Sunday, September 27, 2009

[Profil] Bekerja dan Berpantun

BEKERJA keras untuk mewujudkan visi, menulis pantun dan berpuisi, mewarnai hari-hari Dra Hj Suryatati A Manan (57), walikota Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), belakangan ini.

Foto-foto:SP/Rina Ginting

Kendati tugasnya padat, berat, dan penuh tantangan, wanita yang dijuluki warganya si Tangan Baja dan Ratu Pantun ini, tampak selalu tenang, mengulas senyum, dan berwibawa. Ditemui di Jakarta, pekan lalu, dalam acara berbuka puasa, Suryatati tetap dengan penampilannya yang khas, memakai baju kurung dan kerudung Melayu. Walau tampak sedikit lelah, dia tetap ramah dan semangat berbicara tentang rencana-rencananya.

Ibu Tatik, demikian dia disapa, dua tahun lalu, terpilih kedua kali sebagai walikota Tanjungpinang periode 2007-2012. Bersama wakilnya Edward Mushalli, dia berjanji untuk mengantar kota berpenduduk 217.698 jiwa (2008) itu meraih visi sebagai pusat perdagangan dan jasa industri pariwisata, serta pusat budaya Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis (2020).

Tatik dan Edward, tentu saja harus berjuang bersama Ismeth Abdullah sebagai gubernur Kepri. Secara filosofis, Tanjungpinang adalah wajah Provinsi Kepri secara keseluruhan.

Wanita kelahiran Tanjungpinang 14 April 1953 ini dikenal sebagai perempuan yang berbicara santun, tak saja kepada karyawannya, keluarga atau koleganya, tetapi juga pada lawan politiknya. Lulusan IPP Pemerintahan ini, memulai kariernya sebagai kasubbag Perundang-undangan Setda Kabupaten Riau (1979-1983), dan kabag Perekonomian Kabupaten Riau (1985-1993). Kemudian, jadi Camat Tanjungpinang Barat (1993-1995), kepala Dispenda Kepri (1995-1996), walikota Kota Administratif Tanjungpinang (1996-2001), pejabat walikota (2001-2003), dan walikota hingga 2012.

Dalam kepemimpinannya, Tanjungpinang berhasil meraih Adipura keenam kali pada 2009 (berturut kecuali 2008). APBD kota itu yang tahun 2002 sebesar Rp 188 miliar, 2008 menjadi Rp 500 miliar, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil dari Kepri, tadinya Rp 1,8 miliar, sekarang Rp 9,49 miliar. Suryatati juga mendapat Anugerah gemilang Presiden' atas dedikasinya yang tinggi untuk kepanduan.

Kota Gurindam

Masih ingat "Gurindam 12" karya Raja Ali Haji dan Pulau Penyengat dengan moncong meriamnya? Dalam bidang pariwisata dan budaya, Tanjungpinang memang memiliki sejarah Melayu yang sangat tersohor. Karena itu, Suryatati pun tak ragu menabuh genderang, mendeklarasikan Tanjungpinang sebagai Kota Gurindam Negeri Pantun.

Sejak pencanangan, kini tiap orang yang mengunjungi kota yang terletak di Pulau Bintan itu, dengan mudah menemukan nama jalan, kendaraan, atau bangunan yang berbau sastra. Masuk kota itu rasanya seperti memasuki negeri sastra. Acara seremoni, selalu diwarnai puisi dan pantun, para pejabat mau tak mau harus bisa menulis dan membaca pantun. "Berdoa pun kadangkala tak terasa, kami berpantun, ha..ha.," kata Tatik.

Untuk apreasiasi seni, Pemkot memfasilitasi warga dengan panggung rakyat. Pentas seni disubsidi sebanyak 40 kali selama Juni-Desember 2009, setiap Jumat dan Sabtu di tiga tempat yang berbeda, di Dragon Boat Race (Ocean Corner), Gedung Aisyah Sulaiman, dan di Akau Potong Lembu.

Rakyat Tanjungpinang sedang mengumpulkan sejuta pantun, dari berbagai pentas dan acara, karya anak-anak hingga orang dewasa. Pantun-pantun itu disortir oleh ahli budaya, yang nantinya bakal dijadikan buku kumpulan pantun.

Sebagai perempuan Melayu, Suryatati memang memiliki bakat sebagai penyair. Bakat terpendam ini terkuak ketika dia diundang membaca sajak pada acara "Gelar Sajak, Jalan Bersama Bupati/Wali Kota dan Penyair Melayu" di TIM, Jakarta, November 2006. Ketika itu, ada wartawan yang bertanya, berapa puisi yang sudah ditulisnya. "Sebenarnya, hanya satu itu, ha..ha..," kenangnya.

Dari situlah Suryatati merasa tertantang untuk menulis puisi lebih banyak lagi. Hingga saat ini, ratusan puisi telah ditulisnya, lalu diterbitkan menjadi buku kumpulan puisi, berjudul Melayukah Aku, Perempuan Wali Kota, Perempuan dalam Makna, dan Surat Untuk Suami, yang diluncurkan 7 Agustus 2009 lalu di kota kelahirannya. Setiap buku diluncurkan, selain memberi sambutan Tatik juga membaca puisinya.

Perjalanan kariernya di kota sejuta pantun itu, tentu tak lepas dari cobaan dan isu. Seperti julukannya Si Tangan Baja, ibunda dari Maya Suryanti, Agung Suryanto, Ririn Subroto, dan Cory Primaturia ini tak pernah patah semangat. Dalam kesendiriannya setelah ditinggal mati suami tahun 2006, Tatik menjalankan tugas negara dan tanggung jawab kepada anak-anaknya dengan tabah, gigih, dan tegar.

Setelah melewati kepenatan memimpin rakyat, di rumahnya di Sei Ladi, Senggarang, Tatik mencurahkan semua perasaannya lewat goresan puisi. Puisi tentang masalah sosial dan pemerintahan, puisi untuk menjawab lawan politiknya yang meragukan keaslian melayunya, puisi terdalam seorang perempuan yang ditinggal mati sang suami, puisi untuk ayah-ibu juga anak-cucu, dan puisi apa saja atau "Puisi Suke-suke (suka-suka, Red)", kata Suryatati. [R-8]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 27 September 2009

[Profil] Dra Hj Suryatati A Manan: Membangun Kota Gurindam Negeri Pantun

SETELAH era reformasi, otonomi daerah pun berkembang di Indonesia. Banyak kota atau daerah yang tadinya termarjinalkan atau yang tidak diperhitungkan dan dipandang sebelah mata, diberi kesempatan untuk menjadi kota mandiri. UU No 5/2001 tentang Otonomi Daerah memang membuat banyak perubahan. Masing-masing kota yang merasa memenuhi kriteria, mengajukan diri menjadi daerah otonomi. Tentu tak semua permintaan daerah dipenuhi. Yang memenuhi syarat, disahkan oleh Pemerintah, dan kota itu pun berhak mengelola sendiri pembangunan daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Kota tersebut terpacu untuk mengekspos potensi alam atau memacu sumberdaya masyarakat untuk "bersaing" dengan kota-kota yang sudah lebih maju sebelumnya. Ada yang berhasil, tapi ada juga kota yang masih disubsidi oleh provinsi atau pemerintah pusat.

Salah satu kota yang beruntung menjadi kota mandiri adalah Tanjungpinang. Sejak terbentuknya Kota Tanjungpinang, Pemko Tanjungpinang Sebagai Daerah Otonom yang merupakan Pemekaran dari wilayah Kabupaten Kepulauan Riau (Kabupaten Bintan) berusaha menyusun Perencanaan tahapan - tahapan pembangunan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Pelaksanaan Pembangunan tidak terlepas dari Visi dan Misi Kota tersebut yaitu terwujudnya Kota Tanjungpinang sebagai pusat perdagangan dan jasa industri, pariwisata serta pusat budaya Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis sejahtera lahir dan batin pada tahun 2020.

Kota Tanjungpinang terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 2001 Tanggal 21 Juni 2001 dengan Luas wilayah 239,5 km2, terdiri dari 131,54 km2 daratan dan 107,96 km2 lautan.

Ada 7 misi Kota Tanjungpinang yaitu peningkatan sumber daya manusia., pemberdayaan masyarakat, mengembangkan tata nilai kebudayaan melayu, pengembangan dan peningkatan infrastruktur, menjalin dan mengembangkan hubungan kerja sama dalam dan luar negeri, melihara dan memantapkan stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat, meningkatkan kualitas dan kuantitas aparatur pemerintah.

Kota Tanjungpinang selain unik, juga sangat khas. Unik, karena sejak tahun 2002 menjadi kota otonom yang dipimpin oleh seorang perempuan sebagai walikota hingga tahun 2012 (dua periode). Khas, karena Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau itu sangat kental dengan budaya Melayu, bahkan telah dicanangkan sebagai "Kota Gurindam Negeri Pantun." Berikut ini, rangkuman percakapan SP dengan Walikota Tanjungpinang Dra Hj Suryatati A Manan.

Bagaimana proses Tanjungpinang menjadi kota otonomi?

Kota ini sebelumnya adalah ibu kota Kabupaten Daerah Tk II Kepulauan Riau, Provinsi Riau. Sejak 1983 berstatus kota administratif. Setelah era reformasi, tahun 2.000, diperjuangkan peningkatan statusnya menjadi kota otonom. Akhirnya, sejalan dengan UU No 5/2001, Tanjungpinang pun menjadi kota otonom, tidak lagi di bawah Kabupaten Kepulauan Riau, yang pemerintahannya berjalan efektif sejak 16 Januari 2002. Kemudian, tahun 2004, Provinsi Kepulauan Riau terbentuk, dan Tanjungpinang menjadi ibu kotanya.

Bagaimana ceritanya Tanjungpinang disebut Kota Gurindam?

Setiap kota biasanya punya julukan khas. Sejak 2002 kota ini dikenal dengan nama Kota Gurindam. Bangsa kita maupun bangsa lain yang memiliki rumpun Melayu pasti mengenal Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia yang juga pahlawan nasional dengan karya agungnya "Gurindam Duabelas." Raja Ali Haji adalah kelahiran Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Selain untuk mengenang karyanya, Gurindam juga merupakan singkatan Gigih, Unggul, Ramah, Indah, Damai, Aman, Manusiawi.

Mengapa kemudian menjadi Kota Gurindam Negeri Pantun?

Sebagai kota otonom Tanjungpinang terus bertumbuh dan berkembang. Berbagai penghargaan nasional diraih seperti di bidang pembangunan, kebersihan, pahlawan nasional, karang taruna dan sebagainya. Meski slogan Kota Gurindam sudah tepat tapi rasanya ada yang kurang, akhirnya didapati kata yang pas, yaitu pantun. Itu sebabnya, pada 29 Juli 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dideklarasikan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun. Dan, kota ini pun dipopulerkan sebagai "Kota Gurindam Negeri Pantun."

Apa yang dimaksud dengan Negeri Pantun?

Pantun dikenal sebagai satu di antara sastra lisan yang berkembang pada setiap zaman dalam masyarakat Melayu, termasuk di Tanjungpinang. Pantun mengajarkan orang bersopan santun, bertatakrama, beretika, bermasyarakat, dan memaknai rasa kemanusiaan dan beragama serta mencapai kemajuan dalam kehidupan. Pantun telah menjadi corak, citra, dan kreativitas penting bagi orang Melayu. Berpantun dalam setiap kesempatan menjadi ciri khas, bahkan inti yang tidak boleh tidak. Berpidato tanpa menyelipkan pantun rasanya ada yang kurang, bahkan, bisa dianggap tidak tahu adat.

Lalu, adakah alasan lainnya?

Yang paling mendasar dan argumentasi menamakan Tanjungpinang Negeri Pantun adalah mengingat dan mengenang putra terbaik bangsa Melayu (Indonesia) yang lahir, hidup, serta berkarya di Pulau Penyengat pada masa Kerajaan Melayu Riau, yang bernama Haji Ibrahim atau yang dikenal dengan nama Haji Ibrahim Datuk Kaya

Muda Riau. Dia adalah orang Indonesia pertama yang menerbitkan kumpulan buku pantun dengan judul "Perhimpunan Pantun Melayu", diterbitkan oleh W Bruining, Batavia, tahun 1877, dalam tulisan aksara Arab Melayu (Jawi) dan Latin. Sayangnya, data tentang tokoh pantun tersebut belum ada.

Apa kaitannya pantun dengan seni dan kehidupan?

Sependapat dengan para ahli, pantun adalah ungkapan singkat penuh sopan santun dan seni. Isi pantun menyangkut seluruh kehidupan manusia dan alam lingkungannya. Pantun mendidik orang untuk berbudaya, berperadaban, dan beragama, memperhalus akal-pikiran, budi bahasa, hati nurani, sehingga hidup menjadi tulus ikhlas, penuh berkah, dan rahmat, serta patuh pada Allah Yang Maha Esa.

Jadi, slogan Kota Tanjungpinang itu sudah sangat tepat untuk membangun masyarakat?

Sebutan Tanjungpinang sebagai Kota Gurindam Negeri Pantun sudah sangat tepat, cerdas, dan visioner. Dari kata gurindam dan pantun, sungguh memperjelas bagaimana kota ini dikelola dan masyarakatnya hidup, tumbuh, dan berkembang. Penduduknya menempatkan akal, budi, bahasa, dan kemampuannya dalam bingkai tahu diri, sadar, dan punya harga diri, dan beradat.

Apa saja pengalaman Anda sebagai walikota?

Sejak menjadi walikota administratif (1997-2001), pejabat walikota (2001-2002), walikota periode I (2003-2007), dan periode II (2007 hingga nanti, Insya Allah, tahun 2012), suka-dukanya pastilah banyak. Baik yang menyangkut pribadi, para pejabat di jajaran pemerintahan kota, atau pun masyarakat. Dari yang mengesankan hingga yang menyakitkan, sebagian besar tertuang dalam kumpulan puisi saya yang berjudul "Perempuan Walikota".

Oya, Anda juga pernah tercatat dalam MURI. Dalam hal apa?

Menjelang berakhirnya masa jabatan walikota dan wakil periode pertama(2007), diadakan pilkada. Saya berpasangan dengan Drs Edward Mushalli, kembali mencalonkan diri sebagai salah satu pasangan dengan nomor urut 1 dari 3 pasang calon. Akhirnya, kami menang dengan suara yang sangat signifikan (84,25%), sehingga Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan yang langsung diserahkan oleh Jaya Suprana pada 14 April 2008.

Sebagai perempuan, Anda benar- benar tegar dan kuat, padahal tahun 2006 suami terkasih kembali kepangkuan Illahi.

Terima kasih. Jodoh, lahir, dan mati adalah kuasa Tuhan, tiada yang tahu. Tanggal 5 Januari 2006 sehari menjelang Hari Jadi Kota Tanjungpinangke-222, suami tercinta Ahmad Subroto dipanggil menghadap Sang Pencipta, meninggalkan saya dan keempat anak kami. Berkat dukungan anak-anak, sanak keluarga, dan teman-teman, saya tak perlu larut dalam tangisan yang berkepanjangan, saya menjalani hidup apa adanya, dan menerima segala sesuatu yang diberikan Allah SWT dengan rasa ikhlas.

Kapan Anda mulai menulis puisi?

Sejak tahun 2006 setelah diundang membaca puisi pada acara Gelar Sajak Jalan Bersama di TIM. Puisi pertama saya tulis pada 10 November 2006 bertepatan dengan Hari Pahlawan dengan judul "Janda." Sehari setelah itu lahir pula puisi kedua berjudul "Melayukah Aku." Hingga saat ini saya ketagihan menulis puisi dan terus akan menulis.

Apa obsesi Anda selanjutnya untuk Tanjungpinang dalam hal seni?

Kami di Tanjungpinang sedang mengumpulkan sejuta pantun, yang dikumpulkan dari berbagai even dan peristiwa, ditulis oleh anak-anak maupun dewasa, untuk kemudian disortir oleh para seniman atau penyair Tanjungpinang, dan akan dibukukan. Sekarang kira-kira sudah terkumpul sepuluh ribu pantun. Tahun 2012 di Tanjungpinang akan berdiri Istana Pantun, sebagai salah satu wujud slogan "Kota Gurindam Negeri Pantun." [SP/Rina Ginting]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 27 September 2009

[Buku] Oh Timor Leste

Judul: Timor Target
Penulis: Kristio Wahyono
Penerbit: Krueng Aceh
Tahun: Juli 2009
Tebal: 371 halaman

INTEGRITAS Timor Portugis 1975 telah membawa bencana yang tak terperikan. AS menyebutkan angka korban 60.000-100.000. Berdasarkan data Deplu AS dan Australia, keterlibatan dua negara itu ada. Sedangkan, Deplu RI tidak memiliki informasi apapun terhadap diambilnya keputusan penyerbuan. Serbuan 7 Desember 1975 dengan nama sandi Operasi Seroja menjadi keputusan RI di bawah kepemimpinan Soeharto yang tak terelakkan.

Dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1999, pemberian opsi kemerdekaan oleh Presiden Habibie, ternyata juga membawa tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Salahkah Habibie? Lihat kemudian, sesudah kemerdekaan 20 Mei 2002, kondisi Timor Leste di bawah misi internasional bukannya semakin membaik. Pertumbuhan memang meroket 18%, namun hanya sekejap, setelah itu menukik tajam menembus angka 0%. Bentrokan polisi, tentara, politisi, sukar dikendalikan sehingga mengundang pasukan asing kembali, sekaligus untuk tujuan/agenda lain.

Akhirnya, Timor Leste diikat dalam perjanjian eksplorasi migas di lepas pantai di Laut Timor yang dibagi secara "kurang pas" berdasarkan CMATS 2006.

Jika harga integrasi dibayar dengan nyawa dan anggaran yang sangat membebani, maka ongkos kemerdekaan harus diperhitungkan dengan kekayaan sumber alam di Laut Timor. Negeri itu dijadikan sarang korupsi semua pihak, ajang pamer mesin-mesin perang, oportunis para personel asing, dan yang pasti Timor Leste tetap sebagai negara miskin. Ini semua luput dari antisipasi negara-negara terkait karena targetnya memang bukan itu.

Tahun 2008, PBB telah menandatangi perjanjian dengan Timor Leste mengenai bantuan kepada Kejagung negeri itu terkait dengan akses untuk memeriksa kembali dokumen pelanggaran berat HAM 1999, yang menyebut-nyebut nama Jenderal Wiranto.

15 Juli 2008, Presiden Yudhoyono dan Presiden Ramos Horta menyampaikan rasa penyesalan dan permintaan maaf atas tragedi yang lalu, dan pertemuan itu dianggap sebagai langkah rekonsiliasi. [G. Leonard, pencinta buku]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 27 September 2009