Monday, August 17, 2009

Esai: Republik Impian

-- Budiman*

"Keutamaan hidup dalam sebuah republik adalah kegembiraan untuk tidak sendirian." Hannah Arendt.

SEBUAH republik tidaklah pernah diketemukan. Ia selalu diupayakan. Sebuah republik tidak hanya pernah dimimpikan. Ia selalu dibayangkan, direka-reka dan dihadirkan. Sebuah republik adalah sebuah kisah tentang, meminjam istilah Ben Anderson, komunitas reka-bayang (imagined community).

Pada awalnya, sebuah republik itu lahir dari sebuah impian bersama: hidup dalam kebebasan. Dalam impian itu, semua orang, dari kelompok mana pun, mengikatkan diri dalam impian bersama dan berhimpun dalam satu komunitas. Dalam komunitas ini, perbedaan surut dan persahabatan di antara yang berbeda semakin diteguhkan.

Pidato Bung Karno yang disampaikannya pada hari lahirnya Pancasila, pada 1 Juni 1945 dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di Jakarta, meneguhkan sebuah republik yang penuh dengan warna-warni, tetapi memilih saling melekat:

"Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk suatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?"

"Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya tetapi semua buat semua."

***

Republik Indonesia berusia 64 tahun. Usianya masih cukup muda untuk ukuran sebuah republik. Tetapi, 64 tahun bagi republik ini amatlah meletihkan. Ada banyak guratan keletihan di wajahnya. Guratan terdalamnya adalah soal upaya mereka-bayangkan (imaging) kembali format republik. Dan itu berarti meruntuhkan republik yang pernah diimpikan oleh mereka yang berada di titik nol tahun 1945.

Impian itu tetap ada, karena ia dipelihara, diharap, digayuh dan dijadikan sebuah komitmen bersama. Yang merekatkan impian itu adalah merawat kemajemukan dan kesetaraan. Yang membangun sebuah negara demokrasi secara hukum adalah UUD dan Pancasila, tetapi yang membangun demokrasi adalah persahabatan dan persaudaraan yang nyata di antara anak bangsa.

Ancaman sektarian adalah bagaimana diskursus Kisah Besar yang bernama konstitusi dan UUD 1945 itu dibuka kembali untuk disusupi kisah-kisah kecil, untuk mengubah lintasan reka-bayang.

***

Pergulatan kisah-kisah kecil yang hendak menjadi Kisah Besar dalam sebuah Republik Indonesia sudah berlangsung sebelum kemerdekaan republik ini. Misalnya, dalam risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) muncul perbedaan soal pengaturan wacanaologis dan konstitusional negara. Ada kelompok yang membayangkan Indonesia tidak dihidupi oleh paham religiositas tertentu. Perwakilan kelompok ini adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Supomo.

Sedangkan kelompok yang lain memilih membayangkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok yang pertama kemudian dinamai dengan "golongan nasionalis", kelompok yang kedua dilabeli dengan "golongan Islam". Kelompok yang kedua diwakili Mohamad Natsir, Wahid Hasim, Sukiman, Ki Bagus Hadikusomo dsb.

Pada bulan Juni 1945 pernah direka-reka sebuah jalan tengah untuk mengakomodasi suara "golongan Islam". Tujuh kata pun ditorehkan sebagai prinsip dalam konstitusi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya". Namun, suara yang lain, suara sang liyan, suara subaltern, meminta dipertimbangkan peletakkan "dasar syariah Islam" itu dalam kisah konstitusi. Sang liyan itu pun seraya berseru: "Biarkan aku autentik dan jangan masukkan aku dalam kerangka pikiranmu". Demi mencegah disintegrasi, jalan tengah yang direka itu akhirnya ditanggalkan. Jalan itu terpaksa dianulir demi sebuah reka-bayang republik yang diimpikan: Sebuah rumah bagi semua. Oleh kerena itu, kata: "Ketuhanan Yang Maha Esa" dibayangkan menjadi rumah bagi semua pihak. Etnis mana pun dan religi apa pun.

Yudi Latif dalam Geneologi Pemikiran Islam di Indonesia (Mizan, 2005) menegaskan pada 1956--1959 adalah kisah bagaimana pergulatan diskursus yang lama kembali dikonteskan. Sidang Konstituante dibuka untuk mereka-bayangkan kembali sebuah dasar negara. Islam pun direkakan berhadapan dengan Pancasila. Kala itu, hasilnya adalah kebuntuan. Soekarno waktu itu, memilih mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945.

***

Patahan itu dibuat semakin rapuh, kala Presiden Soeharto membuat Pancasila dengan interpretasi dan gramatikal versi Orde baru, menjadi semacam "Kisah Super", yang semakin menekan kisah-kisah kecil yang dimiliki kelompok-kelompok yang ingin hadir dalam pentas publik. Soeharto menghadapinya dengan gramatikal yang penuh represi. Tujuannya agar mencipta stabilitas, yang amat diperlukan ketika menerapkan developmentalisme model totalitarianisme.

Di masa Orde Baru itulah, reka-bayang para founding fathers dikooptasi. Pancasila dikhianati dan dikorupsi. Pancasila kemudian dibuat menjelma menjadi leviathan (monster) yang siap memakan komunitas agama apa saja yang hendak meletakkan etika sosialnya. Pancasila dibuat menjadi semacam agama sipil yang akhirnya digunakan untuk membuat Pancasila menjadi sumber sendiri bagi orientasi hidup dan penghasil simbol-simbol religiusitas kenegaraan dan kemasyarakatan.

Seharusnya sebuah reka-bayang sebuah republik diterima berbagai pihak dengan kesadaran bahwa yang diraih, semata-mata bukan tentang kita, bukan tentang etnis tertentu, bukan pula tentang religi tertentu, tetapi tentang kami; semua warga negara yang ada didalamnya.

Reformasi yang digulirkan tahun 1998, membuatkan pintu masuk bagi teriakan "revenge of God". Sebagaimana Gilles Kepel bernubuat atas "balas dendam" agama-agama yang terlempar di ruang privat oleh sekularisasi, maka dalam republik ini, balasan atas leviathan itu dipilih kelompok sektarian yang memulai membayangkan format ulang reka-bayang republik ini. Balasan itu seperti sebuah nostalgia pergulatan politis-teologis dalam sidang-sidang BPUKI dan PPKI, sebelum kemerdekaan.

***

Reka-bayang ulang format alternatif wacana keindonesian yang diwakili jaringan kelompok penegak syariah, bukanlah Indonesia yang pernah founding fathers impikan dan perjuangkan sampai mati.

Indonesia yang mereka reka-bayangkan adalah sebuah republik begitu besar dari yang kita bayangkan. Republik yang memayungi semuanya, tanpa pernah memerdulikan etnisitas dan religi seseorang. Sebuah republik yang di dalamnya Pancasila hidup dari semua religi-religi yang ada di dalamnya. Sebuah republik yang di dalamnya nilai dan norma yang dihasilkan oleh religi-religi itu menjamin suatu kehidupan bersama yang lestari dalam kondisi masyarakat yang plural.

Jika, para founding fathers itu hadir kembali, apa yang akan mereka katakan kepada Indonesia-nya, yang pernah direka-bayangkan? Reka-bayang itu seharusnya menorehkan bagian setiap kontrak dari negara ini, walaupun konstitusi dan UUD hanya tercantum dalam secarik kertas dan tanda-tangan mereka. Hanya itu satu-satunya kontrak yang kita punya.

Melihat realitas rekondisi seperti ini, selalu baik mereka-bayangkan kembali, siapa penjaga NKRI ini? Siapa kelompok yang layak menentukan format akhir republik ini? Siapa yang boleh mendefinisikan isi cangkang republik ini? Apakah eksekutif, parlemen, pemodal, partai atau siapa pun yang disebut sebagai mayoritas? Impian tentang Indonesia adalah tentang yang bukan. Bukan agama tertentu, bukan etnis tertentu, bukan golongan tertentu.

Indonesia, seperti yang Soekarno katakan, adalah tentang semua buat semua. Impian itu berbuah republik yang akan berusia 64 tahun. Kita rindu selalu menjaganya, merawatnya dan terus mewujudkan impian itu. Selamat ulang tahun Indonesia tercinta. Merdeka!

Budiman, Pemerhati religi-budaya, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Agustus 2009

No comments: