Sunday, January 10, 2010

[Buku] Radikalisme Akibat Kesenjangan Sosial

Judul : Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal
Penulis : Anthony Giddens
Penerjemah: Dariyatno
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet.I, Oktober 2009
Tebal : xlviii, 416 Hlm + indeks

GAGASAN tentang radikalisme politik telah lama dikaitkan, utamanya dengan pemikiran sosialis. Menjadi seorang "radikal" berarti memiliki pandangan tertentu tentang kemungkinan-kemungkinan yang lekat dengan sejarah--radikalisme berarti melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Sebagian kaum radikal merupakan kaum revolusioner. Menurut mereka, revolusi--dan mungkin hanya revolusi--yang dapat menghasilkan perbedaan tajam yang mereka perjuangkan dengan prestasi/capaian masa lalu.

Namun, gagasan tentang revolusi tidak pernah menjadi ciri utama radikalisme politik. Ciri ini terkandung dalam progresivismenya. Sejarah hadir untuk dikuasai, untuk dibentuk sesuai dengan tujuan-tujuan manusia, sedemikian rupa sehingga keuntungan-keuntungan--yang pada masa-masa sebelumnya tampaknya dianugerahkan oleh Tuhan dan merupakan hak prerogatif bagi segelintir elite--dapat dikembangkan dan diorganisasikan demi kemanfaatan bersama.

Radikalisme yang membongkar segala sesuatu hingga ke akar-akarnya tidak hanya berarti menghadirkan perubahan tetapi juga mengontrol perubahan tersebut sehingga dapat mendorong sejarah maju ke depan. Proyek inilah yang kini tampaknya telah luput dan terlupakan. Bagaimanakah sebaiknya seseorang atau kita merespons situasi semacam ini? Sebagian pihak mengatakan probabilitas perubahan radikal telah lenyap. Sejarah, demikian katanya, telah mencapai titik akhir sedangkan sosialisme sudah sangat jauh ketinggalan.

Namun, tidaklah dapat dinyatakan bahwa jauh dari kemungkinan telah tertutupnya perubahan kita justru sedang mengalami kejenuhan oleh kemungkinan-kemungkinan tersebut. Karena sesungguhnya, telah tercapai satu titik ketika perubahan yang tiada henti tidak hanya merisaukan, tetapi juga merusak dalam artian positif--dan dalam banyak bidang kehidupan sosial dapat diyakini ternyata titik kerisauan ini benar-benar telah tercapai.

Konservatisme, dalam sebagian samarannya yang paling berpengaruh di Eropa saat ini dan hingga kadar tertentu di lain tempat di dunia, telah mulai nyaris merangkul secara persis sesuatu yang pernah dengan mantap disangkalnya: kapitalisme kompetitif beserta proses-proses perubahan dramatis dan berdampak luas yang cenderung dimunculkan oleh kapitalisme.

Kini banyak kaum konservatif merupakan kaum radikal aktif terhadap fenomena yang sebelumnya mereka pegang teguh dengan segenap hati itu sendiri--tradisi. Lepaskan diri dari sisa-sisa peninggalan yang telah kita warisi dari masa silam: Di manakah ungkapan sentimental semacam ini paling lazim didengar? Bukan di sayap kiri tetapi di sayap kanan.

Di sini konservatisme yang berubah radikal ternyata menentang sosialisme yang menjadi konservatif. Seiring dengan runtuhnya Uni Soviet, banyak kaum sosialis mulai memusatkan energinya untuk melindungi negara kesejahteraan yang menjadi sasaran empuk dari berbagai gempuran dan kecaman.

Komunisme, menurut pandangan ini, merupakan sebuah bentuk dogmatisme otoriterianisme yang bersumber dari pengkhianatan revolusi. Sedangkan sosialisme reformis sejenis yang dijumpai di Eropa Barat beringsut mundur dengan berupaya mengakomodasi kapitalisme, bukannya melampaui dan mengunggulinya. Namun, tesis ini sangat mengada-ada dan kaum sosialis sebagian besar terpojokkan pada sisi defensif. Posisi mereka dalam baris terdepan sejarah pun merosot pada tugas yang lebih mudah, yaitu melindungi institusi-institusi kesejahteraan.

Tentu saja kaum radikal di sayap kiri memang menempuh arah lain yang menjadi incarannya: menuju gerakan-gerakan sosial baru, semisal gerakan-gerakan yang berkaitan dengan feminisme, ekologi, perdamaian atau hak-hak asasi manusia.

Dilihat secara komprehensif, kerangka konseptual politik radikal dikembangkan dari sudut pandang realisme utopia dan dalam kaitannya dengan empat dimensi utama modernitas. Memerangi kemiskinan, baik absolut maupun relatif; memulihkan kerusakan lingkungan; melawan kekuasaan yang sewenang-wenang; mengurangi peran kekuatan dan kekerasan dalam kehidupan sosial. Inilah konteks realisme utopia yang berfungsi sebagai pemandu.

Buku ini cukup menarik untuk disimak sebagai bahan untuk memahami lebih mendalam faktor-faktor yang menyebabkan sikap radikal muncul di tengah masyarakat. n

Imron Nasri
, peminat perbukuan, tinggal di Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Januari 2010

No comments: