Wednesday, February 15, 2006

Sajak: Tentang Hujan

-- Udo Z. Karzi

semalam memang hujan, minan
tapi bukan hujan yang menidurkan hati
kita terlampau lelah berbincang sepanjang masa
tanpa suara tanpa titik temu
pikirkan saja tentang eksistensi hujan
ketika hujan datang dan orang-orang sibuk berbincang
berjam-jam menunggu

hujan adalah rencana yang tersusun dalam benak
atau malah tertulis dalam agenda orang-orang sibuk
sesekali hujan berkisah tentang orang-orang romantis
yang bertemu kundang tapi tak bisa berbuat apa-apa
selain menghitung-hitung rintik air yang jatuh
dari atap mengenai kaleng butut di belakang gudang

hujan lebat lebat sekali semalam, minan
tapi hati kita tak sejuk karenanya
hujan nyatanya tak bisa menyairkan hati kita
api terlanjur membesar
tak kan padam
oleh hujan sepanjang tahun sekalipun

sudahlah berhentilah menyalahkan hujan
hujan memang tak kan mngerti perasaan kita
hujan juga tak kan tahu dengan obsesi kita
hujan juga tak kan paham apa yang kita pikirkan
sudahlah berhentilah menyesali hujan
kita hanya ingat hujan telah memberi kita arti
jadi, tak ada alasan membenci hujan

semalam memang hujan, minan
lebat sekali
tapi kita tetap tak mengerti
apakah hujan masih merahasiakan sesuatu
badan basah
tapi yang kurasa panas menyengat

2004

Sumber: fordisastra.com, 15 Februari 2006; puitika.net, 18 Mei 2006



Tuesday, September 06, 2005

Nuansa: Tentang Perkawinan

: Udo Z. Karzi, 11 September yang itu

TIDAKKAH kau baca berita-berita itu, juru kamera televisi ke sana-ke mari, tak lupa juga polisi penjaga hukum-hukum kita itu. Pada sebuah berita, lelaki entah juga ia suami atau apalah--jika ia suami, mengapa ia begitu saja menggerakkan sepuluh jemari, mencekik leher istri--yang sadis menusukkan jejarinya ke leher putih selembut roti tawar itu. Cepat saja, esok hari berita-berita mengumandang tentang si suami yang mencekik istri hingga tewas. Leher melegam, bahu memerah; kata berita juga, telinga-mulut berdarah.

Mari-mari kita sama merasa, apakah ini perkawinan yang menghalalkan sesuatu yang haram, air mani dan nuftah ovarium menjelma jasad yang kemudian ditiupkan ruh oleh yang Mahahidup? Seperti inikah?

Oh, ya ... Kita sedang berbicara sebuah perkawinan, bukan berhebat-hebat merumuskan sebuah perkawinan. Mari-mari, Udo Z. Karzi, kita sama bertemu pada bejana besar tak berhingga hingga segala gagas tumpah. Kemudian ia menggunung, membantu kita memberi bentuk perkawinan-perkawinan itu.

Mari-mari Udo Z. Karzi.

Tidak ada yang ideal, kata kamu. Mungkin benar. Silakan kamu menggagas sepuas kau berkhalwat di pusat malam. Mari-mari Udo Z. Karzi. Bukankah Ia mencipta malam untuk kita-kita yang ingin menikmat rasa: bumi-langit-manusia adalah jagat kecil yang berhadap-hadap juga luruh dalam jagat besar yang itu...???

Lelalang-wewadon, lelaki-perempuan juga jagat-jagat yang luruh pada sebuah pertemuan kosmis yang mistis. Begitukah, saudaraku Udo Z. Karzi?

Ahaaa...mungkin kau bersungut malu, tentang jasad-jasad telanjang, misalnya. Tapi, ehemmm...bukankah kita sudah usang hingga jasad telanjang-telanjang kita tak lagi telanjang seperti lelanang-wewadon bergumul dalam jiwa-jiwa rusuh. Ada wiski, mungkin black label, juga seliwer pramumalam mengusung dentum bas drum dan keciprak senar drum di barbar. Gubahan mengacak-acak binal malam. Ehemmm...!

Menurutku, "tidak". Karena kita sudah lampau!

Andai kau ingin berseberangan, mungkin membantah omonganku, ooo...silakan. Silakan, saudaraku, Udo Z. Karzi. Kita ini sedang menggagas sebuah perkawinan, tidak sedang mendefinisikan apa itu perkawinan. Kita datang dari rasa, lalu rasa menggerak karsa. Rasa kita adalah rasa semesta. Rasa rasaning urip. Lalu, apalagi yang memaksa kita khawatir...?

***

Malam masih ada, sebentar lagi kau di peraduan berdua.

11 September sudah dekat, katamu. Kataku, biarlah sekat-sekat itu menjelma kekasih yang melekat bagai belikat. n RAHMAT SUDIRMAN

Sumber: Lampung Post, 6 September 2005

Monday, August 01, 2005

Sekuraan, Sebuah Pesta Topeng Rakyat Lampung

-- Udo Z. Karzi*

DI samping sastra (tradisi lisan), ternyata khazanah budaya Lampung juga menyimpan seni tupping (topeng). Di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus umpamanya, dikenal sekuraan, sebuah pesta topeng tradisi untuk merayakan Hari Raya Idulfitri.

Panjat pinang dalam acara Sekuraan.

Gagasan Panitia Festival Krakatau 2005 menggelar Apresiasi Topeng Seribu Wajah, Sebuah Pesta Rakyat untuk Mengekspesikan Diri yang dilatarbelakangi tradisi sekuraan tersebut, dengan demikian sangat menarik. Apalagi seperti halnya nasib seni tradisi Lampung lainnya, sekuraan pun tidak luput dari ancaman kepunahan.

Gerusan globalisasi dan modernisasi yang tidak tertahankan menghantam dan mengancam keberadaan seni tradisi, tak terkecuali sekuraan. Padahal sekuraan dalam tataran budaya daerah Lampung mempunyai arti yang cukup penting sebagai sarana bersilaturahmi dan juga menampilkan kebebasan berekspresi lewat topeng.

Ketua Panitia Pelaksana Netti Eryuna mengatakan sekuraan ini hanya dikenal di beberapa kecamatan seperti Belalau, Batubrak, Liwa, dan Sukau (Lampung Barat) serta Kotaagung dan Wonosobo (Tanggamus). "Sebab itu, event ini kami jadi sarana memperkenalkan sekuraan kepada khalayak luas," katanya.

Berangkat dari penelitian Lilia Aftika, ada dua versi asal-usul sekuraan. Versi pertama menyebutkan sekuraan sudah ada sejak zaman Hindu. Topeng-topeng yang dikenakan merupakan penjelmaan orang-orang yang dikutuk dewa karena berbuat tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji yang dimaksud adalah tidak mengakui adanya dewa yang patut disembah. Akibatnya, rupa mereka menjadi buruk.

Versi kedua, menurut Lilia yang menulis skripsi tentang seni sekura, menyebutkan sekuraan berasal dan bermula pada zaman Islam. Alasannya, pelaksanaan acara ini diadakan untuk memeriahkan dan menyambut Hari Raya Idulfitri dan umat yang merayakan Idulfitri adalah umat Islam.

"Tidak jelas tahun dan abad berapa acara ini mulai diadakan, tetapi menurut perkiraan, Islam menyebar di Lampung Barat sekitar abad ke-13. Dengan demikian, timbul anggapan sekuraan diadakan pertama kali sekitar abad ke-13," kata Lilia.

Lilia mengatakan versi kedua di atas tampaknya lebih meyakinkan dan lebih masuk akal. Alasan yang menguatkan, yaitu hari perayaannya menggunakan tanggal Islam dan hari raya Islam. Di samping itu, dalam pelaksanaannya tidak menunjukkan dan menonjolkan tokoh-tokoh seperti dewa-dewa atau nama-nama yang berkaitan ajaran Hindu.

Dalam sekuraan, terdapat sekura. Bedanya, sekuraan meliputi perayaan dengan tahap-tahapannya. Sedangkan sekura berkenaan orangnya. "Sekura itu orang yang berusaha menutupi wajah dan badannya sedemikian rupa agar tidak dikenali dalam tradisi sekuraan," kata Lilia.

Ada dua jenis sekura, yaitu sekura kamak dan sekura kecah. Sekura kamak berarti sekura kotor yang berfungsi sebagai penghibur bagi penonton. Sekura ini disebut demikian karena pakaian dan topeng yang dikenakannya kotor, misalnya busana tani atau tetumbuhan. Fungsinya menghibur pengunjung.


Sedangkan sekura kecah berarti sekura bersih. Disebut demikian karena kostum yang dikenakan bersih-bersih dan rapi. Sekura jenis ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta. Sekura inilah yang berkeliling pekon atau dusun untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaannya, sekura kecah diperankan meghanai.

Pendatang yang tidak menjadi sekura dalam tradisi sekuraan pada Hari Raya Idulfitri, sekura khususnya kaum wanita dan anak-anak langsung singgah ke rumah kerabatnya yang disebut dengan tumpak'an. Setibanya di sana mereka disambut tuan rumah dengan senyum ramah dan disambut pula dengan jamuan makan kue Lebaran.

Pendatang yang ingin menjadi sekura biasanya hanya singgah sebentar sebagai pemberitahuan kepada famili bahwa dia hadir dan datang dalam rangka memeriahkan acara.

Sekelompok sekura terlihat apabila calon peserta berganti kostum dan mengenakan topeng serta berbagai atribut lainnya. Acara sekuraan ini mulai sekitar pukul 9.00 atau bersamaan dengan berdatangannya penduduk dari berbagai pekon.

Sekelompok sekura pertama kali muncul adalah sekura yang bertindak sebagai inisiator penyelenggara. Kemudian disusul kelompok-kelompok sekura lainnya. Jarak antarkelompok 4--5 meter. Pawai keliling kelompok-kelompok sekura inilah yang disebut sekuraan. Para sekura berkeliling mengikuti rute yang ditentukan, mereka berkelompok-kelompok sesuai dengan jenisnya. Sekura kecah bergabung sesama sekura kecah dan sekura kamak bergabung sesama sekura kamak.

Penonton mulai bermunculan (baik yang baru datang maupun yang lama berada di rumah tumpak'an-nya) jika sekura telah pawai keliling. Wanita dan anak-anak duduk-duduk di beranda rumah milik warga menyaksikan sekuraan disertai senda gurau, sedangkan kaum pria turun ke jalan meskipun hanya sekadar menonton, tidak menjadi sekura.

Para sekura awalnya hanya sekadar berkeliling mengikuti rute dan melihat-lihat saja. Mereka beraksi dan berusaha mencari perhatian apabila melihat banyak penonton yang menyaksikan mereka. Sekura mulai melakukan hal-hal aneh seperti berjingkrak-jingkrak tak tentu arah atau menyanyi melantunkan lagu yang dibuat sekehendak hati si pelantunnya. Ada sekura yang bergerak-gerak seolah-olah menari, tetapi dibuat-buat sehingga memperlihatkan kelucuannya.

Ada juga sekura yang seolah-olah hamil dan mengikuti/mencontoh gerakan ibu hamil, ada pula sekura yang bertingkah layaknya wanita dan dibuat-buat seanggun mungkin dan masih banyak lagi tingkah sekura lainnya. Semua sekura mencari-cari agar menjadi pusat perhatian penonton dengan tingkah yang dibuat-buat, sehingga tidak salah jika ada pendapat yang mengatakan sekura berarti injuk kera (seperti kera/monyet) karena tingkahnya seperti kera.

* Udo Z. Karzi, penyair, tinggal di Lampung

Sumber: Lampung Post, 1 Agustus 2005