Sunday, April 18, 2010

Kaus Oblong Sunda

-- Eriyandi Budiman

Aki Rékrék turaya
Aing na pangkonan Sia
Bayu mas nu lénggang patih
Bayu emas nu lénggang hérang
Bumi meneng bayu meneng
Ku sangkilat ku moncorong
Ratna putih sang ibuh putih
Undur ku sangkilat sakti
Nya isun sang demi jati

JANGJAWOKAN di atas "konon" ditemukan rekanan saya dari pedalaman Garut. Ia kemudian mencetaknya di atas t-shirt atau kaus oblong. Rekan saya, yang di situs jejaring sosial Facebook menyebut dirinya Abah Amin, memang tertarik pada kaus oblong, sebagai salah satu cara menyosialisasikan nilai-nilai budaya Sunda. Ia melakukan studi kecil-kecilan untuk menemukan ”ideologi berdampak sistemik” dari teks-teks unik dan menarik dari kebudayaan Sunda, lalu disablon atau dicetak pada kaus oblong. Desain segera disiapkan, agar teks yang tampil memiliki nilai estetik serta menjangkau sasaran yang diinginkan, yaitu anak muda hingga orang dewasa. Ia menyebarkan medan tafsir yang dapat tumbuh di mana pun.

Abah Amin alias Aminuddin, adalah tipikal anak muda yang tumbuh di atas bara kreativitas. Sejak kecil, pemilik blog www.sundakoncara.multiply.com ini memang menyukai seni budaya Sunda. Setelah hengkang dari kerja editor di salah satu penerbit besar di Bandung, ia aktif menulis, terutama buku-buku humor, baik berbahasa Indonesia maupun Sunda. Ketertarikannya pada budaya Sunda, minimal lewat seni visual di kaus oblong, membuka kreativitas tumbuhnya budaya Sunda dalam citraan yang lain.

Kaus oblong Sunda, secara sporadis pernah pula saya temukan di kantor redaksi majalah Sunda, Cupumanik. Teks seperti "Buruk-buruk Papan Jati: Buru-buru Ganti", menjadi keunikan lain dari paribasa atau babasan Sunda yang diberi imbuhan lain pada kaus oblong itu. Ada pula kaus oblong yang menyertakan huruf-huruf Sunda, yang dibuat panitia seusai acara Workshop Aksara Sunda, yang digelar Disbudpar Jabar tahun lalu.

Sebagai salah satu bentuk sosialisasi kebudayaan, kaus oblong memang cukup efektif. Selain stiker, kaus oblong sendiri telah menjadi tren kebudayaan populer, bahkan ia telah menjadi artefak kebudayaan kontemporer itu sendiri. Kaus oblong dapat menjangkau semua kalangan sehingga mudah masuk ke berbagai komunitas apa saja. Baik dari sisi bisnis maupun sebagai media pembelajaran kebudayaan, kaus oblong telah menjadi bagian dari budaya industri kreatif dan gaya hidup kaum urban hingga yang mapan. Para penggiat kebudayaan Sunda, yang juga melihat celah ini, tentu memahami bahwa kaus oblong dapat menjadi salah satu bagian penting dalam strategi kebudayaan. Ia tidak terlalu berhasrat pada politik identitas. Namun lebih berharap bahwa kesadaran itu tumbuh sebagai bagian dari ritual keseharian, yang lebih bernilai transendental, tanpa meninggalkan hal-hal yang imanen-nya.

Di Yogyakarta misalnya, selain mengunjungi tempat wisata, banyak orang tertarik pada kaus Dagadu, yang telah menjadi ikon bisnis, wisata, dan kebudayaan kota itu. Beragam artefak kebudayaan, baik yang berkesan "jadul" hingga "kenakalan modern" dituangkan pada kaus oblong. Belakangan, di Bandung tumbuh industri kaus oblong bertema Bandung, yang sayangnya kebanyakan didesain kurang bagus. Namun, ada pula yang digarap secara serius, seperti yang dilakukan kelompok Mahanagari untuk kelas distro. Yang cukup krea-tif dan terus-menerus adalah para pembuat kaus untuk Persib. Kreativitas pencinta berat Persib ini sering pula menyertakan teks-teks kalimat Sunda yang menggelitik.

Sosialisasi nilai-nilai kebudayaan Sunda memang sering kali berhenti sebatas jargon pada spanduk, laporan hasil seminar, hingga kongres yang mengendap, atau hasil penelitian yang susah diakses publik. Sebutlah artefak yang kemudian terpendam. Kemunculan kaus oblong Sunda, tentu menjadi salah satu artefak baru yang lebih menyeruak ke permukaan. Berbagai genre kebudayaan Sunda, dari bahasa, kuliner, arsitektur, upacara adat, seni-seni buhun, dan lain-lain, dapat diakses publik dengan lebih mudah. Apalagi, kaus oblong Sunda itu kemudian diletakkan pada situs, blog, hingga Facebook. Ia kemudian menjadi artefak kontemporer yang tak hanya dapat diakses oleh para filolog atau antropolog, bahkan oleh anak bawang yang gemar berselancar di internet.

Seperti diungkap Tzevetan Todorov lewat aforisme di abad ke-18, sebuah teks adalah sebuah piknik. Dengan demikian, laiknya sebuah piknik, piknik teks pada kaus oblong Sunda, juga memungkinkan pertemuan dengan pembaca yang membawa khazanah lain pada pikirannya. Sangat mungkin timbul keintiman, bahkan perjamuan dan perhelatan, yang kemudian melahirkan teks-teks baru. Sebutlah pembaca yang kemudian jadi pembuat teks baru juga. Maka artefak tersebut dapat berbiak tanpa batas ruang, waktu, dan manusia yang berhasrat ngamumule dan mengembangkannya.***

* Eriyandi Budiman, pengamat kebudayaan Sunda dan kaus oblong, tinggal di Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 18 April 2010

No comments: