Monday, December 14, 2009

Konser: Mencintai Puisi dengan Cara Masing-masing

-- Putu Fajar Arcana

PRESIDEN penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, bilang, teater, tari, musik, animasi, dan video berperan sebagai kaca pembesar, yang memperlihatkan hal-hal tersembunyi dari puisi. Puisi-puisi penyair Asrizal Nur ditulis dengan bahasa langsung, tidak rumit, sederhana, dan komunikatif. ”Tetapi itu bukan tanpa risiko,” kata Sutardji.

Konser multimedia puisi Asrizal Nur di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (9/12). (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Itulah pengantar Sutardji menjelang Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur, Rabu (9/12) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tambah Sutardji, risiko yang harus dipikul Asrizal dengan puisi yang komunikatif itu, impresinya tidak bertahan lama di benak para pembaca. Barangkali karena menyadari hal itu, Asrizal menggelar konser puisi, sesuatu yang ia cita-citakan sejak 1993. Tak main-main Asrizal melibatkan sutradara Teater Kubur, Dindon, penata cahaya Aidil Usman, penata musik Yaser Arafat, penata tari Eeng Koti, serta beberapa lainnya sebagai penata grafis dan program musik. Alhasil, di atas panggung Asrizal memang tampil bak aktor, yang secara aktif merespons segala gerak cahaya, penari, animasi, serta musik. Bahkan, pada beberapa adegan, ia lebur ke dalam tayangan video.

Barangkali inilah cara paling ”mutakhir” mempresentasikan puisi kepada audiens yang kian beragam. Asrizal tahu pasti di tengah serbuan budaya visual yang dibawa teknologi digital, puisi akan kesepian jika tidak ambil bagian. Walaupun tidak bermaksud mengatakan bahwa pembacaan puisi ”konvensional”, sebagaimana dikenal dengan poetry reading, tidak punya lagi pendukung, cara yang ditempuh Asrizal barangkali bisa dianggap sebagai siasat. Dan siasat ini boleh dibilang jitu. Terbukti semua kursi pertunjukan penuh oleh penonton. Selain itu, Asrizal berhasil ”menjaring’’ kaum birokrat untuk turut serta ambil bagian. Sebelum pertunjukan, ia memberikan kesempatan kepada Gubernur Riau Rusli Zainal, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail, Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati, Wakil Bupati Bintan Mastur Taher, serta pejabat di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jumhur Hidayat, untuk membaca puisi.

Biasa

Puisi-puisi karya Asrizal yang terangkum dalam antologi ”Percakapan Pohon dan Penebang”, yang malam itu juga diluncurkan, ”berkualitas’’ biasa saja. Ia tidak bisa disamakan dengan pencapaian estetik sebagaimana dikerjakan oleh Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri. Bahkan, pada beberapa puisi, seperti ”Nyanyian Kecewa” dan ”Kuda”, karya-karyanya jelas sekali berkiblat pada apa yang telah dicapai Sutardji. Secara keseluruhan pun, puisi-puisinya bukan termasuk karya yang istimewa. Asrizal menumpukan kekuatan puisinya pada pola rima, sebagaimana terdapat pada pantun. Tentu, di satu di sisi itu bisa dipahami lantaran penyair ini dilahirkan di Tanah Melayu, Riau.

Mari kita letakkan perkaranya. Konser malam itu bolehlah kita anggap sebagai pementasan yang tak memiliki hubungan secara langsung dengan teks-teks puisi. Asrizal bersama tim multimedia telah menafsirkan sekitar 18 puisi karyanya menjadi ”makhluk’’ yang berbeda sama sekali. Dialog yang divisualisasikan pada ”Percakapan Pohon dan Penebang’’, misalnya, segera menunjukkan kepada kita bahwa Asrizal memang seorang pembaca sekaligus aktor yang baik. Puisi ini menjadi begitu visual dan, sekali lagi, seolah- olah sama sekali tidak memiliki hubungan dengan teks puisi, sebagai asal-muasalnya.

Jika Rendra dahulu mengandalkan karisma keaktorannya untuk ”menaklukkan’’ penonton, Asrizal memakai teknologi sebagai pengikat audiens. Memang karisma dan teknologi sesuatu yang tidak bisa dipersamakan. Masalahnya, keduanya memiliki konteks kecenderungan zaman yang berbeda. Jika Rendra lahir pada situasi sosial yang menuntut karisma seorang deklamator, Asrizal dituntut oleh kecenderungan kultur visual sebagai wadah penikmatan hiburan.

Barangkali memang begitulah cara kita menikmati puisi sekarang ini. Tidak lagi secara diam-diam dengan dalih kontemplasi, bahkan sekali waktu menjadi kesepian sendiri, tetapi lebih suka suasana multimedia sehingga tak perlu susah-susah menafsir makna. Apa yang disuguhkan di depan mata adalah tafsir tunggal dan itu sangat menikmatkan. Jadi, Mas Willy (di alam sana), Bung Tardji, dan Bung Asrizal, kita punya cara masing-masing untuk mencintai puisi. Kata Chairil, cintalah yang membuat kita terus bertahan….

Sumber: Kompas, Senin, 14 Desember 2009

No comments: