Sunday, December 27, 2009

[Buku] Monumen Kata untuk Sitor Situmorang

Judul : Menimbang Sitor Situmorang
Penyunting : J.J. Rizal
Penerbit : Komunitas Bambu dan KITLV, Jakarta
Terbit : 2009
Tebal : xiv + 293 Halaman

SITOR Situmorang dicatat sebagai pokok dan tokoh kesusastraan Indonesia modern oleh Subagio Sastrowardoyo, A. Teeuw, A.H. Johns, dan Harry Aveling dalam esai-esai panjang dan kritis. Sitor pun diakui sebagai penyair mumpuni dan cerpenis memukau dengan pergulatan identitas-kultural.

Jejak-jejak kepenyairan Sitor telah terekam dalam buku puisi Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977), Angin Danau (1982), Paris la Nuit (2001), The Rites of the Bali Aga (2001), Biksu Tak Berjubah (2004), dan Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948--2005 (2006).

Daftar buku puisi ini mengukuhkan pencapaian estetika puisi dari Sitor Situmorang sebagai penyair "si anak hilang". Frase ini kelak mendapati gugatan karena Sitor sudah bukan "si anak hilang", tapi menjadi "si anak belang-belang".

Ikhtiar penghormatan dan pendokumentasian jejak kepenyairan Sitor secara intensif dilakukan oleh J.J. Rizal dan Komunitas Bambu (Jakarta) melalui seri penerbitan buku Sitor. Rizal sebagai penyunting buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948--2005 (2006) mengingatkan bahwa untuk bisa menilai Sitor secara proposional, harus ada pembacaan utuh terhadap puisi-puisi Sitor sebagai juru bicara penting. Pembaca mesti juga membaca cerpen, esai, lakon, dan autobiografi Sitor agar tak gegabah dalam menjatuhkan vonis dalam tendensi sastra atau politis.

Ikhtiar besar lalu dibuktikan dengan penerbitan buku Menimbang Sitor Situmorang (2009) sebagai dedikasi penghormatan terhadap Sitor untuk laku sastra. Penerbitan buku ini terlambat lima tahun dari rencana persembahan untuk hari ulang tahun ke-80 pada 2004.

Buku ini menghimpun esai-esai kritis, serpihan biografis, dan puisi-puisi dari A. Teeuw, A.H. Johns, Afrizal Malna, Alle G. Hoekema, Binhad Nurrohmat, C.H. Watson, D.S. Moeljanto, Farida Soemargono, Harry Avelling, Hasyim Wahid, Johann Angerler, Martina Heinschke, Muhammad Haji Saleh, Pranita Dewi, Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge, Subagio Sastrowardoyo, dan V.S. Naipul.

Buku ini seperti monumen kata untuk mengekalkan Sitor Situmorang. Penghadiran kembali esai klasik dari Subagio Sastrowardoyo dengan judul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor Situmorang mengingatkan pembaca pada puncak olah estetika Sitor dalam napas kosmopolitanisme. Sitor menjadi sosok ahli waris dunia dengan menerima warisan-warisan estetika dunia di Barat dan Timur untuk diolah dalam puisi.

Simbolisme menjadi kekuatan Sitor dalam tegangan lokalitas dan modernitas. Sitor juga merepresentasikan gairah pengarang dalam badai eksistensialisme dalam sastra Indonesia modern. Sitor adalah tokoh penting dalam puisi dan pencapaian puncak estetika telah membuat puisi-puisi Sitor pantas diabadikan sebagai penanda zaman.

Subagio Sastrowardoyo memberi konklusi bahwa puisi-puisi panjang Sitor membayangkan inti kemanusiaan sebagai orang yang sadar kehadiran di mana pun dan waktu apa pun, tapi tidak sanggup untuk mempertalikan diri. Puisi-puisi Sitor mengucapkan diri sebagai manusia terasing. Keterasingan ini tak membuat Sitor berhenti atau mati. Puisi-puisi justru terus mengalir meski usia senja.

Puisi jadi perlambang dari diri dan negeri dalam pergulatan identitas-kultural. Konklusi ini mendapat penguatan dari A.H. Johns yang mengungkapkan bahwa pergulatan identitas-kultural membuat Sitor ada dalam dua dunia dengan risiko: acuan kultural terhadap Batak telah hilang dan perasaan menjadi Indonesia sebagai identitas geokultural belum lagi matang.

Sumbangan puisi ikut menentukan posisi Sitor dan makna kehadiran dalam peta sastra Indonesia modern. Afrizal Malna mengabadikan Sitor dalam puisi Kuda Merah untuk Sitor: Sitor, 80 tahun seperti tempat tidur yang penuh gam-/bar. Hei, mulut waktu. Hei, sore yang menutup jendela./ Ibu sudah tidur. Kita bermain lagi. kita curi kuda merah/ milik leluhur. Hei, jangan ribut. Jangan berisik, ya. Nanti/ kita ditangkap para penjaga leluhur. Petikan puisi ini mengingatkan proses Sitor mencari jalan pulang ke "rumah kultural". Petualangan di berbagai negeri telah membuat lelah. Rumah kultural (Batak) menjadi tempat untuk mengonstruksi ulang identitas kultural.

Perjumpaan V.S. Naipul dengan Sitor Situmorang ketika di Jakarta melahirkan kesan, "Ia seorang penyair yang hadir sebagai penulis yang manusiawi dan suka merenung." Peraih Nobel Sastra 2001 ini memerlukan diri mencatatkan Sitor sebagai penyair penting dalam belantara perpuisian dunia. Sitor memiliki dunia dan dunia memiliki Sitor. Kehadiran esai Merekonstruksi Masa Lalu dari Naipul adalah sisi samar dalam biografi Sitor. Naipul memilih perspektif ini mungkin karena mirip dengan pergulatannya untuk mencari dan bergelimang dengan identitas-kultural. Begitukah?

Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Desember 2009

No comments: