Tuesday, May 22, 2007

Wacana: Sejarah Terbelah, Sastra Jadi Perekatnya

-- M Shoim Anwar*

BARU-BARU ini Kejaksaan Agung mengeluarkan surat keputusan yang isinya menarik tiga buku pelajaran sejarah karena dinilai mengingkari fakta. Buku-buku tersebut tidak mencantumkan kata "Partai Komunis Indonesia/PKI" untuk peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Buku-buku ini ditulis untuk Kurikulum 2004.

Tahun 2003 yang lalu buku Kaum Merah Menjarah (2001) karya Aminudin Kasdi juga secara diam-diam "ditarik" dari pasaran. Padahal, buku tersebut mengungkap dengan jelas aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur tahun 1960-1965. Konon, buku ini ditarik karena tidak disukai oleh penguasa saat itu. Sementara, pada pertengahan tahun 1980-an, Nugroho Notosusanto saat menyusun buku sejarah nasional juga pernah mendapat reaksi keras karena dinilai tidak sesuai dengan fakta.

Pada awalnya sejarah adalah fakta. Tetapi, dalam perjalanannya, sejarah dapat berbias menjadi opini. Berbagai kepentingan didesakkan, sehingga pohon sejarah menjadi terlalu rimbun dengan berbagai cabang, ranting, dan dahan semu. Pijakan akar sejarah akhirnya menjadi goyah oleh berbagai tarikan kepentingan. Secara metodologis, mengungkap sejarah kontemporer, termasuk keberadaan PKI, sebenarnya lebih mudah. Tapi, politik dan kekuasaan selalu membelah wajah sejarah.

Penguasa memberi andil terbesar dalam perjalanan wajah sejarah. Tidak heran jika ada yang menyatakan bahwa sejarah adalah milik penguasa. Dengan berbagai motif dan kepentingan, sejarah direkayasa menjadi opini yang tendensius. Peristiwa semacam ini lebih banyak terjadi pada sejarah kontemporer yang para pelakunya masih banyak yang hidup. Mereka memperebutkan citra hero.

Pramoedya Ananta Toer membuat pembelaan dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995) untuk diri dan kelompoknya, Lekra, dalam peristiwa G30S/PKI. Sementara itu Taufiq Ismail dan DS Moeljanto dalam buku Prahara Budaya (1995) dan Katastrofi Mendunia (2004) menyodorkan bukti autentik tentang keterlibatan Lekra dalam tragedi sejarah tersebut. Terbitnya buku BJ Habibie, Detik-detik Yang Menentukan (2006) tentang peran Prabowo saat-saat reformasi juga menimbulkan perdebatan perihal sejarah kontemporer.

Peristiwa pemberontakan PKI memang fakta, tapi siapa saja dalang di balik peristiwa tersebut masih sering diperdebatkan. Buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1989) karya Soegiarso Soerojo, juga pernah menjadi perdebatan panjang. Bahkan, naskah asli Super Semar yang punya kaitan sejarah dengan pemberontakan PKI pun hingga kini tak jelas rimbanya. Akibatnya, opini tentang itu jadi makin melebar. Kepentingan politik telah membelahnya.

Memang, sejak reformasi bergulir, ada fenomena untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan berbangsa, termasuk dalam menyikapi masa lampau. Tetapi, sejarah adalah sejarah. Fakta yang terjadi di masa lampau tidak boleh dibelokkan untuk kepentingan pragmatis. Bagaimanapun, generasi penerus harus mengetahui jejak-jejak kehidupan bangsanya yang terburuk sekali pun. Di beberapa negara lain, dokumen rahasia yang merupakan bagian dari sejarah bahkan boleh diungkap setelah berumur 50 tahun. Artinya, ada tanggung jawab untuk meluruskan jejak sejarah yang mungkin masih buram.

Sejarah adalah bagian dari ilmu sosial yang sulit menemukan kemapanan. Untuk itu, wacana sejarah kontemporer perlu mendapat sandingan sehingga fakta lebih mudah dikukuhkan. Taufiq Ismail, dalam kedua bukunya di atas telah mengumpulkan puisi para aktivis PKI, seperti Kusni Sulang, Wong Tjilik, Subronto K. Atmodjo, Mawie, Sobron Aidit, T Iskandar AS, Setiawan Hs, Virga Belan, Nusananta, Agam Wispi, dan Tobaga. Di antara puisi-puisi mereka ada yang judulnya khas simbol sosialis, seperti Kepalaku Marxis, Diriku Leninis; Leningrad, Penerbangan Malam ke Leningrad, Peking, dan Tafakur kepada Lenin.

Puisi-puisi mereka dengan jelas mengarah pada terjadinya provokasi dan pemberontakan PKI, kebanyakan dimuat koran Bintang Timur yang diredakturi oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu puisi karya Mawie berjudul Kunanti Bumi Memerah Darah yang ditulis 21 Maret 1965 telah menampakkan citra kekerasan PKI:

bulan arit di langit
cinta dan kasih
bergelimpangan di jalanan
mawar dan wajah
menanti bumi memerah


Melalui teks-teks sastra, sejarah dapat dikuak secara lebih baik. Tulisan-tulisan Pramoedya yang dimuat di koran Bintang Timur telah menjadi bukti tak terbantahkan aliran politik Pram. Teks sastra telah memberikan kesaksian pada zamannya. Itulah sebabnya Umar Kayam sangat tergoda untuk mengangkat peristiwa yang berkaitan dengan pemberontakan PKI ke dalam karya sastranya, seperti cerpen Sri Sumarah, Bawuk, Musim Gugur Kembali di Connecticut (1975), serta novel Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).

Dalam Para Priyayi, Umar Kayam memberi gambaran prototipe aktivis PKI lewat tokoh Retno Dumilah (Gadis) --anggota Gerwani-- yang keras, progresif, sengit, dan suka mengganyang lawan dan organisasi lain. Melalui tokoh ini kita tahu kecenderungan politik PKI yang keras sehingga menyeret tokoh Harimurti dalam keterpengaruhannya. Pada Bawuk, lewat tokoh Hasan dan Bawuk, juga dapat diketahui sepak terjang keorganisasian PKI hingga meletusnya pemberontakan di Madiun. Penggayangan oleh PKI ditulis pula oleh Satyagraha Hoerip lewat cerpen Pada Titik Kulminasi (1966).

Ahmad Tohari lewat novel Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Jantera Bianglala (1986) dan Lintang Kemukus Dini Hari (1988) juga merekam peristiwa pemberontakan PKI lewat sisi kemanusiaan. Dalam Kubah terlihat sekali pemikiran dan provokasi tokoh Margo sebagai pengikut PKI yang menyeret tokoh Karman untuk ikut bergabung. Karakter Margo senada dengan Retno Dumilah dan Hasan pada karya Umar Kayam. Mereka adalah motor PKI.

Agak berbeda dengan sejarah, sisi kemanusiaan dalam tokoh sastra mendapatkan perhatian secara lebih utuh. Tokoh-tokoh yang menjadi korban sejarah mendapat penekanan. Tokoh Srintil, dalam tiga novel Ahmad Tohari yang disebut terakhir, adalah contoh figur yang menjadi korban permainan politik PKI, mirip seperti nasib tokoh Karman. Figur-figur yang mengalami keterpengaruhan PKI juga digambarkan Umar Kayam lewat tokoh Sri Sumarah, Bawuk, Harimurti, dan Eko.

Sisi kemanusiaan dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma lewat novel Kalatidha (2007). Dalam karya Seno ini bahkan dikisahkan hingga kejatuhan Soeharto.

Sastra memang memiliki kaitan erat dengan sejarah dan perpolitikan suatu bangsa. Pemberian hadian nobel sastra, sampai hari ini, masih ada kecenderungan untuk dikaitkan dengan hal tersebut. Itulah sebabnya meski sudah beberapa kali masuk nominator penerima hadiah nobel sastra, sampai akhir hanyatnya Pramoedya belum juga berhasil. Meski karyanya dinilai bagus, Pram juga dinilai memiliki hutang kemanusiaan ketika dia bergerak di dunia politik-kebudayaan yang pernah menindas sesamanya.

Posisi tokoh atau pelaku sejarah dalam kehidupan nyata mungkin akan sering berubah. Politik dan kekuasaan membuat mereka selalu dalam proses ketegangan. Pergantian posisi kawan dan lawan akan terus membelah wajah sejarah. Buku sejarah mungkin masih akan sering berubah. Tetapi, karya sastra yang telah merekam perjalanan wajah sejarah tak akan berubah. Itulah sebabnya, ketika sejarah terbelah, sastra akan jadi perekatnya.

* M Shoim Anwar, Sastrawan dan pengajar sastra

Sumber: Republika, Minggu, 20 Mei 2007

No comments: