Thursday, January 24, 2008

Indonesia Kekurangan Kritikus Sastra

SASTRAWAN Sutardji Calzoum Bachri, yang dijuluki Presiden Penyair Indonesia menilai dunia sastra di Indonesia dalam keadaan sehat. Namun masih kekurangan kritikus sastra. Khususnya, kritikus yang mengkritik karya sastra secara sehat.

Sutardji Calzoum Bachri (Sp/Ignatius Liliek)

Sutardji mengutarakan hal itu kepada SP, di Jakarta, baru-baru ini. Menurut dia, kritikus yang berani justru berisiko menambah musuh. Kritikus yang berani adalah kritikus yang berani mengungkapkan kebenaran sastra, meski pada akhirnya bisa kehilangan teman. Sekalipun berani, kritik yang disampaikan harus santun dan tidak menuding.

Dikatakan, karya sastra saat ini terlalu mengandung tepa selira yang tinggi. Beberapa di antaranya hanya membela komunitas masing-masing. Sutardji yang sejumlah sajaknya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris juga menilai, kebebasan sastra di Indonesia saat ini sudah cukup. Kebebasan dalam hal ini terkait kebebasan populasi dan demokrasi.

"Jika kita yakin akan muncul sastrawan baru dan bagus, masing-masing akan dapat menunjukkan dirinya," kata sastrawan yang memiliki konsep tentang pembebasan kata dari makna.

Bakat Besar


Dijelaskan, jika ada demokrasi maka akan muncul kesusastraan yang beragam. Pencapaian sastra tidak berasal dari keleluasaan kebebasan. Dalam negara otoriter pun dapat muncul dan berkembang karya-karya sastra besar, karena pada akhirnya bermuara pada bakat besar dari seorang sastrawan. Tentang semakin banyak muncul karya-karya sastra yang "berani" dalam mengungkapkan hal yang dahulu dinilai tabu, Sutardji merasa perlu ada pembatasan.

"Dari dahulu atau sekarang, tetap ada batasan yang berasal dari dalam diri sendiri. Seseorang tidak akan menjelek-jelekkan sesuatu yang diyakini. Sebagai contoh, orang yang beragama tertentu tidak akan menulis hal yang merendahkan ajaran-ajaran agamanya," ujar Sutardji, yang menerima South East Asia Writer Awards di tahun 1979, atas prestasi di bidang sastra.

Menurut Sutardji, batasan tersebut lebih mengarah pada hal yang ada di dalam diri seseorang. Batasan yang dimaksud bukan karena aturan penulisan. Sebagai analogi, jika sastrawan menghormati orangtuanya, maka dalam karya dia tidak akan merendahkan orangtua.

Lebih jauh dikatakan, ada mekanisme tertentu dalam hidup, yang dimiliki masing-masing orang termasuk seorang sastrawan, dan secara tidak langsung diterapkan dalam karya yang ditulis. Jika sastrawan tidak menyukai sesuatu, hal itu akan jarang dipergunakan dalam keseharian. [DMP/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 24 Januari 2008

No comments: