Saturday, November 05, 2011

“Homo Simbolicum” Maspadhik dan Budi Karmanto

-- Sihar Ramses Simatupang

MASPADHIK memilih figur Dewi Themis, Dewi Saraswati, hingga Gandhi dan Gus Dur, sedangkan Budi Karmanto memilih kodok sebagai perwujudan kritik sosialnya. Ini mengingatkan bagaimana novelis George Orwell mengkritik Rusia di masa silam lewat kilas kesibukan peternakan yang dipimpin oleh babi.

“Pada suatu hari, ada kodok yang masuk rumah saya, saya usir. Eh kodok itu malah naik ke kursi dan bertingkah seperti raja di rumah saya,” ujar Budi mengenai pertama kali kedekatannya dengan simbol kodok.

Katak atau kodok bukanlah hal yang lazim dipakai untuk sebuah simbol, meski ada dongeng mancanegara tentang pangeran katak dan putri cantik, atau pantun jenaka: Di sana kosong, di sini kosong/Tak ada pohon tembakau/Bukan saya berkata bohong/Ada katak memikul kerbau.

Katak di dalam lukisan Budi kerap tampil dalam dua wujud, yaitu bertingkah sebagai manusia dengan otot, paha, hingga payudara seperti manusia, juga katak yang tampil sebagai katak dengan kaki yang panjang dan melompat.

Hal itu terlihat pada karyanya yang bertajuk "Harga Perlindungan". Ketidakkonsistenan dapat dibaca sebagai pilihan atau metafora yang belum terbangun utuh.

Karya Budi juga lebih terkesan karikatural, karena selain proporsi, pengutamaan adegan, bahkan paparan antara katak dan latar yang tidak memperlihatkan kedalaman ruang; terkesan sengaja datar sehingga makin memunculkan kesan komikal.

Apalagi, Budi menekankan kritik atas ulah manusia yang tak ubahnya seperti kodok. Kodok atau kataknya Budi bisa ada di dalam kamar seperti habis bergulat dan bergelut di ranjang pada karya "Kecewa". Ia memakai mahkota raja dan duduk di atas kura-kura sementara di belakangnya terlihat fragmen manusia pada karya "Pemimpin dan Tangan-tangan Rakyat".

Pada karya Maspadhik, simbol yang diperlihatkan lebih bernuansa puitik. Kendati ada perubahan di akhir karyanya, simbol dan fragmen nyata yang semula terpisah akhirnya makin menyatu dalam satu lukisan. Lukisan "Perahu Retak", "Konser Perdamaian", dan "Dewi Saraswati", misalnya, telah menyatu dalam sebuah metafora dengan arsiran arca.

Hal itu berbeda dengan salah satu karyanya yang memperlihatkan figur Maspadhik dengan arca dan kesatria. Ini juga berbeda dengan figur Bung Karno yang dipersatukan dengan arca. Di karya belakangan ini, lukisan Maspadhik terlihat lebih sublim, utuh, dan menyatu di semesta kanvas.

“Saya menggali hakikat kehidupan di dalam lukisan,” ujar Maspadhik dalam sebuah perjumpaan. Hakikat kehidupan sebagaimana tujuan hidup manusia. Masa lalu tampaknya adalah sejarah yang bernilai dan pantas digali hikmahnya.

Demikianlah, dia berkaca tak hanya pada para tokoh spiritual dan religius, namun juga suri teladan para pemimpin bangsa yang telah memberikan kesejahteraan dan panutan bagi manusia lainnya.

Antara Lugas dan “Pasemon”

Puguh Tjahjono S Warudju yang ikut menulis pandangannya di momen bertajuk "Pameran Dwi Tunggal" yang mereka gelar di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, 4-14 November 2011, mengatakan bahwa pada Maspadhik, relief candi yang bertekstur masif namun mencitrakan keanggunan artistik juga refleksi kemegahan batin spiritual masa lalu, telah menjadi acuan bagi gaya pelukisannya.

Maspadhik, ujar Puguh, berada dalam wilayah yang afirmatif dan realitas masa kini. “Maspadhik tidak mengevokasi persoalan tersebut dengan ingar, tetapi, sebaliknya, memberikan stimulan untuk melantun secara subtil. Ini mengingatkan tabiat orang Jawa yang memiliki tradisi lisan pasemon atau sindiran halus,” ujar Puguh.

Kepada Budi, Puguh mengatakan bahwa Budi yang kemudian kerap disapa Budi Kodok telah merebak dunia fantasinya untuk mengungkap perilaku sosial di masyarakat. Istilah Puguh, ini adalah riset kilat terhadap karakteristik kodok yang diyakini sebagai sumber idiom visual karya lukisnya.

“(Budi) Karmanto bergenetika Jawa Tegal, beroksigen Betawi agraris sejak kecil. Ini membuat sosok tampilan dirinya semakin kental dengan ciri lugas, terbuka, naif, jujur, dan jenaka serta setia pada nilai dasar kehidupan,” ujar Puguh.

Lepas dari pendapat pencinta seni rupa yang juga pengajar di Universitas Budi Luhur dan Universitas Indraprasta Jakarta itu, kedua seniman ini telah memilih bentuknya masing-masing.

Yang satu memilih cara yang paling puitis lewat arca dan mitologi bahkan epos, yang lainnya telah menyimbolkan manusia dengan rupa dan tabiat seekor kodok. Kendati keduanya sama-sama ingin berkisah tentang kehidupan dan manusia, mereka telah memilih medium yang sama sekali berbeda.


Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 5 November 2011

1 comment:

Anonymous said...

RUMAH SAKIT ISLAM SAKINAH MOJOKERTO
Jalan RA Basuni 12 Sooko
Kabupaten Mojokerto
Jawa Timur indonesia
Phone: (0321) 321922, 326991, 329669. Sms:085648280307
Fax: (0321) 329670
Email: rsisakinah@telkom.net