Tuesday, November 20, 2007

Sastrawan Perlu Keleluasaan Berkarya, Hindari Pengaruh Penguasa

* Pengembangan Sastra Indonesia Masih Terhambat

[JAKARTA] Hubungan negara, pemerintah dan karya sastra masih menjadi perdebatan panjang. Sekalipun peran dan dukungan negara diperlukan, kecenderungan penguasa untuk mengendalikan sastrawan harus dipatahkan. Keleluasaan mungkin dapat memberi peluang kemunculan karya-karya besar.

Demikian pendapat Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof Dr Sapardi Djoko Damono yang dilontarkan dalam Seminar Internasional Kesastraan bertema "Sastra dan Negara" di Jakarta, yang berlangsung 19-20 November 2007.

Menurut Sapardi, peranan negara atau penguasa dalam membantu perkembangan kesusasteraan adalah dengan memberikan keleluasaan bagi sastra-wan untuk berkarya. Keleluasaan itu diharapkan akan bisa membuka peluang kemunculan karya-karya sastra yang berharga. Kelak karya itu akan menjadi kekayaan yang bisa diwariskan pada anak cucu.

Dikatakan, deretan sejarah panjang upaya negara mengen-dalikan sastrawan sudah banyak terungkap. Raja-raja di masa Jawa Kuno memanfaatkan kar-ya sastrawan untuk kepenting-annya. Bahkan di kerajaan Inggris dan Malaysia, sastrawan dianggap sebagai anggota keluarga kerajaan. Beberapa tahun lalu, di Indonesia, penguasa pernah mengindoktrinasi para dalang untuk mementaskan lakon tertentu demi mengangkat pamornya.

Meskipun demikian, Sapardi mengakui tidak ada jaminan keleluasaan tersebut mampu menghasilkan peluang kemunculan karya-karya besar. Belum tentu juga, karya sastra yang dikekang bermutu buruk. Di sisi lain, ketika bantuan diberikan, negara biasanya mengharap pamrih.

"Namun keseimbangan antara keleluasaan dan 'kerajaan' penerbit setidaknya bisa memberi peluang kepada kita untuk memilih. Pernah terpikir oleh saya mungkin ada baiknya jika pemerintah menyediakan dana abadi untuk kegiatan kesenian agar bisa terbebas dari 'raja modern'. Namun hal itu pun akhirnya sama sekali tergantung kepada penguasa yang menangani lembaga tersebut," ujarnya.

Sapardi juga mengkeritik pengembangan sastra Indonesia yang masih terhambat dan terkesan tidak serius. Sastra Indonesia tidak begitu dikenal di kalangan internasional karena pengembangan sastra Indonesia tidak mendapat dukungan serius dari pemerintah. Hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah.

"Tentu saja ada jalan lain, tetapi apakah ada dana? Apakah orang yang mau memberikan dana itu? Ini masalah serius, kita harus memikirkan masalah ini baik-baik agar tidak menjadi masalah berkesinambungan," ujarnya.

Hal serupa juga dilontarkan sastrawan Remy Silado. Upaya pengembangan sastra yang paling serius sangat diharapkan dari pemerintah. Namun sejauh ini, upaya tersebut masih kurang serius. Pendidikan sebagai salah satu pondasi penting pengembangan sastra Indonesia justru terabaikan. Mengenai dampak ideologi penguasa, menurut Remy, sejauh cukup positif dapat saja diterima sastrawan.

"Ideologi kita satu, Pancasila saja. Kita semua punya tanggung jawab untuk berdiri di atas ideologi itu. Dalam Pancasila, kita bicara tentang pluralitas. Saya rasa hal itu bagus, sama-sama kita sepakat NKRI," katanya.

Menyoal hubungan sastra dan negara, dosen Universitas Negeri Surabaya mengatakan hubungan keduanya tidak dapat dipisahkan: keberadaan sebuah sastra tergantung pada negaranya, dan keberadaan negara tergantung pada sastranya. Ada sastra Indonesia karena ada negara Indonesia. Negara dan sastranya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

"Karena negara dan bangsa juga tidak dapat dipisahkan, maka sastranya pun tidak dapat dipisahkan. Mengapa bangsa Indonesia memiliki Sastra Indonesia, tidak lain karena bangsa Indonesia adalah pemilik negara Indonesia. Ada berapa sastra dalam Sastra Indonesia, tergantung pada aspirasi politik bangsa Indonesia sendiri, yaitu, ada satu sastra nasional Indonesia, dan berbagai sastra daerah di Indonesia sebagai penunjang keberadaan Sastra Indonesia," tambahnya.

Harus Kritis


Sementara itu, Peneliti Sastra dari Universitas Bonn (Jerman) Berthold Damshäuser mengatakan, peran negara dalam bidang sastra pada dasarnya dapat juga dilihat dengan mata kritis, karena negara tidak senantiasa ramah terhadap sastra atau budaya pada umumnya. Hal itu terjadi bila negara cenderung menjadi kekuasaan yang tidak menggubris pluralisme dan demokrasi.

Menurut Damshauser, negara represif, apalagi diktatoris, akan merugikan dunia sastra, justru bila ia tampil sebagai "pengayom" yang suka meregulasi produksi sastra, mungkin saja dengan dalih kebersamaan atau kesatuan sebagai bangsa. Oleh karena itu, pengembangan sastra hanya dapat diharapkan dari keberadaan negara demokratis dengan pemerintah yang ramah budaya dan menghargai pluralisme. Hanya negara yang demikian sajalah yang pantas mengurus perihal sastra dan budaya pada umumnya.

"Di kalangan awam Jerman, Indonesia terutama terkenal sebagai sebuah negeri terbelakang di dunia ketiga yang patut dikasihani karena begitu sering kena bencana, baik bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi, maupun bencana politik seperti kerusuhan, teror dan korupsi," ujarnya.

Bahkan di antara mahasiswa yang mulai mempelajari bahasa Indonesia di Universitas Bonn, kata Damshäuser, ada yang cukup kaget mengetahui "kemodernan" Indonesia, saat disajikan karya-karya sastra modern Indonesia, khususnya puisi terbaru.

"Citra ini benar-benar merupakan masalah, jika memang Indonesia ingin dikenali sebagai negara modern berbudaya tulis yang tinggi. Masalah itu saya anggap sedemikian mendesak, sehingga menurut saya perlu dipecahkan melalui politik negara, khususnya melalui 'politik budaya luar negeri'," katanya sambil menyarankan agar Indonesia patut memperkenalkan diri dalam bentuk karya sastra. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 20 November 2007

Kebudayaan: Ruang Gerak Karya Sastra masih Sempit

JAKARTA (Media): Ruang gerak karya sastra guna menumbuhkan daya kreativitas anak dinilai masih sempit. Akibatnya, anak-anak lebih senang mencari inspirasi sendiri yang sering kali terpengaruh oleh budaya kontemporer masa kini.

Demikian salah satu benang merah seminar internasional kesusastraan bertema Sastra dan negara yang diselenggarakan Pusat Bahasa Depdiknas di Jakarta, kemarin.

Guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Budi Darma menjelaskan masih minimnya ruang gerak karya sastra itu disebabkan anak-anak lebih terfokus pada pendidikan dan pengajaran yang mengejar target kelulusan semata.

''Akibatnya, anak-anak melahirkan karya sastra dengan mencari inspirasi. Apalagi ini didorong lunturnya kebanggaan nasional dan nilai-nilai sejarah yang muncul pada sebagian besar masyarakat Indonesia,'' kata Budi Darma.

Sebetulnya, menurut Budi, perlu ada langkah strategis dan kesempatan guna mengembangkan minat anak dalam mengembangkan karya sastra Indonesia. Dalam hal ini, menurut Budi Darma, strategi yang perlu dilakukan adalah dengan memasukkan karya-karya sastra besar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia dan mampu memberikan inspirasi menulis pada anak-anak ke dalam bagian dari kurikulum pendidikan.

Dalam kesempatan sama, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Sapardi Djoko Darmono menambahkan komunitas sastra dapat menerbitkan bentuk-bentuk karya sastra lama dan besar dalam bentuk karya sastra sederhana.

Sastrawan Remy Sylado menambahkan sastra Indonesia yang dikembangkan tidak hanya berusaha mempertahankan tradisi semata, tetapi yang lebih dilihat adalah proses kebangsaan dari karya sastra agar tidak terjadi penyempitan makna kebudayaan. (Dik/H-3).

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 20 November 2007

Pustaka: Penerbitan Sastra Tidak Bisa Andalkan Balai Pustaka

[JAKARTA] Pertumbuhan karya sastra Indonesia yang menggairahkan belakangan ini, tidak bisa mengandalkan Penerbit Balai Pustaka. Padahal lembaga ini seharusnya melestarikan karya sastra Indonesia dan menerbitkan karya-karya yang konstruktif. Balai Pustaka justru banting stir menerbitkan buku komersial.

Hal ini diungkapkan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Ibnu Wahyudi dalam Seminar Internasional Kesusastraan Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa di Hotel Acacia Jakarta, Senin (19/11). Menurut Ibnu, kehidupan sastra Indonesia yang menggeliat di hampir satu dekade belakangan ini tidak didukung oleh lembaga terkait.

Penerbitan sastra, dikatakan Ibnu, dewasa ini tidak lagi mampu mengandalkan Balai Pustaka. Nafas penerbitan tertua dari zaman kolonial Belanda tersebut semakin lemah. Persoalan demi persoalan terus bergulir, dan pendistribusian menjadi masalah akut Balai Pustaka sekarang ini. Tidak mudah memperoleh buku-buku terbitan Balai Pustaka baik di toko buku kecil maupun besar. Kalau pun ada, toko buku Balai Pustaka di Jalan Gunung Sahari misalnya. Toko yang memang khusus menjual buku-buku terbitan Balai Pustaka.

Selain itu, cara mengemas buku-buku Balai Pustaka tidak lagi mengikuti konsep kekinian. Menurut Ibnu, kemasan sampul buku-buku terbitan Balai Pustaka dibuat seadanya, tanpa cita rasa seni. Persoalan lain yakni, Balai Pustaka tidak mampu bersaing memperoleh naskah-naskah yang populasinya banyak dengan penggarapan modern. Balai Pustaka lebih puas "menunggu bola," dan tidak bergerak "menjemput bola" untuk memperoleh naskah berkualitas yang berpotensi laris di pasaran.

Menengok visi, misi, tujuan, dan strategi profil bisnis Balai Pustaka di tahun 2006 ini, tidak lagi menyinggung soal peran lembaga yang menjadi pengayom kehidupan sastra Indonesia. Berbeda dengan sosok intelektual yang pernah mengelola Balai Pustaka antara lain, GAJ Hazeu dan DA Rinkes.

Menurut Ibnu, dua tokoh tersebut mempunyai perha-tian, komitmen, dan keterlibatan dengan sastra yang cukup intensif. Mereka telah berperan sebagai pengayom, penyedia fasilitas, dan membuka ranah baru dalam dunia sastra.

Upaya dan langkah seperti itu, lanjut Ibnu, yang semestinya disandang oleh Balai Pustaka. Baik sebagai penerbit, pencetak, maupun pengelola toko buku. Dengan demikian, Ibnu mengatakan Balai Pustaka perlu melakukan revitalisasi dan menganalisis ulang potensi, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang dimilikinya.

Balai Pustaka, dikatakan Ibnu, sejak berdirinya selalu diidentikkan dengan awal perkembangan sastra Indonesia. Tugas utamanya yakni memberikan pertimbangan dalam menyeleksi atau menentukan bacaan-bacaan yang tepat baik di sekolah maupun untuk rakyat umum.

Selain itu, seiring dengan perkembangannya, Balai Pustaka mampu menjadi badan penerbitan dan percetakan di tahun 1921. Dalam perjalanannya, tahun demi tahun, Balai Pustaka mengalami pasang-surut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1963, lembaga ini berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN). Kemudian menjadi Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 48 tahun 1985.

Ketika berstatus PN, Balai Pustaka mengemban dua misi utama yakni, misi ekonomi dan sosial. Misi itu kemudian bertambah dengan misi kultural ketika berstatus Perum. Kini, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1966 status Balai Pustaka berubah lagi menjadi Perusahaan Perseorangan (Persero).

Bukannya lebih leluasa, posisi Balai Pustaka justru gamang. Seperti dikutip Ibnu, Zaim Uchrowi yang belum lama menjabat sebagai Direktur Utama PT Balai Pustaka ini mengatakan, posisi Balai Pustaka serba tanggung karena terikat dengan ketentuan BUMN.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Sapardi Djoko Damono, mengatakan penerbit Balai Pustaka tidak banyak berperan lagi dalam penerbitan karya-karya sastra Indonesia. Peran dan fungsinya lebih banyak dilakukan oleh para penerbit swasta dan penerbit independen. [CNV/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 20 November 2007