Monday, August 16, 2010

[65 Tahun Indonesia] Benarkah Kita Bangsa yang Berbudaya Tinggi?

INDONESIA selama ini disebut-sebut sebagai bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Pernyataan seperti itu sudah berulang kali kita dengar. Baik itu dari orang-orang Indonesia sendiri maupun dari orang-orang asing yang berkunjung ke negeri ini. Dan, semua itu menjadikan kita bangga menjadi bagian dari bangsa ini.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, dan juga melihat betapa banyak peristiwa yang terjadi di negara ini yang membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi?

Ketika Indonesia masuk ke dalam daftar negara-negara yang paling korup di dunia, atau sekelompok anggota masyarakat tertentu melakukan kekerasan atau memaksakan kehendak terhadap sekelompok anggota masyarakat lainnya, kita bertanya-tanya benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Melihat kekerasan dilakukan terhadap kelompok Ahmadiyah serta perusakan gereja dan kekerasan terhadap jemaatnya membuat sulit bagi kita untuk dapat menerima pernyataan bahwa bangsa Indonesia ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi.

Argumen yang selalu dikemukakan adalah itu hanyalah ulah sebagian kecil dari komponen bangsa ini, dan bukan gambaran dari sikap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun, kerap terjadinya kekerasan dan pemaksaan kehendak terhadap sekelompok anggota masyarakat tertentu menjadikan pernyataan bahwa bangsa Indonesia yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi selalu digugat kembali.

Kita ingin percaya bahwa tindakan yang tidak ramah-tamah, tidak toleran, dan tidak berbudaya itu hanya merupakan ulah sebagian kecil dari komponen bangsa ini, tetapi hal itu sulit dilakukan, apalagi melihat ulah dan perilaku orang-orang Indonesia di jalan raya setiap hari. Jalan raya bagaikan rimba belantara, khususnya pada saat jam-jam sibuk, yakni jam-jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam itu seakan-akan peraturan dan aturan lalu lintas tidak berlaku.

Ketika kenyataan seperti itu diangkat ke permukaan, tidak sedikit orang yang bersikeras mengatakan, pada hakikatnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Namun, begitu mereka menggunakan atribut (seragam) tertentu, atau mengendarai kendaraan bermotor tiba-tiba orang Indonesia akan menjadi orang yang tidak ramah-tamah, tidak memiliki toleransi, dan tidak berbudaya.

Dengan menggunakan atribut tertentu, seakan-akan orang berhak melakukan apa saja. Lihat saja perilaku dan ulah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat akhir-akhir ini. Begitu pula di jalan raya. Lihat bagaimana sulitnya pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan. Jangankan di ruas jalan yang tidak memiliki lajur penyeberangan (zebra cross), yang memilikinya pun tidak digubris. Para pengguna kendaraan motor sama sekali tidak memedulikan lajur penyeberangan. Pengguna sepeda motor lebih parah lagi, lampu lalu lintas pun seakan tidak berlaku bagi mereka.

Pengendara sepeda motor dan pengendara mobil seperti malas mengerem untuk memberikan kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang atau memberikan kesempatan kepada pengendara lain untuk membelok dan melintas di depan sepeda motor atau mobil yang mereka kendarai. Itu adalah pemandangan yang dapat dengan mudah ditemui di jalan raya setiap hari.

Lihat juga bagaimana angkutan umum dengan seenaknya sendiri berhenti menunggu penumpang atau dengan tenangnya melaju di jalur yang berlawanan pada saat mobil-mobil di jalurnya mengantre panjang. Tidak sedikit pengendara mobil pribadi yang melakukan hal yang sama. Bahkan, tidak sedikit sepeda motor dan mobil pribadi, termasuk mobil-mobil papan atas, yang melanggar rambu dilarang membelok.

Akan tetapi, jika kita amati dengan saksama, bukan hanya pengendara kendaraan bermotor yang bersikap tidak ramah-tamah, tidak memiliki toleransi, dan tidak berbudaya, melainkan juga pengguna jalan lainnya, seperti pejalan kaki dan pedagang kaki lima.

Pejalan kaki lebih memilih membahayakan keselamatan dirinya dan diri pengendara sepeda motor atau mobil daripada menggunakan jembatan penyeberangan. Bahkan, mereka lebih memilih merusak pagar pembatas dan menerobosnya ketimbang menggunakan jembatan penyeberangan.

Hal yang sama juga dilakukan pedagang kaki lima. Di pasar-pasar tradisional pedagang kaki lima menggelar dagangannya di badan jalan. Mereka sama sekali tidak peduli bahwa ulah mereka itu menimbulkan kemacetan lalu lintas karena mereka menguasai satu lajur badan jalan. Sisanya, satu lajur lagi, digunakan angkutan umum untuk menunggu penumpang. Antrean kendaraan di belakangnya sangat panjang, tetapi siapa yang peduli.

Dalam rangka memperingati 65 tahun kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2010, ada baiknya kita merenung dan melakukan introspeksi: masih bisakah kita menyebut diri sebagai bangsa yang ramah-tamah serta memiliki rasa toleransi dan budaya yang tinggi seperti yang kita gembar-gemborkan selama ini?

Dengan berintrospeksi, kita akan mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dan mencari cara untuk memperbaikinya serta mulai mengajarkannya kepada anak-anak kita sejak usia dini.

Sikap toleran kepada sesama yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mengantre. Dengan mengantre, kita menunjukkan bahwa kita menghargai orang lain yang sudah hadir lebih dulu.

Selama ini kita hanya berhenti sampai pada gagasan-gagasan yang besar saja. Contohnya, kita hanya diajarkan harus menghormati orangtua, orang yang lebih tua, dan orang lain. Pernyataan itu selalu diulang-ulang setiap kali. Namun, kita tidak pernah diajarkan bagaimana cara melakukannya atau bagaimana rinciannya.

Pada masa lalu kita memiliki tata cara bertingkah laku yang baik. Misalnya, berjalanlah di sebelah kiri; apabila saat menyeberang berdirilah di sebelah kanan orang yang harus dilindungi (anak-anak, perempuan, atau orang yang lebih tua); berikan kesempatan kepada orang yang keluar lebih dulu; jika menaiki tangga, berjalanlah di belakang orang yang dilindungi atau jika menuruni tangga, berjalanlah di depan orang yang harus dilindungi.

Dengan menengok ke masa lalu, bukan berarti kita mengagung-agungkan masa lalu, atau menafikan bahwa zaman dan kondisi telah berubah. Kita dapat mencari hal-hal yang masih relevan dan dapat ditetapkan untuk masa kini. Tentunya dengan melakukan penyempurnaan di sana-sini.

Memberi salam hormat atau tersenyum kepada orang lain hanyalah merupakan langkah awal menuju sikap yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi. Ada banyak rincian tindakan lagi yang perlu menunjang itu. Apalagi untuk membuatnya tecermin melalui perilaku dan ulah kita di jalan raya. Dirgahayu Republik Indonesia.

(JL)

Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010

No comments: