Friday, October 23, 2009

[Pustakaloka] Sejarah: Menyingkap Selubung Akhir Majapahit

KOMPAS/PRIYOMBODO

Data Buku

• Judul Buku: Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya
• Penulis: Hasan Djafar
• Penerbit: Komunitas Bambu, Jakarta
• Cetakan: Pertama, Maret 2009
• Isi: xxv + 237 halaman
• ISBN: 978-979-3731-48-3


BERLAKSA buku telah mengupas sejarah Majapahit. Bermacam makalah sudah membedahnya. Bahkan, tak sedikit lidah yang fasih mengejanya. Namun sayang, tak sedikit pula buku, makalah, dan lidah yang tiba-tiba mengisut saat hendak disauh. Terutama jika bobot akurasi data dan derajat kesaksian sumbernya ditilik lebih jauh.

Alhasil, banyak sisi penting sejarah Majapahit yang terselip. Tak terkecuali yang menyangkut sejarah masa akhirnya, baik tentang waktu dan sebab keruntuhan, tentang siapa raja terakhir, dan yang lebih penting tentang dalil sejarah yang mengakari pembuktian itu semua. Membaca buku ini, kemarut problem historis di atas terurai.

Sebagai tapak awal, buku ini membabarkan pembahasan tentang Girindrawarddhana, yang hadir di era akhir Majapahit. Bagi sejarawan seperti NJ Krom, WF Sutterheim, dan BJO Schrieke, Girindrawarddhana adalah nama dinasti baru dari Kerajaan Kadiri yang tidak termasuk dalam rantai sejarah Majapahit. Sedangkan bagi penulis yang juga pernah menjadi asisten Prof Boechari, ahli epigrafi pertama Indonesia, Girindrawarddhana dan Majapahit merupakan suatu kesatuan utuh.

Dalam bab ketiga buku ini, ia memaparkan bahwa Girindrawarddhana adalah gelar yang dipakai oleh tokoh-tokoh yang hidup pada masa Majapahit akhir, seperti Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma, Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana, dan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Gelar ini merupakan tanda bahwa para penyandangnya adalah anak keturunan Ken Arok, leluhur raja-raja Majapahit, sekaligus pendiri dinasti Rajasa (Rajasawangsa), yang juga dikenal sebagai dinasti Girindra (Girindrawangsa).

Kekeliruan akbar

Pada tahun 1400 Saka (1478 Masehi), Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya tampil menjadi raja setelah menggempur Kerajaan Majapahit (yuddha lawanin Majapahit) dan membunuh Bhre Kretabhumi, sang raja incumbent. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk penuntutan hak atas takhta Majapahit yang dirampas oleh Bhre Kretabhumi dari sang ayah, Dyah Suraprabhawa Sri Sinhawiramawarddhana atau Bhre Pandansalas.

Menurut Hasan Djafar, ini berarti bahwa pada dan sampai pascatahun 1400 Saka (1478 Masehi) Majapahit masih tegak berdiri alias tidak hancur. Oleh karena itu, adalah kekeliruan akbar jika angka tahun 1400 Saka yang tercermin dalam candra sengkala ’sirna ilang kertaning bhumi’ (Serat Kanda) ditahbiskan sebagai saat kehancuran Majapahit. Pasalnya, berdasarkan Prasasti Padukuhan Duku (Ptak) berangka tahun 1408 Saka (1486 Masehi), candra sengkala itu sejatinya berkisah tentang penyerangan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya dan terbunuhnya Bhre Kretabhumi (hal 69). Bukan tentang kehancuran Majapahit yang selama ini terpasak kuat dalam sejarah resmi.

Sayangnya, meski tubuh Majapahit di tangan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya telah ringkih, fakta detak jantung Majapahit ini tidak tertera dalam buku daras sejarah nusantara. Bahkan, Serat Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi pun alpa merekamnya. Justru Prasasti Padukuhan Duku (Ptak) dan Prasasti Trailokyapuri I-IV berangka tahun 1408 Saka yang diteliti oleh Djafar-lah yang menandaskannya.

Lalu, kapan Majapahit hancur? Menurut penulis, petaka itu sebenarnya terjadi pada tahun 1441 Saka (1519 Masehi). Jika literatur sejarah pada umumnya mengaitkan faktor serangan Kerajaan Demak sebagai penyebab kehancuran, maka penulis buku ini pun menyatakan demikian. Hanya saja, ia melihat penyerangan yang dikenal sebagai senguruh itu tidak lebih sebagai teks yang dikitari oleh beberapa konteks historis (hal 62-83).

Pertama, Majapahit memang sedang digerogoti oleh krisis politik akut sebagai dampak perang perebutan kekuasaan antarkeluarga kerajaan. Tragedi yang mulanya disulut oleh Wikramawarddhana (Bhra Hyang Wisesa) dan Bhre Wirabhumi itu ternyata terwariskan secara sempurna hingga ke cucu-cicit mereka. Sebutlah Bhre Pandansalas yang disingkirkan oleh Bhre Kretabhumi. Kemudian Bhre Kretabhumi pun dikudeta oleh Dyah Ranawijaya. Hingga akhirnya Dyah Ranawijaya dibabat oleh Pati Unus bin Raden Patah dari Demak.

Kedua, perkembangan ekonomi-politik purnacepat di Asia Tenggara telah menggeliatkan gerak perekonomian masyarakat pesisir utara Jawa dan menunaskan seberinda bangsawan kaya di sana. Berdirinya Demak pun tidak jauh dari konteks ekonomikal ini. Kerajaan Islam itu dibangun oleh koalisi bangsawan kaya yang sejak jauh hari telah memonopoli akses perdagangan dari dan ke daerah bagian timur nusantara dan Malaka (hal 76). Jadi, sejak awal memang ada semacam trik embargo ekonomi terselubung atas Majapahit di sana.

Ketiga, dalih syariat perang sabil melawan kerajaan ”kafir Majapahit” telah memotivasi para pembesar Demak bersama para penguasa lokal yang sudah masuk Islam di pesisir utara Jawa, seperti Jepara, Tuban, dan Gresik. Sakralitas dalih itu pun kontan saja dimanfaatkan oleh anak keturunan Raden Patah sebagai momentum balas dendam terhadap Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebab, berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari (1720), Raden Patah, Sultan Demak I, adalah anak Bhre Kretabhumi yang dibunuh oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (hal 123).

Perbaikan data

Buku yang awalnya merupakan skripsi penulis di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (sekarang FIB) Universitas Indonesia ini tergolong ”buku kuat”. Terutama jika ditinjau dari segi sumber sejarah yang diacu penulis, yaitu prasasti. Karena prasasti adalah sumber sejarah yang menempati derajat kesaksian tertinggi di antara sumber lainnya. Tidak hanya itu, penulis pun lantas mengikatkuatkan historis dengan analisis arkeologis atas bangunan suci dan tafsir atas sumber tradisi dari zaman Majapahit dan Mataram Islam. Hasilnya, buku ini terasa seolah telah menggiring pembaca untuk merekonstruksi sejarah Majapahit secara utuh. Padahal, ia hanya berbicara di sekitar masalah masa akhirnya.

Buku ini pernah diterbitkan oleh Yayasan Dana Pendidikan Budis Nalanda Jakarta pada tahun 1978. Meski begitu, di edisi baru ini, ia telah memperbaiki dan meng-update isinya berdasarkan penelitian, penemuan, dan data terbaru. Termasuk tentang paralelisme-sinkretisme agama Hindu (Siwa) dan Buddha di era akhir Majapahit (hal 124-139). Juga tentang kota Trowulan yang ternyata bukanlah pusat kekuasaan Majapahit (hal 140-146). Selain itu, ia juga melampirkan daftar kronologi raja-raja Majapahit dan struktur genealogi raja-raja Singasari-Majapahit yang ia susun sendiri (hal 151-155). Sebagai pelengkap, disertakan pula identifikasi lokasi negara-negara daerah di Kerajaan Majapahit (hal 158-173).

Terlepas dari adanya sejumlah pengulangan pokok bahasan di setiap bab dan keingkarannya pada sejarah resmi, semoga buku ini dapat membantu kita untuk menyirap sungkup lembaran renyek sejarah kuno Indonesia. Meski kita masih bisa mendebatnya. Terlebih lagi menandingkannya dengan buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara-nya Slamet Muljana (LKiS: 2005) yang fenomenal itu.

Yasser Arafat, Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Peneliti Lembaga Studi Demokrasi Indonesia

Sumber: Kompas, Jumat, 23 Oktober 2009

No comments: