Sunday, January 09, 2011

Fenomena Rakyat Pesisir

-- Herry Dim

MASIH terngiang saat mewawancara Sujana Arja (alm.), salah seorang dalang topeng mazhab Slangit pada 1990-an yang antara lain mengeluhkan keseniannya mulai tersisihkan oleh munculnya layar tancap yang merembes hingga ke pelosok. Pak Jana pun bercerita bahwa layar tancap pun kerap bukan sekadar menjadi hiburan umum, melainkan menjadi "tanggapan" kenduri.

"Akibatnya, kalau sebulan sekali saja ada tanggapan untuk seni tari topeng Cirebon sudah bagus, sebab umumnya masyarakat sudah berpindah ke tontonan yang lebih ringkes," ujar Pak Jana menguraikan dengan nada sedih.

Dalam obrolan yang terjadi di rumah tinggal keponakannya, ibu Nunung, yang menjadi penari topeng juga sekaligus pengajar di STSI, terungkap pula bahwa selain layar tancap saat itu telah merebak pula pentas-pentas tarling yang dalam istilah Pak Jana disebutnya "tarling gaya baru". Yang dimaksud bukanlah tarling tradisional yang hanya sedikit melibatkan gitar elektrik, melainkan telah diimbuhi instrumen organ. Mode penyajiannya pun sudah agak jauh dari tarling gaya Abdul Ajib, misalnya, sebab dalam satu kesempatan menyaksikan pertunjukannya ternyata lebih dekat dengan musik dangdut. Jika tidak salah, pada masa itu pula nyanyian "Warung Pojok" dengan gaya yang lebih dekat ke dangdut begitu populer di kalangan masyarakat pesisir hingga perkotaan.

Kehadiran istrumen organ pada masa awal, relatif fungsinya masih sederhana semisal menggantikan alunan dan lekukan bunyi seruling, sesekali mengisi sisipan melodi di antara permainan gitar. Dalam suatu kesempatan menyaksikan, nyata sekali pemainnya tidak memfungsikan organ untuk memainkan harmonium berupa chord.

Belakangan kecanggihan alat musik organ yang beredar di pasar, itu mengalami perkembangan luar biasa sekali; berbagai moda bunyi bisa dimainkan dengan alat ini, demikian pula pola hentak (beat) mulai dari rock `n roll, samba, jazz, hingga keroncong disediakan oleh pandora yang oleh masyarakat luas dikenal dengan nama organ ini.

**

Ihwal pergeseran minat publik seperti dikisahkan Pak Jana, yaitu dari tontonan topeng Cirebon yang masih memiliki magi-ritual dan bersifat transendental ke tontonan semata-mata hiburan yang sangat profan; tentu merupakan diskusi tersendiri yang perlu dibahas khusus.

Catatan ini berikutnya ingin mencoba melihat bahwa pandora berkekuatan listrik yang bernama organ, itu di kemudian hari terbukti mampu me-ringkes-kan peralatan dan personel musik menjadi lebih padat lagi. Singkatnya kebutuhan untuk combo yaitu kelompok musik yang terdiri atas empat pemain (gitar pengiring, gitar melodi, bass, dan perkusi/drum), itu dipadatkan menjadi bisa dimainkan oleh seorang pemain saja. Jenis-jenis organ mutahir bahkan bisa memproduksi suara sesusunan alat musik gesek seperti halnya pada orkes simfoni, hingga sesusunan seksi alat musik tiup (brass section) yang jika dimainkan oleh alat sebenarnya bisa melibatkan ratusan orang.

Ditambah lagi dengan kemungkinan pembesaran suara, lengkaplah sang organ tersebut menjadi benda ajaib. Lebih ajaibnya lagi banyak pemusik rakyat yang semula tidak mengenal sistem chord, itu dengan cara otodidak atau belajar antarteman kemudian tumbuh memiliki keterampilan yang menakjubkan. Setiap pemain menjadi mampu bermain tunggal untuk mengiringi biduan. Sejak itulah kemudian dikenal istilah organ tunggal. Karena begitu ringkes-nya, mereka menjadi begitu mudah dan bisa bergerak jauh lebih cepat untuk mengisi panggung-panggung hiburan. Ditambah lagi dengan pesona biduan-biduan yang umumnya berani tampil dengan pesona sensual, tak pelak kesenian organ tunggal ini menjadi sangat diminati rakyat. Pertumbuhannya sungguh demikian cepat, di berbagai pelosok bermunculan kelompok-kelompok penghibur organ tunggal.

Selain tumbuh di wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat, seperti kita ketahui moda organ tunggal ini tumbuh pula dengan subur di Jawa Timur hingga Madura. Pada suatu kesempatan di Medan, dengan diantar beberapa etnomusikolog, sempat menyaksikan moda organ tunggal yang membawakan lagu-lagu Batak. Demikian halnya di wilayah kebudayaan Minang, didapat sejumlah kelompok yang membawakan lagu-lagu langgam Minang, dangdut, disco, atau campuran dari semua itu. Tak hanya terdengar di panggung-panggung, rekaman musik organ tunggal ini berdentam pula di seluruh angkutan kota yang beredar sejak dari Medan hingga Lampung.

Bahkan jika sesaat saja membuka Youtube, dengan memasukan kata kunci "organ tunggal", pada saat catatan ini ditulis, didapat 1.150 masukan data video. Masing-masing video, rata-rata pernah dilihat oleh ribuan bahkan beberapa di atas 10.000 pengunjung. Masukan data video organ tunggal Elsa Nada, misalnya, tercatat pernah dilihat 29.905 pengunjung.

**

Kiranya tak bisa dimungkiri, organ tunggal kini menjadi fenomena hiburan massal (kitsch) yang merebak di mana-mana, sekaligus amat digemari oleh khalayak. Kesenian yang semula tumbuh di wilayah masyarakat pesisir, ini pun kemudian merembes dan tumbuh di perkotaan, masuk pula ke berbagai diskotik atau tempat-tempat hiburan malam lainnya. Di pinggiran jalan di daerah Jatinegara - Jakarta, misalnya, daerah yang semula berupa pasar tersebut pada malam harinya berubah menjadi tempat hiburan jaipongan dan organ tunggal, bahkan pernah didapati gabungan jaipong dan organ tunggal.

Sebuah masukan data video Youtube dengan nama file organ tunggal - mantap, memperlihatkan gambaran bahwa begitu melimpahnya publik penggemar hiburan ini. Video dokumentasi pertunjukan 21 Desember 2006 tersebut, tercatat telah dilihat pula oleh 252.485 pengunjung. Dari dokumentasi itu pula kita bisa melihat bahwa organ tunggal tak hanya hiburan, tetapi digunakan pula untuk kepentingan lain. Seseorang terekam pula di sana membagi-bagikan uang kepada setiap penonton yang ikut berjoget di atas panggung. Dan, tentu saja, patut dicatat tentang bagaimana penyanyi di dalam rekaman tersebut ketika beraksi; dari awal hingga akhir membawakan nyanyian "Karmila" (Farid Hardja) dalam versi dangdut organ tunggal, itu dibawakan dengan gerak-gerak tubuh yang seronok menirukan (maaf) gerak-gerak persetubuhan. Mungkin pula akibat wilayah perilaku privat yang kemudian dibuka menjadi wilayah publik ini pula yang membuat organ tunggal menjadi semarak dan begitu memancing gairah publik.

**

Pada pentas-pentas kecil, organ tunggal memang seperti penamaannya biasa tampil secara tunggal untuk mengiringi penyanyi. Lain halnya pada pentas-pentas besar, umumnya hadir lengkap seperti halnya combo. Yang menarik, di balik itu semua, adalah bukti bahwa masyarakat bawah sesungguhnya senantiasa bergerak, memiliki pilihannya sendiri, dan dengan caranya melakukan "perlawanan" terhadap kekuatan di luar dirinya. Sebagai bagian dari panggung hiburan, organ tunggal setidaknya berhadapan langsung dengan media terutama televisi. Mereka yang bergerak dari wilayah bawah, ini jelas adalah bagian yang tidak memiliki ruang di dalam media umum dan televisi. Akan tetapi, dengan caranya bergerilya, mereka rebut ruang-ruang publik di pelosok dengan caranya masing-masing. Jangan lupa nama Inul Daratista yang fenomenal, itu awalnya bergerak di wilayah ini hingga kemudian tercium oleh media hingga kemudian menjadi bagian dari publisitas media.

Sekali lagi, lepas dari masalah suka dan tidak suka, di balik organ tunggal kita bisa melihat bahwa masyarakat kita sesungguhnya "hidup", mampu belajar sendiri, bahkan "benda asing" yang bernama organ itu mampu dikuasai dengan cara autodidak dan kemudian menjadi alat hidup. ***

Herry Dim
, seniman

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Januari 2011

No comments: