Wednesday, October 19, 2011

[Teraju] Pendekatan Adat di Perbatasan

PERBATASAN perbatasan RI-Timor Leste (TL) memang cukup pelik. Itu karena keduanya dulu dipisahkan oleh Belanda dan Portugal. Kemudian Timtim berintegrasi ke Indonesia, dan karena orang Timor itu kemudian bersaudara dalam satu negara, maka disepakati untuk membuat perbatasan baru, yaitu perbatasan provinsi. Sekarang orang Timtim kembali terpisahkan dan sudah menjadi negara sendiri. Maka, perbatasannya harus dikembalikan seperti semula atau membentuk perbatasan baru.

Dalam masalah penentuan perbatasan ini kita harus melibatkan pakar adat, karena menurut mereka masalah perbatasan RI-RDTL ini tidak bisa diselesaikan melalui hukum internasional, tetapi harus diselesaikan melalui hukum adat Timor. Orang Timor yang berada di Indonesia dan berada di TL itu satu etnis, menggunakan bahasa yang sama, satu nenek moyang dan satu asal usul. Oleh karena itu, orang Timor di Indonesia bisa memiliki lahan di TL dan demikian juga sebaliknya, orang Timor di TL bisa memiliki lahan di Indonesia. Tetapi karena dibatasi oleh yurisdiksi hukum negara, hal ini menjadi permasalahan.

Sekarang ini penduduk yang melakukan lintas batas melalui jalan-jalan tikus akan langsung ditangkap karena jalan-jalan tersebut bukan merupakan jalur resmi. Padahal, menurut mereka, jalan-jalan tersebut merupakan jalur pintas. Namun, para pelintas batas tetap saja melakukan aktivitas perdagangan sembako dan BBM melalui jalan-jalan tikus ini. Hanya saja, mereka melakukan transaksi perdagangan di garis perbatasan dan tidak lagi masuk ke wilayah negara lainnya. Masyarakat TL pada umumnya membeli sembako dan BBM dari masyarakat Indonesia dan menggunakan mata uang rupiah. Jadi, walaupun secara resmi negara mereka menggunakan dolar, tetapi masyarakatnya masih banyak yang menggunakan rupiah.

Dalam hal perbatasan, selama ini kita masih fokus membicarakan mengenai batas darat lebih dahulu. Dan menurut informasi yang kami terima, memang ada permasalahan-permasalahan di wilayah perbatasan baik darat maupun laut. Misalnya disalah satu segmen di kabupaten barat, di mana di salah satu desa, garis batas antara RI-RDTL itu berupa aliran sungai. Kalau hujan dan terjadi banjir, aliran sungai akan meluap dan mengikis tanah di bagian wilayah Indonesia dan TL. Ini menimbulkan permasalahan karena di tengah sungai ada dataran yang merupakan daerah subur seluas sekitar 42 hektare yang dimanfaatkan untuk areal pertanian.

Di kabupaten TTU juga ada satu segmen yang menimbulkan permasalahan. Namun, ini merupakan perbedaan persepsi terhadap tapal batas yang berada di punggung bukit. Keinginan dan pandangan masyarakat dalam hal ini berbeda dengan pemerintah, dan di antara kedua negara juga belum ada kesepakatan menyangkut itu.

Di Atambua, Kabupaten Belu, juga sama seperti di Kabupaten Kupang, di mana perbatasannya berupa sungai dan bila banjir kejadiannya juga serupa. Kalau mengikis wilayah Indonesia, luas wilayah TL menjadi semakin besar dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, di tengah-tengah sungai tersebut kemudian dipasang batu.

Untuk masalah infrastruktur dan sosial dasar di wilayah perbatasan, kondisinya memang masih jauh dari apa yang kita harapkan. Padahal, potensi yang dimiliki oleh wilayah NTT di perbatasan itu sangat besar, di antaranya kayu jati, gaharu, dan cendana. Ketiga sumber daya alam inilah yang terkadang memicu terjadinya permasalahan lintas batas, karena sering kali terjadi illegal logging.

Tingkat pembangunan di wilayah perbatasan selama ini juga sangat kecil mengingat terbatasnya anggaran yang ada. Misalnya dari Pemkab Belu yang mengusulkan pembangunan ruas jalan baru di sepanjang perbatasan dengan anggaran sekitar Rp 9 miliar, sampai saat ini hal itu belum bisa direalisasikan mengingat terbatasnya APBD.

Mengenai perdagangan lintas batas, masyarakat kedua negara bisa melakukan transaksi perdagangan secara resmi di Mata Ain dengan penggunaan pas lintas batas. Akan tetapi, sering terjadi keributan antarwarga sendiri. Kalau sudah kumpul biasanya mereka minum-minuman keras, dan dari situlah berawal terjadinya keributan. Oleh karena itulah, TNI melarang hal itu karena pertimbangan faktor keamanan. Pada tahun-tahun sebelumnya, mereka berkumpul seminggu sekali di tempat-tempat tertentu, misalnya di antara batas RI-RDTL. Tapi kalau aktivitas perdagangan legal yang menggunakan paspor, itu berjalan sebagaimana biasanya setiap hari.

Pelanggaran yang kerap terjadi di perbatasan adalah illegal logging serta perdagangan BBM dan sembako, di mana barang-barang dari Indonesia yang lebih banyak dijual ke TL. Misalnya untuk sembako, satu barang kebutuhan pokok yang berharga Rp 1.000 di Indonesia bisa menjadi Rp 4.000 di TL. Mereka melakukan perdagangan ilegal ini dengan menyeberang hingga sejauh 1-2 km melalui jalan tikus. Hal ini agak sulit diberantas karena kesulitan dalam hal barang bukti. Secara umum, keadaan infrastruktur jalan di wilayah perbatasan kondisinya hampir sama. Hanya saja, di TL sekarang sudah ada listrik dan jaringan komunikasi.

Sumber: Republika, Rabu, 19 Oktober 2011

No comments: