Sunday, November 09, 2008

Wawancara: Suryatati A Manan Karena Cinta Melayu

RABU (29/10) malam, Suryatati A Manan melangkah anggun menaiki pentas Malam Kesenian Kongres IX Bahasa Indonesia. Sesaat kemudian, Tati --begitu ia biasa disapa-- segera menjadi pusat perhatian peserta kongres. Berkerudung warna shocking pink, Wali Kota Tanjung Pinang, Riau, ini mulai memperkenalkan diri dengan gaya khasnya. ''Saya terbiasa memperkenalkan diri lewat pantun,'' ungkap Tati yang saat berpantun tak segan mengungkapkan statusnya sebagai janda.

Pantun itu pantun jenaka. Tawa peserta kongres membuat kesemarakan muncul di Birawa Assembly Hall, Hotel Bumi Karsa, tempat acara dilangsungkan. Melihat reaksi penonton, senyum Tati mengembang.

Usai berpantun memperkenalkan diri, Tati mencoba merebut perhatian dengan puisi gubahannya. Dan, seperti di kesempatan lainnya, ia berhasil! ''Kali ini, saya membawakan puisi yang saya tulis sendiri. Judulnya 'Melayukah Aku?','' jelas perempuan kelahiran Tanjung Pinang, 14 April 1953, ini.

Berpuisi di kesempatan formal bukanlah kebiasaan baru bagi Tati. Mereka yang telah mengenalnya tentu akrab dengan kebiasaan Tati. Malam itu, dengan tutur bahasa Melayunya yang kental dan intonasi yang pas, Tati tampil menggelitik nurani sekitar 1.100 peserta kongres.

Sejumlah rekan tak sabar mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Tati, begitu ia turun pentas. Mereka terkesima dengan bait-bait puisi yang isinya begitu menyindir. Terutama bagi mereka yang makin kebarat-baratan.

Itulah Tati. Bahasa dan sastra Melayu sudah lama menjadi bagian dari kesehariannya. Lantaran itu pula Pusat Bahasa menganugerahinya penghargaan sebagai Pelestari Bahasa dan Sastra Daerah.

Tati memang melewatkan kesempatan untuk berjabat tangan dan berfoto dengan Mendiknas Bambang Sudibyo di kala pengumuman penerima penghargaan Pusat Bahasa. Tetapi, ia tidak menyesal. ''Ada tugas yang mesti saya rampungkan di daerah,'' jelas alumnus Institut Ilmu Pemerintahan ini.

Apa yang membuat Tati patut menerima penghargaan bergengsi tersebut? Panitia tentu punya kriteria tersendiri. Melihat kiprahnya, pada 2007 Republika menulis kiprah Tati di rubrik 'Sosok' edisi Ahad, 16 September. Menjelang usainya Malam Kesenian Kongres IX Bahasa, Tati menerima wartawan Republika, Reiny Dwinanda dan menuturkan banyak hal menarik tentang dirinya. Berikut petikannya.

Apa rasanya mendapatkan penghargaan sebagai Pelestari Bahasa dan Sastra Daerah?

Rasa senang tentu ada. Tetapi, sejujurnya, tak terpikir akan mendapat penghargaan ini. Apa yang saya lakukan sebetulnya semata karena kecintaan saya terhadap bahasa dan sastra Melayu. Semoga penghargaan ini dapat menjadi motivasi bagi segenap warga Tanjung Pinang untuk berbuat lebih baik lagi bagi kebudayaan daerahnya.

Di Tanjung Pinang, apa yang Anda lakukan untuk melestarikan bahasa dan sastra setempat?

Saya membuat serangkaian program. Contohnya, penerbitan buku. Pengarang lokal dan luar kami beri kesempatan untuk diterbitkan karyanya. Kami yang mendanai penerbitannya. Ini bentuk apresiasi kami kepada pengarang. Lantas, buku-buku karya Raja Ali Haji, Aisyah Sulaiman, dan sastrawan lama lainnya yang diakui dunia juga kami produksi ulang.
Selain itu, kami juga menggelar kegiatan seni budaya. Berupa pembacaan dan perlombaan penulisan pantun dan puisi. Sastrawan kami ajak roadshow ke sekolah. Tak heran jika pertumbuhan penyair bagus sekali di Tanjung Pinang.
Saya berharap akan terjalin kerja sama dengan Pusat Bahasa untuk mendirikan lembaga sejenis di Tanjung Pinang. Lembaga tersebut nantinya akan menjadi benteng budaya Melayu terhadap gerusan budaya luar. Tanjung Pinang itu kota gurindam, negeri pantun.

Masyarakat mengapresiasi ajakan Anda?

Ya. Anak-anak muda tentu juga mengenal bahasa pergaulan. Tetapi, sebagian besar dari mereka tak meninggalkan bahasa daerahnya. Di tiap perlombaan yang kami gelar, peserta muda banyak sekali. Karya mereka juga punya ciri tersendiri. Terkadang, saya pun terkejut mendengarnya. Saya tak menyangka mereka bisa mengemas puisi dengan begitu segar.

Anda juga menerbitkan buku kumpulan puisi...

Ya. Baru satu. Buku yang kedua menyusul pada bulan Desember 2008. Judulnya Perempuan Wali Kota. Inspirasinya bisa datang dari beragam kejadian. Seperti buku yang pertama, isinya tak jauh dari hal-hal yang saya alami sehari-hari, kesaksian saya di persidangan, tentang PKK, atau Satpol PP.
Di tas saya selalu ada pena dan kertas. Biasanya, saya catat inti-intinya saja. Bahasanya yang saya rasa sudah pas juga segera saya tulis. Biar tidak hilang. Nanti, begitu pulang ke rumah, baru saya lengkapi.
Menulis sejujurnya amat terpengaruh oleh mood. Jika suasana hati sedang bagus, saya bisa menulis di perjalanan. Tetapi, paling sering, menulis sesaat menjelang tidur malam. Semakin banyak tantangan yang saya hadapi di siang hari, makin banyak inspirasinya.

Anda juga produktif menulis pantun?

Betul. Tetapi biasanya tidak saya kumpulkan. Saya sering menyiapkan pantun untuk dibacakan di beragam acara yang saya hadiri. Malam harinya saya bikin corat-coretannya dulu. Buat saya, menulis puisi jauh lebih gampang. Sepuluh menit juga sudah jadi. Menulis pantun, jauh lebih sulit. Rima abab-nya susah juga. Makna dua bait di atas dan dua bait berikutnya harus ada kaitannya. Ini yang membuatnya sukar.

Anda terkenal sebagai tokoh masyarakat yang selalu membaca pantun di nyaris setiap acara, termasuk skala nasional. Sejak kapan itu menjadi kebiasaan Anda?

Seingat saya, sejak tahun 1993. Ketika itu, saya masih menjabat sebagai camat Tanjung Pinang Barat. Tiap ada pertemuan dengan masyarakat, saya selalu baca pantun. Ini menghidupkan kembali tradisi lokal. Pantun adalah cara yang bagus untuk menyampaikan sesuatu, untuk menyapa. Berpantun sudah lama menjadi kebiasaan warga Tanjung Pinang. Dulu, terhitung jari pejabat yang dalam sambutan resminya menyisipkan pantun.

Sejak Anda menjadi wali kota, apakah anak buah tertular dengan kebiasaan yang sama?
Sepertinya begitu. Sekarang semua pejabat berpantun dalam sambutan resminya. Saya rasa kebiasaan itu bukan hal sulit untuk juga diterapkan mereka. Sebab, mereka orang Melayu. Tanjung Pinang adalah negeri kata-kata. Orang Tanjung Pinang pandai berkata-kata. Kemahiran mereka meningkat seiring makin seringnya digelar pelatihan oleh sastrawan.

Anda juga berpantun untuk menegur kinerja anak buah?

(Terdiam sesaat). Menegur itu banyak caranya. Bisa dengan peribahasa juga.

Bisa ceritakan tentang proses penulisan Melayukah Aku?

Saat berkampanye saya juga berpantun. Berpantun supaya tidak menyinggung lawan politik. Tahun 2006 menjelang Pilkada 2007, saya terinspirasi menulis Melayukah Aku. Isinya tentang orang-orang yang sekonyong-konyong mengaku putra daerah begitu akan ada pemilihan anggota dewan atau wali kota. Mungkin, mereka memang pernah tinggal di Tanjung Pinang. Mungkin juga mereka lahir di Tanjung Pinang, namun merantau. Tetapi, banyak yang kehilangan akar budaya Melayunya. Nama Siti menjadi Serly, Dolah menjadi Delon, Daud menjadi David, Atan menjadi Antoni, begitu misalnya.

Di puisi Melayukah Aku, Tati menjabarkan tanda orang Melayu.

Apa tanda orang Melayu
tunjuk ajarnya jadi penentu
pada orang tua hendaklah hormat
supaya hidup menjadi selamat
bahasanya santun lembut di telinga

Sebagai penulis pantun dan puisi, Anda suka membaca?

Dari dulu saya suka sekali membaca. Terutama, cerita rakyat. Tetapi, paling sering saya baca justru karya sastrawan Sumatra Barat. Sebab, ketika itu, sastrawan lokal masih kurang banyak. Saya sendiri dulu berpikir menulis itu sukar, termasuk menulis pantun dan puisi. Tetapi, kalau ada kemauan ternyata bisa.

Saya juga suka membaca majalah dan novel. Biasanya, disodorkan oleh anak-anak. Saya biasanya selalu menyediakan waktu untuk pergi ke toko buku tiap ke Jakarta. Yang saya cari buku-buku motivasi yang dapat menambah kepercayaan diri. Saya juga suka novel, seperti Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Tak ingat siapa pengarangnya. Kalau zaman dulu, saya suka novel Marga T dan NH Dini. Oh iya, saya juga baca tiga seri novel Ketika Cinta Bertasbih. Kapan ya terbit seri keempat?

Keempat anak Anda juga suka menulis pantun dan puisi?

Hanya yang sulung, Maya. Dia pandai bikin puisi. Ketika ulang tahun saya ke-40, dia membacakan puisi karyanya untuk saya. Sejak itu, tiap berulang tahun, saya minta kado puisi dari anak.

Anda suka musik?

Ya, saya suka musik. Terutama musik Melayu. Musiknya luar biasa. Baik yang lemah-lembut maupun yang dinamis. Musik industri juga saya simak. Itu pun atas rekomendasi anak. ''Ma, dengerin deh!'' Begitu pinta mereka.

Dari jabatan Anda sebagai wali kota, apa yang paling Anda sukai?

Saya paling senang berada di lapangan. Saya senang melihat ke bawah. Saya suka sekali kontak, tatap muka langsung dengan masyarakat. Saya sering berkunjung ke sekolah, kampung pinggiran, hingga ke pasar. Saya tak suka dikawal. Saat ini pun tidak ada Satpol PP yang ikut mengawal saya. Risih rasanya dikawal. Yang paling saya benci? Saya meradang jika tugas tidak selesai.

Malam sudah larut, Anda masih tampil segar. Padahal, Anda baru tiba di Jakarta dari Tanjung Pinang sore ini. Apa rahasianya?

Sejujurnya, saya tak ketat menjaga makanan. Saya doyan sekali ngemil. Paling suka ngemil kacang. Saya juga suka gado-gado dan pecel yang memang berkuah kacang.
Saya rutin berolahraga. Tiap pagi, saya sempatkan jalan kaki. Paling tidak setengah jam.


Si Pemalu yang Jadi Wali Kota

Tati bukanlah orang yang menonjol semasa sekolah. Ia malah mengaku pemalu semasa remaja. ''Saya bungsu dari dua bersaudara. Kalau teman kakak ada yang datang ke rumah menanyakan kakak, saya tak menjawab. Cuma bisa senyum. Entah mengapa,'' ungkapnya.

Lulus SMA, tahun 1976 Tati memilih masuk Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Alasannya sederhana, ekonomi. ''Keluarga kami tak mampu.''

Menjadi pegawai negeri golongan dua, Tati menjadi staf selama tujuh tahun. Tahun 1985 ia mendapat tawaran untuk meneruskan pendidikan S-1. ''Sementara teman yang lain sudah menjadi kepala bagian, saya masih jadi staf,'' kenang ibunda dari Maya Suryanti, Agung Suryanto, Ririn Subroto, dan Cory Primaturia ini.

Setahun kemudian, usai menamatkan kuliah, Tati dipercaya menjabat sebagai kepala Bagian Ekonomi Kabupaten Riau. Delapan tahun ia mengabdi di sana. ''Tahun 1993 sampai 1995, saya menjadi camat di Tanjung Pinang Barat.''

Karier Tati melesat setelah itu. Tahun 1995, dia bertugas di Dispenda Kepulauan Riau. ''Tahun 1996, saya menjadi pejabat wali kota administratif Tajung Pinang,'' tutur istri almarhum Ahmad Subroto ini.

Tahun 2001-2002, tugas besar menghampiri Tati. Ia dipilih untuk menjadi caretaker wali kota Tanjung Pinang. Ketika itu Tanjung Pinang berubah dari kota administratif menjadi kota otonom. ''Kepentingan politisnya banyak sekali. Saya hadapi itu. Berat sekali. Terlebih, di tiga bulan pertama, saat harus menyusun pembiayaan. Saya dapat SMS gelap yang meramal saya tidak akan mampu bertahan lebih dari setahun.''

Prediksi itu keliru. Tati justru makin kokoh berdiri. Tahun 2003 ia terpilih oleh dewan sebagai wali kota. Tahun 2007, PDIP mengusungnya di pemilihan kepala daerah sebagai calon wali kota. Hasil koalisi PDIP, Golkar, PKS, PKB, Partai Demokrat, dan PDS memenangkan dirinya sebagai wali kota.

Sumber: Republika, Minggu, 09 November 2008

No comments: