Sunday, March 07, 2010

Fiksi: Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra

-- Bandung Mawardi*

UANG adalah wacana tak selesai untuk memperkarakan kehidupan manusia modern. Uang sebagai benda, kata, dan makna terus jadi kuasa untuk mengantarkan manusia pada permainan-permainan hidup dalam seribu satu risiko. Pengenalan manusia modern terhadap uang menjadi absorsi dan internalisasi untuk melakoni hidup dengan konstitusi atas nama nilai dan kompensasi. Uang sebagai juru bicara membuat manusia menerima mekanisme atau prosedur hidup dalam perhitungan angka untuk mencapai makna. Angka jadi penentu, tetapi makna kadang hadir dalam kesamaran.

Uang mengantarkan peradaban manusia pada pertaruhan ekonomi modern secara sistemik. Efek pertaruhan itu meluber dalam lakon politik, spiritualitas, sosial, pendidikan, dan kultural. Uang menjelma monster dengan sabda-sabda untuk memberi instruksi dan sanksi. Manusia-manusia modern jadi tokoh-tokoh dalam lakon fiksi modern karena uang telah mengaburkan fakta-fakta dalam nalar tradisional. Fiksi mutakhir adalah pembenaran uang dalam konstruksi nalar modern dengan penentuan tema, alur, dan latar.

Karl Marx dengan satire mengungkapkan uang adalah dewa. Uang telah menjadi penguasa manusia dan alam. Uang menjelma pusat dari nilai segala sesuatu. Uang telah merampas dunia dari tatanan kosmis yang mengacu pada norma spiritualitas dan kultural menuju ke tatanan ekonomi dan politik yang materialistik. Karl Marx pun menilai uang sebagai esensi alineatif dari eksistensi manusia dan laku kerja untuk hidup. Uang justru menemukan eksistensi dalam iman manusia karena ritual pemujaan dalam mekanisme produksi dan konsumsi.

Satire itu muncul dari lakon peradaban manusia modern dengan pemahaman uang sebagai dewa atau pusat. Fakta-fakta modernitas jadi ”fiksi realisme” atau ”fiksi absurd” karena kuasa uang. Georg Simmel memberi penjelasan lanjutan bahwa uang memang jadi pokok dan tokoh dalam modernitas. Dalil reflektif dari Simmel adalah modernitas digerakkan oleh kota dan uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan. Uang adalah sebab untuk sebaran kuasa modernitas. Uang adalah lambang dan metafora yang terus mendapati terjemahan dan realisasi untuk lakon konstruktif atau destruktif.

Wacana uang di Eropa mendapat perhatian dari kalangan studi filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, teologi, seni, dan sastra. Pelbagai pembacaan dan penilaian terhadap uang menjadi prosedur legitimasi uang dalam lakon manusia modern. Uang jadi dalil untuk alienasi, hedonisme, perbankan, kapitalisme, pasar bebas, revolusi, pasar modal, asuransi, dan globalisasi. Legitimasi uang pun menampakkan pengaruh pada laku spiritual, olah estetika, interaksi sosial, dan operasionalisasi demokrasi.

Uang dalam wacana-wacana kritis memang jadi momok untuk berkah atau kutukan. Pemahaman uang secara kuantitatif dan kualitatif lalu memunculkan kontradiksi-kontradiksi dilematis. Uang menjadi tukang sulap untuk manusia modern melakoni hidup sebagai fakta atau fiksi. Pembedaan rasionalitas dan irrasionalitas semakin tak mempan ketika uang menjebol definisi dan tafsir atas peradaban modern. Uang bisa menjelma dewa kapitalisme, spiritualisasi ekonomi, lokomotif politik, sakralitas prestise, mistik sosial, aktor seni populer, atau iblis kemiskinan.

Tafsir

Membaca dan menilai uang dalam garapan sastra tentu jadi tindakan reflektif untuk memahami resepsi manusia-manusia modern terhadap uang. Sastra memang pewartaan dalam bentuk dokumentasi fragmen-fragmen historis, sosiologis, etis, teologis, dan estetis. Sastra pun memiliki orientasi untuk memuat nubuat atas kondisi manusia dan peradaban modern dalam kuasa uang. Sastra memberi warta reflektif ketimbang analisis ekonomi atau sosiologi dengan suguhan data dan tafsir-tafsir ilmiah dan rasional.

Hugh Dalziel Duncan (1997) memberi paparan reflektif tentang uang dalam fiksi-fiksi modern. Uang adalah tema penting dalam arus modernitas dan hasrat manusia untuk melegitimasi eksistensi-esensi. Uang mengandung misteri dan kodrat hierarkis untuk membedakan derajat manusia dalam mengonsumsi seni atau materi-materi lain untuk klaim kemapanan atau prestise. Uang jadi kunci untuk menciptakan nikmat atau jatuh dalam sengsara.

Edith Wharton (1862-1937) dalam novel The House of Mirth (1905) memberikan deskripsi tentang relasi manusia modern dengan uang untuk eksplisitas eksistensi melalui tindakan konsumsi dan gaya hidup: ”Tuan Rosedale memiliki ketepatan khas rasanya dalam hal memuja nilai-nilai, dan untuk dilihat orang tatkala ia berjalan menuruni tangga di jam istirahat makan siang yang penuh sesak dengan ditemani oleh Nona Lily Bart sama rasanya dengan uang dalam kantong, sebagaimana kata-kata yang akan dipilih sendiri oleh Tuan Rosedale”. Uang adalah aura modernitas, tetapi mungkin jadi faktor untuk membuka aurat hedonisme dan kapitalisme.

Konklusi kritis diajukan Duncan ketika menilai novel-novel F Scott Fitzgerald dan Thomas Mann. Fitzgerald dalam novel The Great Gatsby menciptakan tokoh-tokoh yang terangsang secara seksual dan rohani oleh uang. Tokoh-tokoh dalam novel Buddenbrooks anggitan Thomas Mann justru luluh, membusuk, dan musnah oleh kuasa dan aura uang. Tokoh-tokoh itu adalah representasi dari lakon manusia-manusia modern di Amerika dan Jerman.

Fiksi-fiksi di Eropa memang kentara untuk mewartakan lakon uang dalam peradaban modern. Bagaimana lakon uang di negeri Indonesia? Novel-novel awal abad XX di Indonesia sudah merepresentasikan tema uang dalam kadar tertentu terkait dengan hasrat untuk hedonis, kawin paksa, gaya hidup modern oleh kaum pribumi, kemiskinan di desa dan kota, modal dalam pendidikan modern, atau progresivitas kebudayaan populer di kota. Penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern.

Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra. Uang tentu jadi perkara besar dalam biografi manusia-manusia Indonesia ketika dengan gairah atau gerah tumbuh dalam arus dan alur modernitas pada abad XX.

Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Kompas, Minggu, 7 Maret 2010

No comments: