Sunday, November 23, 2008

Wacana: MPU, Provinsi Miskin dan Sastrawan Miskin

-- Beni Setia*

BERTEPATAN dengan Temu Sastra III Mitra Praja Utama (MPU), yang berlangsung di Lembang, Bandung, 4-6 November 2008, di milis Apresiasi-Sastra terjadi polemik yang dipicu pengunduran diri salah satu peserta dari Jawa Barat, Lukman Asya. Keputusan iseng itu sendiri sebenarnya tanpa motif, meski kemudian ia menggarisbawahi kekecewaan pada Disbudpar Jawa Barat, sebagai pengayom acara yang yang tidak mau memberi uang transpor pada peserta.

Ini berbeda dengan acara pemilihan Mojang-Jajaka (Moka) yang berlimpahan uang. Klaim tersebut -- di luar faktor sentimen provinsial yang mengaitkan tempat domisilinya dengan tanah kelahiran Kadisbudpar Jawa Barat, serta hilangnya rasa satu sarakan karena kasus hukum yang kini disandang -- menyejajarkan acara MPU dengan Moka, dan berkeyakinan bahwa MPU lebih penting dari Moka yang hanya memilih gadis cantik dan lelaki ganteng semata.

Tapi, benarkah Temu Sastra III MPU lebih bermanfaat bagi Disbudpar dibandingkan pemilihan Moka?

Pertanyaan tersebut lebih menggelitik untuk dijawab, lebih substansif dibanding klaim emosional di arena Temu Sastra III MPU, tentang provinsi kaya yang bisa membiayai transportasi duta sastra dan provinsi miskin yang duta sastranya terpaksa memakai biaya sendiri.

Substansi kasus blank pendanaan tersebut terjadi, karena meski acara MPU merupakan kesepakatan di antara Disbudpar atau Disbud atau Bidang Kesenian Dindik dari 10 provinsi, dan draf MOU-nya diteken di level gubernur, sosialisasi ke birokrasi di tingkat bawah terhitung lamban.

Ketika sosialisasi macet, maka inisiatif instansi terkait untuk penyusunan pos anggaran transportasi bagi duta sastra MPU di APBD provinsi terlupa, tidak tertulis, dan karenanya secara legal konstitusional tidak ada dana untuk duta sastra MPU.

Tak bisa kita memaksa untuk menggeser dana di pos anggaran lain, tanpa ada kesepakatan legal-konstitusional -- bisa dianggap penyalanggunaan anggaran -- atau bisa digeser tapi dimasukkan ke pos anggaran lain dengan mark up kuintasi. Itu dilema anggaran di tataran manajemen birokrasi yang tak setia pos dan improved.

Intinya bukan provinsi miskin sastrawan kaya dan sastrawan miskin provinsi kaya, tapi pos anggaran untuk itu tidak ada, tidak dibenarkan melakukan rekayasa dalam tata kelola administrasi.

Masalahnya, bisakah sastrawan berpikir dengan pola birokrasi, yang selain dengan ketat membagi pos kegiatan dan si pemangku urusan yang tepat, juga menganut ketepatan penganggaran dan pencairan dana legal.

Orde Reformasi tidak cuma menghasilkan tata kelola yang transparan -- sehingga tiap orang serba tahu dan bisa mengklaim -- tapi juga hal-hal akontabel pembiayaan.

Siapakah memprediksi anggaran, menghitung laju inflasi, kebocoran dana, dan mempertanggungjawabkan pengeluaran berdasar pos yang disepakati dengan bukti pengeluaran legal?

Pertanyaan manajemen murni itu tidak dibayangkan oleh Lukman Asya saat mengklaim sastra lebih penting dari Moka. Padahal Moka itu telah terjadwal, legal konstitusional sebagai pos anggaran di APBD, sementara dana tranportasi duta sastra MPU baru sampai tarap proposal -- yang telat. Sehingga, lebih aman mencairkan dana pos Moka, sebelum hangus, ketimbang memikirkan duta sastra MPU.

Perjuangannya kini bukan di tingkat memaki dan menertawakan Disbudpar atau Disbud atau Bidkes Dindik, tapi melobi pihak terkait supaya mau memasukkannya ke pos APBD provinsi tahun depan.

Kalau mau, sekaligus total melobi anggota DPRD provinsi, atau sekalian aktif di Parpol agar hal itu jadi isu kampanye dan Parpol mau memperjuangkannya. Tak bisa kita hanya cangruk semata dan segala sesuatu segera tersedia hanya dengan mengajukan proposal dua bulan di ujung tahun anggaran.

Absurd. Sama absurd-nya dengan klaim sastra itu lebih penting dari pemilihan Moka, sementara Disbudpar dan Pemda Provinsi (Jawa Barat) itu telah sejak lama memanpatkan yang terpilih jadi Moka untuk duta wisata dan penyedap acara resmi.

Sedangkan sastra? Sastrawan? Fungsi sosial kehumasan apa yang diberikan sastra dan sastrawan bagi Disbudpar dan Pemda setempat? Bisa-bisa hanya jadi pengemis SPJ doang.

* Beni Setia, Penyair dan pemerhati sastra

Sumber: Republika, Minggu, 23 November 2008

No comments: