Saturday, February 26, 2011

[Tanah Air] Gowa Sudah Lebih Dulu Mendunia

-- Aswin Rizal Harahap, Maria S Sinurat, dan Nasrullah Nara

AWAL Februari lalu, eksportir kakao, Dakhri Sanusi (45), masygul melihat pemuatan 1.000 ton kakao siap ekspor ke Malaysia dan Singapura melalui Terminal Peti Kemas Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan. Empat abad silam, bandar niaga Kerajaan Gowa itu ramai disandari pinisi dan kapal Eropa.

Sebanyak 110 kapal lepa-lepa berderet di tepi Pantai Losari, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. Jika dulu Kerajaan Gowa memanfaatkan transportasi laut untuk perdagangan, kini Pemerintah Kota Makassar mengembangkannya untuk kawasan wisata. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)

Geliat Pelabuhan Makassar saat ini boleh jadi gambaran kejayaan Kerajaan Gowa empat abad lampau. Pada pertengahan abad ke-17, Makassar adalah bandar niaga paling ramai di Nusantara. Untuk transaksi rempah-rempah, pelabuhan ini bahkan menjadi kiblat pedagang dari Asia dan Eropa.

Pengiriman kakao dari Pelabuhan Makassar kembali meningkat menyusul memanasnya politik di Pantai Gading, negara produsen kakao terbesar di dunia. Harga kakao di tingkat petani naik dari Rp 20.000 menjadi Rp 27.000 per kilogram (kg).

Sebagai eksportir, Dakhri harus menjual kakao seharga Rp 31.000 per kg, mengacu harga di bursa efek New York.

Sayangnya, geliat itu tak berbanding lurus dengan pendapatan Dakhri sebagai eksportir hasil bumi. Penyebabnya, ongkos kirim kakao membengkak karena ekspor harus lewat Surabaya.

Dengan keuntungan Rp 4.000 per kg, ia memang meraup laba hingga Rp 10 juta per 2.500 ton kakao. Namun, keuntungannya susut hingga 40 persen karena biaya pengapalan. Pengangkutan kakao dari Makassar ke Surabaya makan ongkos Rp 1,4 juta per kontainer, belum termasuk biaya bongkar muat Rp 600.000 per kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak. Praktis, Dakhri hanya meraih laba bersih Rp 6 juta untuk 2.500 ton kakao. Biaya tambahan hingga Rp 2 juta itu juga berlaku untuk ekspor komoditas lain, seperti jagung, kelapa, ikan laut, kepiting, dan udang—produk utama di kawasan timur Indonesia (KTI).

Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang, berkisah, mekanisme perkulakan yang dicetuskan Perdana Menteri Kesultanan Gowa Karaeng Pattingalloang terus mendongkrak pamor Makassar. Gowa mengumpulkan rempah-rempah dalam jumlah besar dan menjualnya dengan harga murah. Itulah strategi yang ditempuh demi menarik minat pedagang berdatangan.

Kala itu, penjualan rempah-rempah dilakukan dengan sistem subsidi silang agar tetap mendapat laba. Saat rempah-rempah dijual murah, harga komoditas lain sedikit dinaikkan.

Berkat trik dagang tersebut, pamor Makassar di kawasan Asia Tenggara kala itu terus diperhitungkan. Volume perdagangan Makassar (46 juta gulden) melampaui Singapura yang 16 juta gulden (Makassar Abad IX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, 2002).

Kebijakan pemerintah

Gowa dan Kerajaan Gowa seolah memberikan pemahaman baru. Abad ke-17 ternyata lebih global karena transaksi dan hubungan dagang langsung dari dan ke jantung Makassar.

Memang, sejak dilengkapi dengan terminal peti kemas pada 2007, pemerintah menetapkan Pelabuhan Makassar juga menjadi pelabuhan ekspor-impor, seperti Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya). Proses bongkar-muat barang yang didukung peralatan memadai beroperasi 24 jam.

Namun, hal itu tak kunjung menarik minat perusahaan pelayaran. Empat tahun terakhir, jumlah kontainer yang diekspor dari Pelabuhan Makassar hanya sekitar 2.000 unit atau 2-3 kapal sebulan. Adapun kontainer yang diimpor hanya 400 unit atau setengah dari total kapasitas kapal pengangkut barang.

Menurut General Manager Terminal Peti Kemas Pelabuhan Makassar Anharuddin Siregar, pemerintah provinsi di KTI perlu mendesak pemerintah pusat untuk mewajibkan ekspor komoditas dilakukan di daerah asal.

Dari segi geografis, ia menilai, Pelabuhan Makassar dan Bitung, Sulawesi Utara, layak menjadi hub, tempat pengumpulan komoditas dari sejumlah daerah di KTI. ”Jika regulasi itu ditetapkan, perusahaan pelayaran mau tidak mau mengubah jadwal pelayaran hingga ada (kapal) yang singgah di Makassar,” ujarnya.

Konsorsium dan swasta

Andai kebijakan itu belum juga mampu menghidupkan Pelabuhan Makassar, ia mengusulkan agar kepala daerah di KTI bergabung membentuk konsorsium perkapalan. Kepemilikan bersama kapal yang beroperasi di KTI akan membuka keran ekspor-impor, sekaligus memperbaiki sistem transportasi laut.

Konsorsium perkapalan diharapkan membuka jalur-jalur pelayaran di KTI yang selama ini belum terlayani, seperti Makassar-Kendari, Makassar-Ternate, Makassar-Bitung, dan Makassar-Jayapura. Perbaikan interkoneksi kepelabuhanan akan mengurangi kesenjangan harga barang di KTI dengan kawasan barat Indonesia.

Dari kacamata Ketua Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Manado-Bitung Noldy Tuerah, perbaikan mekanisme ekspor-impor di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila pengelolaan pelabuhan diberikan kepada swasta. Hal seperti ini sudah diterapkan di Pelabuhan Singapura dan Tanjung Pelepas, Malaysia.

”Biarkan perusahaan pelayaran yang mengatur rute kapal. Mereka pasti akan memilih berlayar ke pelabuhan yang paling efisien sehingga ekspor-impor nantinya tidak terpusat di Jakarta dan Surabaya,” kata Noldy.

Para pelaku usaha berharap, Dewan Pengelola Pelabuhan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dapat segera terbentuk. Lembaga itulah yang kelak berwenang menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada swasta. Kerajaan Gowa sudah melakukan hal itu.

Semestinya pemerintah pusat berkaca pada jejak kejayaan maritim itu....

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Februari 2011

No comments: