Saturday, June 26, 2010

Penghargaan untuk 45 Maestro Seni Tradisi

-- Stevani Elisabeth


Jakarta - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memberikan penghargaan maestro seni tradisi dan anugerah kebudayaan tahun 2010 kepada 45 tokoh yang telah menekuni seni tradisi selama puluhan tahun.

”Bangsa yang berbudaya tinggi adalah bangsa yang menghargai para budayawannya,” ujar Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik saat memberikan penghargaan kepada maestro seni tradisi, di Jakarta, Rabu (23/6).

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya yang unik dan menarik, bermacam suku bangsa, agama bahkan bahasa telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Dampak yang ditimbulkan adalah akan semakin mengancam keberadaan budaya lokal yang mungkin tergerus budaya luar, sehingga dikhawatirkan akan menurun dan melemahnya jati diri bangsa.

Namun, di tengah kekhawatiran tersebut, masih ada orang-orang atau sekelompok orang yang masih mempertahankan dan melestarikan budaya lokal. Menurut Jero Wacik, pewarisan seni tradisi yang dilakukan oleh para maestro akan memperkuat ketahanan budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Dia juga berharap, semakin banyak masyarakat yang peduli dan menghargai seni tradisi akan menempatkan seni tradisi sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan budaya Indonesia akan mampu bersaing dengan budaya negara lain.

Jero Wacik juga mengimbau kepada para seniman Indonesia untuk tidak alergi bila karya budayanya dijadikan uang. ”Jangan kita alergi karya budaya dijadikan uang misalnya pelukis, sebab hal tersebut dapat memberikan kesejahteraan kepada senimannya,” lanjut dia. Penghargaan seni tradisi ini juga dimaksudkan untuk memacu seniman-seniman lain khususnya seniman muda untuk terus berkreasi di bidangnya.

Dari Silat hingga Syair


Salah satu budayawan itu adalah Raden Enny Rukmini Sekarningrat (95) yang sudah puluhan tahun melestarikan seni pencak silat. Pesilat ini mengaku hingga saat ini dia tidak pernah memungut biaya dari anak-anak muridnya. ”Ayah saya memang berpesan agar saya tidak memungut biaya dari anak-anak murid saya,” ujarnya.

Ayahnya, Abah Aleh, adalah pendiri pencak silat Panglipur. Enny sendiri sejak kecil sudah menyenangi kesenian daerah dan pernah belajar tari Sunda, selain pencak silat. Ayahnya juga memberikan kebebasan kepada Enny untuk belajar dansa yang notabene merupakan budaya asing.

Meski demikian, Enny tetap berusaha melestarikan pencak silat Panglipur dan telah diakui oleh pemerintah sebagai organisasi yang terdaftar sebagai anggota PPSI maupun IPSI. Hingga saat ini, pencak silat Panglipur telah memiliki 160 cabang bukan hanya di Indonesia, tetapi ada cabang di luar negeri seperti di Belanda, Moskwa, dan Amerika.

Lain lagi cerita maestro tari dan penyair tradisional dari Kalimantan Timur, Peda’an (75). Nenek yang memiliki empat orang cucu ini belajar menari secara otodidak, sambil mengikuti gerak orang-orang tua menari dengan insting dan naluri yang sangat kuat. Ia dapat dengan cepat mentransfer gerak tari untuk dikembangkan menjadi ciri pribadi yang khas.

Peda’an tidak hanya mahir menari. Dia juga piawai melantunkan syair-syair tradisi yang disebut ngedau kenyah. Syair-syair lagu yang dilantunkannya ini umumnya bercerita tentang kepahlawanan masa lampau, kerusakan hutan dan kepedihan perang antarsuku.

Hingga saat ini, Oe panggilan akrabnya telah menguasai tarian tunggal wanita yang lembut atau biasa disebut kanjet tengen atau kanjet dua usa, menguasai tari-tarian kelompok atau massal yang disebut Datun. Dia juga mahir menarikan tarian laki-laki atau tari perang yang disebut kanjet pepatai.

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 26 Juni 2010

No comments: