Sunday, August 08, 2010

[Buku] Paranoia Kolonial dan Diaspora Hadramaut

-- Geger Riyanto

MENJELANG akhir abad ke-19, Arab menjadi momok yang sangat menakutkan dalam benak pemerintah kolonial Hindia. Kabar bahwa Abd al-Mutallib, yang dikenal sangat anti terhadap Kristen, ditunjuk Sultan Kekaisaran Ottoman, untuk menjadi Syarif di Mekkah membuat bulu kuduk para pejabat Inggris dan Belanda berdiri.


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Malet, seorang pegawai Inggris yang bertugas di Kairo, mengirimkan telegram ke London yang berbunyi, ”Hijaz akan digenangi dengan darah... karena kebencian buta Abd al-Mutallib terhadap orang Kristen, orang asing, dan orang India.” Kasak-kusuk tentang konspirasi global Islam pun menyebar di antara para pegawai Eropa di Timur Tengah. Pada 1881, dari Jeddah, James Zohrab, pegawai konsulat Inggris, menuliskan surat bahwa terdapat secret society yang mencakup umat Islam dari sejumlah negeri, dari Timur Tengah hingga Jawa, yang berencana memulihkan kekhalifahan.

Kita dapat menebak bagaimana kemudian kabar burung dari Timur Tengah ini mengiris telinga pemerintah Hindia-Belanda. Mereka masih trauma dengan gerakan-gerakan perlawanan ”Imam Mahdi” yang pernah beberapa kali menggoyang kuku kekuasaan mereka. Karel Frederik Holle, penasihat kehormatan pemerintah Hindia-Belanda untuk persoalan pribumi, memberikan saran kepada sekretaris pemerintahan kolonial, A Sol, agar pemerintah menempatkan mata-mata di Mekkah, mengawasi ibadah haji, menjauhkan para birokrat pribumi dari pengaruh Islam.

Michael F Laffan, dalam artikel penelitiannya yang berjudul A Watchful Eye: The Meccan Plot of 1881 and Changing Dutch Perceptions of Islam in Indonesia, menjelaskan bahwa keadaan inilah yang memungkinkan lahirnya penelitian Van den Berg. Sebuah penelitian tentang komunitas Arab di Hindia yang sangat lengkap serta tidak ada duanya (dan kemudian menjadi buku Orang Arab di Nusantara ini).

Penelitian Arab Hadramaut

Kendati nama L W C van den Berg tidak setenar penggantinya, Snouck Hurgronje, ia merupakan seorang orientalis yang cukup penting dan memiliki kedudukan khusus. Ia menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang hukum Islam di Leiden pada usia 23 tahun dan setahun setelahnya berangkat ke Batavia. Di Hindia, ia memiliki karier kilat di Departemen Kehakiman dan Dalam Negeri. Lantas, ia menjadi Penasihat Ahli Gubernur Jenderal sekaligus menerjemahkan karya fikih yang penting.

Pada Juli 1881, Van den Berg menuliskan sejumlah kritik terhadap rekomendasi-rekomendasi Holle yang mengimbau pengawasan ketat terhadap Islam di Hindia. Dalam soal menaruh mata-mata di Mekkah, contohnya, menurut Van den Berg, hal itu sama sekali percuma karena kebanyakan orang Arab yang berada di Nusantara berasal dari Hadramaut. Orang Arab Hadramaut saat itu dianggap sama sekali asing di mata orang Arab dari Mekkah.

Orang Arab di Nusantara, yang ditulis Van den Berg mulai dari tahun 1884 hingga 1886, dalam konteks saat itu merupakan suatu sanggahan terhadap pandangan khalayak umum Belanda yang paranoid terhadap orang Arab. Melalui paparan data-data yang mendetail dan cukup meyakinkan, Van den Berg mempertanyakan dari mana datangnya pandangan di antara orang Eropa bahwa setiap orang Arab adalah ahli teologi atau imam.

Van den Berg mendedah secara teliti komunitas-komunitas Arab di Hindia dan kondisi tanah asalnya di Hadramaut, lantas mengajukan pandangan-pandangan yang lain. Kebanyakan para perantau Hadramaut bukanlah golongan kaya. Mereka datang dari tanah yang tandus dan keras. Orientasi mereka adalah mencari kehidupan yang lebih baik. Menyebarkan agama, menurut Van den Berg, adalah motif yang baru muncul ketika para Arab Hadramaut melihat potensi mendapat peruntungan sebagai dai.

Orang Arab Hadramaut yang telah tinggal Nusantara, apalagi generasi kedua, telah memutus hubungan dengan tanah asalnya. Kedudukan mereka sebagai pedagang yang cukup mapan, dengan kekayaan yang berada di jaringan perdagangan, gedung-gedung, atau dalam kapal, tidak memungkinkan mereka untuk melakukan sesuatu yang revolusioner, yang membahayakan kedudukannya. Lagi pula, mereka memiliki keluarga berdarah campuran yang tidak mampu lagi berbahasa Arab.

Menarik untuk diperhatikan, selain merekam komunitas Arab di Nusantara, buku ini secara tersirat juga merekam persaingan di antara para ilmuwan kolonial itu sendiri. Tidak mengherankan kalau kita menangkap nada-nada sinis dalam buku ini. Kesinisan tersebut merekam politik Van den Berg sebagai ilmuwan kolonial, upayanya memperlihatkan bahwa pandangannya lebih otentik ketimbang pandangan ilmuwan kolonial lainnya.

Relevansinya sekarang

Akan tetapi, sebagaimana juga yang dibedah dengan tajam oleh Alatas di pengantar buku ini, kita mesti menempatkan Orang Arab di Nusantara sebagai bagian dari ilmu sosial kolonial. Betapa pun saat itu Van den Berg memiliki kedekatan emosional dengan kalangan Arab—sehingga beberapa pengkritik menganggapnya tidak obyektif—dalam karyanya, orang Arab Hadramaut tetap dicitrakan egoistis, tamak, serta rasis.

Tujuan penelitian kritis (dan sinis) Van den Berg tetap saja memperkuat struktur kolonial atau status quo. Karena itu, tak mengherankan mengapa obyek kajiannya benar-benar diperlakukan sebagai obyek. Diam, pasif, serta penuh karakter inferior, berbeda dengan subyek pengkaji dan penjajahnya. Van den Berg menempatkan Belanda sebagai penguasa yang harus menangani orang Arab-Nusantara dengan pemahaman yang utuh.

Kita mesti membandingkan Orang Arab di Nusantara secara langsung dengan studi-studi termutakhir tentang diaspora Arab yang memberikan ruang bagi subyek penelitiannya untuk bersuara. Salah satunya adalah studi-studi Engseng Ho. Dalam buku dan berbagai artikelnya, Engseng Ho mengajukan pandangan-pandangan yang berani tentang bagaimana komunitas Arab Hadramaut membentuk suatu jaringan global yang kosmopolit di Samudra Hindia jauh sebelum kedatangan pihak kolonial.

Berbeda dengan kolonialisme atau globalisasi, gelombang kedatangan para Arab Hadramaut ini tidak disertai dengan persenjataan, motif menguasai, monopoli, atau menyeragamkan. Orang-orang Hadramaut ini menyatu ke jaringan-jaringan sosial lokal tanpa kehilangan dirinya. Mereka menjadi orang Jawa, Gujarat, Melayu, dengan tetap mempertahankan silsilah Arab-nya yang mempunyai kekuatan halus untuk membuat perubahan di masyarakat setempat. Melalui cara yang elegan tersebut pula, para Arab Hadramaut naik menjadi sultan di Mindanao, Kepulauan Komoro, Sumatera, serta Kalimantan.

Akhirnya, patutlah proses perkembangan penelitian tentang komunitas Arab Hadramaut ini—dari yang awalnya bermotif menjawab paranoia kolonial kini menjadi penelitian tentang komunitas global sebelum ”abad globalisasi”—kita pandang sebagai sebuah cermin. Sebuah cermin yang memperlihatkan perjalanan pembebasan diri, dari kolonialisme yang menempuh jalan-jalan sunyi ilmu pengetahuan.

* Geger Riyanto
, Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 8 Agustus 2010

No comments: