Sunday, April 04, 2010

Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman, M.A., ”Seni itu Bagian dari Islam”

AJARAN Islam secara tidak langsung telah memberi inspirasi yang kuat bagi tumbuhnya berbagai bentuk karya seni dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Sejak masa Rasulullah saw ., karya seni tidaklah bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam. Oleh karena itulah, dalam pandangan Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman MA, hubungan seni dan Islam adalah hubungan yang tak bisa dipisahkan.

"Seni adalah bagian dari Islam, tetapi Islam bukanlah bagian dari seni," ujar Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Jabar ini.

Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman menyebutkan sejumlah ayat Alquran dan riwayat yang menegaskan betapa mencintai seni dan keindahan merupakan fitrah manusia, sebagaimana mengemuka dalam Surah Ali-Imran ayat 14. Demikian pula sejumlah hadist dan riwayat yang menuturkan bagaimana Rasulullah saw tidak melarang nyanyian, musik, sastra, dan tarian.

Dalam pandangan pimpinan Pontren Ar-Rahman Bandung ini, seorang Muslim tidaklah dilarang untuk menciptakan suatu karya seni selama itu tidak melampaui batas-batas ketentuan agama serta norma-norma masyarakat.

"Seni itu bukan sekadar indah, tetapi harus mengandung norma-norma yang baik. Indah tetapi tidak baik itu ditolak dalam Islam, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas," katanya.

Seraya mengurai perkembangan seni dalam sejarah era keemasan Islam, Khulafaur Rasyidin hingga Daulah Umawiyah, Abbasyiah, hingga Daulah Usmawiyah di Turki (1299-1922), Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman mencoba memisahkan perkembangan seni Islam dan seni Barat yang sekuler. Pandangan ini tampaknya masih belum beranjak dari sejarah panjang pertentangan Islam dan Barat, yang keduanya menghadirkan ragam kesadaran seni yang berbeda, untuk tidak menyebutnya berlawanan.

Di antara pemisahan inilah ia menilai kemestian adanya batasan antara kategori seni Islam dan seni Barat. Tanpa adanya pemisah semacam ini maka masalah yang muncul di tengah kaum muslimin adalah bagaimana menyikapi seni, yang kemudian bagi sebagian golongan mengharamkannya.

"Ciri khas peradaban sekularisme Barat adalah mereka memisahkan kebudayaan dan adat bangsa dengan agama. Hal ini sudah barang tentu berdampak negatif pada kehidupan pribadi ataupun sosial. Akan tetapi nyatanya budaya Barat ini telah tumbuh berkembang di kalangan kaum Muslimin, sebagai akulturasi budaya Barat dan budaya Islam", katanya.
**

MENGUTIP Endang Saepudin Anshari (1983) yang menyebutkan bahwa secara teoritisasi Islam tidak memberikan teori atau ajaran yang terperinci ihwal seni dan estetika, sebab itu merupakan urusan "dunia", sebagaimana sabda Nabi, "Kamu lebih mengetahui urusan duniamu".

Namun begitu, seni Islam merupakan perumusan seperti yang dikemukakan Sidi Gazalba (1983), yakni, ciptaan bentuk-bentuk yang mengandung nilai estetika yang merupakan perpaduan dengan nilai etika Islam. Tak cukup hanya di situ, Prof. Dr. H. Ali Abdurrahman juga mengutip pandangan Achad Charis Zubair yang memandang bahwa seni menurut Islam merupakan bagian penting dari kebudayaan yang bermuara pada ibadah.

Sementara dari Abdurrahman Al-Bagdad (1993), ada semacam pengakuan pada belum terdapatnya ketegasan ihwal definisi seni Islam yang bisa diterima semua komunitas Islam. "Akan tetapi yang jelas ajaran Islam menentang kebebasan berekreasi yang menjurus pada tontonan atau bacaan berbau takhayul, syirik, dan mengundang birahi, serta segala bentuk seni yang mendorong degradasi moral," ujarnya.

Sependapat dengan pandangan Endang Saepudin Anshari (1983), Prof.Dr. H. Ali Abdurrahman menyatakan bahwa hukum seni itu mubah/jaiz (boleh). Akan tetapi, ia menegaskan, itu bisa berubah menjadi makruh bahkan haram. Sebaliknya, karya seni yang memenuhi syrakat estetika merupakan karya ibadah sepanjang mendasar pada sejumlah hal. Di antaranya, ikhlas, mardlatillah (sebagai titik tuju), dan sebagai bentuk amal saleh.

"Seorang Muslim yang baik yang terikat jiwanya kepada Islam dan berkreasi seni pada hakikatnya melaksanakan tugas ibadah dan menunaikan fungsi khilafah," ujarnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, 4 April 2010

No comments: