Monday, July 31, 2006

Buku Puisi: Anthology Empati Jogja


Category:
Books

Genre:
Arts & Photography

Author:
Komunitas Puisi FLP

Buku Kumpulan Puisi yang diniatkan sebagai proyek amal para penulis puisi untuk membantu para korban gempa di Jogjakarta ini, selain memancing kita untuk menilik karya para penulis yang 'tergerak' seiring musbiah yang menelan 6000 lebih korban jiwa meninggal itu, tentu juga untuk berempati dengan cara yang berbeda.

Komunitas Puisi FLP (Forum Lingkar Pena) juga mengajak para penyair lainnya seperti Abdurrahman Faiz (Penyair cilik yang memenangkan lomba menulis surat untuk Presiden RI), Ahmadun Yosi Herfanda, Udo. Z. Karzi, dan banyak penulis muda berbakat lainnya.

Kumpulan karya ini layak anda koleksi, selain bagus harganya juga sangat terjangkau (hanya Rp 15.000). Seluruh keuntungan bersihnya akan disumbangkan untuk saudara-saudara kita korban gempa di Jogjakarta.

Acara Launching Buku ini Insya Allah akan dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 12 Agusutus 2006, waktu dan tempat akan diinformasikan segera.

Pemesanan sementara bisa menghubungi Portalinfaq : (021) 7278-6073 di Jl. Radio IV No. 8A Kebayoran Baru Jakarta Selatan

Tags:


Sumber: Epri's Site Blog, 26 Juli 2006

Kutipan: Kebudayaan


Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya diantara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termassuk di dalamnya bahasa.

* * *
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius.
-- Ninuk Mardiana Pambudy, "Mencari Identitas Indonesia",
Kompas, Senin, 31 Juli 2006

Saturday, July 29, 2006

Esai: Kesenian yang Kurang Perhatian

-- Anton Kurniawan*


Cahaya remang-remang dari lighting yang cukup sederhana, kursi, dan layar berwarna hitam tampak di ruangan berukuran sedang yang dipenuhi sekitar 50-an orang. Asap yang berasal dari rokok para penonton perlahan merayap memenuhi ruangan, menjelma kabut.

Di antara para penonton tampak beberapa penyair yang sudah amat dikenal dalam dunia kepenyairan di Lampung, bahkan di tingkat nasional, di antaranya Iswadi Pratama, Budi Hutasuhut, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, dan Eddy Samudera.

Di bawah pijar cahaya lampu, Paus Sastra Lampung, penyair yang sangat produktif dan tetap konsisten bersetubuh dengan imajinasinya untuk melahirkan karya-karya; puisi maupun cerpen, dengan bergairah membacakan sajak-sajaknya.

***

Itulah secuil deskripsi suasana acara yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung yang memasuki bulan kedua, dari 12 bulan yang direncanakan. Pada bulan pertama setelah digagasnya kegiatan tersebut, UKMBS Unila memfasilitasi pementasan teater dengan lakon "Petang di Taman" yang dipentaskan UPT KSS FKIP Unila dan pembacaan puisi yang menampilkan Udo Z. Karzi.

Sebagai awam yang berusaha mengenal sastra, saya menganggap ini sebuah peristiwa yang cukup luar biasa; para seniman berkumpul membincangkan kesenian di sebuah "bilik"--menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini didefinisikan sebagai "sebuah ruangan kecil yang bersekat".

Sebuah ruangan kecil.... Pengertian ini yang sesungguhnya sangat menarik. Sebab, meskipun hanya sebuah ruangan kecil (yang bisa jadi salah satu ruangan dari sebuah rumah/bangunan), ia seperti memiliki daya magis penuh pesona. Sebuah ruangan yang sederhana tanpa hiasan, tanpa air conditioner, tapi mampu "memaksa" seniman datang, berkumpul membincangkan karya-karya dari seorang penyair atau menyaksikan sebuah pementasan teater.

Namun, memori otak saya mencatat sebuah pertanyaan, benarkah daya magis ruangan tersebut yang mampu "memaksa" para pencinta karya sastra untuk hadir, meskipun di malam-malam? Setelah tercenung sesaat, saya berkesimpulan bukan daya magis ruangan kecil bersekat itu yang mampu "memaksa" mereka datang, melainkan mereka yang mengikhlaskan waktu dan dan hatinya untuk memfasilitasi pergelaran tersebut.

Selain itu, mereka yang menggagas kegiatan tersebut demi menjaga silaturahmi antarseniman, sehingga di rumah ini (Lampung) gairah para penyair untuk tetap berkarya terus terjaga. Saya sangat yakin gagasan cerdas yang dituangkan dalam kegiatan tersebut penyebab mengapa para seniman dapat berkumpul di bilik itu.

Malam menanjak naik, meskipun belum larut. Di bawah remah-remah cahaya, Sang Paus Sastra baru saja usai membacakan sajak-sajaknya: "Bunga Hujan, Maret...", "Sebaris Bulu di Pelipis Ibu", "Ranting Menjadikan Aku Tetap Ada," dan "Kenangan Pada Juni". Selanjutnya acara beralih pada sesi diskusi membahas puisi-puisi yang telah dibacakan. Pada sesi ini, Jimmy Maruli tampil sebagai moderator dan Panji Utama sebagai pembahas. Di sini perbincangan seputar Isbedy dan puisinya membuat suasana benar-benar hangat, sehingga waktu seperti berjalan terlalu cepat. Malam terus bergerak. Bahkan, nyaris sampai di ujung larut, sehingga diskusi tersebut mesti ditutup.

***

Dalam perjalanan pulang, saya tak henti-henti mengagumi kecerdasan dan keikhlasan mereka yang bersusah-susah menggagas dan menggelar acara itu, tanpa bantuan dana dari mana pun (itulah yang saya ketahui setelah berbincang-bincang dengan beberapa kawan yang ikut terlibat kegiatan tersebut). Suatu hal yang mulai langka ditemui dalam era sekarang--menggelar acara tanpa meminta bantuan dana. Hanya mereka yang benar-benar langka yang mampu melaksanakannya.

Menurut saya (paling tidak hingga bulan kedua ini), penyelenggara melaksanakan acara tersebut dengan sukses; menggelar pertunjukan teater dan pembacaan puisi--yang katanya--akan digelar rutin setiap bulan selama satu tahun. Saya sempat berpikir bagaimana mungkin kegiatan semacam itu bisa digelar tanpa meminta bantuan dana? Namun, segala tanya itu segera pergi ketika saya teringat pada sejarah silam; bagaimana keberanian nenek moyang dengan peralatan seadanya menaklukkan ganasnya samudera, dengan keberanian dan strategi yang hebat Sultan Trenggono akhirnya memukul mundur pasukan Portugis, serta bagaimana dengan keberanian dan kekuatannya Ken Arok mampu mengubah sejarah setelah mengalahkan Tunggul Ametung.

Yang pasti, sebagai masyarakat Lampung yang mencoba mengenal karya sastra, saya bersyukur masih ada penghuni negeri atas angin yang benar-benar bersetia dengan kedudukannya dan bersedia menyediakan tempat bagi para seniman (dan mereka yang mencoba mencintai seni) untuk melepaskan kerisauannya; melalui pementasan teater dan pembacaan puisi.

Bukanlah hal yang mengagetkan jika di tanah ini untuk menggelar sebuah pertunjukan teater di sebuah tempat yang layak (Taman Budaya Lampung misalnya) kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (mencapai ratusan ribu rupiah).

Yang lebih merisaukan, dewan/badan/lembaga yang mengatur tentang hal tersebut, yang jelas-jelas menerima anggaran dari pemerintah daerah untuk membantu mengembangkan dan memfasilitasi kegiatan kesenian tak mampu memberikan perhatian lebih kepada kantong-kantong kesenian/penggiat seni.

Terkait hal tersebut, dalam bukunya Mempertimbangkan Tradisi, Rendra menjelaskan peranan roh adalah yang memberi hidup, menghirup zat pembakar, dan mengedarkan kesegaran baru ke seluruh organisme badan. Peranan badan adalah suatu organisasi untuk mewujudkan suatu nilai atau aspirasi dan sekaligus memnatapkannya dalam suatu lembaga.

Personalisasi badan adalah raja, sedangkan personalisasi roh adalah empu. Yang satu berumah di keraton, sedangkan yang lain berumah di angin. Dalam bahasa modern, badan adalah semua institusi yang ada dalam masyarakat, sementara roh mencari jalan-jalan baru untuk terus memperluas daerah kesadaran dan wilayah spritual manusia melalui seni, agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Institusi dipimpin orang-orang yang mempunyai otoritas dan kekuasaan, sedangkan peranan roh dijalankan para agamawan, ilmuawan, cendekiawan, para seniman, dan literati. Sebagai penghubung kedua peran tersebut, muncul kemudian berbagai dewan/paguyuban/lembaga yang mengoordinasi kerja sama di antara para petugas badan dan para pemimpin angin, sehingga semua dapat berjalan seimbang.

Namun, sekali lagi mungkin kini zaman sudah berubah. Namun, saya masih berharap para "anggota dewan" masih menyimpan kekuatan dan keberanian untuk berkorban demi kemajuan seni di daerah ini tanpa harus menengadahkan tangan meminta bantuan kepada pemerintah.

Semoga dari bilik ini aroma kesenian menyebarkan wanginya hingga seberang lautan, melintasi gunung-gunung, bahkan menembus batas langit.

* Anton Kurniawan, Bergiat di UPT KSS Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Juli 2006