Saturday, March 21, 2009

Melodrama Berkalung Gender

-- Beni Setia*

SAAT novel Abidah el-Khalieqy [AeK], Perempuan Berkalung Surban [PBS], difilmkan dan siap direlease di bioskop-bioskop Indonesia baru-baru ini, saya merasa tertantang untuk menyaksikan sejauh mana ide resolusi jenderiah AeK itu bisa tergali. Kenapa? Karena, pada dasarnya, novel PBS ini bertumpu di cerita melodrama wanita pesantren salafiah kecil di pedesaan Sundoro [baca: tak lebih dari 100 km dari Yogyakarta, PBS hlm 39], yang dikungkung ajaran fiqih yang bersumber penafsiran Hadis dan Qur'an yang teramat bersipat patriarki, dan kemudian tercerahkan karena berkemauan mengubah persepsi fiqihiah itu - dengan bantuan seorang ustad modern berpendidikan Gontor, al-Azhar Kairo dan universitas sekuler Berlin.

Ada aspek melodrama yang sesuai dengan selera sinematografi Indonesia, malah sangat melodramatik idealistik karena kisah si tokoh perempuan [Annisa] itu dimulai dari masa kecilnya di desa yang lugu dan berbumbu cinta platonik pada sang paman -yang ikatan muhrimnya amat lemah -, diselingi pernikahan muda yang penuh dengan kekerasan rumah tangga yang meningkat sampai pada level teror psikologik karena ia dimadu dan istri kedua masuk ke rumahnya - hingga secara platonik ia terus berzinah dengan kekasih masa kecilnya -, dan ditutup dengan perceraian berdasarkan hak wali atas anak yang disia-siakan suami - dengan puncak kebahagiaan kuliah, jadi si aktipis jender berbasis agama, dan single parent karena suami idamana direngutkan cemburu suami pertama. Lengkap dan potensial berkelimpahan air mata.

Amat kaya dramatik meski kekuatan utama novel itu adalah penjajaran kasus-kasus jender [baca: kodrat keperempuanan yang dikekalkan secara sosial dan budaya demi keuntungan kaum lelaki]. Di masa kecil, yang menempatkan anak lelaki sebagai mahluk merdeka tanpa tanggung jawab sebelum tahap baliq dicapai dan perempuan yang harus terkurung di rumah dan latihan pengabdian di dapur; lantas meningkat jadi inklusifisme perempuan tak boleh ke mana-mana karena di luar rumah itu ada bahaya lelaki non-muhrim yang jahat yang tak mampu direduksi oleh pemakaian jilbab; dan ditutup oleh kutukan hanya bisa pasrah saat menerima dominasi lelaki asing [suami] yang tiba-tiba jadi berhak penuh memperlakukannya sebagai punggawa dapur dan obyek pemuasan seksual sepihak. Dan dengan bagaimana upaya pembebasan, sebagai individu yang dikutuk pernikahan syahwatiah itu, tergantung dari kemauan walinya untuk memperjuangkan haknya sebagai manusia utuh. Jadi tidak heran kalau PBS ini disponsori Yayasan Kesejahteraan Fatayat [YKT] Yogyakarta, Ford Foundation dan Yayasan Galang.

* * *

HAKEKAT novel PBS itu dakwah dan bukan cerita melodramatik - yang akan fenomenal sebagai genre hiburan terkini saat dieksploitasi dalam gaya film Bernafas dalam Lumpur. Tapi apa Hanung Brahmantio dan pihak produser mau mengkristalkan yang verbal itu demi menunjukkan gejala kemunculannya kesadaran baru di kalangan santri wanita, yang bahkan hanya berpendidikan salafiah pesantren pinggiran? Yang menandaskan kalau pendidikan sekuler di satu sisi, dan buku serta ilmu non-Islamiah yang mungkin berbasis dari ajaran dan penulis non-Islami dan bahkan nonagamawi itu amat dibutuhkan untuk membentuk manusia baru, yang lebih cerdas, lebih toleran dan lebih Islami. Meski mengembangkan aspek humanitas dengan basis kebudayaan Arabik dari semanajung Arab dan pesisir utara Afrika bukan hal yang mustahil. Ada spirit counter culture bagi model humanisasi yang terlalu Amerikanistik westrenis - dan dicurigai sebagai penyeragaman dan reduksi budaya lokal oleh penganut postmo.

Tapi mungkinkah aspek counter itu dieksplisitkan dalam film PBS? Bagaimana logisnya ide progresif kaum postmo itu akan terus terantuk oleh tradisi yang tertanam lama. Jadi bukan kebetulan ketika dengan sadar AeK memulai novelnya dari milieu pesantren salafiah kecil di pinggiran, dari anak perempuan kiai kampung yang harus ditundukkan oleh penentuan pola jender model kampung, dari anak perempuan yang baru lulus SD yang dipaksa melayani nafsu lulusan PT dalam ikatan pernikahan yang dipaksakan pihak orang tua si lelaki sebagai tamba ati bagi anak kiai kampung lain - yang murshal. Tapi mungkinkah kemurnian jadi obat kesesatan syahwat yang dimulai dari kegemaran sang mertua mengoleksi gambar porno? Tapi mungkinkah kekanakan tanpa prasangka bocah lulusan SD bisa menghadapi syahwat lelaki gorila-yang legal karena ada ikatan perlawinan-? Adakah keberanian terus terang mengkomunikasikan kekerasan seksual dalam RT itu, yang sah menurut acuan pernikahan dan wajar dalam logika patriarki, bisa dianggap heroisme dan bukan ketidakmampuan istri menerapkan acuan fiqih yang mengajarkan pengabdian dan pasrah?

Ada pontensi clash. Ada potensi benturan antara Islam tradisional, yang dengan sadar menutup diri dari tafsir modern tentang subordinasi wanita di kerajaan patriarki; dengan Islam modernis, yang menempatkan perempuan sebagai sesama yang sejajar dan sederajat - sehingga mempunyai hak untuk mempertimbangkan dan menentukan kapan menikah dan dengan siapa, kapan ingin bercinta dengan suami dan punya anak dengan mempertimbangkan semua aspek kebutuhan individualistik. Itu pasti dianggap ide liberal yang teramat wanitasentris, yang harus segera dipatahkan sebagai bias ilusi ego dengan senantiasa merujuk kitab kuning klasik, dan sekaligus menempatkan para penyokong dan pengamalnya sebagai alien yang datang dari khazanah budaya Barat - teracuni buku dan film dan Barat yang tak berguna karena tak merujuk Qur'an [lihat, PBS hlm 82, yang menutup diskusi tentang bolehnya inisiatif berhubungan dari pihak istri karena semua wanita disosialisasikan menunggu secara jenderiah, dan tergantung dari selera lelaki yang secara kultur jenderiah tak suka wanita agresif].

* * *

MUNGKIN film PBS dianggap pantas untuk jadi counter culture film Ayat-Ayat Cinta - sebagai teks PBS lebih dulu terbit, 2001. Tapi melodramanya AAC bertumpu pola sinatria lelananging jagat, Arjuna versi Islam, yang senantiasa menahan diri dan tapa ngrame di tengah godaan banyak perempuan dan cobaan berat. Mencocoki selera patriarki yang kuat tertanam pada benak lelaki dan perempuan Indonesia. Sedang PBS bertumpu pada pada spirit Srikandi dan Arimbi. Di mana Srikandi berorientasi kepada usaha jadi sama perkasanya dengan lelaki, dalam tata berkelahi - meski kemudian ia memilih subordinan di bawah Arjuna -, sementara Arimbi berorientasi kepada jadi usaha untuk lebih yang pasrah mengabdi sehingga ujud raksasa bermetamorfasa jadi istri ideal. Dengan kata lain, PBS itu bertumpu pada upaya seorang Annisa, alter ego AeK, jadi Srikandi sementara lingkungan mengharuskan jadi Arimbi. Bagi beberapa pihak terlihat wajar - karena akhirnya ia tetap subordinan di bawah Arjuna, di bawah lek Khudori - tapi bagi sebagian pihak tetap terasa saru melabrak tabu.

Lantas bagaimana film PBS mensiasati itu? Kita curiga, yang dieksploitasi cuma aspek melodramatik, kemasan cerita dan bukan ide gendernya - padahal itu hakekat novel PBS, kontroversi dakwah yang mengganggu ketentraman dituntun fiqih yang telah mengakar jadi tradisi berkeluarga di desa. Di titik ini, semoga film PBS ini lebih mendorong banyak pihak membaca novel PBS seperti film AADC memicu gandrung baca skenario biografi Chairil Anwar versi Syumanjaya, Biantang Jalang. Semoga.***

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 21 Maret 2009

No comments: