Monday, March 06, 2006

Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung

--Kuswinarto*


PARUH akhir 2002, khazanah sastra daerah Lampung diperkaya dengan hadirnya sebuah antologi berjudul Momentum, memuat puisi-puisi karya Udo Z. Karzi—penyair yang juga alumnus Fisip Universitas Lampung (Unila). Dieditori Anshori Djausal dan Iswadi Pratama, antologi ini diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung.

Sebanyak 25 puisi karya Udo Z. Karzi mengisi antologi setebal 50 halaman ini. Semuanya ditulis dalam bahasa Lampung dialek Pesisir (dialek Api). Namun, bukan pembaca (etnis/nonetnis Lampung) yang dapat berbahasa Lampung saja yang dapat menikmati, pembaca yang sama sekali tak paham bahasa Lampung pun bisa menikmati antologi ini. Semua puisi berbahasa Lampung dalam antologi ini diberikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Kehadiran antologi Momentum dalam khazanah sastra Lampung ini saya kira layak dicatat. Ada beberapa alasan mengapa antologi ini layak dicatat. Pertama, hadirnya antologi ini membuktikan bahwa sastrawan Lampung—dalam arti sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung—masih ada. Udo Z. Karzi malah bukan saja sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung, penyair ini memang beretnis Lampung, kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970. Ketika saya mempertanyakan keberadaan sastrawan Lampung—dalam arti tersebut—dalam sebuah esai saya di media massa, Udo Z. Karzi segera menanggapi esai saya itu dengan mengemukakan bahwa sastrawan Lampung benar-benar ada. Dan hadirnya antologi inilah salah satu buktinya.

Kedua, hadirnya antologi ini memperlihatkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak di Propinsi Lampung untuk memajukan sastra daerah Lampung. Di tengah ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Lampung terhadap (bahasa dan) sastra Lampung, kerjasama mengangkat sastra Lampung seperti ini sangat perlu dihargai. Selain nama dan lembaga yang telah disebut, ada beberapa nama yang terlibat sehingga muncullah antologi Momentum ini. Nama-nama itu, antara lain, Oemarsono—(mantan) gubernur Lampung—, Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Heri Wardoyo, Hardi Hamzah, Sudarmono, Iwan Nurdaya Djafar, Panji Utama, Christian Heru, Wahyuning Yantini, Syafaruddin, dan Khaidir Asmuni. Jika kerjasama antarelemen masyarakat Lampung seperti ini dipertahankan dan dikembangkan, kecemasan akan punahnya sastra daerah Lampung agaknya akan terkikis.

Ketiga, antologi Momentum ini sangat penting dalam kerangka perjalanan sastra (berbahasa) Lampung yang hidup segan mati tak mau. Kita simak salah satu puisi Udo Z. Karzi yang juga wartawan Lampung Post ini.

Bibas

1
sai waktu, ruangan tiba-tiba
jadi melunik pepelegohan
tambah mepelik, aga ngejepit
nyak meliyot, minjak cungak mit langik
ngembangko rua culuk
tawakkal!

tembok-tembok perda nyusul
jak sunyi ni rang, tambah redik rik pelik
mak ngedok jiwa kucuba nyepok
renglaya luar
kidang sunyin ni radu tekebok,
mak ngedok lagi
renglaya aga lucuk
ikhtiar terakhir sai-sai ni yaddo de mekik

2
tekejut nyak!
kuliak luwot nyakku repa sai wat ni
cecok di luwar tembok jama bibas
sedang keterkurungan radu saka lebon
seradu ni injuk ampai miyah tiba-tiba
ngembang kemegahan dunia di
hadapanku


rik sunyin ni kehalokan sai muhelau
ngajukon gairah kehirik’an sai mubalak
nangkpkon rasa betah hurik saka
ngerasakon tor, helau, rik riyang
kehaga jadi mekar delom badanku

1990


Bagian 1 sajak di hlm. 4 antologi Momentum ini mengeskpresikan puncak kesumpekan hati si ‘aku lirik’ di dalam ruang (hidupnya) yang dirasakannya kian menyempit dan menjepit. Dalam keadaan demikian, hasrat untuk bebas tak tertahankan lagi karena dalam kesumpekan, kebebasan menjadi kebutuhan. Sayang, jalan untuk bebas semua tertutup. Tapi, ‘aku lirik’ tetap mencoba, sampai pada usaha satu-satunya yang masih bisa dilakukan: mekik!

Bagian 2 sajak tersebut mengisahkan ‘aku lirik’ pada akhirnya berhasil mendapatkan kebebasan itu. Ia telah berada di luar tembok yang semula mengungkungnya. Dan ia berhadapan dengan realitas baru: kemegahan alam dengan segala kemungkinan manisnya yang menyodorkan gairah hidup yang lebih besar. Sehingga ‘aku lirik’ merasa dihinggapi perasaan betah hidup lebih lama. Harapannya menjadi mekar.

Ada sesuatu yang telah menjadi biasa yang didobrak Udo Z. Karzi. Sesuatu itu, antara lain, tradisi. Dalam hal ini tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Puisi “Bibas” tersebut tidak saja membawa pesan hasrat (dan akhirnya bisa) bebas, tetapi dari segi bentuk, puisi tersebut memang telah membebaskan diri dari tradisi puisi (tradisional) Lampung. Berikut penggalan sebuah puisi tradisional Lampung:

Dang bangik ga cawa
Kantu mak di lom hati
Tilik tindai pai juga
Tangan mak nyesol natti


Penggalan tersebut diambil dari salah satu bentuk puisi tradisional Lampung, yakni segata/adi-adi. Dalam puisi Lampung dikenal berbagai jenis puisi tradisional. Selain segata/adi-adi, masih ada paradinei, pepatcur, bubandung, pattun, ringget, talibun, hahiwang/wayak, dan sebagainya. Sebagaimana puisi-puisi tradisional pada bahasa lain, puisi tradisional berbahasa Lampung sangat ketat dalam hal bentuk: bait, larik, dan rima. Bahkan, untuk puisi seperti pattun dan talibun, keketatan itu juga dalam hal pesan: ada bagian sampiran, ada pula bagian isi. Dan ke-25 puisi Udo Z. Karzi dalam antologi Momentum ini—sebagaimana tampak pada puisi “Bibas”—berbeda sama sekali dengan puisi Lampung yang umum dikenal itu.

Bagi banyak “jelma” Lampung sendiri, barangkali antologi Momentum ini tidak penting. Akan tetapi, sastra Lampung tentu akan berterima kasih kepada Udo Z. Karzi dan semua pihak yang memungkinkan hadirnya antologi ini. Sebagaimana sastra daerah lain seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan Bali; sastra Lampung kini telah memiliki sastra (puisi) modern (berbahasa) Lampung.

Dan menjadi benarlah kini apa yang pernah dikemukakan Udo Z. Karzi dalam esai balasannya atas esai saya, bahwa sastra modern Lampung bukan sekadar wacana. Kini, memang, ia benar-benar ada. Udo Z. Karzi telah memulainya.

Cuma, akankah sastra Lampung berjaya? Akankah terjadi hujan sastrawan Lampung di Bumi Rua Jurai? Agaknya, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi kita. Menurut catatan SIL International Indonesia Branch dalam buku Languages of Indonesia (2001), ada sekitar 3 juta penutur asli bahasa Lampung. Jumlah itu memang sudah kedaluwarsa, karena data diambil dari D. Walker (1976), Wurn & Hatton (1981), dan GEKISUS (1985). Namun, dari sini pun kita bisa mengatakan bahwa sastra (berbahasa) Lampung sebetulnya potensial berjaya. Hanya saja, banyak-sedikitnya penutur bahasa Lampung memang bukan jaminan untuk berjayanya (bahasa dan) sastra Lampung.

Tapi, apa pun dan bagaimanapun, selamat datang sastra modern Lampung. Selamat dan salut buat sahabat Udo Z. Karzi. “Inji ampai muwak ni,” tulis Udo Z. Karzi dalam “Cawa Cutik”-nya di antologinya itu. Berarti akan ada yang bukan permulaan.

Sukun, 12 Mei 2003

* Kuswinarto, pengamat sastra

Sumber: Cybersastra.net, 28 Mei 2003 dan puitika.net, 6 Maret 2006

Wednesday, February 15, 2006

Sajak: Tentang Hujan

-- Udo Z. Karzi

semalam memang hujan, minan
tapi bukan hujan yang menidurkan hati
kita terlampau lelah berbincang sepanjang masa
tanpa suara tanpa titik temu
pikirkan saja tentang eksistensi hujan
ketika hujan datang dan orang-orang sibuk berbincang
berjam-jam menunggu

hujan adalah rencana yang tersusun dalam benak
atau malah tertulis dalam agenda orang-orang sibuk
sesekali hujan berkisah tentang orang-orang romantis
yang bertemu kundang tapi tak bisa berbuat apa-apa
selain menghitung-hitung rintik air yang jatuh
dari atap mengenai kaleng butut di belakang gudang

hujan lebat lebat sekali semalam, minan
tapi hati kita tak sejuk karenanya
hujan nyatanya tak bisa menyairkan hati kita
api terlanjur membesar
tak kan padam
oleh hujan sepanjang tahun sekalipun

sudahlah berhentilah menyalahkan hujan
hujan memang tak kan mngerti perasaan kita
hujan juga tak kan tahu dengan obsesi kita
hujan juga tak kan paham apa yang kita pikirkan
sudahlah berhentilah menyesali hujan
kita hanya ingat hujan telah memberi kita arti
jadi, tak ada alasan membenci hujan

semalam memang hujan, minan
lebat sekali
tapi kita tetap tak mengerti
apakah hujan masih merahasiakan sesuatu
badan basah
tapi yang kurasa panas menyengat

2004

Sumber: fordisastra.com, 15 Februari 2006; puitika.net, 18 Mei 2006



Tuesday, September 06, 2005

Nuansa: Tentang Perkawinan

: Udo Z. Karzi, 11 September yang itu

TIDAKKAH kau baca berita-berita itu, juru kamera televisi ke sana-ke mari, tak lupa juga polisi penjaga hukum-hukum kita itu. Pada sebuah berita, lelaki entah juga ia suami atau apalah--jika ia suami, mengapa ia begitu saja menggerakkan sepuluh jemari, mencekik leher istri--yang sadis menusukkan jejarinya ke leher putih selembut roti tawar itu. Cepat saja, esok hari berita-berita mengumandang tentang si suami yang mencekik istri hingga tewas. Leher melegam, bahu memerah; kata berita juga, telinga-mulut berdarah.

Mari-mari kita sama merasa, apakah ini perkawinan yang menghalalkan sesuatu yang haram, air mani dan nuftah ovarium menjelma jasad yang kemudian ditiupkan ruh oleh yang Mahahidup? Seperti inikah?

Oh, ya ... Kita sedang berbicara sebuah perkawinan, bukan berhebat-hebat merumuskan sebuah perkawinan. Mari-mari, Udo Z. Karzi, kita sama bertemu pada bejana besar tak berhingga hingga segala gagas tumpah. Kemudian ia menggunung, membantu kita memberi bentuk perkawinan-perkawinan itu.

Mari-mari Udo Z. Karzi.

Tidak ada yang ideal, kata kamu. Mungkin benar. Silakan kamu menggagas sepuas kau berkhalwat di pusat malam. Mari-mari Udo Z. Karzi. Bukankah Ia mencipta malam untuk kita-kita yang ingin menikmat rasa: bumi-langit-manusia adalah jagat kecil yang berhadap-hadap juga luruh dalam jagat besar yang itu...???

Lelalang-wewadon, lelaki-perempuan juga jagat-jagat yang luruh pada sebuah pertemuan kosmis yang mistis. Begitukah, saudaraku Udo Z. Karzi?

Ahaaa...mungkin kau bersungut malu, tentang jasad-jasad telanjang, misalnya. Tapi, ehemmm...bukankah kita sudah usang hingga jasad telanjang-telanjang kita tak lagi telanjang seperti lelanang-wewadon bergumul dalam jiwa-jiwa rusuh. Ada wiski, mungkin black label, juga seliwer pramumalam mengusung dentum bas drum dan keciprak senar drum di barbar. Gubahan mengacak-acak binal malam. Ehemmm...!

Menurutku, "tidak". Karena kita sudah lampau!

Andai kau ingin berseberangan, mungkin membantah omonganku, ooo...silakan. Silakan, saudaraku, Udo Z. Karzi. Kita ini sedang menggagas sebuah perkawinan, tidak sedang mendefinisikan apa itu perkawinan. Kita datang dari rasa, lalu rasa menggerak karsa. Rasa kita adalah rasa semesta. Rasa rasaning urip. Lalu, apalagi yang memaksa kita khawatir...?

***

Malam masih ada, sebentar lagi kau di peraduan berdua.

11 September sudah dekat, katamu. Kataku, biarlah sekat-sekat itu menjelma kekasih yang melekat bagai belikat. n RAHMAT SUDIRMAN

Sumber: Lampung Post, 6 September 2005