Tuesday, February 22, 2011

Korupsi Tahan Pertumbuhan

Jakarta, Kompas - Sebagai negara yang kaya sumber daya alam dengan pasar domestik besar, perekonomian Indonesia semestinya mampu tumbuh pesat. Namun, praktik korupsi yang bagai tak pernah surut membuat Indonesia gagal memetik peluang meraih pertumbuhan ekonomi lebih besar.

Harian Kompas menyelenggarakan seminar nasional bertajuk Korupsi yang Memiskinkan di Hotel Santika Premiere, Jakarta, Senin (21/2). Hadir sebagai pembicara pada sesi pertama, antara lain, (dari kiri) dosen Program Pascasarjana STF Driyarkara, B Herry Priyono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, moderator Rhenald Kasali, Kepala Kelompok Program Tata Pemerintahan Keamanan dan Keadilan Kemitraan Laode M Syarif, serta dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada, Heru Nugroho. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)

Demikian benang merah seminar nasional bertajuk ”Korupsi yang Memiskinkan” yang diselenggarakan harian Kompas di Jakarta, Senin (21/2). Seminar berlangsung sampai Selasa ini, turut dihadiri antara lain ekonom senior Subroto dan JB Sumarlin.

Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama saat membuka seminar meminta para pembicara dan peserta membangkitkan suatu pemahaman baru dan kehendak bersama untuk bersinergi memerangi masalah kemiskinan akibat korupsi. Menurut Jakob, banyak langkah dibuat memberantas korupsi, tetapi dari tanda-tanda yang ada, korupsi bukan semakin surut.

”Siapa yang tidak pedih melihat 50 persen gubernur, seperti yang disampaikan Mendagri, memiliki masalah hukum. Bagaimana dengan bupati, wali kota, dan pejabat lain,” ujar Jakob.

Penegakan hukum yang lemah dan pemutarbalikan standar moral membuat korupsi merasuk sendi kehidupan. Ekonom Faisal Basri mengungkapkan, korupsi tidak berhubungan langsung dengan kemiskinan, tetapi memengaruhi pertumbuhan ekonomi, baik daya tarik maupun kualitas.

”Di balik pertumbuhan, baru berdampak terhadap orang miskin. Kegiatan produksi terhambat karena orang harus membayar lebih mahal atau menunggu lebih lama kalau tidak menyuap (untuk dilayani pemerintah) sehingga kalah kompetitif dari negara lain yang bebas korupsi. Belum lagi praktik pejabat yang meminta saham kosong,” ujar Faisal.

Kekuatan pasar domestik dan sumber daya alam menyelamatkan Indonesia dari krisis global tahun 2008 dengan tetap tumbuh 4,5 persen tahun 2009 saat negara lain terpuruk. Ketika perekonomian regional pulih dan sejumlah negara bangkit tahun 2010, Indonesia malah mencatat pertumbuhan terendah di Asia Tenggara, yakni 6,7 persen.

Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, B Herry Priyono, mengkhawatirkan sikap masyarakat yang menilai korupsi bias ekonomistik, yaitu hanya berkait dengan uang negara, dan bias negara centris, yaitu hanya melibatkan aparat negara. Sikap ini membuat praktik korupsi semakin marak.

Bagaimanapun, korupsi bagai dua sisi koin. Ada yang menilai korupsi sebagai ”minyak pelumas” memperlancar investasi dan pertumbuhan ekonomi karena tanpa suap proses administratif bakal lama sehingga tidak efisien.

Penilaian lain adalah korupsi menjadi kerikil pengganjal menghancurkan investasi ekonomi. Korupsi tidak hanya menciptakan biaya tambahan bagi dunia bisnis, tetapi juga merusak kapasitas regulatif dan pendapatan pemerintah.

”Korupsi terjadi dengan penjungkirbalikan standar moral. Seperti lembaga pendidikan semestinya untuk mendidik, bukan tempat propaganda buku,” jelas Herry.

Enggan taat asas

Keengganan hidup taat asas dan mengikuti prosedur, misalnya bersedia membayar mahal untuk mengurus kartu tanda penduduk dengan cepat, membuat masyarakat terbiasa dengan korupsi. Laode M Syarif dari Kemitraan, asosiasi multipemangku kepentingan mendukung reformasi tata kelola pemerintahan, menuturkan, ketiadaan program antikorupsi yang menyeluruh dan komitmen serius menyulitkan pemberantasan korupsi. ”Pel- ajaran yang bisa ditarik apakah ada keberhasilan Kemitraan dalam menjalankan program? Hampir kami gagal total,” kata Laode.

Laode mengutip data Indonesia Corruption Watch, ada 176 kasus korupsi di pusat dan daerah yang melibatkan 411 orang dengan potensi kerugian Rp 2,1 triliun periode Januari-Juni 2010. Dari sisi profesi, pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif menempati urutan pertama sebagai koruptor diikuti pegawai negeri pusat dan daerah, pengusaha, serta masyarakat.

Sikap pemimpin

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang meningkat dari Rp 400 triliun tahun 2004 menjadi Rp 1.229,6 triliun tahun 2011 semestinya tampak dalam pembangunan infrastruktur. Namun, porsi belanja rutin yang lebih besar membuat belanja pembangunan tidak optimal.

Wakil Presiden (2004-2009) Muhammad Jusuf Kalla menegaskan, ”kemewahan” pemerintah bisa distop kalau dari atas mencontohkan. Jika pemimpin berhenti bermewah-mewahan, aparat di bawah juga berhenti. ”Ini tidak terlalu susah,” ujar Kalla.

Menurut dia, pemerataan korupsi di Indonesia sejalan dengan pemerataan kekuasaan yang sedang terjadi. ”Dulu, pemerintah pusat adalah pusat korupsi. Sekarang ini sudah terbagi tiga, yaitu korupsi di pusat sudah sepertiga, sepertiga lagi ada di daerah, dan sepertiga lagi ada di kalangan politisi atau DPR. Jadi, korupsi sudah merata,” paparnya.

(HAM/LKT/PPG/HAR)

Sumber: Kompas, Selasa, 22 Februari 2011

No comments: