Sunday, April 18, 2010

Menjaga ”Kabuyutan”

-- Mira Marsellia

Sumpah pamangmang ni lebu ni paduka haji
i Sunda irikita kamung hyang kabeh pakadya umapala ikan
i sanghyang tapak ya patyanantaya
Kamung hyang dentat patiya
siwak kapalanya cucup uteknya
belah dadanya inum rahnya
rantan ususnya wekasaken
pranantika
i sanghyang kabeh tawat hana wwang baribari
shila irikang lwah i sanghyang tapak
apan iwak pakan prannahnya kapangguh i sanghyang
Maneh ka liliran pakanya katake
dlaha ning dlaha
Paduka haji i sunda
Umade maka kadarman
ing samangkana wekawet paduka haji i sunda
sanggum nti ring kulit kata kamanah ing kanang
i sanghyang tapak makatepa lwah watesnya
i hulu sanghyang tapak
i hilir mahingan irikan
Umpi ing wungkal gde kalih
i wruhhanta kamung hyang kabeh


KALIMAT di atas adalah penggalan dan prasasti Sang Hyang Tapak di Sungai Cicatih Sukabumi. Prasasti berpenanggalan 952 tahun Caka itu bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Nama lengkap sang Prabu adalah Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Ia adalah Raja di Kerajaan Sunda. Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) Saka (1030 -1042 M).

Dalam prasasti itu, Raja Sunda Sang Prabu Sri Jayabupati memerintahkan dan bersumpah agar rakyatnya menjaga dan memelihara wilayah Kabuyutan Sang Hyang Tapak. Segenap kekuatan gaib dipanggil dan diperintahkan untuk menghukum barang siapa yang berani merusak dan mengambil ikan di wilayah kabuyutan, dengan ancaman siapa pun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya sebagai hukuman.

Namun barang siapa yang menjaga dan mengindahkan perintah tersebut akan mendapat anugerah yang cukup, sandang, pangan, dan papan. Sumpah dengan hukuman yang sangat berat tersebut yang diucapkan oleh Raja Sunda, lengkapnya tertera pada prasasti keempat, terdiri atas dua puluh baris. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya). Menjadi bukti nyata bahwa sang Raja sangat teguh dalam menjaga kelestarian wilayah yang disebut dengan kabuyutan.

Kabuyutan dalam arti di sini adalah merujuk pada suatu tempat yang dike-ramatkan, tempat yang mempunyai pantangan, dan merupakan tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wilayah kabuyutan bisa berupa ba-ngunan yang dikeramatkan atau wilayah dan lahan bersungai yang ditumbuhi pepohonan. Kabuyutan di Jawa Barat misalnya wilayah Sang Hyang Tapak di Sukabumi dan Kanekes di kecamatan Leuwidamar Banten, Kabuyutan Ciburuy di Bayongbong, Kabupaten Garut.

Sebagai kata benda, kabuyutan pu-nya arti yang lebih spesifik, yaitu sebagai sacred place atau devasasana; tempat pemuka kerajaan, pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutan-lah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Hindu di tatar Sunda. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Astana Gede di Kawali adalah contoh kabuyutan berupa situs seluas lima hektare dengan kekayaan peninggalan sejarah di mana terdapat prasasti, susunan batu dan lingga, ma-kam kuno, berbagai jenis pepohonan, dan tetumbuhan. Di wilayah yang asri dan rapat oleh pepohonan itu terdapat mata air Cikawali yang konon airnya tidak pernah kering walaupun di musim kemarau.

Dalam mengelola hutan, masyarakat Baduy di Kanekes menjadi contoh yang baik bagaimana manusia menjaga alam, termasuk dengan menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Bagi masyarakat Baduy, hutan memegang peran penting kehidupan dan mata pencaharian. Keberadaan masyarakat Baduy menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Pajajaran waktu itu. Pengolahan tanah dilakukan sesedikit mungkin tanpa mengubah kontur tanah. Di hutan tertentu, pengolahan tanah untuk pertanian hanya untuk hal substansial bertahan hidup saja tanpa dikomersialkan untuk perda-gangan. Bahkan hewan ternak berkaki empat pun dijaga untuk masuk ke wilayah hutan yang ditabukan. Hal tersebut untuk mencegah agar bekas injakan dan kebutuhan makanan atas daun-daunan ternak tersebut tidak mengganggu kelestarian hutan.

Para raja leluhur Sunda dahulu menjaga wilayah kabuyutan dengan sumpah dan perintah yang tegas bahkan dengan hukuman mati bagi siapa yang mengganggu dan merusaknya. Tidak hanya Prabu Jayabhupati yang sangat tegas dalam menghukum perusak wilayah kabuyutan. Dalam prasasti Kebantenan III terdapat supata atau perintah dari Sang Prabu Sri Baduga sebagai berikut: ”Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.”

Kita sadari bahwa selain sebagai warisan sejarah, kabuyutan sendiri di-tinjau dari sisi sumber daya alam adalah tempat yang perlu kita jaga dan kelola sebagai tempat untuk konservasi air, pelestarian hutan, dan habitat satwa. Apakah Bandung memiliki tempat kabuyutan? Tanpa adanya prasasti pun kita harus bisa mengetahui bahwa kabuyutan untuk Kota Bandung adalah tempat-tempat di mana hutan perlu dilestarikan, sungai yang perlu kita jaga kebersihannya, dan situ yang perlu kita jaga debit airnya.

Saat ini dapat kita lihat, hujan lebat yang mendera Bandung dalam satu dua hari saja telah mampu membuat perumahan dan jalan-jalan digenangi air dengan ketinggian yang memprihatinkan. Ironisnya apabila musim kemarau, air sulit didapatkan di mana-mana. Kita sejak kecil telah belajar bahwa penyebab banjir di musim hujan adalah rusaknya hutan, hilangnya danau sebagai penampung air, dan mampetnya sungai-sungai akibat sampah. Namun dari musim hujan ke hujan berikutnya, masalah yang sama masih kita hadapi disitu-situ saja. Banjir, kekeringan, dan rusaknya kawasan hutan diatasnamakan oleh pembangunan.

Sangat diharapkan pemerintah dapat secara tegas menetapkan wilayah di mana perlu kita lestarikan dan kita jaga. Apabila raja dahulu menetapkan hukuman mati bagi perusak dan pengganggu kabuyutan, setidaknya pada zaman sekarang ini sanksi yang tegas berupa hukuman denda dan kurungan dapat diterapkan agar ditaatinya hukum bagi perusak alam.

Leluhur kita sendiri telah menetapkan, melarang, dan memerintahkan agar kita menjaga kawasan kabuyutan yang terbukti berfungsi sebagai penjaga kelestarian sumber daya alam, yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan kelangsungan hidup anak cucu kita di kemudian hari. Apa yang kita lakukan sekarang ternyata hanya membuat alam semakin marah, akibat kelalaian kita sendiri.

* Mira Marsellia, Blogger, tinggal di Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

Kota dan Labirin Konsumerisme

DATANGLAH ke Bandung. Maka Anda sebenarnya tidaklah berada dalam sebuah kota, melainkan berada dalam sebuah labirin. Labirin yang sesak dan dikonstruk oleh berbagai kepentingan komersial. Kota dan seluruh ruang di dalamnya dibangun bukan lagi untuk kepentingan publik, melainkan demi melayani hasrat-hasrat kuasa para pemilik modal. Lihatlah, berbagai penunjuk jalan pun muncul dan memberi informasi ihwal lokasi komersial, mulai dari mal hingga factory outlet sehingga seluruhnya seolah telah menjadi bagian utuh dari tubuh kota. Inilah kisah kota dalam labirin konsumerisme. Kota yang tubuhnya dipenuhi oleh kekerasan simbolis.

Inilah "Kisah Kota yang Luka", karya instalasi yang dipresentasikan Jejen Jaleni dan Valerie Putti K. dalam projek akhir para siswa Lateral School di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010. Karya berada di ruang sayap kiri GIM, terbuat dari material kardus yang dilapisi koran, dengan dimensi 8x5x2 meter. Pada beberapa sudut labirin terpasang papan penunjuk jalan dengan warna dan model huruf yang banyak kita temukan di Kota Bandung. Papan penunjuk yang terbuat dari material styrofoam ini digantung nyaris mengepung setiap sudut labirin.

Papan penunjuk jalan itu mencantumkan berbagai kawasan di Bandung, sekaligus juga penunjuk arah untuk menuju suatu mal atau pusat perbelanjaan. Bahkan bisa dikatakan papan penunjuk arah ini yang menjadi pusat dari gagasan karya instalasi tersebut. Labirin kota yang sesak dengan berbagai teks media (koran), menjadi kisah sebuah kota yang seluruh geraknya diwarnai oleh ruang-ruang komersial. Mal, factory outlet, dan berbagai pusat perbelanjaan di Bandung yang banyak dicantumkan dalam penunjuk jalan, menjelaskan bagaimana tubuh sebuah kota telah menjadi milik berbagai kepentingan pemilik modal.

Maka kota pun bukan lagi menjadi milik warga atau publik. Berbagai ruang komersial yang selalu ada dalam penunjuk jalan menyimpan pengertian bahwa ruang-ruang komersial tersebut lebih dari sekadar ruang geografis, sebagaimana kota itu sendiri. Ia adalah ruang di mana terjadi berbagai pertempuran kepentingan. Dan itu selalu dimenangkan oleh kepentingan konsumerisme ketimbang kepentingan publik.

Memasuki instalasi labirin karya Jejen Jaelani dan Valerie Putti K. ini adalah bertemu dengan kepungan dan kelokan yang menyesakkan. Karya instalasi labirin ini tampaknya hadir untuk lebih dari sekadar menjadi replika fisik Kota Bandung. Melainkan mencoba merekam fenomena kehidupan urban dengan budaya konsumerisme yang menjadi panglimanya. Di hadapan keinginan hasrat konsumerisme inilah kisah kota dikontruksi oleh berbagai kebijakan. Dan ironisnya, seluruhnya berlangsung seakan-akan sebagai suatu kelaziman demi kebutuhan melayani modernitas.

Lepas dari keinginan untuk memperkarakan bagaimana Jejen Jalelani dan Valerie Putti K. mengolah unsur kebentukan, karya instalasi ini lagi-lagi lebih inginmendedahkan dirinya pada fenomena aktual yang tengah berlangsung, bersama konsep penyikapan dan pemikiran yang membayang di belakangnya.

Keduanya menuturkan bahwa kota dalam masyarakat modern merupakan representasi dari penguasaan sebuah wacana yang menjadi penguasa. Disadari betapa siapapun yang memenangkan wacana dalam suatu masyarakat, maka dengan wacana itulah ia akan menjadi penguasa. Penguasa yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan membentuk cara berpikir masyarakat tersebut.

Penguasaan wacana dalam ranah linguistik bisa dilihat dalam penunjuk jalan sebagai bentuk penguasaan simbolis. Menurut keduanya, kuasa simbolik dalam penunjuk jalan dengan berbagai nama tempat komersial semacam itu dilakukan dengan mekanisme yang sangat halus. "Ia menjadi semacam kejahatan terselubung yang tidak disadari masyarakat," tulis Jejen dan Valerie.

Untuk hal ini keduanya meminjam teori sosiolog Prancis Bourdieu, yakni ihwal kekerasan simbolis (symbolic violence). Dalam teori itu mengemuka pemikiran kritis bahwa terdapat bentuk tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bahasa. Kekerasan simbolis merupakan kekerasan dalam bentuknya yang halus dan lembut. Kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, malah sebaliknya menjadi sebuah kompromi karena telah mendapat legitimasi yang juga terjadi secara terselubung dan halus.

Jejen dan Valeri mengamati bahwa penunjuk jalan dengan pencantuman nama-nama tempat komersial tersebut tidaklah terjadi dengan sendirinya. Ia merupakan implikasi dari pembangunan kota yang massif, sekaligus juga menjelaskan tabiat dari visi politik pembangunan pemerintah.

"Kian banyaknya penunjuk jalan tempat-tempat komersial menunjukkan bahwa kota yang selama ini dilakukan mengarah pada pembangunan fasilitas-fasilitas komersial. Hal ini mengimplikasikan betapa pembangunan kota tempat kita tinggal disetir oleh kekuatan-kekuatan kapitalis. Akan tetapi, masyarakat menganggap tempat-tempat semacam itu sebagai hal yang sangat biasa, bahkan tanpa disadari menjadikannya sebagai bagian dari hidupnya" tulis keduanya lagi. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

Tubuh, Tema, dan Benda

ROKOK difatwakan sebagai benda haram, seorang mantan buruh pabrik rokok terlunta-lunta mencari pekerjaan di kota. Hanya dengan beberapa lembar keterangan identitasnya sebagai pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), juga penghargaan sebagai juara lomba azan, tentu saja tak mudah ia mendapatkan pekerjaan itu. Kota lebih memerlukan seorang sarjana dan mereka yang memiliki keahlian. Bukan pengurus DKM yang hanya memiliki keterampilan melinting rokok. Di tengah berbagai tawaran agar ia membeli ijazah, dikenangnyalah masa kejayaan ketika rokok masih menjadi andalan hidup orang-orang seperti dirinya yang sampai bisa memiliki dua istri. Rokok yang menjadi andalan hidup sekaligus yang dihisap sambil mendengarkan pengajian.

SALAH satu adegan monolog “Kala” karya Siti Amanah dan Ratu Selvia dalam presentasi peserta Lateral School bertajuk “Final Project” yang diselenggarakan oleh Oyag Forum di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010. * AHDA IMRAN

Mungkin di kota yang sama, seorang penyanyi terkenal menuturkan kisah masa lalunya yang gelap sebagai anak jalanan. Kota yang gemerlap dan popularitas diam-diam telah membuatnya merasa terasing dan merasa sendirian. Inilah yang membawanya kembali pada berbagai pengalaman di masa lalunya. Anak jalanan yang ingin sekolah dan sosok ibunya yang menjadi pelacur. Sosok yang dibencinya dan berharap pada kematiannya tetapi yang tiba-tiba muncul kembali. Seseorang memang tak bisa lari dari masa lalunya, terlebih jika ia tak pernah mau menghargainya.

Sementara itu, kisah yang lain menuturkan biografi dua perempuan di tengah dominasi para lelaki. Kala, perempuan Bali yang mengalami tekanan atas nama tradisi dan tekanan eksistensial yang dialami dalam percintaan Laila. Kekuasaan memang senantiasa aneh, menakjubkan, sekaligus menyimpan kekejamannya sendiri. Ia adalah metafora dalam tumpukan dan permainan kursi yang menyelubungi sekaligus menindih tubuh manusia.

Kekuasaan yang lain juga tak kalah menakjubkan dan bengisnya, ketika kekuasaan itu menyelubungi tubuh sebuah kota. Kuasa konsumerisme telah menjadikan kota sebagai sebuah labirin yang membingungkan. Berbagai petunjuk jalan muncul, sekaligus menunjukkan arah menuju ruang konsumerisme. Ruang yang diakui sebagai bagian dari tubuh kota.

Di bagian lain, budaya urban dan konsumerisme telah mengangkut berbagai benda dengan kehidupan sosialnya ke dalam ruang kesadaran manusia. Benda-benda adalah kehidupan sosial. Busana dan baju memiliki makna yang berbeda demi penciptaan citra kehadiraan seseorang. Memilih baju dan berdandan adalah memilih sesuatu yang lebih dari sekadar bagaimana agar benda itu berfungsi pada tubuh.

Inilah yang dipresentasikan oleh sejumlah siswa Lateral School Oyag Forum di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), 14 April 2010 dalam tajuk "Final Project". Sebuah projek akhir dari workshop yang berlangsung sejak Januari lalu. Projek akhir ini tampil dalam bentuk monolog tunggal atau berdua (duo), juga pembacaan cerpen, dan karya instalasi. Kecuali mungkin Karensa Dewantoro, para siswa itu umumnya merupakan wajah-wajah baru, dari mulai Jejen Jaelani dan Valerie Putti K., Zidni A.R., Ernawati Widyaningrum, Kamaludin, Fitri Dwidian N., Ary Syakir Gifari, Silviarani Mutia, Herman Ananda, Ratu Selvi Agnesia, dan Siti Amanah.
**

MENGUBAH benda tidak sekadar sebuah pelengkap (properti), tetapi menciptakannya menjadi metafora untuk mengartikulasikan gagasan arstistik dan kesadaran. Inilah yang tampaknya "kewajiban pokok" para siswa dalam mempresentasikan karya mereka dalam projek akhir ini. Dengan kata lain, kewajiban ini menekan pada upaya menghadirkan pendalaman tematik lewat benda. Benda-benda itu dibongkar dan ditautkan pemaknaannya dengan sudut kesadaran dan gagasan yang termaktub dalam tema.

Kewajiban semacam ini jelas membawa para siswa untuk mencari dan menemukan narasi-narasi yang ada di balik sebuah benda, baik sebagai simbol atau yang kemudian diolah menjadi metafora.

Kursi, bantal, baju, sepatu, rokok, kurungan ayam, dan anyaman bambu tempat sampah, celengan keramik, kardus, hingga berbagai efek citraan visual yang ditembakkan lewat in-focus. Benda-benda dihadirkan untuk mengusung kisah dan biografi manusia di tengah berbagai fenomena sosialnya. Lepas dari soal bagaimana seluruh benda itu akhirnya memberi makna yang "segar" sebagai sebuah bentuk dari tindakan mengartikulasikan gagasan artistik, yang tampaknya masih terlalu pagi untuk nyinyir memperkarakannya, apa yang dipresentasikan siswa Lateral School angkatan pertama ini tampaknya lebih mengonsentrasikan dirinya pada tema.

Dari enam karya yang dipresentasikan tema sosial-politik (kekuasaan) muncul lewat duo monolog Zidni A.R. dan Karensa Dewantoro dalam "Kursi Gila" yang mencoba mengolah simbolisasi kursi dalam fenomena kekuasaan. Sedangkan ihwal kehidupan urban terasa benar dalam cerpen pertunjukan "Umar Khayal" Ernawati Widyaningrum yang menggunakan efek citraan visual. Dampak sosial dari fatwa haram rokok diangkat Ary Syakir Ghifari dalam monolog "Wanted". Fenomena perempuan dan keadilan gender di tengah masyarakat tradisi diusung oleh Ratu Selvi Agnesia dan Siti Amanah lewat duo monolog "Kala", dengan metafora kurungan ayam dan tempat sampah.

Meski masih dengan tema yang sama, lewat duo monolog "Laila BUKAN Majnun", Silvianirani Mutia dan Herman Ananda menghadirkan bantal sebagai representasi dari situasi psikologis seorang perempuan. Sedangkan Kamaludin dan Fitri Dwian N., dengan sepatu dan seperangkat pakaian, menghadirkan kesadaran ihwal hubungan manusia dan kehidupan sosial benda-benda dalam "Mengusung Tubuh".

Tema yang diusung tampaknya mengambil sudut permasalahan yang terasa aktual di negeri ini. Dari mulai budaya urban, selebritas, kemiskinan, pengangguran, hubungan agama dan realitas sosial, keadilan gender, dan kekuasaan. Lepas dari sejauah mana eksplorasi tematik yang dilakukan, pilihan tema semacam ini menjadi menarik. Paling tidak, motivasi pada pilihan tema ini membayangkan bagaimana para siswa itu memandang kerja seni dalam hubungannya dengan realitas sosial, serta bagaimana keseluruhannya itu ditemukan dalam di balik benda-benda.
**

MELEKATKAN tubuh dengan benda tampaknya menjadi strategi para siswa untuk menjadikan benda itu sebagai metafora. Kesatuan tubuh dan benda sebagai metafora inilah yang bermuara pada imaji. Sebenarnya inilah yang sudah terasa sejak memasuki ruang pertunjukan, ketika penonton langsung disambut oleh instalasi "Kisah Kota yang Luka" karya Jejen Jaelani dan Valeri Putti K. Instalasi yang terbuat dari labirin dibungkus kertas koran ini langsung membawa tubuh penonton memasuki labirin sebuah kota yang berbelit-belit, dikepung oleh berbagai penunjuk jalan yang mengarah pada ruang-ruang konsumerisme.

Demikian pula tubuh yang berinteraksi dengan kursi dalam "Kursi Gila" karya Karensa Dewantoro dan Zidni A.R. Tubuh di situ mencoba bersatu dengan kursi yang menjadi subjek. Atau pula baju dan sepatu yang ditampilkan oleh Kamaludin dan Fitri D.N dalam "Bungkus Tubuh". Keduanya seakan mempertanyakan hubungan pemaknaan antara tubuh dan pakaian, baik di ranah domestik maupun publik, yang berkorelasi dengan hasrat menciptakan citraan diri.

Sedangkan lewat "Kala", Siti Amanah dan Selvi Ratu Agnesia melekatkan tubuh dan benda untuk menggugat dunia patriakat dalam tradisi masyarakat Bali. Metafora tubuh dan benda di situ menjadi imaji-imaji yang membayangkan ketertindasan perempuan. Misalnya, ketika Selvi Ratu Agnesia masuk ke dalam keranjang sampah untuk menceritakan perkawinan paksanya, atau juga ketika ia masuk ke dalam kurungan ayam untuk merepresentasikan bagaimana nasib perempuan tidak lebih baik dari nasib ayam aduan.

"Ini merupakan langkah awal Oyag Forum dalam upaya melahirkan kaki-kaki baru bagi generasi kesenian ke depan, " ujar Benny Yohanes penggagas Oyag Forum tentang siswa angkatan pertama ini.

Lateral School, menurut dia, merupakan perwujudan dari gagasan menciptakan sebuah bentuk sekolah publik yang bisa memberi ruang pada berbagai kerangka pemikiran. Konsep dalam projek akhir ini adalah bagaimana mengolah benda bukan sekadar properti panggung.

Sementara itu, di mata sutradara teater Yusep Muldiyana, meski secara teknis masih terdapat sejumlah persoalan, tetapi apa yang dipresentasikan para siswa Lateral School angkatan pertama ini menjanjikan sesuatu bagi generasi dan masa depan teater serta kesenian. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung Sumiyadi mengapresiasi projek akhir ini sebagai event yang menawarkan pengalaman artistik tak hanya bagi pemain, tetapi juga penonton. Sementara Aat Suratin lebih memandang projek akhir para siswa Lateral School sebagai langkah awal sebuah generasi untuk melakoni spririt penciptaan demi memuliakan pemikiran. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010