Sunday, February 15, 2009

Hikayat Benda-benda

-- Ilham Khoiri

APA makna botol air mineral, tutup ember, kantong plastik, atau caping petani? Dalam dunia Agus Nur Amal (39), pendongeng asal Aceh yang dijuluki PM TOH, beragam benda keseharian itu bisa dijadikan alat peraga monolog. Dalam pentas, benda-benda itu dimainkan untuk mengajak kita berimajinasi, menjelajahi alam mitologi, sekaligus mengomentari persoalan sosial-politik aktual.

Datang saja ke Ruru Gallery di Tebet, Jakarta, 13-28 Februari. Ruang galeri dipenuhi 187 benda alat peraga sebagai bagian dari properti pentas Agus. Benda keseharian itu sungguh beragam.

Ada perabotan rumah (seperti bak, ember, teko, piring, saringan, atau setrika), pakaian (sepatu bot, caping, topi proyek), dan bekas kemasan produk minuman (botol air mineral), atau mainan anak-anak (boneka dan mobil-mobilan). Ada juga barang modifikasi, seperti kamera besar dengan banyak saku dan laci, caping yang disumpal plastik hitam dan merah, dan botol-botol air mineral.

Apa istimewanya benda-benda itu? Bagi orang yang tak mengenal Agus, benda-benda itu bakal tampak aneh. Namun, bagi yang akrab dengan sosok pendongeng tersebut, semua itu mengingatkan pentas-pentas monolog PM TOH yang memang gemar memainkan benda untuk alat peraga.

”Lewat benda-benda itu, saya memvisualkan hikayat. Setiap benda bisa diperlakukan sebagai manusia, senjata, atau jadi apa saja,” kata Agus, Kamis (12/2) sore lalu.

Menurut kurator pameran dari Ruang Rupa, Hafiz, dalam pemanggungan Agus, benda-benda itu menjadi permainan dan memunculkan makna-makna baru yang membangun fantasi penonton. Persis seperti fantasi masa kecil kita dalam memainkan berbagai benda. ”Dalam dunia monolog Agus, fantasi muncul sangat fleksibel,” kata Hafiz.

Ambil contoh pemanfaatan botol air mineral. Dalam hikayat penculikan mahasiswa pada akhir rezim Orde Baru, Agus membariskan puluhan botol sebagai gambaran para mahasiswa berdemonstrasi. Saat tentara menyerbu, satu botol dibungkus plastik kuning dan ditempelkan di ujung tongkat. Botol itu pun jadi penyembur gas air mata.

Beberapa botol mahasiswa tadi dimasukkan dalam penjara. Botol-botol itu lantas disiram air mendidih dari ceret listrik sampai meleleh. ”Itu simbol penyiksaan saat interogasi,” papar Agus.

Banyak contoh lain menjelaskan, setiap benda itu akhirnya punya hikayat sendiri-sendiri. Tutup ember bisa dimainkan jadi bulan atau matahari. Kantong plastik jadi awan, jenggot, topi, atau ombak. Caping petani yang bolong dan disumpal plastik merah-hitam menggambarkan gunung meletus.

Imajinasi

Benda-benda properti monolog Agus itu menantang pemaknaan berbeda saat digelar dalam ruang pameran yang terpisah dari panggung. Bagaimana memahaminya dalam kacamata seni rupa?

Tentu saja, benda-benda itu tak serupa dengan obyek temuan siap pakai (readymades) untuk membuat pernyataan seni, seperti dilakukan Marcel Ducham (1887-1968). Agus juga tak hendak bikin instalasi sebagai salah satu ekspresi seni rupa postmodern, yang meledak pada Jakarta Biennale IX tahun 1993. Hasil kerjanya pun tak serupa dengan obyek seni (art object) yang diciptakan sebagai oposisi terhadap barang komoditas atau mainan estetis yang makin digemari seniman muda sekarang.

Agus memang tak berniat memasuki modus-modus itu. Apalagi, estetika dan keterampilan penciptaan benda-bendanya cenderung ala kadarnya. Benda temuan itu dicomot begitu saja, banyak dari tong sampah, lalu sebagian diutak-atik demi membantu visualisasi hikayat yang dituturkan.

Pada proses visualisasi ini, kreativitas Agus seiring dengan kerja perupa. Sebagai pendongeng, Agus membangun visualisasi hikayat lewat benda-benda yang merangsang imajinasi penonton. Strategi serupa dilakoni perupa dengan memainkan tanda-tanda visual (dalam lukisan, patung, atau instalasi) untuk merangsang imajinasi orang agar menyadari gagasan tertentu.

Meminjam pemikiran filsuf Perancis, Jean Paul Sartre, Agus tampak berusaha membangun analog-analog dari benda-benda keseharian yang akrab agar orang gampang menangkap imajinasi dari keserupaan benda itu dengan peristiwa yang hendak digambarkan dalam hikayat. Dengan begitu, tak melulu benda asli yang ditampilkan. Hanya saja, kekuatan benda-benda itu akhirnya memang baru benar-benar terasa saat dimainkan dalam dunia imajinasi penghikayat.

Sumber: Kompas, Minggu, 15 Februari 2009

Tukang Dongeng: Hikayat Sang Penghikayat

Suatu negeri di ujung karang/Yang sering dilanda gempa bumi/Beribu-ribu orang tewas/Beribu-ribu orang digulung-gulung.
Maka, datanglah bala bantuan...
Marilah kita berguru pada alam/Sehingga lebih bisa hindari bencana...

Potongan hikayat yang dituturkan Agus PM TOH dalam suatu iklan itu kerap muncul pada siaran televisi seputar gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, akhir tahun 2004. Saat bencana alam meluluhlantakkan ”negeri di ujung karang” itu, kepiawaian Agus sebagai penghikayat—dalam arti, orang yang pintar menuturkan hikayat—justru naik daun.

Tak hanya iklan, Agus banyak nongol di layar kaca dengan membawakan berbagai dongeng seputar bencana alam. Kegiatan serupa dikembangkan di tengah para korban tsunami di Aceh. Bersama kelompok seniman Banda Aceh, antara lain Udin Pelor, Apa Kaoy, dan Evi, dia menggiatkan pendampingan masyarakat lewat program Televisi Episentrum 18,73 Skala Richter.

”Kami bikin kotak dari kayu mirip layar kaca televisi besar, sekitar 1,5 meter x 1 meter lebih. Televisi itu kami angkut dengan mobil pick-up ke barak-barak pengungsi,” papar Agus.

Di barak pengungsian, kelompok seniman itu membuat drama kecil-kecilan dengan para aktor nongol dalam kotak persegi panjang itu, mirip adegan televisi sungguhan. Setelah dapat contoh, warga didorong tampil dalam televisi kayu tadi. Ada yang main drama mirip sinetron, baca berita, lawakan, atau nongol untuk sekadar menyampaikan unek-unek.

”Kami berusaha menjadikan media hikayat lewat televisi kotak kayu untuk membangkitkan semangat hidup para pengungsi,” ujar Agus, yang sampai kini masih melajang itu.

Pascatsunami Aceh, Agus makin beredar. Dia banyak diundang pentas di sejumlah kota, termasuk ke luar negeri, seperti ke Swiss (2007) dan Jepang (2008). Bagaimana Agus menjadi penghikayat?

Agus lahir di Kota Sabang, Pulau Weh, Agustus 1969. Pada akhir masa kuliah diploma-3 di Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dia ambil tugas akhir pementasan hikayat. Untuk itu, dia kembali ke Aceh dan nyantrik para penghikayat senior asal Siglie, Tengku Adnan PM TOH (almarhum).

Dua tahun belajar, tahun 1991-1992, Agus dapat sebutan PM TOH, julukan yang sebelumnya disandang sang guru lantaran piawai menirukan ”tet-tot” klakson bus PM TOH. Kembali ke Jakarta, Agus mulai menggelar pentas monolog yang memadukan sastra tutur tradisional dan improvisasi teater modern. Dia pernah memainkan beberapa hikayat, antara lain Hikayat Hamzah Fansuri Menjala Ikan, Anak Emak Mencari Telor, Jendral Puyer Bintang Toedjoeh, Polisi dan Bandit, dan Era Tahun 2000, dan Hikayat Pahlawan Mencari Obat.

Keunikan dan ketekunan Agus menekuni seni hikayat selama 12-an tahun itu menarik perhatian. Sejumlah mahasiswa meneliti kreativitas itu untuk menyusun skripsi. ”Tapi, skripsi saya sendiri belum kelar. He-he-he...,” kata Agus seraya nyengir. Kini, lelaki itu memang tengah menuntaskan skripsi untuk menyelesaikan kuliah S-1 di Jurusan Teater IKJ. (iam)

Sumber: Kompas, Minggu, 15 Februari 2009

Pemilu dalam Puisi-puisi Wiji Thukul

-- Wahyu Susilo

Satu dan dua ataupun tiga,
Semua sama sama bohongnya,
Milih boleh, tidak memilih boleh,
Jangan memaksa, itu hak gue

(Satu, dua dan tiga, Wiji Thukul, 1992)

Sepenggal bait puisi tersebut mulai dilantunkan sebagai lagu oleh Wiji Thukul setiap ngamen puisi keliling kota. Tentu sangat benderang pesan yang terkandung dalam bait puisi tersebut: tak boleh siapa pun memaksa untuk memilih. Dalam penelusuran penulis, tampaknya puisi ini dibuat saat terjadi penangkapan-penangkapan terhadap mahasiswa yang aktif berkampanye golput. Salah satu kasus golput yang berujung sampai pengadilan adalah kasus kampanye golput yang diorganisir mahasiswa Semarang (Lukas Luwarso dan Poltak Ike Wibowo). Puisi ini adalah wujud solidaritas Wiji Thukul terhadap keberanian mereka.

Membolak-balik antologi puisi Wiji Thukul ”Aku Ingin Jadi Peluru”, penulis menemukan banyak puisi Wiji Thukul yang bertema pemilu. Bahkan jika puisi tersebut dibaca dalam konteks historis waktu dan tempat puisi tersebut ditulis, akan makin melengkapi historiografi pemilu Indonesia pada masa Orde Baru yang memilukan.

Dalam puisi yang berjudul ”Sajak Bagong” dan ”Kuburan Purwoloyo”, secara berani Thukul mengungkap kaitan antara pemilu, intimidasi, gali dan penembakan misterius. Dalam Pemilu 1982, setidaknya di Solo, Golkar sebagai mesin politik Orde Baru menggunakan ”gali” (istilah saat itu untuk preman atau pelaku kriminal) untuk mengintimidasi warga agar memilih partai penguasa. Namun pada saat gali tersebut menagih balas jasa, yang dilakukan adalah pemberantasan gali melalui ”petrus” (penembakan misterius). Hingga saat ini, tragedi petrus masih dalam proses investigasi Komnas HAM yang menduga bahwa petrus adalah bagian dari pelanggaran HAM masa lalu.

....

Ya, ya bagong namanya, pemilu kemarin besar jasanya,

Bagong ya bagong, tapi bagong sudah mati,

Pada suatu pagi, mayatnya ditemukan orang di tepi rel kereta api.... (Sajak Bagong)

...

Di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh,

Terhisap dan menanggung hutang

Disini, gali-gali, tukang becak, orang-orang kampung,

Yang berjasa dalam setiap Pemilu

Terbaring

Dan keadilan masih saja hanya janji (Kuburan Purwoloyo)

Tak hanya menyinggung soal brutalisme pemilu masa Orde Baru, secara satiris Thukul juga melihat bahwa pemilu masa itu hanyalah sandiwara dan bukan merupakan instrumen demokrasi. Dalam puisi ”Aku Lebih Suka Dagelan”, Thukul mencatat testimoni orang-orang terdekatnya mengenai intimidasi, konflik antartetangga, suap (money politic), dan perkelahian akibat pemilu yang tidak luber (apalagi jurdil).

... kudengar dari mulut seorang kawanku,

dia diinterograsi dipanggil gurunya, karena ikut kampanye PDI,

dan di kampungku ibu RT tak mau menegur sapa warganya, hanya karena ia GOLKAR,

.....

Ada juga kontestan yang nyogok tukang-tukang becak,

Akibatnya dalam kampanye banyak yang mencak-mencak

....

Di radio aku mendengar berita-berita

Tapi aku jadi muak karena isinya kebohongan yang tak mengatakan kenyataan,

Untunglah warta berita segera bubar,

Acara yang kutunggu-tunggu datang: dagelan! (Aku Lebih Suka Dagelan)

Dalam perkembangannya, Thukul tak hanya menjadi penonton dalam ”dagelan pemilu” seperti dalam puisi-puisinya tentang Pemilu 1987, namun sudah melancarkan perlawanan politik seperti yang tergambar dalam puisi-puisinya yang ditulis dalam kurun waktu menjelang dan setelah Pemilu 1992. Sikap yang lebih politis ini seiring dengan makin meluasnya lingkaran pergaulan Thukul dengan kalangan aktivis prodemokrasi (terutama mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat).

Gugatannya tentang partai politik yang mandul sangat lugas. Ini bisa disimak dalam puisinya ”Aku Menuntut Perubahan” yang ditulis menjelang Pemilu 1992.

...

Kami tak percaya lagi pada itu, partai politik,

Omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang,

Mengawang jauh dari kami punya persoalan

Bubarkan saja itu komidi gombal,

Kami ingin tidur pulas,

Utang lunas,

Betul-betul merdeka,

Tidak Tertekan,

...

Tegasnya = Aku menuntut perubahan! (Aku Menuntut Perubahan)

Kegusarannya terhadap praktik politik Orde Baru dan partai-partai politik boneka inilah, yang akhirnya membuat Thukul bergabung dalam organisasi politik yang tegas melawan Orde Baru saat itu. Tanggal 22 Juli 1996, Thukul turut serta dalam deklarasi berdirinya Partai Rakyat Demokratik di Jakarta. Dan seminggu kemudian, setelah terjadi penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996, Thukul menjadi buronan politik Orde Baru. Hingga Pemilu 1997 digelar, yang ternyata menjadi pemilu terakhir rezim Orde Baru, Thukul hidup berpindah-pindah tempat dan tetap menulis puisi. Kemuakannya terhadap pemilu sebagai dagelan politik tetap tercermin dalam puisinya menjelang Pemilu 1997. Bagi Thukul, pemilu di bawah Orde Baru masih memilukan.

....

Bila tiba harinya, hari coblosan

Aku tak akan ikut berbondong-bondong

Ke tempat pemungutan suara

Aku tidak akan datang

Aku tidak akan menyerahkan suaraku

Aku tidak akan ikutan masuk ke dalam kotak suara itu

Pemilu

O pilu pilu (Hari Ini Aku Akan Bersiul-Siul)

Hasil Pemilu 1997 yang tetap menyokong Soeharto berkuasa ternyata adalah pemilu terakhir yang menjadi inspirasi puisi-puisi Thukul. Pada Maret 1998, MPR hasil Pemilu 1997 kembali memilih Soeharto sebagai presiden walau mendapat tentangan dari kalangan aktivis prodemokrasi. Penentangan tersebut dijawab dengan tindakan represi, penembakan mahasiswa dan penculikan. Thukul termasuk aktivis yang hilang dalam kebrutalan politik pada saat itu. Meski kemudian Soeharto bisa dijatuhkan, dan sistem politik berganti dari otoritarian menuju transisi demokrasi, korban-korban penculikan (termasuk Thukul) belum kembali. Hingga kini, dia belum kembali.

* Wahyu Susilo, Aktivis LSM, Kepala Divisi Advokasi Infid

Sumber:
Kompas, Minggu, 15 Februari 2009