Sunday, May 19, 2013

[Figura] Puisi Esai, Catatan Kaki, dan Konteks Sosial

-- Iwan Kurniawan

SEORANG teman yang sedang berada di San Francisco, Amerika Serikat (AS), berkabar lewat surat elektronik, awal pekan ini. Ia berkisah tentang gairah peneliti bahasa dan sastrawan di sana dalam menulis puisi dengan menggunakan catatan kaki.

Karya sastra yang disebut puisi esai (poetic essay) itu cukup digemari di sana dan menjadi rubrik rutin di surat kabar. Puisi esai menjadi penanda perubahan besar dalam kesusastraan dunia dalam abad ini.

Christina--nama sahabat saya itu--yang juga penulis, optimistis puisi esai dapat menjadi terobosan untuk mendekatkan masyarakat dengan puisi secara lebih sederhana, jelas, dan dekat.

Di negeri ini, genre baru puisi esai sudah masuk ke Indonesia satu atau dua tahun terakhir. Denny JA, salah satu penggagasnya, cukup lama bermukim di AS.

Lewat puisi esai, penyair atau esais dipaksa menghadirkan realitas yang sesungguhnya. Meski penyajian dilakukan lewat fiksi, ada data-data validnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi (kata benda) ialah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna.

Dalam bentuknya, ada puisi bebas, puisi berpola, puisi dramatik, puisi lama, dan puisi mbeling. Puisi mbeling, misalnya, berupa sajak ringan yang tujuannya membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang, alias sajak main-main.

Mbeling banyak terdapat dalam karya-karya sastrawan Remy Sylado. Sementara itu, esai ialah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas dari sudut pandang pribadi penulisnya.

Puisi baru

Terlepas dari istilah yang ada, sebuah buku Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (2013) diterbitkan Jurnal Sajak. Buku setebal 346 halaman itu mengupas tentang puisi esai, sastrawan yang terlibat, hingga contoh puisi esai secara terperinci.

Pada bab satu terdapat kajian secara ilmiah yang ditulis Denny JA berjudul Puisi Esai, Apa dan Mengapa?, mengutip tulisan John Barr, pemimpin Foundation of Poetry berjudul American Poetry in New Country.

Menurut John Barr, puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik bergelut dengan imajinasinya sendiri.

Riset terbatas mengenai puisi yang berkembang pada 2011 lalu pun dilakukan. Secara acak dipilih lima puisi yang dimuat di surat kabar paling ternama di Indonesia.

Sebagai perbandingan, Denny menghadirkan karya Chairil Anwar, Aku, dan WS Rendra, Khotbah.

Ternyata, lulusan pendidikan tinggi banyak yang tak mengerti dan tidak memahami apa isi puisi yang dijadikan sampel penelitian itu. Bahkan, sekitar 90% responden tidak bisa berkomentar soal pesan puisi.

Puisi esai diyakini bisa jadi solusi masalah itu. Pertama, puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Puisi tersebut juga menggunakan bahasa yang mudah dipahami, berupa fiksi, tetapi tak hanya lahir dari imajinasi, melainkan hasil riset atas realitas sosial. Istimewanya lagi, puisi esai berbabak dan panjang serta diletakkan dalam setting sosial terkini.

Catatan kaki

Ketika membaca beberapa karya puisi esai yang diterbitkan Jurnal Sajak, begitu kentara sebagian besar penulis masih menggunakan informasi dari berita-berita yang ditulis di dalam surat kabar nasional.

“Puisi esai bisa menjadi pilihan bentuk bagi siapa pun yang memiliki pandangan yang sama,” kata sastrawan Sapardi Djoko Damono.

Sebuah perubahan mendasar dalam puisi akan menjadi kajian yang menarik, ke depan. Mari kita nikmati. (M-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


No comments: