Sunday, April 04, 2010

Rendra-PGB Bangau Putih (2): Usai Perkemahan Kaum Urakan

-- Bre Redana

BENNY Gautama duduk di sofa di rumahnya yang terbilang mewah di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Pada usianya yang ke-55 tahun dia tetap tegak. Tatkala mempraktikkan jurus silat, tetap terlihat trengginasnya.

Max Palaar melatih silat di Bengkel Teater Yogya, tahun 1970-an. (BURUNG MERAK PRESS/OENTOENG SENOBROTO)

Sosok Benny bisa menjadi gambaran sangat representatif pertautan antara Bengkel Teater dan PGB Bangau Putih. Benny yang bergabung dengan Bengkel Teater di Yogyakarta setamat SMA pada paruh pertama tahun 1970-an merasa tertarik dengan kelompok itu demi mendengar ”kehebohan” Mastodon dan Burung Kondor—drama yang membuat Orde Baru berseteru dengan Rendra. ”Ya, tertarik saja...,” ucapnya mengenang masa itu.

Edi Haryono, anggota Bengkel yang punya catatan lengkap dan ingatan akurat mengenai Bengkel sejak periode tahun 1970-an, menceritakan bagaimana dinamika Bengkel Teater baik sebelum maupun setelah berhubungan dengan silat. Telah tersebar di berbagai tulisan dan menjadi ingatan sejumlah orang, mengenai periode paruh kedua tahun 1960-an, ketika kelompok ini dengan anggota-anggota angkatan pertama, seperti Azwar AN, Sunarti, Moortri Poernomo, dan Bakdi Soemanto, berlatih di ruang tamu ukuran 4,5 meter x 7 meter di Ketanggungan Wetan Ng VI/165 Yogyakarta, disusul pementasan di pelataran samping milik tetangga. Penontonnya adalah para tetangga dan seniman-seniman Yogya kala itu, yang beberapa ada juga yang suka menulis untuk koran.

Eksperimen dari Yogya itu dibawa ke Jakarta dalam pementasan di Balai Budaya, tanggal 24 April 1968. Yang menonton para sastrawan dan tamu dari negara tetangga. Pada saat itulah Goenawan Mohamad menulis mengenai pementasan tersebut dengan penamaan ”Minikata”. Menurut Edi, Rendra senang dengan penamaan itu, cocok, dan berterima kasih.

Pulang ke Yogya, Bengkel makin menggebu latihan. Anggota baru muncul. Lahir karya-karya panggung seperti Oidipus Sang Raja, Hamlet, dan Menunggu Godo. Nantinya, anggota-anggota pertama tadi mengendur, ada yang pindah ke Jakarta, sementara berkembang anggota berikutnya seperti Adi Kurdi, Untung Basuki, Fadjar Suharno, Areng Widodo, Oentoeng Senobroto, Ratna Sarumpaet, dan lain-lain. Metode latihan didasarkan kesadaran pancaindra, kesadaran akal, dan kesadaran naluri (dari situ lahir istilah Gerak Indah).

Terpana

Perubahan signifikan terjadi pada kira-kira seusai Perkemahan Kaum Urakan di Pantai Parangtritis, Oktober 1971. Seperti diuraikan pada tulisan terdahulu, seorang frater muda bernama Max Palaar, murid dari Subur Rahardja di Bogor, berkunjung ke Bengkel Teater. Pada suatu kesempatan Max mendemonstrasikan gerak yang membuat Rendra terpana. Disusul dengan perkenalan Rendra dengan Subur Rahardja, inilah masa di mana kemudian terjadi pelimpahan ilmu silat dari perguruan silat Bangau Putih (waktu itu Shaolin Pek Ho Pay) ke para anggota Bengkel. Semua anggota Bengkel berlatih silat pada Max Palaar.

Pada periode itu pula pengaruh gerakan hippies, Generasi Bunga, dengan semboyan antara lain ”Free Love” dan ”Make Love not War” sampai ke anak-anak muda di Indonesia. Tak terkecuali Bengkel Teater didatangi anak-anak muda, yang beberapa di antaranya datang dari keluarga pecah, atau dalam istilah masa itu broken home. Asap ganja dan mariyuana menaungi kehidupan sebagian anak-anak muda di zaman itu.

Rendra menghadapi keadaan yang berbeda dengan para anggota barunya. Fadjar Suharno menyebut anak-anak ini sebagai ”kayu-kayu hanyut”. Sedangkan Edi Haryono mengatakan, ”Mereka harus diurusi dulu perkara mabuknya.” Latihan silat dipercaya mengembalikan hawa murni, Chi, prana, tantian. ”Itu yang paling nyata mampu mengembalikan para pemabuk ke pengolahan tenaga alamiah,” tambah Edi.

Sejumlah warga Bengkel yang lama bisa mengenang bagaimana Rendra, misalnya, ”mendisiplinkan” Benny yang suka bikin onar dengan memberinya pekerjaan berat di atas rata-rata, yakni membuat patok-patok di bagian sungai yang tergerus arus. Benny, yang sejak semula dilihat Rendra punya vitalitas luar biasa, ternyata bisa mengatasi pekerjaan yang dilakukannya sendirian itu. Mungkin itulah yang membuat Rendra tak keberatan ketika Benny menyatakan hendak memperdalam silat di Bogor, ikut Suhu Subur Rahardja.

Pada perkembangannya, rumah perguruan di Kebun Jukut, Bogor, menjadi ”pendaratan” bagi sejumlah anggota Bengkel Teater Yogya sebagai tempat baru untuk mengolah diri, dengan terus berlatih ilmu silat. Sebutlah Areng Widodo, Innisisri, Adi Kurdi (sebelum sekolah di New York University), Edi Sunyoto, dan Wismono Wardono. Salah satu anggota Bengkel yang lama, Suyitno Bramantyo, pernah menuturkan, karena di Yogya pada waktu itu dia terus bikin ribut, dia dijemput oleh Benny untuk ke Bogor. Kini, Suyitno adalah salah satu anggota Dewan Guru di PGB Bangau Putih.

Dua rumah

Dua rumah satu atap, begitulah kalau bisa diibaratkan Bengkel Teater dan PGB Bangau Putih. Sejumlah anak muda di zamannya mencari dan menemukan jati dirinya di dua padepokan itu: yang satu padepokan teater dan yang satu padepokan silat. Rahmat Dandanggula, yang kini punya usaha biro perjalanan di Bogor, mengenang masa-masa sulit pada awal tahun 1980-an ketika dia mengikuti Rendra hijrah ke Jakarta. Masa itu Rendra tak boleh pentas, tak boleh menerbitkan karya. ”Saya ke Bogor, ke Suhu, mencari pencerahan,” kenang Rahmat.

Sedangkan Benny, seperti dituturkan banyak orang, menjadi salah satu murid kesayangan Suhu. Benny sendiri menyatakan, melalui silat dia menemukan jati diri, disiplin, moral, dan tanggung jawab. Lalu, pada awal tahun 1980-an dia terjun ke film laga. Film pertamanya adalah Si Jagur. Atas nasihat Suhu, waktu itu dia memakai nama ”Rahardja” di belakangnya, menjadi Benny G Rahardja. Pada zamannya, nama ini adalah nama berwibawa di persilatan.

Kini, Benny sedang bersemangat untuk kembali mengintegrasikan seni dengan silat. ”Silat bukan hanya kendang pencak. Gerakannya akan saya bikin menjadi kehidupan. Tidak ada seni yang membunuh. Seni itu menghidupkan,” ujarnya.

Sering dia menyebut, sebelum mati ingin menurunkan ilmunya pada para saudara seperguruan yang menjadi yunior-yuniornya. Itu adalah bagian dari pengabdiannya kepada perguruan, atau terlebih pasti maksudnya terhadap almarhum Suhu Subur Rahardja. (BERSAMBUNG)

Sumber: Kompas, Minggu, 4 April 2010

1 comment:

TribuanaTheatre said...

senang bisa baca tulisan ini, mohon kalau ada yang bisa menghubungi teman teman seperguruan di bengkel teater ketanggungan wetan Jogya, ketika melakukan sembilan upacara sembilan persaudaraan silat bangau putih bengkel, dihalaman rumah mas Willy, dengan dihadiri oleh mas Rudjito, Max Pallar , sembilan anggota persaudaraan tsb: Rendra, Sunarti, Sitoresmi, Adi Kurdi, Fajar Suharno, Untung Basuki, Edi , Suratmo, Tapa Sudana (tolong dikoreksi kalau saya salah ingatan,) sembilan bata/batu melingkar .... ahh maaf ingatan saya remang remang hingga disini untuk menerus gambaran kenangan ..