Saturday, August 07, 2010

Tanah Air: Dari Banda, Indonesia Bermula

-- A Ponco Anggoro dan Nasrullah Nara

Sebanyak 21 kapal layar dari sejumlah negara berlabuh di Banda, Maluku Tengah, Selasa (27/7), dalam rangka reli kapal layar Sail Banda. Sudah lama Banda menyita perhatian dunia. Sekadar bukti, Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, serta Lady Diana dan Sarah Ferguson pernah datang untuk memuja panorama alam setempat.

Warga mengawali aktivitas mereka dengan menumpang perahu kayu menuju pelabuhan tradisional di Pulau Naira, Banda, Maluku, Sabtu (24/7). Penduduk kepulauan yang dahulu diperebutkan oleh sejumlah negara penjajah tersebut sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani lada serta cengkeh. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

Pemandangan di depan dermaga Pelabuhan Banda Naira itu mengingatkan akan kejayaan Banda masa silam. Jauh sebelum republik ini berdiri, Banda telah menjadi surga bagi bangsa-bangsa Eropa. Kapal-kapal Portugis, Inggris, dan Belanda bergantian buang sauh di Banda Naira untuk mengenyam alam Banda yang subur dan elok itu.

Kehangatan dan aroma khas pala (Myristica fragrans) Banda yang tumbuh subur di tanah vulkanik sulit ditemukan di belahan dunia mana pun. Kala itu, biji dan fuli (bunga) pala sangat dibutuhkan sebagai bahan pengawet, penyedap, parfum, dan kosmetik.

Portugis, Inggris, dan Belanda berebut dan bergantian menguasai gugusan pulau yang terletak di tengah Laut Banda, Maluku— berjarak 116 mil (186 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.

Des Alwi, tokoh masyarakat Banda, dalam buku Sejarah Banda Naira terbitan Pustaka Bayan (2010) mengisahkan, hasil monopoli pala yang harganya lebih mahal daripada emas kala itu digunakan Belanda untuk membangun kota Amsterdam dan Rotterdam.

Kokohnya imperialisme Belanda di Banda ditandai dengan berdirinya benteng, gedung perkantoran, istana, dan rumah- rumah bergaya Eropa. Belanda bahkan memindahkan pengasingan Hatta dan Sjahrir dari Boven Digoel, Papua, ke Banda Naira tahun 1936-1942. Tokoh pergerakan nasional lain, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri juga diasingkan di sini.

Rumah tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir itu kini menjadi museum. Ranjang besi dengan kelambu putih serta kursi kayu dan papan tulis tempat Hatta mengajar anak-anak tiap sore masih utuh tersimpan. Mesin tik Hatta dan gramofon milik Sjahrir masih tersimpan apik.

Di situlah Hatta dan Sjahrir menyemai nasionalisme dan rasa cinta Tanah Air kepada anak-anak Banda, termasuk kepada anak-anak warga pendatang asal Jawa, Sumatera, Sulawesi, Ternate, Tidore, dan Kalimantan.

Des Alwi yang melewati masa kanak-kanak ketika Hatta dan Sjahrir diasingkan di Banda mengenang betapa kontrasnya materi pelajaran sekolah pagi yang diterima dari Belanda dengan yang dikenyam saat sore hari.

”Di sekolah pagi, para meneer mengajari kami bahwa Teuku Umar dari Aceh serta Diponegoro dari Jawa sebagai penjahat dan sejarah negeri Belanda disebut sebagai sejarah ’Tanah Air’. Sebaliknya, di sekolah sore, Hatta dan Sjahrir menyebut dua tokoh itu sebagai pemberontak atas penindasan Belanda.”

Oleh Des Alwi dan anak-anak sebayanya kala itu, Hatta akrab disapa ”Oom Kacamata”. Adapun Sjahrir biasa disapa ”Oom Rir”. ”Sosok Hatta itu serius, kutu buku, dan lengket dengan kacamata tebal. Kalau Sjahrir, suka gaul dan suka nyanyi,” ujarnya.

Menurut Des Alwi, budaya setempat menegaskan bahwa semua anak yang lahir di Banda otomatis dianggap orang Banda. Tidak terkecuali anak-anak pendatang, termasuk yang berasal dari China dan Arab. ”Hatta dan Sjahrir menularkan semangat kebangsaan kepada anak-anak di Banda dalam nuansa pluralisme. Wajar jika muncul ungkapan ’Dari Banda, Indonesia bermula’. Benih Tanah Air berawal dari sini,” kata Des Alwi.

Geopolitik

Kehadiran bangsa Eropa di Nusantara bermula dari Banda. Jauh sebelum Belanda mengembangkan perkebunan teh, karet, cengkeh, dan lada di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan pulau-pulau lain, imperialisme Belanda telah tertancap kokoh di Banda.

Namun, Eropa bukanlah yang pertama menggaungkan Banda di kancah global. Des Alwi menulis, China menjadi bangsa pertama yang menemukan Banda pada abad X. Hal ini diketahui dari piring-piring asal China yang ditemukan dalam penelitian arkeologi. Abad XIV, bangsa Moro lebih dulu menemukan Banda.

Kisah penemuan bangsa- bangsa Eropa atas Banda bermula pada abad XV. Jejak bangsa-bangsa Eropa ini terlihat jelas di jalan-jalan utama di Pulau Naira, satu dari sepuluh pulau di Banda. Bangunan-bangunan berarsitektur Eropa abad XVII itu kini digunakan warga sebagai kafe, motel, atau sekretariat kampung.

Hadirnya lima benteng Belanda, Inggris, dan Portugis di tiga pulau di Banda kian menguatkan betapa pentingnya Banda saat itu dari sisi geopolitik dan geo-ekonomi. Begitu pula Istana Mini di Pulau Naira. Bangunan tahun 1622 ini menjadi kediaman tiga gubernur jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang bertugas di Banda setelah Pulau Naira menjadi ibu kota Provinsi Government van Banda.

Oleh Bung Hatta, Banda disebut sebagai miniatur Indonesia. Sebanyak 25.000 warga Banda yang saat ini tinggal di tujuh kampung adat di Banda merupakan keturunan campuran dari etnis-etnis yang pernah bermukim di Banda: Portugis, Belanda, Inggris, China, Arab, Jawa, Bugis, Buton, dan Ternate. ”Beberapa kali pula penjajah menjadikan Banda sebagai tempat pembuangan sejumlah etnis dari pulau lain untuk dipekerjakan di perkebunan pala,” kata Awad Senen (73), Kepala Kampung Adat Ratu Naira.

Ragam etnis ini bisa terlihat dengan mudah dari nama mereka.

Tahun 1990-an Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, Lady Diana, dan Princess of York Sarah Ferguson pernah tetirah ke Banda. Rupanya, mereka ingin memuja keelokan Banda sambil menapaktilasi petualangan nenek moyang mereka.

Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Agustus 2010

No comments: