeseran ide dasar seri karya Tanto, dari "fear" (ketakutan) pada "angst". Angst, kata berbahasa Jerman yang telah diadopsi ke Bahasa Inggris, berarti "perasaan cemas, bersalah, atau penyesalan mendalam, terutama tentang keadaan dunia."
Terakhir mengunjungi studio Tanto, di salah satu dinding, tergantung karya teks lain, "Only paranoid will survive". Tanto adalah salah satu dari sedikit perupa kita yang terampil bermain di wilayah "seni dan bahasa". Ia terampil memadukan pilihan teks dengan penjelajahan visualnya. Teks-teks Tanto rapi dan tertib. Pendek kata, indah. Ada paradoks antara keindahan dengan isi teks. Karya seni jadi indah secara tragis. Lalu kenapa nadanya begitu pesimistis?
Saat menjalani program residensi di Belanda, Tanto sempat menyelanya dengan kegiatan di Lembah Bessengue di Douala, Kamerun. Seperti umumnya kesan tentang Afrika, Douala merupakan kota yang kumuh. Tanto dan kolega-koleganya kemudian merasa frustrasi: orang-orang di sana tidak butuh seni, yang mereka butuhkan adalah sanitasi, pendidikan, kemakmuran. Pada masa ini, Tanto mulai membuat gambar-gambar bertema kematian (Tanto rapi dalam pengarsipan, termasuk catatan dan sketsa karya). Pulang dari Bessengue, tidak lama kemudian adalah masa open studio di Rijksakademie. Masa karya para seniman di sana ditinjau oleh para pelaku medan sosial seni, sebuah kesempatan bagi mereka untuk dikenali. Tanto dan kolega-koleganya merasakan kejanggalan: kenapa aku berkesenian di ruang-ruang yang tertib dan serba terjaga ini sementara dunia di luar sana begitu buruk?
Sepulang dari Belanda, Tanto lebih sibuk berorganisasi dan menjadi fasilitator bersama Bandung Center for New Media Arts--kemudian berkembang jadi Common Room Network Foundation. Kegiatan berorganisasi menampung kegelisahan mengenai masalah-masalah aktual. Beberapa tahun sibuk di sini, Tanto tidak terlalu produktif berkarya dan berpameran. Ia kembali merasa janggal: ia ingin kembali berkarya seni. Kegelisahan-kegelisahan ini terpadu menghasilkan ide dasar "ketakutan" bagi seri karya Post-North-Korea Nuclear Test yang menjadi penanda penting pergeseran karya Tanto masa "Philip Morris" dan "Rijksakademie".
Berhasil memproduksi sejumlah besar karya yang mendapat sambutan baik tidak selalu menyamankan. Ini beban. Sambutan dari kritisisme seni adalah satu hal, sambutan dari pasar adalah hal lain. Kritisisme seni mudah mencap produksi berlebihan sebagai mandek, pasar sewaktu-waktu terancam jenuh. Tanto berhitung. Ia perlu waktu untuk mengembangkan karyanya. Berarti pameran-pameran harus dikurangi. Tetapkan satu gol pameran penting, pusatkan konsentrasi ke situ.
Lalu bagaimana dengan ide? Angst menjadi pilihan terusan sekaligus pembeda dari ide "ketakutan" yang dieksekusi merujuk pada sesuatu yang kasuistik sifatnya. Angst lebih ada di dalam diri. Kini Tanto sedang menimbang-nimbang dua pilihan, antara mengeksekusi ide Angst dengan cara yang membuat pelihat karyanya nanti merasakan kecemasan itu, atau mengekspresikan sesuatu dari dalam dirinya sendiri.
Pertimbangan mengenai pengembangan karya berkelindan dengan pertimbangan mengenai strategi berkarier. Tanto membayangkan sebuah piramida tiga jenjang. Jenjang paling bawah, paling lebar, adalah reputasi seniman, jenjang kedua adalah permintaan (pasar dalam arti luas), jenjang puncak adalah harga karya. Penghargaan atas karya hanya dampak dari dua jenjang lain. Bagi Tanto, pasar seni kita sering membuat piramidanya terbalik: harga karya menempati porsi paling lebar, sedangkan reputasi seniman menempati porsi terkecil.
Saya kira, paduan kekeraskepalaan dengan taktik macam yang dimiliki Tanto ini, berhadapan dengan dominasi pasar yang ditingkahi krisis moneter, infrastruktur yang terlalu sedikit berkembang, bisa menjadi harapan di 2011. Tahun yang, jika kita tidak cukup keras kepala mengembangkan diri, akan membuat kekurangdinamisan di 2010 makin memburuk.***
Heru Hikayat, kritikus
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Desember 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)